Thursday, May 16, 2013

Tetangga Hantu

R. L. Stine
Tetangga Hantu
(Goosebumps # 10)




1. 

Hannah tak yakin mana yang telah membangunkannya - suara-suara derakan rapuh atau lidah-lidah api yang berwarna kuning terang. 
Dia duduk tegak di tempat tidur dan menatap dengan mata terbelalak ngeri pada api yang mengelilinginya. 
Lidah-lidah api berdesir di meja riasnya. Kertas dinding yang terbakar tergulung lalu meleleh. Pintu lemarinya sudah terbakar habis, dan ia bisa melihat api meloncat-loncat dari rak ke rak. 
Bahkan cermin itu terbakar. Hannah bisa melihat pantulan dirinya, gelap di balik dinding api berkelap-kelip. 
Api bergerak dengan cepat mengisi ruangan. 
Hannah mulai tersedak asap tebal yang asam. 
Sudah terlambat untuk menjerit. 
Tapi dia tetap menjerit. 
***
Betapa baiknya untuk mengetahui itu cuma mimpi. 
Hannah duduk di tempat tidur, jantungnya berdebar kencang, mulutnya sekering kapas.
Tak ada gemercik lidah-lidah api. Tak ada loncatan gumpalan-gumpalan kuning dan oranye. 
Tidak tersedak asap. 
Semuanya mimpi, mimpi yang mengerikan. Begitu nyata. 
Hanya mimpi. 
"Wah. Itu benar-benar menakutkan,." Gumam Hannah pada dirinya sendiri. Dia duduk bersandar di atas bantal dan menunggu debaran hatinya yang begitu keras di dadanya berhenti. Dia mengangkat mata abu-abu birunya ke langit-langit, menatap langit-langit yang putih dingin itu.
Hannah masih bisa membayangkan langit-langit yang hitam hangus, gulungan kertas dinding, lontaran lidah-lidah api di depan cermin. 
"Setidaknya mimpiku tak membosankan!" katanya pada dirinya sendiri. Menendang selimut tipis, ia melirik jam di mejanya. Baru jam delapan seperempat. 
Bagaimana bisa baru delapan seperempat? dia bertanya-tanya. Aku merasa seolah-olah aku telah tidur selamanya. Hari apa ini, sih? 
Sulit untuk melacak hari-hari di musim panas ini. Yang satu tampaknya melebur dengan yang lainnya. 
Musim panas ini Hannah kesepian. Sebagian besar teman-temannya di liburan ini pergi dengan keluarga atau  berkemah. 
Ada begitu sedikit yang bisa diperbuat anak umur dua belas tahun  di sebuah kota kecil seperti Greenwood Falls. Kebanyakan dia membaca buku, menonton TV dan naik sepeda berkeliling kota, mencari seseorang untuk diajak ngobrol. 
Membosankan. 
Tapi hari ini Hannah turun dari tempat tidur dengan senyum di wajahnya. 
Dia masih hidup! 
Rumahnya tak terbakar. Ia tidak terjebak dalam dinding yang bergemericik lidah-lidah api. 
Hannah memakai celana pendek Day-Go hijau dan atasan tanpa lengan oranye terang. Orangtuanya selalu menggodanya tentang menjadi buta warna. 
"Yang benar saja. Apa masalah besar jika aku suka dengan warna-warna terang?!" selalu (itu) jawabannya. 
Warna-warna terang. Seperti lidah-lidah api di sekitar tempat tidurnya. 
"Hei, mimpi - lenyaplah!" gumamnya. Dia menjalankan sikat rambut di rambut pirang pendeknya dengan cepat, lalu menuju ke lorong dapur. Dia bisa mencium bau telur dan daging goreng di atas kompor. 
"Selamat pagi, semuanya!" celoteh Hannah riang.
Dia bahkan senang melihat Bill dan Herb, saudaranya yang kembar berumur enam tahun. 
Pengganggu-pengganggu. Gangguan paling berisik di Greenwood Falls. 
Mereka melemparkan bola karet biru di meja sarapan. 
"Berapa kali aku harus memberitahu kalian - jangan bermain bola di rumah?" kata Bu Fairchild, berbalik dari kompor untuk memarahi mereka. 
"Satu juta," kata Bill. 
Herb tertawa. Dia pikir Bill lucu. Mereka berdua berpikir mereka pelawak. 
Hannah melangkah ke belakang ibunya dan memeluk pinggangnya erat-erat.
"Hannah - hentikan!" teriak ibunya. "Aku hampir menjatuhkan telur!" 
"Hannah - Hannah hentikan - hentikan!" Si kembar meniru ibu mereka. 
Bola memantul dari piring Herb, memantul lagi dari dinding, dan terbang ke kompor, beberapa inci dari penggorengan. 
"Tembakan bagus, jagoan," goda Hannah.
Si kembar tertawa dengan tawa nada tinggi mereka.
Bu Fairchild berputar, mengerutkan kening. "Jika bola itu jatuh dalam wajan, kalian akan memakannya dengan telur kalian!" ancamnya, menggoyangkan garpunya pada mereka. 
Hal ini membuat anak-anak tertawa lebih keras. 
"Mereka berada dalam suasana hati konyol hari ini," kata Hannah, tersenyum. Dia memiliki lesung pipi di satu pipi saat dia tersenyum. 
"Kapan mereka pernah dalam suasana hati yang serius?" menuntut ibunya, melempar bola itu ke lorong. 
"Yah, aku dalam suasana hati yang bagus hari ini!" Hannah menyatakan, menatap keluar jendela pada langit biru tak berawan. 
Ibunya menatapnya curiga. "Bagaimana bisa?" 
Hannah mengangkat bahu. "Aku hanya (merasa begitu) ." Dia tak merasa suka mengatakan ibunya tentang mimpi buruk, tentang seberapa bagus rasanya untuk hidup. "Mana Ayah?" 
"Pergi ke kantor lebih awal," kata Bu Fairchild, balik daging asap dengan garpu. "Beberapa dari kita tidak mendapatkan libur seluruh musim panas," tambahnya. "Apa yang akan kau lakukan hari ini, Hannah?" 
Hannah membuka lemari es dan mengeluarkan sekotak jus jeruk. "Seperti biasa, kukira. Anda tahu.. Hanya nongkrong." 
"Aku menyesal kau punya musim panas yang amat membosankan," kata ibunya, mendesah. "Kami benar-benar tak punya uang untuk mengirimkanmu ke perkemahan. Mungkin musim panas yang akan datang -." 
"Tak apa-apa, Bu," jawab Hannah cerah. "Aku mengalami musim panas yang oke. Sungguh." Dia berpaling ke si kembar. "Bagaimana kalian suka cerita-cerita hantu tadi malam?" 
"Tak menakutkan," jawab Herb cepat.
"Tak menakutkan sama sekali. Cerita-cerita hantumu bodoh,." Tambah Bill.
"Kalian terlihat sangat ketakutan kepadaku," desak Hannah. 
"Kami pura-pura," kata Herb. 
Hannah mengangkat kardus jus jeruk. "Mau?"
"Apa ada bubur di dalamnya?" tanya Herb. 
Hannah pura-pura membaca karton. "Ya. Katanya 'Seratus persen bubur.' "
"Aku benci bubur!" Herb menyatakan.
"Aku juga!" Bill setuju, nyengir. 
Ini bukan pertama kalinya mereka akan berdiskusi tentang sarapan bubur. 
"Tak bisakah Anda membeli jus jeruk tanpa bubur?" pinta Bill pada ibu mereka. 
"Bisakah kau saringkan untuk kami?" Tanya Herb pada Hannah. 
"Bisakah aku mendapat jus apel?" Tanya Bill. 
"Aku tak mau jus. Aku ingin susu," Herb memutuskan. 
Biasanya, diskusi ini akan membuat  Hannah menjerit. Tapi hari ini, ia bereaksi dengan tenang. "Satu jus apel dan satu susu datang," katanya riang.
"Kau pasti sedang dalam suasana hati yang baik pagi ini," komentar ibunya.
Hannah menyerahkan pada Bill jus apelnya, dan ia dengan segera menumpahkannya. 
Setelah sarapan, Hannah membantu ibunya membersihkan dapur. 
"Hari yang indah," kata Bu Fairchild, mengintip keluar jendela. "Tak awan di langit. Ini seharusnya lebih dari sembilan puluh (derajat)." 
Hannah tertawa. Ibunya selalu memberikan laporan-laporan cuaca. "Mungkin aku akan pergi untuk naik sepeda jauh sebelum akan benar-benar panas," katanya kepada ibunya. 
Dia melangkah keluar dari pintu belakang dan mengambil napas dalam-dalam. Udara hangat berbau manis dan segar. Dia melihat dua kupu-kupu kuning dan merah berkibar berdampingan di atas taman bunga. 
Dia melangkah di rerumputan menuju garasi. Dari suatu tempat di ujung blok ia bisa mendengar dengungan rendah dari mesin pemotong rumput. 
Hannah menatap langit biru jernih. Matahari terasa hangat di wajahnya. 
"Hei - awas!" satu suara berteriak cemas. 
Hannah merasakan sakit yang tajam di punggungnya. 
Dia terkesiap ketakutan saat ia jatuh ke tanah. 




2. 

Hannah mendarat keras di siku dan lututnya. Dia berbalik dengan cepat untuk melihat apa yang telah menghantamnya. 
Seorang anak di atas sepeda. "Maaf!" katanya. Dia melompat dari sepeda dan membiarkannya jatuh ke rumput. "Aku tak melihatmu." 
Aku memakai Day-Glo hijau dan oranye, pikir Hannah. Mengapa ia tak bisa melihatku? 
Hannah bangkit berdiri dan mengusap noda rumput di lututnya. "Aduh," gumamnya, mengerutkan kening pada anak itu. 
"Aku mencoba berhenti," katanya pelan. 
Hannah melihat bahwa dia berambut merah terang, hampir seoranye permen jagung, bermata cokelat, dan wajah penuh bintik-bintik.
"Kenapa kau bersepeda di halamanku?" tuntut Hannah. 
"Halamanmu?" Dia menyipitkan matanya yang gelap padanya. "Sejak kapan?" 
"Sejak sebelum aku lahir," jawab Hannah tajam. 
Anak itu menarik selembar daun dari rambutnya. "Kau tinggal di rumah itu?" tanyanya, menunjuk. 
Hannah mengangguk. 
"Di mana kau tinggal?" tuntut Hannah. Dia memeriksa kedua sikunya. Keduanya kotor, tapi tak memar. 
"Tetangga sebelah," katanya, berbalik menuju rumah redwod (nama sejenis kayu) bergaya peternakan di seberang jalan masuk. 
"Hah?" Hannah bereaksi dengan terkejut. "Kau tidak bisa tinggal di sana!" 
"Mengapa tidak?" tuntut anak itu. 
"Itu rumah kosong," kata Hannah padanya, mengamati wajahnya. "Sudah kosong sejak (keluarga) Dodsons pindah." 
"Saat ini tak kosong," katanya. "Aku tinggal di sana. Dengan ibuku."
Bagaimana bisa? Hannah bertanya-tanya. Bagaimana bisa seseorang pindah tepat di samping rumah tanpa sepengetahuanku? 
Aku bermain dengan si kembar di belakang sana kemarin, pikirnya, menatap keras pada anak itu. Aku yakin bahwa rumah itu gelap dan kosong. 
"Siapa namamu?" tanya Hannah. 
"Danny. Danny Anderson." 
Hannah mengatakan namanya. "Kukira kita bertetangga," katanya. "Aku dua belas tahun. Bagaimana denganmu?"
"Aku juga." Danny membungkuk untuk memeriksa sepedanya. Lalu ia mengeluarkan seberkas rumput yang terjebak dalam jari-jari roda belakang (sepedanya). "Bagaimana bisa aku tak pernah melihatmu sebelumnya?" tanyanya curiga. 
"Bagaimana bisa aku tak pernah melihatmu?" jawab Hannah. 
Danny mengangkat bahu. Matanya berkerut di sudut-sudut (matanya) saat senyum malu-malu melintas di wajahnya. 
"Nah, apa kau baru saja pindah?" tanya Hannah, mencoba untuk mendapatkan dasar misteri itu. 
"Huh-eh," jawabnya, berkonsentrasi pada sepeda. 
"Tidak? Berapa lama kau telah tinggal di sini?" tanya Hannah. 
"Beberapa waktu." 
Ini tak mungkin! Hannah berpikir. Tak ada cara dia bisa pindah ke sebelah rumah tanpa aku tahu itu! 
Tapi sebelum dia bisa bereaksi, ia mendengar suara bernada tinggi memanggilnya dari rumah. "Hannah Hannah! Herb tak mau mengembalikan Game Boy-ku!" Bill berdiri di beranda belakang, bersandar di pintu kasa yang terbuka. 
"Di mana Ibu?" teriak Hannah kembali. "Dia akan mengambilkannya untukmu."
"Oke." 
Layar pintu terbanting keras saat Bill pergi untuk mencari Bu Fairchild. 
Hannah berbalik untuk berbicara dengan Danny, tapi dia telah menghilang ke udara yang tipis. 




3. 

Surat biasanya datang sesaat sebelum tengah hari. Hannah dengan penuh semangat bergegas turun ke bagian bawah jalan dan membuka tutup kotak. 
Tak ada surat untuknya. Tak ada surat sama sekali. 
Kecewa, ia bergegas kembali ke kamarnya untuk menulis surat kepada teman baiknya yang cerewet, Janey Pace. 
Janey sayang. 
Kuharap kau bersenang-senang di perkemahan. Tapi tak terlalu bagus - karena kau melanggar janjimu. Kau berkata bahwa kau akan menulis kepadaku setiap hari, dan sejauh ini, aku bahkan belum menerima satu pun KARTU POS yang payah. 
Aku sangat BOSAN aku tak tahu harus berbuat apa! Kau tak bisa membayangkan betapa sedikit yang bisa dilakukan di Greenwood Falls saat tak ada orang. Ini benar-benar seperti KEMATIAN! 
Aku kebanyakan nonton TV dan membaca. Apa kau percaya aku sudah membaca SEMUA buku di daftar bacaan kita di musim panas? Ayah berjanji untuk mengajak kami semua berkemah di Miller Woods - SENSASI BESAR - tapi dia sudah bekerja hampir setiap akhir pekan, jadi kupikir ia tak akan melakukannya. 
MEMBOSANKAN! 
Tadi malam aku begitu bosan, aku membariskan si kembar keluar, membuat sebuah api unggun kecil di belakang garasi, kami berpura-pura pergi di perkemahan dan menceritakan kepada mereka sekumpulan cerita hantu yang menakutkan. 
Anak-anak tak akan mengakuinya, tentu saja, tapi aku bisa melihat mereka menikmatinya. Tapi kau tahu bagaimana cerita-cerita hantu membuatku aneh. Aku mulai melihat bayangan-bayangan aneh dan benda-benda bergerak di belakang pohon. Ini benar-benar lucu, kurasa. Aku benar-benar menakut-nakuti DIRIKU. 
Jangan tertawa, Janey. Kau juga tak suka cerita-cerita hantu. 
Satu-satunya beritaku yang lain bahwa ada seorang anak yang baru pindah ke rumah tua Dodson, tetangga sebelah. Namanya Danny dan dia seusia kita, dia berambut merah dan bintik-bintik, dan dia agak manis, pikirku. 
Aku hanya melihatnya sekali. Mungkin aku akan menceritakan lebih banyak lagi tentang dia nanti. 
Tapi sekarang GILIRANMU untuk menulis. Ayo, Janey. Kau telah berjanji. Sudahkah kau bertemu cowok lucu di perkemahan? Apa ITU (sebabnya) mengapa kau terlalu sibuk untuk menulis kepadaku? 
Jika aku tak mendengar (kabar) darimu, kuharap Anda mendapatkan poison ivy (racun dari tumbuhan) di seluruh tubuhmu - terutama di tempat-tempat di mana kau tak bisa menggaruk! 
Dengan Cinta, 
Hannah. 
Hannah melipat surat itu dan memasukkannya ke amplop. Meja kecilnya berdiri di depan jendela kamar. Bersandar di atas meja, ia bisa melihat rumah sebelah. 
Aku ingin tahu apakah itu kamar Danny? pikirnya, menatap ke jendela tepat di seberang jalan masuk. Gorden yang ditarik atas jendela, menghalangi pandangannya. 
Hannah menarik dirinya untuk berdiri. Dia menjalankan sikat rambut di rambutnya, lalu membawa surat itu ke pintu depan. 
Dia bisa mendengar ibunya memarahi si kembar di suatu tempat di belakang rumah. Anak-anak cekikikan saat Bu Fairchild berteriak-teriak pada mereka.Hannah mendengar dentaman keras. Lalu lebih banyak cekikikan. 
"Aku mau keluar!" teriak Hannah, mendorong layar pintu. 
Mereka mungkin tak mendengar, ia sadar. 
Itu adalah siang yang panas, tak ada angin sama sekali, udara berat dan basah. Ayah Hannah telah memangkas halaman depan di hari sebelumnya. Rumput yang baru dipotong berbau manis saat Hannah berjalan menuruni jalan masuk. 
Dia melirik ke rumah Danny. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Pintu depan ditutup. Ruang tamu besar yang tergambar muncul di jendela itu kosong dan gelap. 
Hannah memutuskan untuk berjalan tiga blok ke kota dan mengeposkan surat di kantor pos. Dia mendesah. Tak ada lagi yang bisa dikerjakan, pikirnya sedih. Setidaknya berjalan kaki ke kota akan menghabiska beberapa waktu. 
Trotoar tertutupi dengan potongan helai-helai rumput, hijau memudar menjadi cokelat. Bersenandung pada dirinya sendiri, Hannah melewati Bu Quilty di rumah bata merah. Bu Quilty sedang membungkuk di atas kebunnya, menarik gulma-gulma. 
"Hai, Nyonya Quilty. Bagaimana kabarmu?" panggil Hannah. 
Bu Quilty tak mendongak. 
Sombong sekali! Pikir Hannah dengan marah. Aku tahu dia mendengarku. 
Hannah menyeberangi jalan. Suara piano mengalun dari rumah di pojokan. Seseorang berlatih lagu musik klasik, memainkan not salah yang sama berulang-ulang, kemudian memulai lagu lagi. 
Aku senang mereka bukan tetanggaku, pikir Hannah, tersenyum. 
Ia berjalan di sisa perjalanan ke kota, bersenandung untuk dirinya sendiri. 
Kantor pos putih berlantai dua berdiri di seberang alun-alun kota kecil, benderanya terkulai pada tiang di langit tak berangin. Di sekitar alun-alun berdiri satu bank, toko pangkas rambut, toko kecil bahan pangan, dan pom bensin. Beberapa toko lainnya, Harder's Ice-Cream Parlor, dan restoran bernama Diner membentang di belakang alun-alun. 
Dua wanita berjalan keluar dari toko bahan pangan itu. Melalui jendela pangkas, Hannah bisa melihat Ernie, tukang cukur, duduk di kursi, membaca majalah. 
Adegan hidup yang nyata, pikirnya, sambil menggelengkan kepalanya. 
Hannah menyeberangi lapangan rumput kecil dan menjatuhkan surat di kotak surat di depan pintu kantor pos. Dia berbalik kembali menuju rumah - tapi berhenti ketika ia mendengar teriakan-teriakan marah. 
Teriakan itu datang dari belakang kantor pos, Hannah menyadari. Seorang pria berteriak. 
Hannah mendengar suara-suara anak laki-laki. Teriakan lagi. 
Dia mulai berlari-lari kecil di sekitar sisi gedung, menuju ke suara-suara marah itu.
Dia hampir sampai ke gang ketika ia mendengar jeritan melengking kesakitan. 



4. 

"Hei -!" Hannah berteriak dan berlari di sisa perjalanan. "Apa yang terjadi?" 
Satu gang sempit membentang di belakang kantor pos. Ini adalah tempat tersembunyi di mana anak-anak suka nongkrong. 
Hannah melihat Pak Chesney, kepala kantor pos. Dia mengacungkan tinju dengan marah pada anjing kampung cokelat yang kurus. 
Ada tiga anak laki-laki di gang itu. Hannah mengenali Danny. Dia nongkrong di belakang dua anak laki-laki yang tak dia kenal. 
Anjing itu menurunkan kepalanya dan merintih lembut. Seorang anak laki-laki tinggi, kurus dan kurus dengan rambut pirang yang jarang, meraih anjing itu dengan lembut dan membungkuk untuk menenangkannya. 
"Jangan melempar batu pada anjingku!" teriak anak itu pada Pak Chesney. 
Anak laki-laki lainnya melangkah maju. Dia masih kecil, tegap, tampaknya kuat, dengan rambut hitam runcing. Dia menatap Pak Chesney, tangannya mengepal di pinggangnya. 
Danny tertinggal jauh dari yang lain, sangat pucat, matanya menyipit tegang. 
"Pergi! Pergilah! Aku peringatkan kalian!" bentak Pak Chesney. Dia pria kurus berwajah merah, (kepalanya) botak seluruhnya, dengan kumis lebat di bawah ujung hidung cokelatnya. Dia mengenakan setelan wol ketat abu-abu, meskipun musim panas. 
"Anda tak punya hak untuk menyakiti anjingku!" si anak pirang bersikeras, masih menggendong anjing kampung itu. Ekor gemuk anjing itu bergoyang-goyang marah sekarang. Anjing itu menjilat tangan anak itu. 
"Ini milik pemerintah," jawab kepala kantor pos tajam. "Kuperingatkan kalian - pergi dari sini. Ini bukan tempat nongkrong bagi kalian pembuat onar." Dia melangkah mengancam ke arah tiga anak laki-laki itu. 
Hannah melihat Danny melangkah ke belakang, ekspresi wajahnya ketakutan. Dua anak laki-laki lainnya berdiri di tanah mereka, menatap kepala kantor pos berwajah merah itu menantang. Mereka besar, Hannah melihat. Lebih besar dari Danny. Mereka tampaknya lebih tua dari Danny. 
"Aku akan memberitahu ayahku,  Anda menyakiti Rusty," kata anak pirang itu.
"Katakan pada ayahmu kau masuk tanpa ijin," Pak Chesney kembali. "Dan katakan padanya kau kasar dan tak sopan. Dan katakan padanya aku akan mengajukan keluhan pada kalian bajingan bertiga jika aku menangkap kalian kembali di sini lagi."
"Kami bukan bajingan!" teriak anak laki-laki yang paling berat dengan marah. 
Lalu ketiga anak laki-laki berbalik dan mulai berjalan menyusuri gang. Anjing itu berzig-zag dengan gembira di antara tumit-tumit mereka, ekor pendeknya yang berkedut liar. 
Pak Chesney menyerbu melewati Hannah, menggumamkan kutukan pada dirinya sendiri. Dia begitu marah, ia mendorong melewati Hannah saat ia berjalan ke bagian depan kantor pos.
Brengsek sekali, pikir Hannah, menggelengkan kepala. Apa masalahnya, sih? 
Semua anak-anak di Greenwood Falls membenci Pak Chesney. Terutama karena ia benci anak-anak. Dia selalu berteriak pada mereka untuk berhenti berkeliaran di alun-alun, atau berhenti memainkan musik keras seperti itu, atau berhenti bicara begitu keras, atau berhenti tertawa begitu banyak, atau keluar dari gang berharganya. 
Dia bertindak seakan-akan dia memiliki seluruh kota, pikir Hannah. 
Pada waktu Halloween, Hannah dan sekelompok teman-teman memutuskan untuk pergi ke rumah Pak Chesney dan menyemprotkan cat ke jendelanya. Tetapi mereka kecewaan, Chesney telah bersiap-siap untuk trik pemain-pemain Halloween. Dia berdiri siap di jendela depan rumahnya, satu senapan besar di tangannya. 
Hannah dan teman-temannya pergi berjalan, kecewa dan takut. 
Dia tahu betapa kami semua membencinya, Hannah menyadari. 
Dan dia tak peduli. 
Gang itu sekarang sepi. Hannah kembali menuju alun-alun kota, berpikir tentang Danny. Dia tampak begitu ketakutan, begitu pucat. Begitu pucat, dia hampir tampak memudar dalam terangnya sinar matahari. 
Dua teman Danny tampaknya tak takut sama sekali, pikir Hannah. Mereka tampak marah dan kuat. Atau mungkin mereka hanya berlagak kuat karena Pak Chesney begitu mengerikan untuk anjing anak pirang itu. 
Menyeberangi alun-alun, Hannah mencari tanda-tanda kehidupan. Di tokonya yang terang benderang itu, Ernie masih duduk di kursi tukang cukur, wajahnya terbenam di majalah. Satu mobil station wagon biru telah masuk ke pom bensin. Seorang wanita yang tak Hannah kenal sedang terburu-buru untuk sampai ke bank sebelum tutup.
Tak ada tanda dari Danny dan dua temannya. 
Kurasa aku akan pulang dan masuk Rumah Sakit Umum, pikir Hannah sambil mendesah. Dia menyeberang jalan dan berjalan perlahan menuju ke rumah. 
Pohon-pohon tinggi, maple, birch dan sassafras, berjajar trotoar. Daun-daunya sangat tebal, hampir-hampir ,menghalangi sinar matahari. 
Begitu dingin di bawah bayangannya, Hannah menyadari saat ia berjalan di bawah pepohonan itu. 
Dia telah setengah blok ketika sosok gelap itu meluncur keluar dari balik pepohonan.
Pada mulanya Hannah pikir itu hanya bayangan semu dari batang pohon yang lebar. Tapi kemudian, saat matanya terbiasa dengan keteduhan itu, sosok itu menjadi jelas. 
Hannah tersentak dan berhenti berjalan. 
Dia menatap tajam, menyipitkan mata ke arah sosok itu, berusaha untuk kembali fokus. 
Sosok itu berdiri di bayangan genangan biru yang dalam. Berpakaian hitam, sosok itu tinggi dan ramping, wajahnya benar-benar tersembunyi dalam kegelapan. 
Hannah merasakan gigilan dingin ketakutan mengguncang turun di tubuhnya. 
Siapa dia? dia bertanya-tanya. Kenapa dia berpakaian seperti itu? 
Mengapa dia berdiri begitu tenang, menjaga dalam bayangan, menatap ke arahku dari bayangan gelap? 
Apa dia mencoba menakut-nakutiku.
Sosok itu perlahan-lahan mengangkat tangan, memberi isyarat pada Hannah untuk datang mendekat. 
Hatinya berdebar-debar di dadanya, Hannah mundur selangkah. 
Apakah memang ada seseorang di sana? 
Satu sosok berpakaian hitam-hitam? 
Atau aku melihat bayangan semu oleh pepohonan? 
Hannah tak yakin - sampai ia mendengar bisikan: 
"Hannah... Hannah..." 
Bisikan itu sekering sentuhan daun-daun pohon, dan hampir sama lembutnya. 
"Hannah... Hannah..." 
Suatu bayangan hitam yang ramping, memberi isyarat padanya dengan lengan sekurus ranting, berbisik padanya. Benar-benar kering, tak manusiawi. 
"Tidak!" jerit Hannah. 
Dia berbalik dan berusaha untuk lari. Kakinya terasa lemas. Lututnya tak mau membungkuk. 
Tapi ia memaksakan dirinya untuk lari. Lebih cepat. 
Lebih cepat. 
Apakah sosok itu mengikutinya? 




5. 

Terengah-engah keras, Hannah menyeberang jalan tanpa berhenti untuk mencari keramaian. Sepatunya berdebam di trotoar saat ia berlari. 
Satu blok lagi. 
Apa dia membuntuti? 
Bayangan-bayangan bergeser dan tertekuk saat dia berlari di bawah pohon. Bayangan di atas bayangan, meluncur satu sama lain, abu-abu di atas hitam, biru di atas abu-abu. 
"Hannah... Hannah..." Bisikan kering. 
Kering seperti kematian. 
Memanggilnya dari bayangan-bayangan yang bergeser itu. 
Dia tahu namaku, pikirnya, terengah-engah, memaksakan kakinya untuk terus bergerak. 
Dan kemudian dia berhenti. 
Dan berputar. 
"Siapa kau?" teriaknya terengah-engah. "Apa yang kau inginkan?" 
Tapi dia telah menghilang. 
Yang ada sekarang kesunyian. Kecuali napas keras Hannah. 
Hannah menatap jalinan bayang-bayang sore hari. Matanya melesat di atas semak-semak dan pagar-pagar halaman di bloknya. Dia mencari di antara sela-sela rumah, di balik satu pintu garasi gelap yang terbuka, lapangan abu-abu miring di samping gudang kecil.
Hilang. Lenyap. 
Tak ada tanda-tanda sosok berselubung hitam yang membisikkan namanya. 
"Wah -!" ia berteriak keras-keras.
Itu adalah ilusi optik, dia memutuskan, matanya dengan waspada masih mempelajari halaman depan itu. 
Tak mungkin. 
Dia berdebat dengan dirinya sendiri. Ilusi optik tak akan memanggil namamu.
Tak ada apa pun di sana, Hannah, dia meyakinkan dirinya. Napasnya kembali normal. Tak ada. 
Kau mengarang cerita hantu lagi. Kau membuat takut dirimu sendiri lagi. 
Kau bosan dan kesepian, sehingga kau membiarkan imajinasimu lepas kontrol denganmu. 
Merasa hanya sedikit lebih baik, Hannah berlari di sisa perjalanan pulang.
***
Kemudian, saat makan malam, ia memutuskan untuk tak menyebutkan sosok bayangan itu pada orang tuanya. Bagaimanapun mereka tak akan pernah percaya. 
Sebaliknya, Hana mengatakan kepada mereka tentang keluarga baru yang pindah disebelah. 
"Hah? Seseorang pindah ke rumah Dodsons '?" Pak Fairchild meletakkan garpu dan pisaunya, dan menatap ke seberang meja pada Hannah dari belakang bingkai persegi kacamata bergagang tanduknya. 
"Ada anak seumuranku," lapor Hannah. "Namanya Danny. Dia berambut oranye terang dan bintik-bintik." 
"Itu bagus," jawab Bu Fairchild dengan bingung, memberi isyarat pada si kembar untuk menghentikan mendorong satu sama lain dan memakan makan malam mereka.
Hannah bahkan tak yakin ibunya mendengarnya. 
"Bagaimana mereka pindah tanpa kita melihatnya?" tanya Hannah pada ayahnya. "Apakah kau melihat satu truk pindahan atau apa?" 
"Huh-eh," gumam Bu Fairchild, mengangkat alat makannya dan kembali ke ayam panggangnya. 
"Yaah, bukankah itu aneh?" tuntut Hannah. 
Tapi sebelum salah satu orangtuanya bisa menjawab, kursi Herb terguling ke belakang. Kepalanya membentur linoleum (pelapis lantai), dan dia mulai melolong. 
Ibunya dan ayah melompat dari kursi mereka dan membungkuk untuk membantunya. 
"Aku tak mendorongnya!" teriak Bill nyaring. "Sungguh, aku tidak!" 
Frustrasi bahwa orangtuanya tak tertarik pada berita besarnya, Hannah membawa piringnya ke dapur. Lalu ia menggeluyur ke kamar tidurnya. Berjalan ke mejanya, dia menyingkap tirai dan mengintip keluar jendela. 
Danny, kau di sana? dia bertanya-tanya, menatap tirai yang menutupi jendela yang gelap. Apa yang kau lakukan sekarang? 
***
Hari-hari musim panas tampak mengapung. Hannah hampir tak ingat bagaimana ia melewatkan waktu.
Seandainya satu temanku di sekitar sini, pikirnya sedih. 
Seandainya satu temanku mau menulis.
Musim panas yang benar-benar sepi...
Dia mencari-cari Danny, tapi dia tak pernah tampak berada di sekitar. Ketika Hannah akhirnya melihat Danny di halaman belakang rumahnya di akhir suatu sore, Hannah bergegas untuk berbicara dengannya. 
"Hai!" teriak Hannah dengan antusias.
Danny sedang melempar bola tenis ke bagian belakang rumah dan menangkapnya. Bola itu membuat suara keras setiap kali menabrak dinding kayu merah itu. 
"Hai!" Hannah berteriak lagi, berlari-lari melewati rerumputan. 
Danny berbalik, kaget. "Oh. Hai. Bagaimana kabarmu?" Dia berputar ke rumah dan melempar bola. 
Dia memakai kaus biru di atas celana pendek longgar bergaris hitam dan kuning. Hannah melangkah di sampingnya. 
Duk. Bola itu membentur dinding tepat di bawah selokan dan memantul ke tangan Danny. 
"Aku tak melihatmu di sekeliling," kata Hannah dengan canggung. 
"He-eh," adalah jawaban singkatnya. 
Duk. 
"Aku melihatmu di belakang kantor pos," kata Hannah tanpa berpikir. 
"Hah?" Danny memutar-mutar bola di tangannya, tapi tak melemparnya. 
"Beberapa hari yang lalu, aku melihatmu di gang. Dengan kedua orang itu. Pak Chesney benar-benar brengsek, bukan?" kata Hannah. 
Danny tertawa terkekeh-kekeh. "Saat dia berteriak, seluruh kepalanya berubah jadi merah terang. Sama seperti tomat." 
"Tomat busuk," tambah Hannah
"Apa masalahnya, sih?" tanya Danny, melempar bola. Duk. "Teman-temanku dan aku - Kami tak melakukan apa-apa. Cuma nongkrong." 
"Dia pikir dia orang penting," jawab Hannah. "Dia selalu menyombongkan diri bagaimana dia itu seorang petugas federal." 
"Ya." 
"Apa yang kau lakukan musim panas ini?" tanya Hannah. "Hanya berkeliaran seperti aku?" 
"Semacam itu," kata Danny. Duk. Dia meleset menangkap bola dan harus mengejarnya ke garasi. 
Saat ia berjalan kembali ke rumah, dia menatap Hannah, seakan-akan melihatnya untuk pertama kalinya, Hannah tiba-tiba merasa sadar. Dia mengenakan atasan kuning dengan noda selai anggur di bagian depan, dan celana pendek ratty-nya katun biru.
"Mereka dua orang, Alan dan Fred - mereka itu teman-teman nonkrongku biasanya" kata Danny padanya. "Teman-teman dari sekolah." 
Duk. 
Bagaimana dia bisa punya teman-teman dari sekolah? Hannah bertanya-tanya. Bukankah dia baru saja pindah ke sini? 
"Ke sekolah mana kau pergi?" tanya Hannah, mengelak keluar dari jalan saat ia mundur untuk menangkap bola.
"SMP Maple Avenue," jawabnya. 
Duk. 
"Hei - itu (sekolah) kemana aku pergi!" Hannah seru. 
Bagaimana bisa aku tak pernah melihatnya di sana? dia bertanya-tanya. 
"Apakah kau kenal Alan Miller?" tanya Danny, berpaling padanya, melindungi matanya dengan satu tangan dari matahari sore. 
Hannah menggeleng. "Tidak" 
"Fred Drake?" tanya Danny. 
"Tidak," jawab Hannah. "Kau kelas berapa?" 
"Aku akan berada di kelas delapan tahun ini," katanya, berbalik kembali ke dinding. 
Duk. 
"Aku juga!" Hannah dinyatakan. "Apa kau kenal Pace Janey?" 
"Tidak" 
"Bagaimana dengan Josh Goodman?" tanya Hannah. 
Danny menggeleng. "Tak kenal dia."
"Aneh," kata Hannah, berpikir keras. 
Danny melemparkan bola tenis agak terlalu keras, dan mendarat di atap sirap abu-abu yang miring. Mereka berdua menyaksikan bola itu terbentur, lalu berputar ke dalam pancuran atap. Danny mendesah dan menatap pancuran atap itu, dengan wajah jijik. 
"Bagaimana kita bisa berada dalam kelas yang sama dan tak tahu beberapa anak-anak yang sama?" tuntut Hannah. 
Danny berpaling padanya, menggaruk rambut merahnya dengan satu tangan. "Aku tak tahu." 
"Betapa aneh!" ulang Hannah. 
Danny melangkah ke dalam bayangan biru rumah. Hannah memicingkan mata dengan  tajam. Danny tampak menghilang dalam persegi panjang luas bayangan. 
Itu tak mungkin! pikirnya. 
Aku pasti melihatnya di sekolah. 
Jika kami berada di kelas yang sama, tak ada cara aku bisa tak menjumpainya. 
Apakah dia berbohong? Apakah dia mengarang ini semua? 
Danny sudah sepenuhnya menghilang dalam bayangan. Hannah memicingkan mata tajam, menunggu matanya untuk menyesuaikan. 
Dimana dia? Tanya Hannah pada dirinya sendiri. 
Dia terus menghilang. 
Seperti hantu. 
Hantu. Kata itu muncul keluar masuk dari pikirannya. 
Saat Danny kembali ke tampak, ia menarik sebuah tangga aluminium panjang di dinding belakang rumah. 
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Hannah, bergerak mendekat. 
"Mengambil bolaku," jawabnya, dan mulai memanjat tangga, (sepatu) Nike putihnya tergantung di atas anak tangga logam sempit. 
Hannah mendekat. "Jangan naik ke sana," katanya, tiba-tiba dicekam perasaan dingin. 
"Hah?" Danny berseru. Dia sudah setengah jalan menaiki tangga, kepalanya hampir sejajar dengan pancuran atap. 
"Turunlah, Danny." Hannah merasakan gelombang ketaakutan melanda pada dirinya. Perasaan berat di perutnya. 
"Aku seorang pemanjat yang baik," kata Danny, menarik dirinya lebih tinggi. "Aku memanjat segalanya. Ibuku bilang aku harus berada dalam sirkus atau semacamnya.." 
Sebelum Hannah bisa mengatakan apa-apa lagi, ia telah naik dari tangga dan berdiri di atap miring, kakinya terbuka lebar, tangannya membentang tinggi di udara. "Lihat?" 
Hannah tak bisa menghilangkan firasatnya, perasaan sangat takut. "Danny - tolonglah!" 
Mengabaikan teriakan melengking Hannah, Danny membungkuk untuk memungut bola tenis dari pancuran atap. 
Hannah menahan napasnya saat Danny meraih bola. 
Tiba-tiba, Danny kehilangan keseimbangan. Matanya melebar karena terkejut. 
Sepatunya tergelincir pada papan sirap. Tangannya terangkat dengan dramatis seolah-olah mencoba berpegangan pada sesuatu. 
Hannah terkesiap, menatap tak berdaya saat Danny terguling dengan kepala lebih dulu dari atap. 




6. 

Hannah menjerit dan menutup matanya. 
Aku harus mencari pertolongan , pikirnya. 
Jantungnya berdebar, ia memaksakan dirinya untuk membuka matanya, dan mencari Danny di tanah. Tapi dia terkejut, Danny berdiri di depannya, wajahnya menyeringai nakal. 
"Hah?" Hannah terkesiap kaget. "Kau - kau baik-baik saja?"
Danny mengangguk, masih menyeringai.
Dia tak membuat suara, pikir Hannah, menatap tajam ke arahnya. Dia mendarat tanpa suara. 
Hannah meraih bahu Danny. "Kau baik-baik saja?" 
"Ya, aku baik-baik," kata Danny tenang. "Nama tengahku adalah Daredevil. Danny Daredevil Anderson. Itulah yang selalu ibuku katakan." Dia melempar bola dengan santai dari tangan ke tangan. 
"Kau membuatku ketakutan (setengah) mati!" teriak Hannah. Ketakutannya berubah menjadi kemarahan. "Mengapa kau melakukan itu?" 
Danny tertawa. 
"Kau bisa saja terbunuh!" kata Hannah padanya. 
"Tidak akan," jawab Danny dengan tenang. 
Hannah merengut kepadanya, menatap tajam ke mata cokelatnya. "Apakah kau melakukan hal-hal seperti itu sepanjang waktu? Jatuh dari atap cuma untuk menakut-nakuti orang-orang?"
Senyum Danny melebar, tapi dia tak mengatakan apa-apa. Dia berbalik dari Hannah dan melemparkan bola tenis pada rumah. 
Duk.
"Kau jatuh (dengan) kepala lebih dulu," kata Hannah. "Bagaimana kau bisa mendarat dengan kakimu?" 
Danny terkekeh. "Sihir," jawabnya rahasia. 
"Tapi - tapi -!" 
"Hannah Hannah!" Dia berbalik dan melihat ibunya memanggilnya dari beranda belakang. 
"Ada apa?" teriak Hannah. 
Duk. 
"Aku harus pergi keluar selama satu jam. Dapatkah kau datang mengurus Bill dan Herb?" 
Hannah berbalik kembali pada Danny. "Aku harus pergi. Sampai jumpa." 
"Sampai jumpa," jawabnya, mengedipkan wajah bintik-bintiknya yang menyeringai. 
Duk. 
Hannah mendengar suara bola pada dinding redwood saat ia berlari melintasi jalan masuk ke rumahnya. Sekali lagi, ia membayangkan Danny jatuh dari atap.
Bagaimana dia melakukannya? Hannah bertanya-tanya. Bagaimana dia mendarat di kakinya dengan pelan? 
"Aku akan pergi hanya satu jam," kata ibunya, mencari-cari dalam tasnya untuk mencari kunci mobil. "Bagaimana bisa keluar? Malam ini seharusnya berawan dan hujan." 
Laporan cuaca lainnya, pikir Hannah, memutar matanya. 
"Jangan biarkan mereka membunuh satu sama lain, jika kau bisa membantu itu," kata Bu Fairchild, menemukan kunci dan menutup tasnya. 
"Itu Danny," kata Hannah pada ibunya. "Anak baru tetangga sebelah. Apakah kau melihatnya?
"Huh-eh. Maaf." Bu Fairchild bergegas ke pintu. 
"Kau tak melihatnya?" kata Hannah. 
Layar pintu terbanting. 
Bill dan Herb muncul, dan menarik Hannah ke kamar mereka. 
"Ular tangga" tuntut Bill. 
"Ya. Ayo kita main ular tangga!" Herb menirukan. 
Hannah memutar matanya. Dia membenci permainan itu. Permainan itu sangat bodoh. "Oke," dia setuju dengan mendesah. Dia duduk di seberang mereka di atas karpet. 
"Yaaaay!" teriak Bill gembira, membuka papan permainan. "Kau akan bermain?"
"Ya. Aku akan bermain," kata Hannah padanya dengan sedih. 
"Dan kita bisa main curang?" Tanya Bill. 
"Ya. Ayo kita main curang!" desak Herb dengan seringai antusias.
***
Setelah makan malam, si kembar berada di lantai atas, berdebat dengan orang tua mereka siapa dari mereka yang harus mandi terakhir. Mereka berdua membenci mandi dan selalu bertengkar untuk menjadi yang terakhir.
Hannah membantu (membereskan) meja kesayangan, kemudian berjalan ke ruangan baca. Dia sedang berpikir tentang Danny sambil berjalan ke jendela. 
Menyingkirkan tirai, dia menekankan dahinya pada kaca yang dingin dan menatap ke seberang jalan masuk ke rumah Danny. 
Matahari telah turun dibalik pepohonan. Rumah Danny terbalut dalam bayangan-bayangan gelap yang tebal. Jendela-jendela tertutupi oleh tirai-tirai dan kerai-kerai. 
Hannah menyadari bahwa ia tak pernah benar-benar melihat siapa pun di dalam rumah itu. Dia belum pernah melihat Danny masuk ke dalam rumah atau keluar dari rumah itu. Dia belum pernah melihat seorang pun keluar dari rumah itu. 
Hannah melangkah mundur dari jendela, berpikir keras. Dia teringat pagi tadi ia bertemu dengan Danny, setelah ia mengejarnya di halaman belakang. Dia telah berbicara dengannya - dan ia menghilang ke udara tipis.
Hannah berpikir tentang bagaimana Danny tampak menghilang ke bayangan di samping rumahnya, bagaimana dia benar-benar harus menyipitkan mata dengan keras untuk melihatnya. 
Dan Hannah berpikir tentang bagaimana Danny tampak melayang ke tanah, mendarat diam-diam dari atap.
Diam seperti hantu. 
"Hannah, apa yang kaupikirkan?" ia memarahi dirinya sendiri. 
Apakah aku mengarang cerita hantu lainnya? 
Dia tiba-tiba punya begitu banyak pertanyaan berjalan terus di pikirannya: Bagaimana Danny dan keluarganya pindah tanpa dia lihat? Bagaimana bisa Danny berada di sekolahnya, di kelasnya, tanpa dia pernah melihatnya di sana?
Kenapa dia tak kenal teman-teman Danny, dan Danny tak kenal teman-temannya?
Ini semua sangat aneh, pikir Hannah.
Aku tak membayangkan itu semua. Aku tak mengada-ada. 
Bagaimana jika Danny benar-benar hantu? 
Kalau saja ia memiliki seseorang untuk diajak bicara, seseorang untuk berdiskusi tentang Danny. Tapi teman-temannya semua pergi. Dan orangtuanya pasti tak akan pernah bisa mendengarkan ide yang sangat gila itu. 
Aku harus membuktikan sendiri, Hannah memutuskan. Aku akan mempelajarinya. Aku akan ilmiah. Aku akan mengamatinya. Aku akan memata-matainya. 
Ya. Aku akan memata-matainya. 
Aku akan pergi melihat jendela dapurnya, ia memutuskan. 
Dia melangkah keluar ke beranda belakang dan mendorong layar pintu menutup di belakangnya. Malam itu  hangat yang tenang. Bulan pucat tergantung di atas halaman belakang dalam langit biru yang megah. 
Saat Hannah melintas menuju di halaman belakangnya, mengambil langkah-langkah panjang yang cepat, jangkrik-jangkrik mulai mengerik keras. Rumah Danny menjulang di depannya, rendah dan gelap terhadap langit. 
Tangga itu masih tersandar di dinding belakang. 
Hannah melintasi jalan yang memisahkan halaman rumahnya dari rumah Danny. Jantungnya berdebar-debar kencang, dia bergerak pelan di rumput dan menaiki tiga anak tangga pondasi beton rendah beranda belakang. Pintu dapur itu tertutup.
Dia melangkah ke pintu, menekankan wajahnya dekat dengan jendela, mengintip ke dapur - dan terkesiap. 





7. 

Hannah terkesiap karena Danny sedang menatap ke arahnya dari sisi lain dari jendela. 
"Oh!" Hannah berteriak dan hampir terguling mundur dari beranda sempit itu. 
Di dalam rumah, mata Danny terbuka lebar karena terkejut. 
Di belakangnya, Hannah bisa melihat satu set meja dengan piring kuning cerah. Seorang wanita tinggi dan ramping, berambut pirang - kemungkinan besar ibu Danny - sedang menarik sesuatu keluar dari oven microwave ke meja. 
(microwave oven : alat masak yang memiliki fungsi untuk menghangatkan makanan beku atau makanan instan,  dan untuk membuat popcorn)
Pintu terbuka. Danny menjulurkan kepalanya, ekspresinya masih heran. "Hai, Hannah. Ada apa?" 
"Tak ada apa-apa - eh -. Tak ada apa-apa, sungguh," Hannah tergagap. Dia bisa merasakan pipinya menjadi panas, dan tahu bahwa dia tersipu-sipu. 
Mata Danny menyala-nyala padanya. Mulutnya jadi menyeringai. "Nah, apakah kau ingin masuk atau apa?" dia bertanya. "Ibuku menyiapkan makan malam, tapi -" 
"Tidak!" teriak Hannah, terlalu keras. "Aku tidak - maksudku - aku -" 
Aku bertindak seperti orang yang benar-benar brengsek! Hannah menyadarinya. 
Hannah menelan ludah, menatap wajah menyeringai Danny. 
Dia menertawakanku! 
"Sampai jumpa!" teriak Hannah, lalu melompat dari beranda dengan canggung, hampir tersandung ke tanah. Tanpa melihat ke belakang, ia pergi, berlari dengan kecepatan penuh kembali ke rumahnya. 
Aku belum pernah sebegitu malu sepanjang hidupku! pikir Hannah sedih.
Tak pernah! 
***
Saat dia melihat Danny keluar dari rumahnya sore berikutnya, Hannah bersembunyi di balik garasi. Melihatnya menjalankan sepedanya menyusuri jalan masuk itu, ia merasa pipinya jadi panas, merasa malu lagi. 
Kalau aku akan jadi mata-mata, aku harus lebih tenang, katanya pada diri sendiri. Tadi malam, aku kehilangan itu. Aku panik. 
Itu tak akan terjadi lagi. 
Dia melihat Danny menaiki sepedanya dan, berdiri, (mengayuh) pedal ke jalan. Menempel di dinding garasi, Hannah menunggu untuk melihat ke arah mana Danny berputar. Lalu Hannah bergegas ke garasi untuk mengambil sepedanya.
Dia menuju kota, Hannah lihat. Mungkin menemui dua anak laki-laki itu. Aku akan membiarkannya mulai maju dulu, lalu aku akan mengikutinya.
Hannah menunggu di kaki jalan, mengangkangi sepeda, melihat Danny sampai ia menghilang ke blok berikutnya. 
Sinar matahari tersaring melalui pepohonan yang menjorok saat Hannah mulai mengayuh, menjaga kecepatan pelan yang mantap saat dia mengendarai (sepeda) mengejar Danny. Bu Quilty keluar menyiangi kebunnya seperti biasa. Kali ini, Hannah tak repot-repot mengucapkan halo. 
Seekor anjing terrier putih kecil mengejarnya selama setengah blok, menyalak keras dengan gembira, lalu akhirnya menyerah saat Hannah mengayuh menjauh. 
Lapangan bermain sekolah muncul. Beberapa anak-anak bermain kasti di sudut lapangan. Hannah mencari-cari Danny, tapi ia tak ada. 
Dia terus ke kota. Matahari terasa hangat di wajahnya. Dia tiba-tiba ingat Janey. Mungkin aku akan mendapatkan suratnya dari hari ini, pikirnya. 
Dia berharap Janey ada di situ untuk membantu memata-matai Danny. Mereka berdua akan menjadi tim mata-mata yang hebat, Hannah tahu. Dia tak akan kehilangan ketenangan seperti yang dia (alami) tadi malam jika Janey ada di situ. 
Alun-alun kota kelihatan. Bendera di atas kantor pos kecil putih berkibar di antara angin sepoi-sepoi yang hangat. Beberapa mobil diparkir di depan toko bahan pangan itu. Dua wanita yang memegang tas belanjaan sedang berbicara di pinggir jalan. 
Hannah mengerem sepedanya dan menurunkan kakinya ke tanah. Dia melindungi matanya dari sinar matahari dengan satu tangan dan mencari-cari Danny. 
Danny, di mana kau? pikirnya. Apa kau dengan teman-temanmu? Ke mana kau pergi? 
Dia mengayuh melintasi alun-alun kecil yang penuh rumput itu menuju kantor pos.
Sepedanya menjendul di atas trotoar dan dia terus berjalan, mengitari sisi bangunan menuju ke gang itu. 
Tapi gang itu sepi dan kosong. 
"Danny, kau di mana?" panggilnya keras-keras dengan irama datar yang tenang. "Kau dimana?" 
Dia hanya satu blok di depanku, pikirnya, menggaruk-garuk rambutnya yang pendek. Apakah dia menghilang ke udara tipis lagi? 
Dia bersepeda kembali ke alun-alun, lalu memeriksa di luar Harder's Ice-Cream dan restoran. 
Tak ada tanda darinya. 
"Hannah, kau mata-mata yang hebat!" dia tertawa. 
Sambil mendesah kalah, ia berbalik dan berjalan pulang. 
Dia hampir sampai ke rumahnya saat ia melihat bayangan yang bergerak. 
Bayangan itu kembali! ia menyadari. 
Dia memindahkan gigi persneling dan mulai mengayuh lebih keras. 
Dari sudut matanya, ia melihat bayangan itu meluncur di halaman depan Bu Quilty itu. 
Sosok gelap itu melayang diam di atas rerumputan ke arahnya. 
Hannah mengayuh lebih keras. 
Bayangan itu kembali. Aku tak membayangkan hal ini. 
Ini nyata. 
Tapi bagaimana bisa? 
Berdiri, ia mengayuh lebih keras. Lebih keras. 
Tetapi sosok itu meluncur bersama dengannya, menambah kecepatan, mengambang dengan mudah. 
Hannah berbalik dan melihat lengan-lengan bayangan itu menjulur ke arahnya. 
Dia terkesiap ketakutan. 
Kakinya tiba-tiba terasa seolah-olah seberat seribu pound. 
Aku - aku tak bisa bergerak! pikirnya.
Bayangan itu melandanya. Dia bisa merasakan dingin yang tiba-tiba. 
Lengan-lengan hitam seperti tongkat terulur padanya dari bayangan berbentuk manusia itu. 
Wajahnya - mengapa aku tak bisa melihat wajahnya? Hannah bertanya-tanya, berusaha untuk terus bergerak
Bayangan itu menghalangi terangnya matahari. Seluruh dunia menghitam di bawahnya.
Aku harus terus bergerak. Harus bergerak, Hannah berkata pada dirinya sendiri. 
Sosok gelap itu melayang di sampingnya, lengan-lengannya terentang. 
Ternganga ketakutan, Hannah melihat mata-mata merah terang itu bersinar seperti bara api dari kegelapan. 
"Hannah..." bisik bayangan itu. "Hannah..." 
Apa yang ia inginkan dariku? 
Dia berjuang untuk tetap mengayuh, tapi kakinya tak mau bekerja sama. 
"Hannah... Hannah..." 
Bisikan kering seperti mengepungnya, membelitnya dengan ketakutan.
"Hannah..." 
"Tidak!" jerit Hannah saat dia merasa dirinya mulai bergerak ke udara. 
Dia berjuang untuk menjaga keseimbangannya. 
Terlambat. 
Dia jatuh. Dia tak bisa menghentikan dirinya. 
"Hannah... Hannah..." 
Dia mengulurkan tangannya untuk menahan jatuhnya. 
"Oooh!" 
Dia tersentak kesakitan saat ia mendarat keras di atas pinggangnya.
Sepeda itu jatuh di atas tubuhnya. 
Sosok bayangan itu, matanya merah bersinar, bergerak untuk menangkapnya. 
"Hannah Hannah!" 




8. 

"Hannah! Hannah!" 
Bisikan itu yang menjadi teriakan. 
"Hannah!" 
Pinggang Hannah terasa sakit berdenyut-denyut. Dia berusaha menarik napas. 
"Apa yang kau inginkan?" ia berhasil berteriak. "Tinggalkan aku sendirian. Tolonglah!" 
"Hannah! Ini aku!" 
Dia mengangkat kepalanya untuk melihat Danny berdiri di atasnya. Dia mengangkangi sepedanya, memegang setang, menatap dirinya, wajahnya penuh perhatian. "Hannah - apa kau baik-baik saja?" 
"Bayangan itu-!" teriaknya, merasa bingung. 
Danny menurunkan sepedanya ke rerumputan dan bergegas. Dia mengangkat sepeda Hannah dari Hannah dan meletakkannya di samping sepedanya. Lalu ia meraih tangan Hannah. "Apa kau baik-baik saja? Kau bisa berdiri? Aku melihatmu terjatuh. Apa kau menabrak batu atau sesuatu?" 
"Tidak" Hannah menggelengkan kepala, mencoba untuk menjernihkannya. "Bayangan itu - dia meraihku dan -"
Ekspresi Danny berubah jadi kebingungan. "Hah? Siapa yang meraihmu?" 
Matanya mencari-cari di sekeliling, lalu kembali pada Hannah. 
"Dia tahu namaku," kata Hannah terengah-engah. "Dia terus memanggilku. Dia mengikutiku." 
Danny mengamatinya, mengerutkan kening. "Apa kepalamu terbentur? Apa kau merasa pusing, Hannah? Mungkin aku harus pergi mencari pertolongan."
"Tidak... Aku... Eh..." Hannah menatap ke arah Danny. "Apa kau tak melihatnya? Dia berpakaian hitam. Matanya sangat merah -" 
Danny menggeleng, matanya masih mengamatinya dengan waspada. "Aku hanya melihatmu," katanya pelan. "Kau bersepeda sangat cepat. Di atas rerumputan. Aku melihatmu terjatuh."
"Kau tak melihat seseorang yang berpakaian hitam? Seorang pria? Sedang mengejarku?" 
Danny menggeleng. "Tak ada orang lain di jalan, Hannah. Cuma aku." 
"Mungkin kepalaku memang terbentur," gumam Hannah, mengangkat tangannya ke rambut pendeknya.
Danny mengulurkan tangan. "Bisakah kau berdiri? Apakah kau terluka?" 
"Aku - kukira aku bisa berdiri." Ia membiarkan Danny untuk menariknya berdiri. 
Jantungnya masih berdebar-debar. Seluruh tubuhnya terasa gemetar. Menyipitkan matanya, ia mencari-cari di halaman-halaman depan, matanya berlama-lama di lingkaran-lingkaran lebar bayangan pohon-pohon tua di lingkungan itu. 
Tak seorang pun yang terlihat. 
"Kau benar-benar tak melihat siapa pun?" tanya Hannah dengan suara kecil. 
Danny menggelengkan kepalanya. "Cuma kau. Aku melihatmu dari sana." Dia menunjuk ke pinggir jalan. 
"Tapi kupikir..." Suaranya menghilang. Dia bisa merasakan wajahnya jadi merah. 
Ini memalukan, pikir Hannah. Dia akan berpikir aku benar-benar gila. 
Lalu Hannah berpikir, mungkin aku gila!
"Kau pergi begitu cepat," kata Danny, mengambil sepeda Hannah untuknya, "Dan ada begitu banyak bayangan-bayangan dari semua pepohonan. Dan kau ketakutan. Jadi mungkin kau membayangkan seorang pria berpakaian hitam." 
"Mungkin," jawab Hannah pelan. 
Tapi dia tak berpikir begitu. . . . 
***
Awan-awan putih melayang tinggi di atas matahari di sore berikutnya saat Hannah berlari-lari kecil di jalan masuk ke kotak surat. Di suatu tempat dalam blok, seekor anjing menggonggong. 
Dia menarik ke bawah tutup (kotak surat) dan dengan bersemangat merogoh ke dalam. 
Tangannya meluncur ke logam kosong itu. 
Tak ada surat. Tak ada. 
Sambil mendesah kecewa, dia membanting penutup kotak surat itu tertutup. Janey telah berjanji untuk menulis setiap hari. Dia telah pergi selama berminggu-minggu, dan Hannah masih belum menerima bahkan satu kartu pos pun. 
Tak satu pun dari teman-temannya yang menulis surat kepadanya. 
Saat dia berjalan tertatih-tatih kembali jalan masuk, Hannah melirik rumah Danny. Awan-awan putih itu tercermin di kaca jendela ruang tamu yang besar. 
Hannah bertanya-tanya apakah Danny di rumah. Dia tak melihatnya sejak kemarin pagi setelah jatuh dari sepedanya. 
Memata-mataiku tak berjalan terlalu baik, ia mendesah. 
Melirik lagi jendela depan rumah Danny, Hannah kembali menuju jalanan ke rumah. 
Aku akan menulis ke Janey lagi, ia memutuskan. Aku harus menceritakan tentang Danny, sosok bayangan yang  menakutkan dan hal-hal aneh yang telah terjadi. 
Dia bisa mendengar si kembar di ruang baca, berdebat keras tentang yang rekaman kartun yang ingin mereka lihat. Ibunya menyarankan mereka pergi ke luar sebagai gantinya. 
Hannah bergegas ke kamarnya untuk mengambil kertas dan pena. Ruangan terasa panas dan pengap. Dia melemparkan tumpukan pakaian kotor ke mejanya. Dia memutuskan untuk menulis surat pada Janey di luar. 
Beberapa saat kemudian, ia duduk di bawah pohon maple yang lebar di tengah halaman depan. Satu lapisan awan tinggi bergulung di atas langit. Matahari berusaha keluar dari cahaya putih yang menyilaukan itu. Pohon tua yang rindang itu melindunginya dalam naungan yang menyenangkan. 
Hannah menguap. Dia tak tidur nyenyak di malam sebelumnya. Mungkin aku akan tidur sebentar, pikirnya. Tapi pertama-tama, aku harus menulis surat ini. 
Bersandar pada yang batang padat itu, dia mulai menulis. 

Janey sayang, 
Bagaimana kabarmu? Aku dengan serius berharap kau jatuh di danau dan tenggelam. Itu akan menjadi satu-satunya alasan baik untuk tak menulis kepadaku sepanjang waktu ini! 
Bagaimana bisa kau MENINGGALKAN aku di sini seperti ini? Musim panas berikutnya, dengan satu cara atau yang lain, aku akan ke perkemahan denganmu.
Hal-hal yang pasti ANEH terjadi di sini. Apa kau ingat yang kukatakan tentang anak tetangga sebelah yang (baru) pindah? Namanya Danny Anderson, dan dia lumayan ganteng. Dia berambut merah, berbintik-bintik dan bermata cokelat SERIUS. 
Nah jangan tertawa, Janey - tapi kupikir Danny adalah HANTU! 
Aku bisa mendengarmu tertawa. Tapi aku tak peduli. Pada saat kau kembali ke Greenwood Falls, aku akan punya BUKTI. 
Tolong - jangan bilang pada gadis-gadis lain sekamarmu bahwa teman baikmu telah benar-benar panik sampai kau membaca sisa surat ini. Berikut ini adalah bukti-buktiku sejauh ini: 
1. Danny dan keluarganya tiba-tiba muncul di sebelah rumah. Aku tak melihat mereka pindah, meskipun aku ada di rumah setiap hari. Begitu pula orang tuaku. 
2. Danny mengatakan ia pergi ke (sekolah) Maple Avenue, dan dia bilang dia di kelas delapan seperti kita. Tapi kenapa kita tak pernah melihatnya? Dia nongkrong dengan dua orang yang belum pernah kulihat sebelumnya. Dan ia tak kenal satu pun teman-temanku.
3. Kadang-kadang ia menghilang - wuuss - begitu saja. Jangan tertawa! Dan sekali waktu ia jatuh dari atap dan mendarat di atas kakinya - tanpa membuat suatu SUARA! Aku SERIUS, Janey. 
4. Kemarin, aku dikejar-kejar oleh bayangan menakutkan, dan aku jatuh dari sepedaku. Dan saat aku mendongak, bayangan itu lenyap, dan Danny berdiri di tempatnya. Dan - 
Uh-oh. Hal ini mulai terdengar benar-benar gila. Aku berharap kau ada di sini agar aku bisa menjelaskannya lebih baik. Semuanya terdengar begitu BODOH dalam surat. Seolah-olah aku benar-benar KACAU. 
Aku tahu kau menertawakanku. Nah, silakan. 
Mungkin aku tak akan mengirimkan surat ini. Maksudku, aku tak ingin kau membuat lelucon-lelucon , atau mengingatkanku akan hal ini selama sisa hidupku. 
Jadi, cukup tentang aku. 
Bagaimana kabarnya di luar sana di hutan? Kuharap kau digigit ular dan seluruh tubuhmu membengkak, dan itulah mengapa aku belum mendengar (kabar) darimu. 
Kalau tidak, aku akan MEMBUNUHMU saat kau kembali! Sungguh! 

TULISLAH (surat)! 
Dengan Cinta, 
Hannah. 

Dengan menguap keras, Hannah menjatuhkan pena ke tanah. Dia bersandar pada batang pohon dan perlahan-lahan membaca surat itu. 
Apakah ini terlalu gila untuk dikirim? dia bertanya-tanya. 
Tidak, aku harus mengirimnya. Aku harus memberitahu seseorang apa yang terjadi di sini. Ini semua terlalu aneh untuk kusimpan sendiri. 
Matahari akhirnya berhasil menembus awaN-awan. Daun-daun pohon di atas kepalanya menangkap bayangan-bayangan yang bergerak melintas di atas surat itu dalam pangkuannya.
Dia melirik ke dalam sinar matahari yan cerah - dan terkesiap, terkejut melihat wajah yang menatap ke arahnya. 
"Danny -!" 
"Hai, Hannah," katanya pelan. 
Hannah memicingkan mata padanya. Seluruh tubuhnya dikelilingi oleh sinar matahari yang cerah. Dia tampak berkilauan dalam cahaya. 
"Aku - aku tak melihatmu," Hannah tergagap. "Aku tak tahu kau ada di sini. Aku -" 
"Berikan aku surat itu, Hannah," kata Danny lembut tapi tegas. Dia mengulurkan tangan untuk itu. 
"Hah? Apa yang kaukatakan?" 
"Berikan surat itu kepadaku," tuntut Danny, dengan sungguh-sungguh. "Berikan padaku sekarang, Hannah." 
Hannah mencengkeram erat surat itu dan menatap ke arah Danny. Dia harus melindungi matanya. Matahari cerah seolah bersinar menembus tubuh Danny.
Danny berdiri di atas Hannah, tangannya terulur. "Surat itu. Berikan padaku," tegasnya. 
"Tapi - kenapa?" tanya Hannah dengan suara kecil. 
"Aku tak bisa membiarkanmu mengirimkannya," kata Danny padanya. 
"Kenapa, Danny? Ini suratku. Mengapa aku tak bisa mengirimkannya kepada temanku?" 
"Karena kau menemukan kebenaran tentang diriku," kata Danny. "Dan aku tak mungkin akan membiarkanmu memberitahu siapa pun." 




9. 

"Jadi, aku benar," kata Hannah pelan. "Kau hantu." 
Dia bergidik, gelombang ketakutan yang dingin menerpanya. 
Kapan kau meninggal, Danny? 
Mengapa kau di sini? Untuk menghantuiku? 
Apa yang akan kaulakukan padaku? 
Pertanyaan-pertanyaan itu berpacu di benaknya. Pertanyaan-pertanyaan yang menakutkan . 
"Berikan aku surat itu, Hannah," desak Danny. "Tak ada seorang pun yang akan membacanya. Tak ada yang akan bisa tahu." 
"Tapi, Danny -" Hannah menatap ke arahnya. Menatap hantu. 
Sinar matahari keemasan tertuang melalui Danny. Dia berpendar keluar masuk dari pandangan. 
Hannah mengangkat tangan untuk melindungi matanya. 
Danny menjadi terlalu terang, terlalu terang untuk dilihat. 
"Apa yang akan kaulakukan padaku, Danny?" tanya Hannah, menutup matanya erat-erat. "Apa yang akan kaulakukan padaku sekarang?" 
Ia tak menjawab. 
Saat Hannah membuka matanya, ia menatap dua wajah bukan satu. 
Dua wajah nyengir. 
Saudara kembarnya menunjuk padanya dan tertawa. 
"Kau tertidur," kata Bill. 
"Kau mendengkur," kata Herb nya. 
"Hah?" Hannah berkedip beberapa kali, mencoba menjernihkan pikirannya. Lehernya terasa kaku. Punggungnya sakit. 
"Begini caramu mendengkur," kata Herb. Dia melakukan suara-suara sedotan mengerikan. 
Kedua anak laki-laki jatuh ke rumput, tertawa-tawa. Mereka berguling ke arah satu sama lain dan memulai pertandingan gulat dadakan. 
"Aku bermimpi buruk," kata Hannah, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada saudara-saudaranya. Mereka tak mendengarkannya. 
Dia bangkit berdiri dan meregangkan kedua lengannya ke atas kepalanya, mencoba untuk meregangkan leher kakunya. 
"Aduh." 
Tertidur duduk pada batang pohon adalah ide yang buruk. 
Hannah menatap ke rumah Danny. Mimpi itu begitu nyata, pikirnya, merasakan udara dingin ke punggungnya. Begitu menakutkan. 
"Trim's untuk membangunkan aku," katanya kepada si kembar.
Mereka tak mendengarkannya. Mereka berlomba lari menuju halaman belakang. 
Hannah membungkuk dan mengambil surat itu. Dia melipatnya jadi dua dan berjalan ke atas halaman menuju pintu depan. 
Kadang-kadang mimpi mengatakan kebenaran, pikirnya, bahunya masih sakit. Kadang-kadang mimpi memberitahukanmu hal-hal yang tak bisa kau ketahui dengan cara lain. 
Aku akan mencari tahu kebenaran tentang Danny, dia bersumpah. 
Aku akan menemukan kebenaran meskipun itu akan membunuhku. 
***
Malam berikutnya, Hannah memutuskan untuk melihat apakah Danny di rumah. Mungkin ia senang berjalan-jalan ke toko Hard's dan mendapatkan es krim kerucut, pikirnya. 
Dia berkata kepada ibunya kemana dia akan pergi dan berjalan melintasi halaman belakang. 
Hujan turun sepanjang hari. Rumput basah berkilauan, dan tanah di bawah sepatunya lunak dan berair. Bulan  pucat berbentuk sabit naik di atas gumpalan-gumpalan awan hitam. Udara malam terasa geli dan basah. 
Hannah menyeberangi jalan masuk, lalu ragu-ragu beberapa meter dari beranda belakang Danny. Suatu cahaya kuning redup persegi keluar melalui jendela di pintu belakang.
Dia ingat berdiri di pintu ini beberapa malam sebelumnya dan menjadi benar-benar malu saat Danny membuka pintu dan dia tak bisa memikirkan satu hal pun untuk dikatakan. 
Setidaknya kali ini aku tahu apa yang akan kukatakan, pikirnya. 
Mengambil napas dalam-dalam, Hannah melangkah ke cahaya persegi itu di beranda. Dia mengetuk jendela pintu dapur. 
Dia mendengarkan. Rumah itu sunyi. 
Dia mengetuk lagi. 
Sunyi. Tak ada langkah-langkah kaki untuk membuka pintu. 
Dia mencondongkan tubuh ke depan dan mengintip ke dapur. 
"Oh!" Hannah berteriak kaget. 
Ibu Danny duduk di meja dapur kuning, punggungnya menghadap ke Hannah, rambutnya bersinar dalam lampu dari suatu peralatan langit-langit yang rendah. Kedua tangannya memegang cangkir kopi panas berwarna putih.
Kenapa dia tak membuka pintu? Hannah bertanya-tanya. 
Dia ragu-ragu, lalu mengangkat kepalan tangannya dan mengetuk pintu keras-keras. Beberapa kali. 
Melalui jendela, dia bisa melihat bahwa ibu Danny tak bereaksi sama sekali pada ketukan itu. Dia mengangkat cangkir putih ke bibirnya dan meneguk dengan lama, memunggungi Hannah.
"Buka pintu!" teriak Hannah keras. 
Dia mengetuk lagi. Dan memanggil: "Nyonya Anderson! Nyonya Anderson! Ini aku - Hannah tetangga sebelah!" 
Di bawah lampu kerucut itu, ibu Danny mengatur cangkir putih di atas meja kuning. Dia tak berbalik. Dia tak beranjak dari kursinya. 
"Nyonya Anderson -!" 
Hannah mengangkat tangannya untuk mengetuk, lalu menurunkannya kalah.
Kenapa dia tak mendengarku? Hannah bertanya-tanya, menatap bahu ramping wanita itu, rambutnya yang berkilau turun melewati kerah bajunya.
Mengapa dia tak mau datang ke pintu?
Dan kemudian Hannah menggigil ketakutan saat dia menjawab pertanyaan-pertanyaannya sendiri, 
Aku tahu mengapa dia tak mendengarku, pikir Hannah, mundur dari jendela. 
Aku tahu mengapa dia tak membuka pintu. 
Menguasai ketakutan, Hannah mengeluarkan erangan rendah dan mundur dari cahaya itu, dari beranda, ke dalam kegelapan yang aman. 




10. 

Dengan seluruh (tubuh) gemetaran, Hannah memeluk dadanya, seolah-olah melindungi dirinya dari pikiran-pikiran menakutkan itu. 
Nyonya Anderson tak mendengarku karena dia tak nyata, Hannah menyadari. 
Dia tak nyata. Dia hantu. 
Seperti Danny. 
Satu keluarga hantu telah pindah (jadi) tetanggaku. 
Dan di sinilah aku, berdiri di halaman belakang yang gelap ini, mencoba untuk memata-matai seorang anak yang bahkan tak hidup! Aku di sini, dengan seluruh tubuh gemetaran, kedinginan dengan rasa takut, berusaha membuktikan apa yang sudah kuyakini. Dia hantu. Ibunya hantu.
Dan aku - aku - 
Lampu dapur padam. Bagian belakang rumah Danny sekarang benar-benar gelap. 
Cahaya pucat dari bulan sabit mengalir turun ke rumput basah yang berkilauan. Hannah berdiri, mendengarkan kesunyian itu, mencoba untuk melenyapkan pikiran-pikiran menakutkan yang penuh sesak dalam pikirannya sampai merasa seolah-olah kepalanya hendak meledak. 
Dimana Danny? dia bertanya-tanya. 
Menyeberangi jalan masuk, ia kembali ke rumahnya. Dia bisa mendengar musik dan suara-suara dari TV di ruang baca. Dia bisa mendengar tawa si kembar mengambang keluar dari jendela lantai atas kamar mereka. 
Hantu, pikirnya, menatap jendela-jendela bercahaya itu, seperti mata-mata yang bersinar terang ke arahnya.
Hantu. 
Aku tak percaya hantu! 
Pikiran itu membantunya membuat rasa takutnya sedikit berkurang. Dia tiba-tiba menyadari tenggorokannya kering. Udara malam terasa panas dan lengket di kulitnya.
Dia memikirkan es krim lagi. Pergi ke Harder's dan mendapatkan sendok ganda es krim sepertinya ide yang bagus. Kue-kue dan krim, Hannah pikir. Dia sudah bisa merasakannya. 
Dia bergegas ke rumah untuk memberitahu orangtuanya bahwa ia jalan-jalan ke kota. Di ambang pintu ruang baca berpapan gelap, ia berhenti. Orangtuanya, bermandikan cahaya dari layar TV, berpaling padanya penuh harap. 
"Ada apa, Hannah?" 
Dia tiba-tiba terdorong untuk menceritakan semuanya. Dan ia melakukannya. 
"Orang-orang tetangga sebelah, mereka tak hidup," semburnya keluar. "Mereka hantu. Kalian tahu Danny, anak laki-laki usiaku? Dia hantu. Aku tahu dia hantu. Dan ibunya -..!" 
"Hannah, tolonglah - kami mencoba untuk menonton," kata ayahnya, sambil menunjuk ke TV dengan kaleng Diet Coke di tangannya. 
Mereka tak percaya padaku, pikirnya.
Dan lalu dia memarahi dirinya sendiri: Tentu saja mereka tak percaya padaku. Siapa yang akan percaya cerita yang benar-benar gila itu? 
Di kamarnya, ia mengambil selembar uang lima dolar dari dompet dan memasukkannya ke saku celana pendeknya. Lalu ia menyisir rambutnya, mengamati wajahnya di cermin. 
Aku tampak oke, pikirnya. Aku tak terlihat seperti orang gila. 
Rambutnya lembab karena udara malam yang basah. Mungkin aku akan membiarkannya panjang, pikirnya, mengamati rambutnya jatuh ke bentuk tertentu di sekitar wajahnya. Aku harus punya sesuatu untuk ditunjukkan untuk musim panas ini! 
Saat ia menuju pintu depan, dia mendengar suara tabrakan dan benturan keras di atas kepalanya di atas. Si kembar pasti bergulat di kamar mereka, ia menyadari, menggelengkan kepalanya. 
Dia melangkah kembali ke dalam kegelapan hangat yang basah, berlari-lari kecil menuruni halaman depan ke trotoar, menuju kota dan Harder's Ice Cream Parlor. 
Lampu jalanan tinggi yang kelihatannya model kuno menuangkan linkaran-lingkaran sinar biru-putih di sepanjang jalan. Pohon-pohon bergetar dalam hembusan angin yang pelan, berdesir di atas trotoar saat Hannah melangkah di bawahnya.
Hantu-hantu di trotoar, pikirnya dengan menggigil. Mereka tampaknya meraih turun padanya dengan lengan-lengan berdaunnya. 
Saat ia mendekati kota, perasaan takut yang aneh melandanya. Dia mempercepat langkahnya saat ia melewati kantor pos, saat jendela-jendela sehitam langit. 
Alun-alun kota itu kosong, ia lihat. Ini bahkan belum jam delapan, dan tak ada mobil-mobil yang melewati kota, tak ada satu pun di jalan. 
"Kota apa ini!" gumamnya lirih. 
Di belakang bank, ia berbalik ke Elm Street. Harder's Ice-Cream Parlor berdiri di tikungan berikutnya, sebuah lampu neon besar es krim berwarna merah di jendelanya, memancarkan cahaya merah ke trotoar. 
Setidaknya Harder's tetap buka setelah gelap, pikir Hannah. 
Saat ia berjalan mendekat, ia bisa melihat kaca pintu depan toko kecil disangga terbuka mengundang. 
Dia berhenti beberapa kaki dari pintu itu. 
Perasaan takut tiba-tiba menjadi kuat. Meskipun malam itu panas, dia merasa benar-benar kedinginan. Lututnya gemetar. 
Apa yang terjadi? dia bertanya-tanya. Mengapa aku merasa begitu aneh? 
Saat ia menatap melalui sinar merah dari neon kerucut itu ke ambang pintu terbuka, mendadak sesosok tubuh keluar. 
Diikuti oleh sosok yang lain. Dan sosok  lainnya. 
Dalam cahaya, mereka lari, wajah mereka penuh ketakutan. 
Menatap heran, ia mengenali Danny di depan, diikuti oleh Alan dan Fred. 
Mereka masing-masing memegang es krim kerucut di depan mereka. 
Mereka lari dari toko itu, membungkuk ke depan seolah-olah berusaha untuk melarikan diri secepat mungkin. Sepatu mereka berdebam di ubin trotoar. 
Hannah mendengar teriakan marah  keras dari dalam toko. 
Tanpa disadari, dia telah bergerak mendekati pintu. 
Dia masih bisa mendengar tiga anak laki-laki itu melarikan diri. Tapi ia tak bisa lagi melihat mereka dalam kegelapan. 
Dia berbalik - dan merasakan sesuatu menghantamnya dengan keras dari belakang.
"Ohh!" Dia menjerit saat ia terlempar dengan hebat ke trotoar keras. 




11. 

Hannah mendarat keras di trotoar di siku dan lututnya. Jatuhnya itu membuatnya sulit bernapas. 
Rasa nyeri yang membakar menembus tubuhnya. 
Apa yang terjadi? 
Apa yang menghantamku? 
Terengah-engah, Hannah mengangkat kepalanya pada waktunya untuk melihat Pak Harder meluncur cepat melewatinya. Dia berteriak sekeras-kerasnya pada anak-anak itu untuk berhenti. 
Hannah perlahan-lahan menarik dirinya untuk berdiri. Wah! pikirnya. Harder benar-benar gila! 
Berdiri tegak, lututnya yang terbuka berdenyut nyeri, hatinya masih berdebar keras, dia melototi pemilik toko. 
Dia bisa setidaknya mengatakan bahwa ia menyesal menjatuhkanku, pikir Hannah marah. 
Hannah membungkuk untuk memeriksa lututnya dalam cahaya dari ruang es krim. Apakah terluka? 
Tidak. Hanya sedikit memar. 
Menyikat-nyikat celana pendeknya, Hannah mendongak dan melihat Pak Harder bergegas kembali ke toko. Dia adalah seorang pria pendek gemuk dengan rambut keriting putih di sekitar wajah merah mudanya yang bulat. Dia mengenakan celemek putih panjang yang berkibar-kibar tertiup angin saat dia berjalan, mengayunkan tinjunya di pinggangnya. 
Hannah merunduk kembali keluar dari cahaya, di balik batang pohon yang lebar. 
Beberapa detik kemudian, dia bisa mendengar Pak Harder kembali di belakang meja, mengeluh keras kepada istrinya. 
"Apa yang salah dengan anak-anak itu?" teriaknya. "Mereka mengambil es krim dan lari tanpa membayar? Apa mereka tak punya orang tua? Apa mereka tak punya siapa-siapa untuk mengajari mereka mana yang benar dari yang salah?" 
Bu Harder menggumamkan sesuatu untuk menenangkan suaminya. Hannah tak bisa mendengar kata-kata itu. 
Dengan teriakan marah Pak Harder yang memenuhi udara, Hannah bergerak pelan keluar dari balik pohon dan bergegas pergi, ke arah anak laki-laki lari tadi.
Mengapa Danny dan teman-temannya melakukan aksi yang sedemikian bodoh? dia bertanya-tanya. Bagaimana jika mereka tertangkap? Apakah benar-benar layak ditangkap, mendapatkan catatan polisi hanya untuk es krim? 
Setengah jalan menuruni blok, ia masih bisa mendengar teriakan marah Pak Harder dari dalam toko kecil itu. Hannah mulai berlari, ingin segera pergi dari suara marah itu. Lutut kirinya terasa sakit. 
Udara tiba-tiba terasa panas mencekik, berat dan lembab. Helaian-helaian rambut di dahinya jadi kusut karena keringat. 
Dia membayangkan Danny berjalan dari toko, memegang es krim dengan satu tangan. Dia membayangkan ekspresi ketakutan di wajahnya saat ia melarikan diri. Dia membayangkan Alan dan Fred tepat di belakangnya, sepatu mereka berdebam di trotoar saat mereka melarikan diri.
Dan sekarang dia juga berlari. Dia tak yakin mengapa. 
Lutut kirinya masih sakit akibat jatuh. Dia sekarang keluar dari alun-alun kota, melewati rumah-rumah dan halaman-halaman gelap. 
Dia berbelok di pojokan, lampu jalanan membuat kerucut cahaya putih di sekelilingnya. Rumah-rumah lagi. Satu lampu serambi menyala. Tak ada seorang pun di jalanan. 
Kota kecil yang benar-benar membosankan, pikirnya lagi. 
Dia berhenti sebentar ketika ia melihat tiga anak laki-laki. Mereka setengah jalan naik ke blok, berkerumun di balik dinding tinggi seperti pagar. 
"Hei - kalian!" Suaranya keluar menjadi bisikan.
Berlari di jalanan, ia berjalan ke arah mereka dengan cepat. Saat ia datang mendekat, ia bisa melihat mereka tertawa bersama-sama, menikmati es krim mereka. 
Mereka tak melihatnya. Hannah melangkah ke dalam bayangan gelap di sisi lain dari jalan. Menjaga dalam kegelapan, dia bergerak pelan-pelan mendekat, sampai ia berada di halaman di seberang jalan dari mereka, tersembunyi oleh semak-semak pepohanan lebat. 
Fred dan Alan dengan main-main saling mendorong satu sama lain, menikmati kemenangan mereka atas pemilik toko, Danny berdiri sendirian, di belakang mereka pada pagar tinggi itu, dengan diam menjilati es krimnya. 
"Harder punya satu malam khusus," kata Alan keras. "Es krim gratis!" 
Fred tertawa kasar dan menampar Alan keras di punggungnya. 
Kedua anak laki-laki berpaling kepada Danny. Cahaya dari lampu jalan membuat wajah mereka terlihat pucat dan hijau. 
"Kau tampak benar-benar takut," kata Alan pada Danny. "Kupikir kau akan memuntahkan isi perutmu keluar." 
"Hei, tak mungkin," tegas Danny. "Aku adalah orang pertama yang keluar dari sana, kau tahu. Kalian begitu lambat, kupikir aku harus kembali dan menyelamatkan kalian." 
"Ya. Pasti." Jawab Fred sinis. 
Danny berlagak jantan, Hannah menyadari. Dia berusaha menjadi seperti mereka. 
"Tadi itu agak menarik," kata Danny, melemparkan sisa es krim ke dalam pagar. "Tapi mungkin kita sebaiknya berhati-hati. Kalian tahu. Jangan nongkrong di sana untuk sementara waktu." 
"Hei, ini tak seperti kita merampok bank atau yang lainnya," kata Alan. "Ini hanya es krim." 
Fred mengatakan sesuatu kepada Alan yang tak bisa Hannah dengar, dan dua anak laki-laki itu mulai bergulat di sekitarnya, mengeluarkan tawa bernada tinggi. 
"Hei, kawan-kawan - jangan terlalu keras," kata Danny. "Maksudku -" 
"Ayo kita kembali ke Harder," kata Alan. "Aku ingin dua sendok (es krim)!" 
Fred tertawa kasar dan tos dengan Alan. Danny ikut tertawa. 
"Hei, kawan-kawan - kita harus pergi sekarang," kata Danny. 
Sebelum teman-temannya bisa menjawab, jalanan dipenuhi dengan cahaya. 
Hannah berbalik untuk melihat dua lampu putih terang menjulang ke arah mereka. 
Lampu-lampu besar mobil. 
Polisi, pikir Hannah. 
Mereka tertangkap. Mereka bertiga tertangkap. 

Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com

12. 

Mobil itu berhenti. 
Hannah mengintip keluar dari balik semak-semak. 
"Hei, kalian anak-anak -" pengemudi memanggil kepada anak-anak laki-laki dengan suara kasar. Ia menjulurkan kepalanya keluar jendela mobil. 
Bukan polisi, Hannah menyadari, menarik napas panjang lega. 
Anak-anak itu membeku di pagar. Dalam cahaya remang-remang dari lampu jalanan, Hannah bisa melihat bahwa pengemudi itu seorang pria tua, berambut putih, memakai kacamata.
"Kami tak melakukan apa-apa. Hanya ngobrol," kata Fred pada pria itu. 
"Apa kalian tahu bagaimana untuk sampai ke Route 112?" tanya pria itu. Lampu dalam mobil itu menyala. Hannah bisa melihat peta jalan di tangan pria itu. 
Fred dan Alan tertawa, tertawa lega. Danny terus menatap pengendara itu, ekspresinya masih ketakutan. 
"Rute 112?" ulang pria itu. 
"Jalan besar ini jadi Route 112," kata Alan pada pria itu, menunjuk ke arah mobil itu tertuju. "Dua blok ke atas. Lalu belok ke kanan." 
Lampu dalam mobil itu padam. Pria itu mengucapkan terima kasih kepada mereka dan melaju pergi. 
Anak-anak menonton sampai mobil itu menghilang di kegelapan. Fred dan Alan saling ber-tos. Lalu Fred mendorong Alan ke pagar. Mereka semua tertawa secara sembrono. 
"Hei, lihat di mana kita berada," kata Alan, terkejut. 
Anak-anak berbalik menuju jalanan masuk. Dari tempat persembunyiannya di seberang jalan, Hannah mengikuti tatapan mereka. 
Di akhir pagar berdiri sebuah kotak surat kayu yang tinggi pada sebuah tiang. Satu pahatan tangan kepala angsa bertengger di atas kotak, dengan sayap-sayap yang anggun menonjol keluar dari sisi-sisinya. 
"Ini rumah Chesney," kata Alan, berjalan di sepanjang pagar menuju kotak surat. Dia meraih sayap dengan kedua tangan. "Apa kau percaya kotak surat ini?" 
"Chesney memahatnya sendiri," kata Fred, tertawa-tawa. "Konyol sekali." 
"Ini kebanggaan dan kesenangannya," ejek Alan. Ia membuka penutupnya dan mengintip ke dalam. "Kosong." 
"Siapa yang akan menulis surat kepadanya?" kata Danny, berusaha terdengar sekuat kedua temannya. 
"Hei, aku punya ide, Danny," kata Fred. Dia melangkah ke belakang Danny dan mulai mendorongnya menuju kotak surat. 
"Wah," protes Danny. 
Tapi Fred mendorongnya sampai ke kotak surat. "Mari kita lihat seberapa kuat dirimu," kata Fred. 
"Hei, tunggu -" teriak Danny. 
Hannah melongok dari balik semak-semak rendah. "Oh, wow," gumamnya pada dirinya sendiri. "Sekarang apa yang akan mereka lakukan?" 
"Ambil kotak surat itu," ia mendengar Alan memerintah Danny. "Aku menantangmu." 
"Kami menantangmu," tambah Fred. "Ingat apa yang kau katakan pada kami tentang keberanian, Danny? Bagaimana kau tak pernah menolak menerima satu pun (tantangan)?" 
"Ya. Kau bilang kau tak pernah menolak satu pun tantangan." Kata Alan, menyeringai. 
Danny ragu-ragu. "Yah, aku -" 
Perasaan sangat takut terbentuk di perut Hannah. Melihat Danny langkah menuju kotak pos pahatan tangan Pak Chesney, dia tiba-tiba memiliki firasat - perasaan bahwa sesuatu yang sangat buruk akan terjadi. 
Aku harus menghentikan mereka, ia memutuskan. 
Mengambil napas dalam-dalam, Hannah melangkah keluar dari balik semak-semak. 
Saat ia mulai memanggil mereka, semuanya menjadi gelap. 
"Hei -!" teriak Hannah keras. 
Apa yang terjadi? 
Pikiran pertamanya adalah lampu jalanan telah padam. 
Tapi lalu Hannah melihat dua lingkaran merah menyala di depannya.
Kedua mata bersinar yang dikelilingi oleh kegelapan. 
Sosok bayangan itu berdiri beberapa inci di depannya. 
Hannah mencoba berteriak, tapi suaranya teredam dalam kegelapan yang hebat itu.
Hannah berusaha lari, tapi bayangan itu menghalangi jalannya. 
Mata merah itu (menatap) tajam padanya.
Lebih dekat. Lebih dekat. 
Ia sekarang menangkapku, Hannah tahu. 




13. 

"Hannah..." sosok itu berbisik. "Hannah..." 
Begitu dekat, Hannah bisa mencium napas asam panas itu. 
"Hannah... Hannah..." 
Bisikan itu seperti derakan daun-daun kering. 
Mata merah delima itu terbakar seperti api. Hannah merasa kegelapan itu mengelilinginya, membungkusnya erat-erat. 
"Tolong -" itu saja yang dia bisa keluarkan. 
"Hannah..." 
Dan cahaya itu kembali. 
Hannah berkedip, berupaya untuk bernapas. 
Bau asam itu melekat dalam hidungnya. Tapi jalanan itu terang sekarang. 
Lampu-lampu mobil bergerak di atas dirinya. 
Sosik itu - itu pergi, Hannah menyadari. Lampu-lampu itu telah mengusir sosok bayangan itu. 
Tapi akankah ia kembali? 
Ketika mobil itu lewat, Hannah terjatuh ke tanah di balik semak-semak rendah berdaun lebat dan berusaha untuk menarik napas. Saat dia mendongak, anak-anak itu masih berkerumun di depan pagar Pak Chesney itu. 
"Ayo kita pergi," desak Danny pada mereka.
"Tidak. Belum." Kata Alan, melangkah di depan Danny untuk menghalangi jalan. "Kau lupa tantangan kami." 
Fred mendorong Danny ke kotak surat itu. "Majulah. Ambil saja.." 
"Hei, tunggu." Danny berputar. "Aku tak pernah bilang akan melakukannya." 
"Aku menantangmu untuk mengambil kotak Chesney itu," kata Fred padanya. "Ingat? Kau bilang kau tak pernah menolak suatu tantangan?" 
Alan tertawa. "Chesney akan keluar besok dan berpikir angsanya itu terbang menjauh." 
"Tidak, tunggu -" protes Danny. "Mungkin ini ide yang bodoh." 
"Ini adalah ide yang keren. Chesney adalah bajingan," tegas Alan. "Semua orang di Greenwood Falls membenci isi perutnya." 
"Ambil kotak itu, Danny," tantang Fred. "Tariklah. Ayo. Aku menantangmu." 
"Tidak, aku -" Danny mencoba mundur, tapi Fred menahan bahunya dari belakang. 
"Kau pengecut (ayam)?" tantang Alan.
"Lihatlah ayam," kata Fred dengan suara mengejek kekanak-kanakan. "Petok. Petok." 
"Aku bukan pengecut," bentak Danny marah. 
"Buktikan," tuntut Alan. Dia meraih tangan Danny dan mengangkatnya ke pahatan sayap yang membentang dari sisi kotak surat. "Ayo. Buktikan." 
"Lucu sekali!" kata Fred. "Kepala kantor pos kota - kotak suratnya terbang menjauh." 
Jangan lakukan itu, Danny, pinta Hannah diam-diam dari tempat persembunyiannya yang gelap di seberang jalan. Tolong - jangan lakukan itu. 
Seperangkat lampu mobil membuat tiga anak laki-laki itu kembali menjauh dari kotak surat itu. Mobil itu meluncur lewat tanpa melambat. 
"Ayo kita pergi. Sudah malam," Hannah mendengar Danny berkata. 
Tapi Fred dan Alan bersikeras, menggodanya, menantangnya. 
Saat Hannah menatap cahaya putih lampu jalan, Danny melangkah ke kotak surat Chesney dan menyambar sayap itu. 
"Danny, tunggu -" teriak Hannah.
Dia tampaknya tak mendengarnya. 
Dengan mengerang keras, dia mulai menarik. 
Kotak itu tak bergeming. 
Dia menurunkan tangannya ke tiang dan memcekalnya rapat-rapat persis di bawah kotak. 
Dia menarik lagi, 
"Ini benar-benar dalam," katanya kepada Alan dan Fred. "Aku tak tahu apakah aku bisa mencabutnya." 
"Coba lagi," desak Alan. 
"Kami akan membantumu," kata Fred, menempatkan tangannya di atas tangan Danny pada kotak. 
"Ayo kita semua bekerja sama," desak Alan. "Pada hitungan ketiga." 
"Aku tak akan melakukannya jika aku jadi kalian!" seru suatu suara serak di belakang mereka. 
Mereka semua berbalik dan melihat Pak Chesney memelototi mereka dari jalan masuk, menggeram wajahnya sangat marah. 




14. 

Pak Chesney meraih bahu Danny dan menariknya menjauh dari kotak surat itu.
Salah satu sayap angsa kayu itu patah di tangan Danny. Saat Pak Chesney bergelut menjauhkannya, Danny membiarkannya jatuh ke tanah. 
"Kau bajingan!" Pak Chesney tergagap, matanya terbelalak marah. "Kau - Kau-"
"Lepaskan dia!" teriak Hannah dari seberang jalan. Tapi rasa takut meredam suaranya. Teriakannya keluar menjadi bisikan. 
Dengan mengerang keras, Danny menarik bebas (dirinya) dari pegangan orang itu. 
Tanpa sepatah kata pun, ketiga anak laki-laki itu berlari, berlari di tengah jalanan yang gelap, sepatu mereka berdebam keras di trotoar. 
"Aku akan mengingat kalian!" teriak Pak Chesney setelah mereka. "Aku akan mengingat kalian. Aku akan bertemu kalian lagi!. Dan saat berikutnya, aku akan memegang senapanku!" 
Hannah memperhatikan Pak Chesney membungkuk untuk mengambil sayap angsa yang rusak itu. Dia memeriksa sayap kayu itu, menggelengkan kepalanya dengan marah. 
Lalu Hannah mulai berlari, menjaga di halaman depan yang gelap, tersembunyi oleh pagar tanaman dan semak-semak rendah, berlari ke arah yang dituju Danny dan teman-temannya. 
Dia melihat anak-anak laki-laki itu berbelok di tikungan, dan terus berlari. Menjaga jauh di belakang, dia mengikuti mereka melewati alun-alun kota yang masih sepi dan gelap. Bahkan Harder's es krim sekarang tutup, toko gelap itu di belakang cahaya merah dari neon jendela papan tanda. 
Dua anjing tinggi, anjing kampung kaku dengan badan berbulu tipis, menyeberang jalan di depan mereka, berlari perlahan-lahan, keluar untuk berjalan-jalan sore. Anjing-anjing itu tak melihat saat anak-anak laki-laki yang berlari melewatinya. 
Di pertengahan blok berikutnya, ia melihat Fred dan Alan roboh di bawah pohon yang gelap, cekikikan ke langit saat mereka berbaring di tanah. 
Danny bersandar pada batang pohon yang lebar itu, terengah-engah keras. 
Fred dan Alan tak bisa berhenti tertawa.
"Apa kalian lihat ekspresi wajahnya saat sayap yang konyol itu jatuh?" teriak Fred. 
"Kupikir matanya akan terlontar keluar!" seru Alan gembira. "Kupikir kepalanya akan meledak!" 
Danny tak ikut tertawa dengan mereka. Dia mengusap bahu kanannya dengan satu tangan. "Dia benar-benar menghancurkan bahuku saat ia memegangku," katanya, mengerang.
"Kau harus menuntutnya!" saran Alan.
Dia dan Fred tertawa terbahak-bahak, duduk untuk setiap kali tos. 
"Tidak. Sungguh," kata Danny pelan, masih mengusap-usap bahu. ". Dia benar-benar menyakitiku. Ketika ia memutarku, kupikir -" 
"Aneh sekali," kata Fred, sambil menggelengkan kepalanya. 
"Kita harus membuatnya membayar kembali," tambah Alan. "Yah harus -" 
"Mungkin kita harus tinggal menjauh dari sana," kata Danny, masih terengah-engah. "Kau dengar apa -yang dia katakan tentang mengambil senapannya." 
Dua anak laki-laki lainnya tertawa menghina. 
"Ya. Pasti. Dia pasti benar-benar mengejar kita dengan senapan," ejek Alan, menyikat helaian-helaian rumput yang baru dipotong dari rambutnya yang berantakan itu. 
"Kepala kantor pos kota terhormat, menembaki anak-anak tak berdosa," kata Fred, tertawa-tawa. "Tak mungkin. Dia hanya berusaha menakut-nakuti kita - Benar kan, Danny?"
Danny berhenti menggosok bahu dan mengerutkan kening ke bawah pada Alan dan Fred, yang masih duduk di rumput. "Aku tak tahu." 
"Oooh, Danny takut!" teriak Fred.
"Kau tak takut pada bajingan tua itu kan?" tuntut Alan. "Hanya karena ia meraih bahumu tak berarti -" 
"Aku tak tahu," sela Danny marah. "Pria tua itu tampaknya agak di luar kendali bagiku. Dia sangat marah! Maksudku, mungkin ia akan menembak kita untuk melindungi kotak pos berharganya itu." 
"Taruhan kita bisa membuatnya lebih marah lagi," kata Alan tenang, berdiri, menatap tajam pada Danny. 
"Ya.  Taruhan kita bisa." Fred setuju sambil menyeringai. 
"Kecuali kau takut, Danny," kata Alan, bergerak mendekati Danny, suaranya menantang. 
"Aku - ini sudah larut malam," kata Danny, mencoba membaca arlojinya dalam gelap. "Aku janji pada ibuku aku akan pulang."
Fred berdiri dan pindah di samping Alan. "Kita harus memberi Chesney pelajaran," katanya, menyikat helaian-helaian rumput dari bagian belakang celana jinsnya. Matanya berbinar nakal dalam cahaya yang redup. "Kita harus mengajarkan kepadanya untuk tak menyerang pada anak-anak yang tak bersalah." 
"Ya, kau benar," setuju Alan, matanya (tertuju) pada Danny. "Maksudku, dia menyakiti Danny. Dia tak punya hak menyambarnya seperti itu.." 
"Aku harus pulang. Sampai jumpa lagi besok," kata Danny, melambaikan tangan. 
"Oke. Sampai jumpa." kata Fred kemudian. 
"Setidaknya kita dapat beberapa es krim gratis malam ini!" Seru Alan. 
Saat Danny cepat-cepat berjalan pergi, Hannah bisa mendengar Fred dan Alan cekikikan riang, tawa bernada tinggi.
Es krim gratis, pikirnya, mengerutkan kening. Dua orang ini benar-benar mencari masalah. 
Hannah tak bisa menahan diri. Dia harus mengatakan sesuatu kepada Danny.
"Hei!" panggil Hannah, berlari mengejar ke arah Danny. 
Dia berbalik, kaget. "Hannah - apa yang kau lakukan di sini?" 
"Aku - Aku mengikutimu. Dari toko es krim," aku Hannah. 
Danny tertawa terkekeh-kekeh. "Kau melihat semuanya?" 
Hannah mengangguk. "Mengapa kau bergaul dengan kedua orang itu?" tuntutnya. 
Danny merengut, menghindari mata Hannah, melangkah. "Mereka baik-baik saja," gumamnya. 
"Mereka akan mendapatkan kesulitan besar dalam satu hari ini," tebak Hannah. "Mereka benar-benar akan dapat kesulitan." 
Danny mengangkat bahu. "Mereka hanya bicara keras. Mereka pikir itu keren. Tapi mereka benar-benar baik."
"Tapi mereka mencuri es krim dan -" Hannah memutuskan dia telah cukup berkata. 
Mereka menyeberangi jalan dalam keheningan. 
Hannah mendongak untuk melihat bulan sabit pucat bulan menghilang di balik gumpalan awan hitam. Jalanan makin gelap. Pohon-pohon mengguncang daun mereka, mengirim berbisik seluruh. 
Danny menendang batu di trotoar. Ini berdentang lembut ke rumput. 
Hannah tiba-tiba teringat akan ke rumah Danny sebelumnya untuk mendapatkan dia. Dalam semua kegembiraan dari pencurian es krim dan Pak Chesney dan kotak suratnya, ia telah benar-benar lupa apa yang telah terjadi di beranda belakang rumah Danny. 
"Aku - aku pergi ke rumahmu malam ini," dia memulai dengan enggan. "Sebelum aku pergi ke kota." 
Danny berhenti dan berpaling padanya, matanya mempelajari Hannah. "Ya?" 
"Kupikir mungkin kau ingin jalan-jalan ke kota atau apa," lanjut Hannah. "Ibumu ada di rumah. Di dapur." 
Danny terus menatap tajam pada Hannah, seolah-olah mencoba membaca pikirannya.
"Aku mengetuk dan mengetuk pintu dapur," kata Hannah, menarik sehelai rambut pirang dari dahinya. "Aku bisa melihat ibumu di meja. Dia memunggungiku. Dia tak berbalik atau apa."
Danny tak menjawab. Dia merendahkan matanya ke trotoar dan mulai berjalan lagi, tangan mendorong dalam saku. 
"Itu sangat aneh," lanjut Hannah. "Aku mengetuk dan mengetuk. Benar-benar keras. Tapi itu sepertinya - sepertinya ibumu berada di dunia lain atau apa. Dia tak membuka pintu. Dia bahkan tak berbalik." 
Rumah-rumah mereka mulai terlihat di depan mereka. Satu lampu beranda mengirim cahaya kuning di halaman depan Hannah. Di sisi lain dari jalan, rumah Danny tampak dalam kegelapan.
Tenggorakan Hannah tiba-tiba terasa kering. Dia berharap dia bisa bertanya pada Danny apa yang benar-benar ingin ia tanyakan. 
Apakah kau hantu? Apakah ibumu juga hantu? 
Itulah pertanyaan yang sesungguhnya dalam pikiran Hannah. 
Tapi itu terlalu gila. Terlalu bodoh. 
Bagaimana kau bisa bertanya pada seseorang apakah ia nyata atau tidak? Apakah ia masih hidup atau tidak? 
"Danny - mengapa ibumu tak membukakan pintu?" tanya Hannah lirih. 
Danny berbelok di ujung jalan, mengatur ekspresi wajahnya, matanya menyipit. Wajahnya bersinar menakutkan dalam cahaya kuning pucat dari teras. 
"Kenapa?" ulang Hannah tak sabar. "Kenapa dia tak membukakan pintu?"
Danny ragu-ragu. 
"Kurasa aku harus memberitahumu yang sebenarnya," akhirnya dia berkata, suaranya berbisik, selembut bisikan getaran pepohonan. 






14. 

Pak Chesney meraih bahu Danny dan menariknya menjauh dari kotak surat itu.
Salah satu sayap angsa kayu itu patah di tangan Danny. Saat Pak Chesney bergelut menjauhkannya, Danny membiarkannya jatuh ke tanah. 
"Kau bajingan!" Pak Chesney tergagap, matanya terbelalak marah. "Kau - Kau-"
"Lepaskan dia!" teriak Hannah dari seberang jalan. Tapi rasa takut meredam suaranya. Teriakannya keluar menjadi bisikan. 
Dengan mengerang keras, Danny menarik bebas (dirinya) dari pegangan orang itu. 
Tanpa sepatah kata pun, ketiga anak laki-laki itu berlari, berlari di tengah jalanan yang gelap, sepatu mereka berdebam keras di trotoar. 
"Aku akan mengingat kalian!" teriak Pak Chesney setelah mereka. "Aku akan mengingat kalian. Aku akan bertemu kalian lagi!. Dan saat berikutnya, aku akan memegang senapanku!" 
Hannah memperhatikan Pak Chesney membungkuk untuk mengambil sayap angsa yang rusak itu. Dia memeriksa sayap kayu itu, menggelengkan kepalanya dengan marah. 
Lalu Hannah mulai berlari, menjaga di halaman depan yang gelap, tersembunyi oleh pagar tanaman dan semak-semak rendah, berlari ke arah yang dituju Danny dan teman-temannya. 
Dia melihat anak-anak laki-laki itu berbelok di tikungan, dan terus berlari. Menjaga jauh di belakang, dia mengikuti mereka melewati alun-alun kota yang masih sepi dan gelap. Bahkan Harder's es krim sekarang tutup, toko gelap itu di belakang cahaya merah dari neon jendela papan tanda. 
Dua anjing tinggi, anjing kampung kaku dengan badan berbulu tipis, menyeberang jalan di depan mereka, berlari perlahan-lahan, keluar untuk berjalan-jalan sore. Anjing-anjing itu tak melihat saat anak-anak laki-laki yang berlari melewatinya. 
Di pertengahan blok berikutnya, ia melihat Fred dan Alan roboh di bawah pohon yang gelap, cekikikan ke langit saat mereka berbaring di tanah. 
Danny bersandar pada batang pohon yang lebar itu, terengah-engah keras. 
Fred dan Alan tak bisa berhenti tertawa.
"Apa kalian lihat ekspresi wajahnya saat sayap yang konyol itu jatuh?" teriak Fred. 
"Kupikir matanya akan terlontar keluar!" seru Alan gembira. "Kupikir kepalanya akan meledak!" 
Danny tak ikut tertawa dengan mereka. Dia mengusap bahu kanannya dengan satu tangan. "Dia benar-benar menghancurkan bahuku saat ia memegangku," katanya, mengerang.
"Kau harus menuntutnya!" saran Alan.
Dia dan Fred tertawa terbahak-bahak, duduk untuk setiap kali tos. 
"Tidak. Sungguh," kata Danny pelan, masih mengusap-usap bahu. ". Dia benar-benar menyakitiku. Ketika ia memutarku, kupikir -" 
"Aneh sekali," kata Fred, sambil menggelengkan kepalanya. 
"Kita harus membuatnya membayar kembali," tambah Alan. "Yah harus -" 
"Mungkin kita harus tinggal menjauh dari sana," kata Danny, masih terengah-engah. "Kau dengar apa -yang dia katakan tentang mengambil senapannya." 
Dua anak laki-laki lainnya tertawa menghina. 
"Ya. Pasti. Dia pasti benar-benar mengejar kita dengan senapan," ejek Alan, menyikat helaian-helaian rumput yang baru dipotong dari rambutnya yang berantakan itu. 
"Kepala kantor pos kota terhormat, menembaki anak-anak tak berdosa," kata Fred, tertawa-tawa. "Tak mungkin. Dia hanya berusaha menakut-nakuti kita - Benar kan, Danny?"
Danny berhenti menggosok bahu dan mengerutkan kening ke bawah pada Alan dan Fred, yang masih duduk di rumput. "Aku tak tahu." 
"Oooh, Danny takut!" teriak Fred.
"Kau tak takut pada bajingan tua itu kan?" tuntut Alan. "Hanya karena ia meraih bahumu tak berarti -" 
"Aku tak tahu," sela Danny marah. "Pria tua itu tampaknya agak di luar kendali bagiku. Dia sangat marah! Maksudku, mungkin ia akan menembak kita untuk melindungi kotak pos berharganya itu." 
"Taruhan kita bisa membuatnya lebih marah lagi," kata Alan tenang, berdiri, menatap tajam pada Danny. 
"Ya.  Taruhan kita bisa." Fred setuju sambil menyeringai. 
"Kecuali kau takut, Danny," kata Alan, bergerak mendekati Danny, suaranya menantang. 
"Aku - ini sudah larut malam," kata Danny, mencoba membaca arlojinya dalam gelap. "Aku janji pada ibuku aku akan pulang."
Fred berdiri dan pindah di samping Alan. "Kita harus memberi Chesney pelajaran," katanya, menyikat helaian-helaian rumput dari bagian belakang celana jinsnya. Matanya berbinar nakal dalam cahaya yang redup. "Kita harus mengajarkan kepadanya untuk tak menyerang pada anak-anak yang tak bersalah." 
"Ya, kau benar," setuju Alan, matanya (tertuju) pada Danny. "Maksudku, dia menyakiti Danny. Dia tak punya hak menyambarnya seperti itu.." 
"Aku harus pulang. Sampai jumpa lagi besok," kata Danny, melambaikan tangan. 
"Oke. Sampai jumpa." kata Fred kemudian. 
"Setidaknya kita dapat beberapa es krim gratis malam ini!" Seru Alan. 
Saat Danny cepat-cepat berjalan pergi, Hannah bisa mendengar Fred dan Alan cekikikan riang, tawa bernada tinggi.
Es krim gratis, pikirnya, mengerutkan kening. Dua orang ini benar-benar mencari masalah. 
Hannah tak bisa menahan diri. Dia harus mengatakan sesuatu kepada Danny.
"Hei!" panggil Hannah, berlari mengejar ke arah Danny. 
Dia berbalik, kaget. "Hannah - apa yang kau lakukan di sini?" 
"Aku - Aku mengikutimu. Dari toko es krim," aku Hannah. 
Danny tertawa terkekeh-kekeh. "Kau melihat semuanya?" 
Hannah mengangguk. "Mengapa kau bergaul dengan kedua orang itu?" tuntutnya. 
Danny merengut, menghindari mata Hannah, melangkah. "Mereka baik-baik saja," gumamnya. 
"Mereka akan mendapatkan kesulitan besar dalam satu hari ini," tebak Hannah. "Mereka benar-benar akan dapat kesulitan." 
Danny mengangkat bahu. "Mereka hanya bicara keras. Mereka pikir itu keren. Tapi mereka benar-benar baik."
"Tapi mereka mencuri es krim dan -" Hannah memutuskan dia telah cukup berkata. 
Mereka menyeberangi jalan dalam keheningan. 
Hannah mendongak untuk melihat bulan sabit pucat bulan menghilang di balik gumpalan awan hitam. Jalanan makin gelap. Pohon-pohon mengguncang daun mereka, mengirim berbisik seluruh. 
Danny menendang batu di trotoar. Ini berdentang lembut ke rumput. 
Hannah tiba-tiba teringat akan ke rumah Danny sebelumnya untuk mendapatkan dia. Dalam semua kegembiraan dari pencurian es krim dan Pak Chesney dan kotak suratnya, ia telah benar-benar lupa apa yang telah terjadi di beranda belakang rumah Danny. 
"Aku - aku pergi ke rumahmu malam ini," dia memulai dengan enggan. "Sebelum aku pergi ke kota." 
Danny berhenti dan berpaling padanya, matanya mempelajari Hannah. "Ya?" 
"Kupikir mungkin kau ingin jalan-jalan ke kota atau apa," lanjut Hannah. "Ibumu ada di rumah. Di dapur." 
Danny terus menatap tajam pada Hannah, seolah-olah mencoba membaca pikirannya.
"Aku mengetuk dan mengetuk pintu dapur," kata Hannah, menarik sehelai rambut pirang dari dahinya. "Aku bisa melihat ibumu di meja. Dia memunggungiku. Dia tak berbalik atau apa."
Danny tak menjawab. Dia merendahkan matanya ke trotoar dan mulai berjalan lagi, tangan mendorong dalam saku. 
"Itu sangat aneh," lanjut Hannah. "Aku mengetuk dan mengetuk. Benar-benar keras. Tapi itu sepertinya - sepertinya ibumu berada di dunia lain atau apa. Dia tak membuka pintu. Dia bahkan tak berbalik." 
Rumah-rumah mereka mulai terlihat di depan mereka. Satu lampu beranda mengirim cahaya kuning di halaman depan Hannah. Di sisi lain dari jalan, rumah Danny tampak dalam kegelapan.
Tenggorakan Hannah tiba-tiba terasa kering. Dia berharap dia bisa bertanya pada Danny apa yang benar-benar ingin ia tanyakan. 
Apakah kau hantu? Apakah ibumu juga hantu? 
Itulah pertanyaan yang sesungguhnya dalam pikiran Hannah. 
Tapi itu terlalu gila. Terlalu bodoh. 
Bagaimana kau bisa bertanya pada seseorang apakah ia nyata atau tidak? Apakah ia masih hidup atau tidak? 
"Danny - mengapa ibumu tak membukakan pintu?" tanya Hannah lirih. 
Danny berbelok di ujung jalan, mengatur ekspresi wajahnya, matanya menyipit. Wajahnya bersinar menakutkan dalam cahaya kuning pucat dari teras. 
"Kenapa?" ulang Hannah tak sabar. "Kenapa dia tak membukakan pintu?"
Danny ragu-ragu. 
"Kurasa aku harus memberitahumu yang sebenarnya," akhirnya dia berkata, suaranya berbisik, selembut bisikan getaran pepohonan. 




16. 

Dicekam ketakutan, Hannah pikir dia melihat bayangan menyeringai jahat itu di dalam bayangan yang lebih dalam melayang di atas beranda. "Hannah, menjauhlah. Jauhi DANNY!."
"Jaaaangaaaan!" 
Dalam kepanikannya, Hannah bahkan tak menyadari bahwa lolongan itu datang dari tenggorokannya sendiri. 
Mata merah itu bersinar lebih terang bereaksi pada teriakannya. Tatapan berapi-api itu tertuju ke matanya, memaksanya untuk melindungi wajah dengan kedua tangannya. 
"Hannah - dengarkan peringatanku." Bisikan kering yang mengerikan. 
Bisikan kematian. 
Jari hitam berotot, terurai dalam lampu putih beranda, menunjuk kepadanya, mengancamnya lagi. 
Dan sekali lagi Hannah berteriak dengan suara serak dengan ketakutan: "Jaaangaaaan!" 
Sosok gelap itu menerjang lebih dekat.
Lebih dekat. 
Dan lalu pintu dapur terbuka, menyorotkan persegi panjang cahaya di atas halaman. 
"Hannah - apa itu kau? Ada apa?" 
Ayahnya melangkah ke cahaya, wajahnya berkerut prihatin, matanya mengintip ke dalam kegelapan melalui kacamata perseginya. 
"Ayah -!" Suara Hannah tersangkut di tenggorokannya. "Lihat, Ayah - dia - dia -" Hannah menunjuk. 
Menunjuk ke udara kosong. 
Menunjuk ke persegi panjang cahaya kosong dari pintu dapur. 
Menunjuk ke tidak ada apa-apa. 
Sosok bayangan itu sekali lagi menghilang. 
Pikirannya berputar-putar kacau, merasa  bingung dan takut, ia bergegas melewati ayahnya, ke dalam rumah. 
Dia telah memberitahu orangtuanya tentang sosok gelap menakutkan dengan mata merah yang menyala. Ayahnya dengan hati-hati mencari di halaman belakang, lampu senternya bermain-main di halaman. Dia tak menemukan jejak kaki di tanah lunak basah itu, tak ada tanda-tanda ada penyusup. 
Ibu Hannah telah menatap penuh perhatian padanya, mempelajarinya, seakan mencoba untuk menemukan semacam jawaban di mata Hannah. 
"Aku - aku tidak gila," Hannah tergagap marah. 
Pipi Bu Fairchild berubah merah muda. "Aku tahu itu," jawabnya tegang. 
"Haruskah aku menelepon polisi? Tak ada apa pun di belakang sana," kata Pak Fairchild, menggaruk rambut tipis cokelatnya, kacamatanya mencerminkan cahaya dari langit-langit dapur. 
"Aku akan pergi tidur," kata Hannah mereka, tiba-tiba bergerak ke pintu. "Aku benar-benar lelah." 
Kakinya terasa gemetar dan lemah saat ia bergegas menyusuri koridor ke kamarnya. 
Sambil mendesah letih, ia membuka pintu kamarnya. 
Sosok bayangan gelap itu telah menunggunya di dekat tempat tidurnya. 




17. 

Hannah tersentak dan mulai mundur.
Tapi saat lampu di koridor jatuh ke kamar tidur, dia menyadari dia sama sekali tak menatap sosok menakutkan itu.
Dia menatap lengan baju sweter gelap yang panjang yang dilemparkannya ke tiang ranjang di kaki tempat tidurnya.
Hannah mencengkeram sisi pintu. Dia tak bisa memutuskan apakah harus tertawa atau menangis. 
"Malam apa ini!" serunya keras-keras. 
Dia menyalakan lampu langit-langit kamar, lalu menutup pintu di belakangnya. Saat dia melangkah ke tempat tidur untuk menarik sweter dari tiang ranjang, ia gemetaran. 
Dia melepas pakaiannya dengan cepat, melemparkannya ke lantai, dan mengenakan baju tidur. Lalu ia naik di bawah selimut, segera ingin tidur. 
Tapi dia tak bisa menghentikan pikirannya berputar-putar  atas semua yang telah terjadi. Dia tak bisa menghentikan gambaran menakutkan yang bermain-main di kepalanya, lebih dan lebih. 
Bayangan cabang-cabang pohon dari halaman depan bergerak dan muncul di langit-langit. Biasanya, ia mendapati tarian-tarian diam itu menenangkan. Tapi malam ini bayangan-bayangan bergerak itu membuatnya takut, mengingatkannya pada sosok gelap mengancam yang memanggil namanya.
Dia mencoba berpikir tentang Danny sebagai gantinya. Tapi pikiran-pikiran itu benar-benar seperti gangguan. 
Danny hantu. Danny hantu. 
Kalimat terulang-ulang lagi dan lagi dalam pikirannya. 
Dia harus berbohong tentang ibunya, Hannah memutuskan. Ia mengarang cerita tentang ibunya yang jadi tuli karena dia tak ingin aku mengetahui bahwa dia juga hantu. 
Pertanyaan, pertanyaan. 
Pertanyaan yang tak bisa ia jawab. 
Jika Danny hantu, apa yang dia lakukan di sini? 
Mengapa ia pindah (jadi) tetanggaku?
Mengapa ia bergaul dengan Alan dan Fred?
Apakah mereka juga hantu?
Apakah itu sebabnya aku tak pernah melihat mereka di sekolah atau di kota sebelumnya?
Apakah itu sebabnya aku tak pernah melihat salah satu pun dari mereka?
Mereka semua hantu? 
Hannah menutup matanya, mencoba untuk melenyapkan semua pertanyaan-pertanyaan itu dari benaknya. Tapi ia tak bisa berhenti berpikir tentang Danny - dan sosok bayangan gelap itu. 
Mengapa sosok gelap memberitahuku untuk menjauh dari Danny? 
Apakah berusaha untuk menahanku dari membuktikan bahwa Danny adalah hantu? 
Akhirnya, Hannah tertidur. Tetapi bahkan dalam tidur, pikiran-pikiran mengganggunya itu mengejarnya. 
Bayangan hitam berotot itu mengikutinya ke dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, ia berdiri di sebuah gua abu-abu. Api menyala terang, jauh jaraknya dari mulut gua. 
Sosok hitam itu, mata merahnya bersinar lebih terang dari api, bergerak ke arah Hannah. Lebih dekat. Dan lebih dekat.
Dan saat sosok hitam datang begitu dekat, cukup dekat untuk Hannah untuk menjangkau dan menyentuhnya, sosok bayangan dengan tangan-tangan seperti tongkat terulur ke atas dan menarik dirinya (sendiri) terpisah-pisah. 
Bayangan itu terulur dengan tangan-tangan hitam  dan dengan jari-jari seperti tulang, kegelapan itu menarik diri di mana wajahnya seharusnya - menampakkan Danny di bagian dalamnya. 
Danny, melirik padanya dengan mata merah menyala tertuju padanya - sampai ia terbangun terengah-engah.
Tidak, pikirnya, menatap ke luar jendela pada fajar kelabu. Tidak. Danny bukanlah bayangan hitam itu. 
Tak mungkin. 
Itu bukan Danny. 
Itu tak mungkin Danny. Mimpi itu tak masuk akal. 
Hannah duduk. Seprainya basah karena keringat. Udara di dalam ruangan tergantung berat dan asam.
Dia menyentakkan selimut dan menurunkan kakinya ke lantai. 
Dia hanya tahu satu hal yang pasti setelah malam yang panjang dari pikiran-pikiran yang menakutkan. 
Dia harus bicara dengan Danny. 
Dia tak bisa menghabiskan malam lainnya seperti ini. 
Dia harus menemukan kebenaran. 
***
Keesokan paginya, setelah sarapan, Hannah melihat Danny menendang bola di sekitar halaman belakang rumahnya. Dia membuka pintu dapur dan berlari keluar. Layar pintu terbanting keras di belakangnya saat Hannah mulai berlari kepada Danny. 
"Hei, Danny -" panggilnya. "Apakah kau hantu?" 




18. 

"Hah?" Danny meliriknya, lalu menendang bola hitam-putih ke sisi garasi. Dia memakai kaus biru laut dan celana pendek denim. Dia memakai topi biru dan merah Cubs ditarik menutupi rambut merahnya. 
Hannah berlari dengan kecepatan penuh di jalanan masuk dan berhenti beberapa meter darinya. 
"Apakah kau hantu?" ulangnya terengah-engah. 
Danny mengerutkan dahinya, menyipitkan mata pada Hannah. Bola melambung melewati rumput. Dia melangkah maju dan menendangnya. "Ya. Tentu," katanya.
"Tidak. Sungguh," desak Hannah, jantungnya berdebar kencang. 
Bola itu melambung tinggi dari garasi, dan Danny menangkapnya dengan dadanya. "Apa katamu?" Dia menggaruk bagian belakang lutut. 
Dia menatapku seolah-olah aku sinting, Hannah menyadari. 
Mungkin aku memang sinting. 
"Sudahlah," kata Hannah, menelan ludah. "Bisakah aku bermain?" 
"Ya." Danny menjatuhkan bola ke rumput.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Danny. "Kau baik-baik saja hari ini?" 
Hannah mengangguk. "Ya. Kurasa."
"Malam itu cukup liar," kata Danny, menendang bola dengan pelan padanya. "Maksudku, di rumah Pak Chesney." 
Bola diterima Hannah. Dia mengejarnya dan menendangnya kembali. Biasanya, ia seorang atlet yang baik. Tapi pagi ini ia memakai sandal, bukan yang terbaik untuk menendang bola sepak. 
"Aku benar-benar takut," aku Hannah. "Kupikir mobil yang berhenti itu polisi dan �� 
"Ya. Itu agak menakutkan," kata Danny. Dia mengangkat bola dan menyundulkannya kembali pada Hannah dengan kepalanya. 
"Apa Alan dan Fred benar-benar pergi ke Sekolah Maple Avenue,?" tanya Hannah. Bola membentur itu pergelangan kakinya dan bergulir ke arah jalan masuk. 
"Ya. Mereka akan berada di kelas sembilan," kata Danny padanya, menunggunya untuk menendang bola kembali. 
"Mereka bukan anak-anak baru? Bagaimana bisa aku tak pernah melihat mereka?" Dia menyepak bola itu dengan keras. 
Danny berpindah ke kanan untuk menerima di belakangnya. Dia tertawa. "Bagaimana mereka belum pernah melihatmu." 
Dia tak memberikanku jawaban dengan sungguh-sungguh, Hannah menyadari. Kupikir pertanyaanku membuatnya gelisah. Dia tahu aku mulai curiga kebenaran tentang dirinya. 
"Alan dan Fred ingin kembali ke rumah Chesney itu," kata Danny padanya. 
"Hah? Mereka apa?" 
Dia tak mengenai bola dan menendang gumpalan rumput, "Aduh aku tak bisa bermain sepak bola dengan sandal!." 
"Mereka ingin kembali malam ini. Kau tahu. Untuk membalas kembali Chesney karena menakut-nakuti kami. Dia benar-benar melukai bahuku." 
"Kupikir Alan dan Fred benar-benar mencari masalah," kata Hannah. 
Danny mengangkat bahu. "Tak ada lagi yang bisa dilakukan di kota ini," gumamnya. 
Bola itu bergulir di antara mereka. 
"Aku dapat!" mereka berdua berteriak bersamaan. 
Mereka berdua mengejar bola itu. Danny tiba terlebih dahulu. Dia mencoba untuk menendang bola itu menjauh dari Hannah. Tapi kakinya mendarat di atas bola. Dia tersandung dan jatuh tergeletak di rerumputan.
Hannah tertawa dan melompat di atasnya untuk mengambil bola. Dia menendang ke sisi garasi, lalu berpaling kembali padanya, tersenyum penuh kemenangan. "Satu untukku!" ia menyatakan. 
Danny duduk perlahan, noda rumput mencoreng dada kausnya. "Bantu aku berdiri." 
Dia mengulurkan tangannya pada Hannah. 
Hannah meraihnya untuk menarik Danny - dan tangannya menembusnya! 




19. 

Mereka berdua berteriak terkejut. 
"Hei, ayolah! Bantu aku," kata Danny.
Jantungnya berdebar kencang, Hannah berusaha untuk meraih tangannya lagi.
Tapi sekali lagi tangannya menembus Danny. 
"Hei -!" teriak Danny, matanya melebar ketakutan . Dia melompat berdiri, menatap tajam Hannah. 
"Aku tahu itu," kata Hannah pelan, mengangkat tangannya ke pipinya. Dia mundur selangkah, menjauh dari Danny. 
"Tahu? Tahu apa ?" Danny terus menatap Hannah, wajahnya penuh dengan kebingungan. "Apa yang terjadi, Hannah?" 
"Berhentilah berpura-pura," kata Hannah, tiba-tiba merasa seluruh (tubuhnya) kedinginan meskipun sinar matahari pagi itu cerah. "Aku tahu kebenaran, Danny. Kau hantu." 
"Hah?" Mulut Danny ternganga tak percaya. Dia melepas topi Cubs-nya dan menggaruk rambutnya, menatap tajam pada Hannah sebentar. 
"Kau hantu," ulang Hannah, suaranya gemetar. 
"Aku?" teriaknya. "Tak mungkin! Apakah kau gila? Aku bukan hantu!"
Tanpa peringatan, Danny melangkah ke depan Hannah dan menggerakkan tangannya di dada Hannah. 
Hannah tersentak saat tangan Danny menembus tubuhnya. 
Dia tak merasakan apa-apa. Seolah-olah dia tak ada di sana. 
Danny menjerit dan menyentakkan tangannya kembali seolah-olah terbakar. Dia menelan ludah, ekspresinya penuh dengan kengerian. "K-kau -" dia tergagap. 
Hannah mencoba untuk menjawab, tapi kata-kata tersangkut di tenggorokannya. 
Melirik dirinya dengan ngeri untuk terakhir kalinya, Danny lalu berbalik dan mulai berlari dengan kecepatan penuh menuju rumahnya. 
Hannah menatap tak berdaya padanya  sampai dia menghilang melalui pintu belakang. Pintu itu terbanting keras di belakangnya. 
Bingung, Hannah berbalik dan mulai berlari pulang. 
Dia merasa pusing. Tanah tampak berputar-putar di bawahnya. Langit biru berpendar dan menjadi terang menyilaukan. Rumahnya miring dan bergoyang-goyang. 
"Danny bukan hantu," kata Hannah keras. "Aku akhirnya tahu yang sebenarnya. Danny bukan hantu. Akulah hantunya!" 




20. 

Hannah melangkah ke pintu belakang, lalu ragu-ragu. 
Aku tak bisa pulang sekarang, pikirnya. Aku harus berpikir. 
Mungkin aku akan berjalan-jalan atau yang lainnya. 
Dia memejamkan matanya, mencoba untuk melenyapkan pusingnya. Ketika dia membuka matanya, segalanya tampak lebih terang, terlalu terang untuk ditahan. 
Melangkah hati-hati dari beranda belakang, ia menuju ke arah depan, kepalanya berputar. 
Aku hantu. 
Aku bukan orang yang nyata lagi. 
Aku hantu. 
Suara-suara mendobrak ke dalam pikiran bingung Hannah. Seseorang mendekat. 
Dia merunduk menghilang di balik pohon maple besar dan mendengarkan. 
"Ini rumah indah yang sempurna." Hannah mengenali suara Bu Quilty itu.
"Sepupuku dari Detroit melihatnya minggu lalu," kata wanita lain. Hannah tak mengenalinya. Mengintip keluar dari balik batang pohon, Hannah melihat bahwa wanita itu ramping kelihatannya kurus memakai gaun kuning. Dia dan Bu Quilty berdiri pertengahan jalan masuk, mengagumi rumah Hannah. 
Takut dia mungkin terlihat, Hannah merunduk kembali ke balik pohon. 
"Apakah sepupumu suka rumah itu?" tanya Bu Quilty pada temannya. 
"Terlalu kecil," jawabnya singkat. 
"Sayang sekali," kata Bu Quilty dengan desahan keras. "Aku benci punya sebuah rumah kosong di blok ini." 
Tapi rumah itu tak kosong! Pikir Hannah dengan marah. Aku tinggal di sini! Seluruh keluargaku tinggal di sini - bukan begitu? 
"Berapa lama rumah itu kosong?" tanya wanita lain itu. 
"Sejak rumah itu dibangun kembali," Hannah mendengar jawaban Bu Quilty. "Kau tahu. Setelah kebakaran mengerikan itu. Kurasa itu lima tahun yang lalu." 
"Kebakaran?" Tanya teman Bu Quilty. "Itu sebelum aku pindah ke sini. Apakah seluruh rumah terbakar?" 
"Sebagian besar," kata Bu Quilty padanya. "Itu sangat mengerikan, Beth. Benar-benar tragedi. Keluarga itu terperangkap di dalam. Keluarga yang benar-benar baik. Seorang gadis muda. Dua anak laki-laki. Mereka semua meninggal malam itu."
Impianku! Hannah berpikir, mencengkeram batang pohon untuk menahan dirinya. Itu bukan mimpi. Itu kebakaran asli. Aku benar-benar mati malam itu. 
Air mata bercucuran di wajah Hannah. Kakinya terasa lemas dan gemetar. Dia bersandar di kulit kayu pohon yang kasar dan mendengarkan. 
"Bagaimana itu terjadi?" Beth, teman Bu Quilty bertanya. "Apa mereka tahu apa yang memulai api?" 
"Ya. Anak-anak itu membuat semacam api unggun di belakang. Di belakang garasi," lanjut Bu Quilty. "Ketika mereka masuk ke dalam, mereka tidak memadamkannya sepenuhnya. Rumah terbakar setelah mereka tidur. Api menyebar begitu cepat."
Hannah melihat dua wanita itu menatap rumah itu dengan penuh pikiran dari posisi mereka di jalan masuk. Mereka menggelengkan kepala.
"Rumah itu musnah, lalu dibangun kembali," kata Bu Quilty. "Tapi tidak ada yang pernah pindah ke sana. Sudah lima tahun. Bisakah kau bayangkan?" 
Aku sudah mati selama lima tahun, pikir Hannah, membiarkan air mata mengalir di pipinya. Tak heran aku tak tahu Danny atau teman-temannya. 
Tak heran aku belum mendapatkan surat dari Janey. Tak heran aku belum mendengar kabar dari teman-temanku.
Aku sudah mati selama lima tahun. 
Sekarang, Hannah mengerti mengapa kadang-kadang waktu tampak tetap, dan kadang-kadang melayang begitu cepat. 
Hantu-hantu datang dan pergi, pikirnya sedih. Kadang-kadang aku cukup padat untuk naik sepeda atau menendang bola sepak. Dan kadang-kadang aku begitu tipis, tangan seseorang dapat menembus diriku. 
Hannah melihat dua wanita itu berjalan ke blok sampai mereka menghilang dari pandangan. Menempel di batang pohon, dia tak berusaha untuk bergerak. 
Itu semua mulai masuk akal untuk Hannah. Mimpi seperti hari-hari musim panas. Kesepian. Perasaan bahwa sesuatu tidak benar. 
Tapi bagaimana tentang Ibu dan Ayah? tanyanya pada diri sendiri, mendorong diri dari pohon. Bagaimana dengan si kembar? Apakah mereka tahu? Apakah mereka tahu bahwa kami semua hantu?
"Bu!" teriaknya, berlari ke pintu depan. "Bu!" 
Dia menghambur ke dalam rumah dan berlari melalui lorong ke dapur. "Bu! Ibu! Di mana Anda! Bill? Herb?" 
Sunyi. 
Tak ada orang di sana. 
Mereka semua telah lenyap. 




21. 

"Kalian dimana?" teriak Hannah dengan keras. "Bu! Bill! Herb!" 
Apakah mereka lenyap selamanya? 
Kami semua hantu, pikirnya sedih.
Semua. 
Dan sekarang mereka telah meninggalkanku di sini sendirian. 
Jantungnya berdebar-debar, ia menatap ke sekeliling dapur. 
Dapur itu kosong. Kosong. 
Tak ada kotak sereal di meja di mana  kotak itu biasanya disimpan. Tak ada magnet-magnet lucu di kulkas. Tak ada tirai di jendela. Tak ada jam di dinding. Tak ada meja dapur. 
"Kalian dimana?" panggil Hannah putus asa. 
Dia menjauh dari meja dan berlari pergi melalui rumah. 
Semuanya tak ada isinya. Semuanya kosong. 
Tak ada pakaian. Tak ada perabot rumah. Tak ada lampu-lampu atau poster-poster di dinding atau buku-buku di rak buku. 
Lenyap. Semuanya lenyap. 
Mereka sudah meninggalkanku di sini. Hantu. Satu hantu sendirian. 
"Aku harus berbicara dengan seseorang," katanya lantang. "Siapapun!" 
Dia mencari telpon dengan putus asa sampai ia menemukan satu telpon merah di dinding dapur kosong itu. 
Siapa yang bisa kutelpon? Siapa? 
Tak ada. 
Aku mati. 
Aku sudah mati selama lima tahun. 
Dia mengangkat gagang telepon dan membawanya ke telinga. 
Sunyi. Telepon itu juga mati. 
Dengan menangis putus asa, Hannah membiarkan tangkai telpon itu jatuh ke lantai. Hatinya berdebar-debar, sekali lagi air mata membasahi pipinya, ia menghempaskan diri turun ke lantai kosong itu. 
Terisak pelan pada dirinya sendiri, ia membenamkan kepalanya di tangannya dan membiarkan kegelapan melandanya. 
***
Saat dia membuka matanya, kegelapan itu masih tetap ada. 
Dia menarik diri, awalnya tak yakin di mana dia berada. Merasa gemetar dan tegang, ia mengangkat matanya ke jendela dapur. Di luar, langit biru-hitam. 
Malam. 
Waktu mengapung keluar dan masuk saat kau itu hantu, Hannah menyadari. Itulah mengapa musim panas telah terasa begitu singkat dan begitu terbatas pada waktu yang sama. Dia merentangkan tangannya ke langit-langit, kemudian berjalan dari dapur. 
"Ada orang di rumah?" teriaknya.
Dia tak terkejut dengan kesunyian yang menyambut pertanyaannya. 
Keluarganya sudah pergi. 
Tapi di mana? 
Saat ia berjalan melalui lorong gelap kosong ke depan rumah, dia punya firasat lain. Perasaan takut lainnya. 
Sesuatu yang buruk akan terjadi. 
Sekarang? Malam ini? 
Dia berhenti di pintu depan terbuka dan mengintip melalui layar pintu. "Hei -!" Danny di atas sepedanya, mengayuh perlahan menyusuri jalan masuk rumahnya. 
Menurui kata hatinya, Hannah membuka pintu dan berlari keluar. "Hei - Danny!" 
Danny memperlambat sepedanya dan berpaling pada Hannah. 
"Danny - tunggu!" panggilnya, berlari melintasi halaman rumahnya ke arah Danny. 
"Jangan - tolonglah!" Wajah Danny sangat ketakutan. Dia mengangkat kedua tangannya seolah-olah untuk melindungi dirinya sendiri. 
"Danny -?" 
"Pergi!" teriak Danny, suaranya melengking ketakutan. "Tolong - menjauhlah!" Dia mencengkeram setang dan mulai mengayuh mati-matian menjauh. 
Hannah melompat mundur, kaget dan terluka. "Jangan takut padaku!" teriaknya padanya, menangkupkan kedua tangan di sekitar mulutnya agar didengar. "Danny, tolonglah - jangan takut!" 
Bersandar di atas setang, Danny pergi tanpa menengok ke belakang. 
Hannah menjerit terluka. 
Saat Danny menghilang ke blok, perasaan takut melanda Hannah. 
Aku tahu ke mana dia pergi, pikirnya.
Dia menemui Alan dan Fred, dan mereka akan ke rumah Pak Chesney. Mereka akan membalas dendam pada Pak Chesney. 
Dan sesuatu yang sangat buruk akan terjadi. 
Aku akan ke sana juga, Hannah memutuskan. 
Aku harus pergi juga. 
Dia bergegas ke garasi untuk mengambil sepedanya. 
***
Pak Chesney telah memperbaiki kotak suratnya, Hannah melihatnya. Sayap angsa pahatan tangan melayang keluar dari tiang, yang telah dikembalikan ke posisi lurus. 
Meringkuk di balik pohon rendah yang sama, Hannah melihat tiga anak laki-laki itu di seberang jalan. Mereka ragu-ragu di tepi halaman Pak Chesney, tersembunyi dari rumah dengan pagar tinggi. 
Dalam cahaya putih pucat lampu jalanan ini, Hannah bisa melihat mereka tersenyum dan bercanda. Lalu ia melihat Fred mendorong Danny ke kotak surat itu. 
Hannah mengangkat tatapannya luar pagar pada rumah kecil Pak Chesney. Lampu oranye itu bersinar samar-samar dari jendela ruang tamu. Lampu teras menyala. Bagian rumah lainnya dalam kegelapan. 
Apa Pak Chesney di rumah? Hannah tak tahu. 
Mobil Plymouth tuanya tak ada di jalan masuk. 
Hannah berjongkok di balik pohon hijau itu. Cabang-cabangnya yang berduri bergerak naik turun dalam angin sepoi-sepoi. 
Dia melihat Danny berusaha untuk menarik kotak surat itu. Alan dan Fred berdiri di belakangnya, mendorongnya
Danny mencengkeram kedua sayap menonjol itu dan menarik. 
Fred menepuk punggungnya. "Lebih keras!" teriaknya. 
"Pengecut!" Alan menyatakan, tertawa.
Hannah terus melirik gugup ke rumah itu. Anak-anak itu begitu berisik. Apa yang membuat mereka begitu yakin bahwa Pak Chesney tak ada di rumah?
Apa yang membuat mereka begitu yakin bahwa Chesney tak akan menepati janjinya dan mengejar mereka dengan senapannya? 
Hannah bergidik. Dia merasakan tetesan keringat meluncur  di dahinya.
Dia melihat Danny mati-matian menarik kotak surat itu. Dengan satu tarikan keras, dia membuatnya miring. 
Fred dan Alan bersorak gembira. 
Danny mulai mengayun-ngayunkan kotak surat itu, mendorongnya dengan bahunya, lalu menariknya kembali. Kotak surat itu menjadi goyah, miring lebih jauh di setiap dorongan, setiap tarikan. 
Hannah mendengar erangan keras Danny saat ia memberi kotak itu dorongan kuat yang terakhir - dan kotak surat itu jatuh ke samping di tanah. Ia mundur, senyum kemenangan (tampak) di wajahnya. 
Fred dan Alan bersorak lagi dan ber-tos. 
Fred mengambil kotak surat itu, mengangkatnya di bahunya, dan mengaraknya mondar mandir di depan pagar, seolah-olah itu bendera musuh.
Saat mereka merayakan kemenangan mereka, Hannah sekali lagi melirik ke atas pagar ke rumah remang-remang itu. 
Tak ada tanda dari Pak Chesney. 
Mungkin dia tak ada di rumah. Mungkin anak-anak akan bisa pergi tanpa tertangkap. 
Tapi mengapa Hannah masih memiliki perasaan sangat takut yang membebaninya, tubuhnya kedinginan?
Dia tersentak saat dia melihat suatu bayangan bergeser melewati sudut rumah.
Pak Chesney? 
Bukan. 
Menyipitkan mata dengan keras ke dalam cahaya redup itu, Hannah merasa hatinya mulai berbunyi di dadanya. 
Tak ada orang di sana. Tapi bayangan apa  itu? 
Dia dengan pasti melihatnya, sebentuk bayangan yang lebih gelap dari pada malam yang panjang itu, bergerak pelan di rumah yang agak kelabu itu.
Suara keras anak-anak menyela pikirannya, menarik perhatiannya menjauh dari rumah. 
Fred melemparkan kotak pos itu ke pagar. Sekarang mereka telah bergerak ke arah jalan masuk. Mereka sedang membicarakan sesuatu, berdebat keras. Alan tertawa. Fred mendorong Alan dengan main-main. Danny mengatakan sesuatu, tapi Hannah tak bisa mendengar kata-katanya. 
Pergilah, desak Hannah pada mereka di dalam benaknya. Pergilah dari sana. Kalian telah menarik kelakar bodoh kalian, telah melakukan balas dendam bodoh kalian. 
Sekarang pergilah - sebelum kalian tertangkap. 
Dahan-dahan pepohonan hijau itu bergerak naik turun diam-diam dalam hembusan angin panas. Hannah melangkah kembali ke kegelapan, matanya tertuju pada anak-anak.
Mereka berkumpul bersama di bagian bawah halaman. Mereka berbicara dengan bersemangat, ketiga-tiganya sekaligus. Lalu Hannah melihat kerlipan cahaya. Cahaya itu terpancar sebentar, lalu padam. 
Itu adalah korek api, Hannah menyadari. 
Alan memegang kotak besar korek api dapur. 
Hannah melirik gugup ke rumah itu. Semua masih tetap. Tak ada Pak Chesney. Tak ada bayangan yang bergerak pelan di dinding. 
Pulanglah. Tolong, pulanglah ke rumah, diam-diam dia mendesak anak-anak laki-laki itu.
Tetapi untuk kecemasannya, mereka berbalik dan mulai berlari-lari kecil menaiki jalanan berkerikil itu. Mereka merunduk rendah saat mereka berlari, berusaha untuk tak terlihat dari rumah. 
Apa yang mereka lakukan? Hannah bertanya-tanya, merasa semua otot-ototnya menegang ketakutan. Gigilan ketakutan bergerak menuruni punggungnya saat ia melangkah keluar dari balik pohon berdaun hijau itu. 
Apa yang akan mereka lakukan? 
Ia berjalan cepat melintasi jalan dan merunduk di depan pagar, jantungnya berdebar-debar. 
Dia tak bisa mendengar mereka. Mereka pasti hampir sampai ke rumah sekarang. 
Haruskah ia mengikuti mereka? 
Dia berdiri perlahan dan mengangkat dirinya berjinjit untuk melihat melalui pagar. 
Ketiga anak laki-laki itu, Alan  memimpin, diikuti oleh Danny dan Fred, membungkuk rendah, berlari cepat di depan rumah. Tertangkap dalam cahaya oranye redup, cahaya dari jendela, Hannah bisa melihat ekspresi  tekad mereka. 
Kemana mereka pergi? Apa yang mereka rencanakan? 
Hannah melihat mereka berlari ke dalam kegelapan di sekitar sisi rumah
Masih tak ada tanda-tanda dari Pak Chesney. 
Menjaga dekat dengan pagar, Hannah berjalan ke jalan masuk. Lalu, tanpa berpikir tentang hal itu, bahkan tanpa sadar, dia juga berlari. 
Dia terdiam saat ia melihat Alan mendorong Danny masuk ke dalam jendela yang terbuka. Lalu Fred melangkah maju, mengangkat tangannya ke langkan jendela, dan membiarkan Alan mendorongnya. 
Jangan - tolonglah! Hannah ingin berteriak.
Jangan masuk ke rumah itu! Jangan masuk ke sana! 
Tapi dia sudah terlambat. 
Mereka bertiga semuanya telah naik masuk ke dalam rumah. 
Bernapas keras, Hannah mulai bergerak pelan ke arah jendela. 
Tapi setengah jalan di sana, dia merasakan sesuatu meraih kakinya dan menahannya di tempat. 




22. 

Hannah mengeluarkan jeritan diam. 
Dia berusaha untuk membebaskan kakinya - dan segera menyadari bahwa ia telah melangkah ke dalam gulungan selang taman. 
Menghembuskan napas keras, ia mengangkat kakinya dari itu dan merayap di sisa jalan ke jendela yang terbuka itu. 
Sisi rumah itu tertutup dalam kegelapan. Jendela itu terlalu tinggi bagi Hannah untuk bisa melihat ke dalam ruangan. 
Berdiri di bawah jendela, Hannah bisa mendengar sepatu anak-anak itu berdebam di papan lantai kosong itu. Dia bisa mendengar suara-suara berbisik dan tawa-tawa teredam bernada tinggi. 
Apa yang mereka lakukan di sana? dia bertanya-tanya, seluruh tubuhnya tegang ketakutan. 
Tidakkah mereka menyadari betapa banyak kesulitan yang akan mereka dapatkan? 
Cahaya terang di samping rumah membuat Hannah melompat kembali dengan teriakan kaget. 
Dia jatuh ke tanah dan berputar. Dan melihat lampu melalui pagar tinggi. Lampu mobil mengambang ke arah jalan masuk. 
Pak Chesney? 
Apakah ia pulang ke rumah? Kembali pulang tepat waktu untuk menangkap ketiga penyusup itu di rumahnya? 
Hannah membuka mulutnya untuk meneriakkan peringatan kepada anak-anak laki-laki itu. Tapi suaranya tercekat di tenggorokannya. 
Lampu itu melayang lewat. Kegelapan bergulir kembali ke halaman. 
Gemuruh mobil itu menghilang. 
Itu bukan Pak Chesney, Hannah menyadari. 
Dia berusaha berdiri dan kembali ke tempatnya di bawah jendela. Dia memutuskan ia harus membiarkan anak laki-laki tahu bahwa ia ada di sana. Dia harus membuat mereka keluar dari sana! 
"Danny!" teriaknya, membungkus tangannya di sekitar mulutnya sebagai pengeras suara. "Pergilah. Ayo - keluarlah sekarang!" 
Perasaan takut membebaninya. Dia berteriak ke jendela lagi. "Keluarlah. Cepatlah - tolong" 
Dia bisa mendengar suara-suara teredam mereka di dalam. Dan dia bisa mendengar gesekan-gesekan sepatu di lantai. 
Menatap jendela, ia melihat suatu lampu menyala. Oranye terang, pertama-tama redup, lalu terang. 
"Apa kalian gila?" teriaknya kepada mereka. "Matikan lampu itu!" 
Apa-apaan itu, mereka menyalakan lampu? 
Apa mereka ingin tertangkap? 
"Matikan lampu!" ulangnya dengan suara tinggi melengking, ketakutan. 
Tapi cahaya oranye jadi lebih terang, menjadi kuning terang. 
Dan saat ia menatap dengan ngeri, Hannah menyadari cahaya itu berkelap-kelip. 
Bukan cahaya lampu. 
Cahaya api. 
Api! 
Mereka membuat kebakaran! 
"Jangan!" teriaknya, mengangkat tangannya pada sisi wajahnya. "Jangan! Keluar! Keluar dari sana!" 
Dia bisa mencium bau asap sekarang. Dia bisa melihat bayangan api berlompatan di kaca jendela. 
Dia mulai berteriak kepada mereka lagi - tapi berhenti ketika dia melihat bayangan itu bergerak ke arahnya di dinding rumah. 
Hannah berhenti dan memutar tatapannya. 
Dan melihat sosok gelap itu, lebih hitam daripada malam, mata merahnya bersinar terang dari kegelapan wajahnya. 
Sosok itu diam-diam melangkah ke arahnya, melayang cepat di atas rerumputan tinggi, rumput liar yang bertebaran. Mata merah itu tampak terang saat mendekat. 
"Hannah - menjauhlah!" kata bayangan bergerak itu dengan suara kering seperti daun-daun kering, 
"Hannah - menjauhlah." 
"Jaangaaaan!" Hannah meraung ketakutan saat sosok itu bergerak ke arahnya. Semburan udara sangat dingin melingkari tubuhnya. "Jaangaaan!" 
"Hannah... Hannah..." 
"Siapa kau?" tuntutnya. "Apa yang kau inginkan?" 
Di belakangnya, ia bisa mendengar derakan lidah api sekarang. Cahaya kuning itu berkelap-kelip di belakang gelombang asap hitam yang mencekik dari jendela yang terbuka. 
Mata berapi-api itu bersinar lebih terang, sosok bayangan itu mengangkat dirinya sendiri, berdiri lebih dekat, lebih dekat, menjulurkan lengannya, bersiap-siap menariknya masuk. 




23. 

Dicekam rasa takut, Hannah mengangkat kedua tangannya di depannya seakan mencoba untuk melindungi dirinya sendiri. 
Dia mendengar garukan tiba-tiba di jendela. Satu jeritan tertahan di atas kepalanya. 
Sosok bayangan itu menghilang. 
Dan kemudian dia merasa ada seseorang terguling di atas tubuhnya.
Mereka berdua jatuh bertumpukan ke tanah. 
"Alan!" teriaknya. 
Alan berusaha berdiri, matanya melebar panik. "Korek api!" jeritnya. "Korek api. Kami - kami tak bermaksud. Kami -." 
Sosok lain terjun keluar dari jendela saat derak lidah api berkembang menjadi raungan. Fred mendarat keras di siku dan lututnya. 
Hannah menatap pada wajah kebingungannya dalam cahaya oranye yang bergerak cepat. "Fred - apa kau baik-baik saja?" 
"Danny," gumamnya, menatap dengan ngeri. "Danny di sana. Dia tak bisa keluar." 
"Hah?" Hannah melompat berdiri. 
"Danny terjebak dalam api. Dia akan terbakar!" jerit Alan. 
"Kita harus cari bantuan!" kata Fred, berteriak mengalahkan deru api. Dia menarik lengan Alan. Kedua anak berangkat, berjalan limbung menyeberangi halaman menuju rumah sebelah. 
Lidah-lidah api oranye-kuning terang menjilat ambang jendela di atas kepala Hannah. 
Aku harus menyelamatkan Danny, pikirnya. 
Dia menarik napas dalam-dalam, menatap kerlipan itu, kerlap-kerlip cahaya api. Kemudian ia mulai menuju jendela yang terbuka. 
Tapi sebelum dia bisa melangkah, cahaya dari jendela menghilang. Bayangan itu naik di depannya. 
"Hannah - pergilah." bisikan tajam yang menakutkan itu begitu dekat dengan wajahnya. "Pergilah." 
"Tidak!" jerit Hannah, lupa akan ketakutannya. "Aku harus menyelamatkan Danny." 
"Hannah... kau tak akan menyelamatkan dia!" terdengar jawaban serak. 
Sosok gelap itu, bermata terbakar, melayang di atasnya, menghalangi jalan Hannah ke jendela. 
"Biarkan aku pergi!" jerit Hannah. "Aku harus menyelamatkannya!" 
Mata merah mengancam itu semakin mendekat. Kegelapan turun menjadi lebih berat di sekelilingnya. 
"Siapa kau?" jerit Hannah. "Apa kau itu? Apa yang kau inginkan?" 
Sosok gelap itu tak menjawab. Mata bersinar itu tertuju padanya. 
Danny terjebak di sana, Hannah pikir. Aku harus masuk ke jendela itu. 
"Minggirlah!" jerit  Hannah. Dan dalam keputusasaan, dia mengulurkan kedua tangannya - menyambar bahu sosok gelap itu - dan mencoba mendorongnya keluar dari jalan. 
Hannah kaget, sosok itu terasa padat. Dengan jeritan tekad, ia mengangkat kedua tangannya ke wajah itu - dan menarik. 
Kegelapan yang menyelubungi wajahnya terjatuh - dan di bawah kegelapan itu, tampak wajah Danny! 




24. 

Hannah menatap ngeri dan tak percaya, berusaha untuk bernapas. Bau asam mencekiknya. Kegelapan terus menyelubunginya, menahannya sebagai tahanan.
Danny menyeringai ke arahnya, dengan mata merah bersinar yang sama seperti sebelum dia membuka kedoknya. 
"Tidak!" jerit Hannah, suaranya berbisik serak, tegang ketakutan. "Ini bukan kau, Danny. Bukan!." 
Suatu senyum keji bermain-main di sosok dengan wajah bercahaya itu. "Aku hantu Danny!" ia menyatakan. 
"Hantu?" Hannah mencoba untuk menarik kembali. Tapi kegelapan menahannya erat-erat. 
"Aku hantu Danny. Saat ia mati dalam api, aku tak akan lagi jadi bayangan. Aku akan LAHIR - Dan Danny akan pergi ke dunia bayangan di tempatku!"
"Tidak, tidak!" jerit Hannah, mengacungkan tinjunya di depannya. "Tidak! Danny tak akan mati! Aku tak akan membiarkan dia mati!"
Hantu Danny membuka mulut dan mengeluarkan tawa berbau busuk.
"Kau terlambat, Hannah!" dia menyeringai. "Terlambat." 




25. 

"Tiiidaaaaak!" 
Raungan Hannah bergema di kegelapan yang mengepungnya. 
Mata merah hantu Danny menyala marah saat Hannah mendadak menembus tubuhnya. 
Sedetik kemudian, ia mengangkat tangannya ke langkan jendela. "Oh!" Kusen itu panas karena api. 
Menggunakan semua kekuatannya, ia menarik dirinya ke arah lidah-lidah api yang menyambar-nyambar - dan masuk ke dalam rumah. Suatu tirai asap asam tebal bereaksi untuk menyambutnya. 
Mengabaikan asap dan dinding api yang terang, Hannah menurunkan dirinya dengan keras ke lantai. 
Aku hantu, katanya pada diri sendiri, melangkah ke ruangan lautan api itu.
Aku hantu. Aku tak bisa mati lagi. 
Dia mengusap matanya dengan lengan kausnya, berusaha untuk melihat.
"Danny?" panggilnya, berteriak sekeras yang dia bisa. "Danny - aku tak bisa melihatmu! Kau di mana?"
Melindungi matanya dengan satu tangan, Hannah melangkah lagi ke dalam ruangan. Lidah-lidah api terangkat seperti geyser (air mancur panas) yang terang. Kertas dinding di salah satu dinding telah tergulung ke bawah, pojokan menghitam tertutupi dengan loncatan lidah-lidah api. 
"Danny - kau di mana?" 
Dia mendengar teriakan teredam dari kamar sebelah. Dengan bersemangat melalui pintu yang dikelilingi api, Hannah melihat Danny - terperangkap di belakang dinding tinggi api. 
"Danny -!" 
Danny mundur ke sudut, kedua tangannya terangkat bersama-sama di depannya, melindungi wajah dari asap.
Aku tak bisa melalui lidah-lidah api yang tebal itu, Hannah menyadari dengan ngeri.
Dia melangkah lagi ke dalam ruangan, lalu tertahan kembali.
Tidak. 
Tak mungkin aku bisa menyelamatkannya. 
Tapi sekali lagi, ia mengingatkan dirinya: aku hantu. Aku bisa melakukan hal-hal yang tak bisa dilakukan orang-orang yang hidup. 
"Tolong aku! Tolong aku!" 
Suara Danny terdengar kecil dan jauh di belakang gelombang loncatan lidah-lidah api.
Tanpa ragu-ragu lagi seketika itu, Hannah menghela napas dalam-dalam, menahannya - dan melompat ke dalam lidah api. 
"Tolong aku!" Danny menatap Hannah, matanya kosong. Dia tampaknya tidak melihat Hannah. "Tolong!" 
"Ayo!" Hannah meraih tangan Danny dan menariknya. "Ayo kita pergi!" 
Lidah-lidah api membungkuk ke arah mereka, seperti lengan yang menyala-nyala terulur untuk menangkap mereka.
"Ayo!" 
Hannah menarik lagi, tapi Danny menahan diri. "Kita tidak bisa!" 
"Ya - kita harus!" teriak Hannah. 
Panas membakar lubang hidungnya. Hannah menutup matanya pada kuning terang yang menyilaukan. "Kita harus!" 
Hannah meraih tangan Danny dengan kedua tangannya dan menariknya. 
Asap hitam beterbangan di sekitar mereka. Tersedak, Hannah menutup matanya dan menarik Danny, menariknya ke dalam lidah-lidah api sangat panas yang membakar. 
Ke dalam lidah-lidah api. 
Melaluinya. 
Batuk dan tersedak. Dengan keringat menetes karena panas seperti tungku pembakaran. 
Menarik Danny. Menarik dengan membabi buta. Menarik dengan sekuat tenaga. 
Hannah tak membuka matanya sampai mereka berada di jendela. 
Dia tak bernapas sampai mereka jatuh jungkir balik ke tanah yang gelap yang dingin. 
Lalu, (bertumpu) pada tangan dan lututnya, terengah-engah begitu keras, megap-megap untuk udara bersih, Hannah mendongak. 
Di sana ada sesosok bayangan di dekat rumah, memutar dalam lidah-lidah api. Saat api memangsanya, sosok itu mengangkat tangan gelapnya ke langit - dan menghilang tanpa suara. 
Dengan napas lega, Hannah menurunkan pandangannya kepada Danny.
Dia berbaring telentang, ekspresi bingung tampak di wajahnya. "Hannah," bisiknya serak. "Hannah, terima kasih."
Hannah merasakan suatu senyum terlintas wajahnya. 
Semuanya berubah terang,  seterang dinding lidah-lidah api. 
Lalu semuanya menjadi gelap. 




26. 

Ibu Danny membungkuk di atasnya, menarik selimut tipis itu sampai ke dadanya.
"Bagaimana perasaanmu?" tanyanya dengan lembut. 
Itu adalah dua jam kemudian. Danny telah dirawat oleh paramedis yang tiba tak lama setelah petugas pemadam kebakaran. Mereka berkata kepada ibunya yang khawatir bahwa ia menderita karena menghirup asap dan mengalami beberapa luka bakar ringan.
Setelah mengobati luka bakar, mereka mengantarkan Danny dan Bu Anderson pulang dengan mobil ambulans. 
Sekarang Danny berbaring di atas tempat tidur, menatap ibunya, masih merasa pening dan bingung. Bu Quilty berdiri dengan cemas di pojokan, tangannya tergenggam tegang di depannya, melihat dengan diam. Dia bergegas untuk melihat keributan apa itu. 
"Aku - aku baik-baik saja, kurasa," kata Danny, menarik dirinya sedikit di atas bantal. "Aku hanya sedikit lelah." 
Ibunya mendorong seikat rambut pirang dari dahinya saat ia menunduk menatapnya, membaca bibirnya. "Bagaimana kau bisa keluar? Bagaimana kau bisa keluar dari rumah itu?" 
"Itu Hannah," kata Danny padanya. "Hannah menarikku keluar." 
"Siapa?" wajah Bu Anderson kebingungan. "Siapa Hannah?"
"Kau tahu," jawab Danny tak sabar. "Gadis tetangga sebelah." 
"Tak ada gadis tetangga sebelah," kata ibunya. "Apakah ada, Molly?" Dia berbalik untuk membaca bibir Bu Quilty. 
Bu Quilty menggeleng. "Rumah itu kosong." 
Danny duduk tegak. "Namanya Hannah Fairchild. Dia menyelamatkan hidupku, Bu." 
Bu Quilty mendesah simpatik. "Hannah Fairchild adalah gadis yang meninggal lima tahun lalu," katanya pelan. "Danny yang malang agak mengigau karena  demam, aku khawatir." 
"Berbaring saja," kata ibu Danny, dengan lembut mendorongnya kembali ke bantal. "Beristirahatlah. Kau akan baik-baik saja." 
"Tapi di mana Hannah? Hannah adalah temanku!" Danny bersikeras. 
Hannah menyaksikan adegan itu dari ambang pintu. 
Tiga orang di dalam ruangan tak bisa melihatnya, Hannah menyadari. 
Dia telah menyelamatkan nyawa Danny, dan sekarang ruangan dan orang-orang di dalamnya jadi samar, memudar menjadi abu-abu. 
Mungkin itulah mengapa keluargaku dan aku kembali setelah lima tahun, pikir Hannah. Mungkin kami kembali untuk menyelamatkan Danny dari sekarat dalam api seperti kami. 
"Hannah... Hannah..." Suatu suara memanggilnya. Suatu suara manis yang akrab dari kejauhan. 
"Apa itu Anda, Bu?" panggil Hannah. 
"Waktunya untuk kembali," bisik Bu Fairchild. "Kau harus pergi sekarang, Hannah. Sudah waktunya untuk pulang." 
"Baik, Bu." 
Dia menatap ke kamar tidur pada Danny, berbaring dengan damai di atas bantalnya. Hannah kini mulai memudar, memudar menjadi abu-abu. 
Hannah memicingkan mata ke benda padat agak kelabu itu. Rumah, ia tahu, rumah itu memudar. Bumi memudar dari pandangannya. 
"Pulanglah, Hannah," bisik ibunya. "Pulanglah pada kami sekarang." 
Hannah bisa merasakan dirinya mengambang sekarang. Dan saat ia melayang, dia melihat ke bawah - melihat bumi untuk terakhir kalinya. 
"Aku bisa melihatnya, Bu," katanya penuh semangat, menyapu air mata di pipinya. "Aku bisa melihat Danny. Di kamarnya. Namun cahaya semakin samar. Begitu samar." 
"Hannah, pulanglah. Pulanglah pada kami," bisik ibunya, memanggilnya pulang. 
"Danny - ingat aku!" teriak Hannah, saat wajah Danny muncul jelas dalam kabut abu-abu itu. 
Bisakah dia mendengarnya? 
Bisakah dia mendengar Hannah memanggilnya? 
Hannah berharap begitu.



No comments:

Post a Comment