Thursday, May 16, 2013

Gadis Pecinta Monster

RL Stine: 
Gadis Pecinta Monster
(Goosebumps # 8) 


1 

Aku suka menakut-nakuti adikku, Randy. Aku menceritakan kepadanya kisah yang menakutkan tentang monster sampai ia memohonku untuk berhenti. Dan aku selalu menggodanya dengan berpura-pura melihat monster-monster di mana-mana. 
Kurasa itulah sebabnya tak ada yang percaya padaku pada hari aku melihat monster asli. 
Kurasa itulah sebabnya tak ada yang percaya padaku sampai sudah terlambat, dan monster itu tepat di rumahku sendiri. 
Tapi lebih baik aku tak menceritakan akhir dari kisahku di permulaan. 
Namaku Lucy Dark. Aku berumur dua belas tahun. Aku tinggal dengan adikku, Randy, enam tahun, dan orang tuaku di sebuah rumah menengah di sebuah kota berukuran sedang yang disebut Timberland Falls.
(Timberland=tanah kayu, Land = daratan,tanah atau negeri  Falls=jatuh)
Aku tak tahu mengapa kota ini disebut Timberland Falls. Ada beberapa hutan di luar kota, tapi tak ada yang menebang pohon-pohon untuk kayu. Dan di sana tak ada yang jatuh. 
Jadi, mengapa (namanya) Timberland Falls? 
Ini misteri. 
Kami memiliki sebuah rumah dari bata merah di ujung jalan kami. Ada pagar tanaman yang tumbuh tinggi berbaris di sepanjang sisi rumah kami dan memisahkan halaman kami dari halaman Killeens tetangga sebelah. Ayah selalu berbicara tentang bagaimana ia harus memangkas pagar itu, tapi dia tak pernah mengerjakannya. 
Kami memiliki halaman depan kecil dan halaman belakang yang cukup besar dengan banyak pohon-pohon tua yang tinggi di dalamnya. Ada sebuah pohon sassafras tua di tengah halaman. Dingin dan teduh di bawah pohon itu. Di situlah aku suka duduk dengan Randy saat tak ada yang lebih baik lagi untuk dilakukan, dan melihat apa aku dapat benar-benar menakut-nakutinya!
(Sassafras= pohon kayu kuning dengan kayu yang rapuh, dedaunan dan kulit kayu yang beraroma)
Hal ini tak terlalu sulit. Randy gampang takut. 
Dia kelihatan banyak sepertiku, meskipun dia anak laki-laki. Dia punya rambut lurus hitam sepertiku, hanya  punyaku lebih panjang. Dia pendek untuk anak seusianya, seperti aku, dan sedikit agak gemuk. 
Dia berwajah bulat, lebih bulat dariku, dan mata hitam besar, yang benar-benar menonjol karena kami berdua memiliki kulit yang benar-benar putih pucat. 
Kata Ibu, Randy punya bulu mata lebih panjang dariku, yang membuatku semacam cemburu. Tetapi hidungku tegak, dan gigiku tak menonjol banyak saat aku tersenyum. Jadi kurasa aku seharusnya tak mengeluh.
Bagaimanapun, pada suatu siang yang panas beberapa minggu lalu, Randy dan aku duduk di bawah pohon sassafras tua itu, dan aku sedang bersiap-siap untuk menakut-nakutinya sampai mati. 
Aku benar-benar tak punya apa-apa yang lebih baik untuk dilakukan. Begitu musim panas tahun ini datang mendekat dan sekolah libur, sebagian besar teman-temaku yang benar-benar baik pergi untuk musim panas. Aku terjebak di rumah, dan jadi aku cukup kesepian. 
Randy biasanya benar-benar menyedihkan. Tapi setidaknya dia adalah seseorang untuk diajak bicara. Dan seseorang bisa aku takut-takuti.
Aku punya imajinasi yang benar-benar menggairahkan. Aku bisa menciptakan monster yang paling menakjubkan. Dan aku bisa membuat suara mereka benar-benar nyata. 
Ibu berkata dengan imajinasiku, mungkin aku akan menjadi penulis saat aku dewasa. 
Aku benar-benar tak tahu tentang itu.
Yang aku tahu bahwa itu tak perlu banyak imajinasi untuk menakut-nakuti Randy. 
Biasanya yang kulakukan adalah memberitahu dia ada raksasa mencoba pakaiannya di atas, di lemarinya, dan Randy jadi lebih putih dari biasanya dan seluruh tubuhnya mulai gemetar.
Anak malang. Aku bahkan bisa membuat giginya menggigil. Sulit dipercaya. 
Aku menyandarkan punggungku pada bagian yang  halus dari batang pohon dan meletakkan tangantu di atas rumput, dan memejamkan mata. Aku membuat sebuah cerita yang bagus untuk memberitahu saudaraku. 
Rumput terasa lembut dan lembab pada kakiku yang telanjang. Aku menusukkan jari-jari kakiku ke dalam tanah. 
Randy mengenakan celana pendek denim dan kaos putih polos tanpa lengan-. Dia berbaring miring, memetik sehelai rumput dengan satu tangan.
"Apakah kau pernah mendengar tentang Si Penggigit Jari Kaki Timberland Falls?" tanyaku padanya, menyikat seekor laba-laba dari celana tenis putihku. 
"Hah?" Dia terus menarik sampai sebilah rumput satu per satu, membuat gundukan kecil. 
"Ada monster yang disebut Penggigit Jari Kaki Timberland Falls," kataku pada Randy. 
"Ah, tolong, Lucy," rengeknya. "Kau bilang kau tak akan membuat cerita monster lagi." 
"Tidak, aku tidak!" Aku mengatakan padanya. "Cerita ini tak dikarang. Ini sungguhan." 
Dia menatapku dan nyengir. "Ya. Tentu." 
"Tidak. Sungguh," aku bersikeras, menatap tajam ke mata hitam bundarnya, sehingga dia tahu aku bersungguh-sungguh. "Ini adalah kisah nyata. Ini benar-benar terjadi. Di sini. Di Timberland Falls." 
Randy menarik dirinya ke posisi duduk. "Kupikir aku akan masuk dan membaca buku komik," katanya, melempar ke bawah segenggam rumput. 
Randy memiliki koleksi besar buku komik. Tapi semuanya itu komik Disney dan komik Archie karena komik superhero terlalu menakutkan baginya.
"Si Penggigit Jari Kaki muncul suatu hari tepat di tetangga sebelah," kataku pada Randy. Aku tahu begitu aku mulai cerita, ia tak akan pergi. 
"Keluarga Killeens?" tanyanya, matanya semakin lebar. 
"Ya. Dia tiba di tengah siang hari. Si Penggigit Kaki bukan monster malam, kau lihat. Dia monster sepanjang hari. Dia menyerang ketika matahari tinggi di langit. Persis seperti sekarang." 
Aku menunjuk ke atas melalui dedaunan pohon yang berkilauan dengan matahari, di atas kepala yang tinggi di langit biru musim panas yang cerah. 
"Monster se-sepanjang hari?" tanya Randy. Dia memutar kepalanya untuk melihat rumah keluarga Killeens menjulang tinggi di sisi lain dari pagar.
"Jangan takut. Ini terjadi beberapa musim panas lalu," lanjutku. "Becky dan Lilah di atas sana. Mereka berenang. Kau tahu. Dalam kolam renang plastik yang  ibu mereka memompanya untuk mereka. Salah satu yang separuh airnya yang selalu tumpah keluar." 
"Dan satu monster datang?" tanya Randy. 
"Si Penggigit Jari Kaki," kataku, menjaga ekspresiku sangat serius dan menurunkan suaraku nyaris menjadi bisikan. "Si Penggigit Jari Kaki datang merangkak di halaman belakang mereka." 
"Dari mana asalnya?" tanya Randy, bersandar ke depan. 
Aku mengangkat bahu. "Tak ada yang tahu. Kau lihat, satu hal tentang Penggigit Kaki adalah mereka sangat sulit untuk dilihat saat mereka merangkak di rumput. Karena mereka membuat dirinya sama persis sama dengan warna rumput." 
"Maksudmu mereka hijau?" tanya Randy, mengusap hidung gemuknya. 
Aku menggeleng. "Mereka hanya hijau saat mereka merayap dan merangkak di atas rumput," jawabku. "Mereka merubah warna mereka untuk mencocokkan dengan apa yang mereka berjalan di atasnya. Jadi kau tak dapat melihat mereka." 
"Nah, seberapa besar itu?" Randy bertanya serius. 
"Besar," kataku. "Lebih besar dari seekor anjing." Aku melihat semut merangkak naik ke kakiku, lalu menjentikkannya mati. "Tak ada yang benar-benar tahu seberapa besarnya karena monster ini menyatu dengan baik." 
"Jadi apa yang terjadi?" tanya Randy, terdengar sedikit terengah-engah. "Maksudku untuk Becky dan Lilah." Sekali lagi ia melirik ke arah atap sirap abu-abu rumah Killeens '. 
"Yah, mereka berada di kolam kecil plastik mereka," aku melanjutkan. "Kau tahu. Cebar cebur. Dan kurasa Becky berbaring telentang dan kakinya menggantung di sisi kolam renang. Dan monster yang berlari di atas rumput itu hampir-hampir tak terlihat Dan ia melihat jari-jari kaki Becky tergantung di udara." 
"Dan - dan Becky tak melihat monster itu?" tanya Randy. 
Aku bisa melihat dia mulai jadi benar-benar pucat dan gemetar. 
"Penggigit Jari Kaki benar-benar begitu sulit untuk dilihat," kataku, menjaga mataku terkunci pada Randy, menjaga wajahku sangat bersungguh-sungguh dan serius. 
Aku menarik napas dalam-dalam dan membiarkan keluar perlahan-lahan. Hanya untuk membangun ketegangan. Lalu aku melanjutkan cerita. 
"Becky tak melihat apa-apa pada awalnya. Lalu ia merasakan tanah menggelitiknya. Dia pikir itu anjing menjilati kakinya. Dia menendang sedikit dan berkata kepada anjing untuk pergi. 
"Tapi kemudian itu tak menggelitik begitu banyak. Itu mulai sakit. Becky berteriak pada anjing untuk berhenti. Tapi rasa sakit itu bertambah buruk. Rasanya sepertinya anjing itu mengunyah jari-jari kakinya, dengan gigi yang sangat tajam. 
"Ini mulai sakit seluruhnya. Jadi, Becky duduk dan menarik kakinya ke kolam.. Dan... Ketika ia menunduk menatap kaki kirinya, ia melihat hal itu." 
Aku berhenti dan menunggu Randy bertanya. 
"A-apa?" akhirnya ia bertanya dengan suara gemetar. "Apa yang dia lihat?" 
Aku membungkuk dan membawa mulutku dekat ke telinganya. "Semua jari-jari kaki kirinya hilang," bisikku. 
"Tidak!" jerit Randy. Dia melompat berdiri. Dia sepucat hantu, dan ia tampak benar-benar ketakutan. "Itu tak benar!" 
Aku menggeleng serius. Aku memaksa diri untuk tak tersenyum. "Mintalah Becky melepas sepatu kirinya," kataku. "Kau akan melihat." 
"Tidak! Kau bohong!" Randy meratap.
"Tanya dia," kataku pelan. 
Dan kemudian aku melirik ke kakiku, dan mataku melebar muncul dengan kengerian. "R-R-Randy - lihat!" Aku tergagap dan menunjuk dengan tangan gemetar ke kakiku. 
Randy menjerit memekakkan telinga saat ia melihat apa yang kutunjuk.
Semua jari kaki pada kaki kiriku hilang. 



2 

"Aaaaa!" 
Randy mengeluarkan raungan ketakutan lagi. Lalu ia pergi, berjalan dengan kecepatan penuh ke rumah, menangis pada Ibu. 
Aku mengejarnya. Aku tak ingin mendapat kesulitan karena menakut-nakutinya lagi. 
"Randy - tunggu! Tunggu! Aku baik-baik saja!" teriakku, tertawa. 
Tentu saja aku membenamkan  jari-jariku di tanah. 
Dia seharusnya sudah bisa mengetahuinya. Tapi ia terlalu takut untuk berpikir jernih. 
"Tunggu!" Aku memanggilnya. "Aku belum menunjukkan padamu monster di pohon!" 
Dia mendengarnya. Dia berhenti dan berbalik, wajahnya masih tegang ketakutan. "Hah?" 
"Ada monster di pohon," kataku, menunjuk ke pohon sassafras dimana kami baru saja duduk di bawahnya. 
"Satu monster pohon. Aku melihatnya!." 
"Tak mungkin!" teriaknya, dan mulai berjalan lagi ke rumah. 
"Aku akan menunjukkan kepadamu!" Aku memanggil, menangkupkan tangan di sekitar mulutku jadi dia akan mendengarku. 
Dia tak melihat ke belakang. Aku melihatnya tersandung menaiki tangga ke beranda belakang dan menghilang ke dalam rumah. Pintu kasa terbanting keras di belakangnya. 
Aku berdiri menatap bagian belakang rumah, menunggu Randy melongokkan kepala ketakutannya keluar lagi. Tapi dia tak melakukannya. 
Aku tertawa terbahak-bahak. Maksudku, penggigit jari kaki adalah salah satu ciptaan terbaikku. Dan kemudian jari kakiku menggali ke dalam tanah dan juga berpura-pura monster itu mendapatkanku - lelucon yang lucu sekali! 
Randy yang malang. Dia benar-benar terlalu mudah jadi korban. 
Dan sekarang ia mungkin di dapur, menjerit mengadukanku pada Ibu. Itu berarti dalam waktu dekat aku akan dapat kuliah lain tentang bagaimana hal itu tak bagus untuk menakut-nakuti adikku dan memenuhinya dengan cerita-cerita monster yang menakutkan. 
Tapi apa lagi yang bisa dilakukan? 
Aku berdiri di sana menatap rumah, menunggu salah satu dari mereka untuk memanggilku masuk. Tiba-tiba satu tangan meraih bahuku keras dari belakang. 
"Kena kau!" satu suara menggeram. 
"Oh!" Aku menjerit dan hampir melompat keluar dari kulitku (maksudnya sangat kaget-pen). 
Monster! 
Aku berbalik - dan menatap wajah tertawa dari temanku Aaron Messer.
Aaron tertawa terkikik bernada tinggi sampai dia meneteskan air matanya. 
Aku menggelengkan kepala, mengerutkan kening. "Kau tak membuatku takut," aku bersikeras. 
"Oh. Tentu," jawabnya sambil memutar bola mata birunya. "Itu sebabnya kau berteriak minta tolong!" 
"Aku tak berteriak minta tolong," protesku. "Aku hanya sedikit berteriak. Terkejut. Itu saja." 
Aaron terkekeh. "Kau pikir itu adalah monster. Akuilah." 
"Monster?" kataku, mencibir. "Mengapa aku berpikir begitu?" 
"Karena itu yang kaupikirkan," katanya puas. "Kau terobsesi." 
"Oooh. Omong kosong!." Aku menggodanya. 
Aaron adalah satu-satunya temanku yang terjebak di sekitar musim panas ini (dalam ebook inggrisnya rammer, mungkin yang benar summer, karena rammer adalah nama peralatan hidrolis -pen) . Orang tuanya akan membawanya di suatu tempat ke barat dalam beberapa bulan. Tapi sementara ini dia terjebak seperti aku, cuma nongkrong, mencoba untuk mengisi waktu. 
Aaron sekitar satu kaki lebih tinggi dariku. Dia memiliki rambut merah keriting dan bintik-bintik di seluruh wajahnya. Dia sangat kurus, dan ia memakai celana kolor longgar panjang yang membuatnya tampak lebih kurus.
"Aku baru saja melihat Randy lari ke rumah. Mengapa dia menangis seperti itu?" tanya Harun, melirik ke rumah. 
Aku bisa melihat Randy di jendela dapur, menatap kami. 
"Kupikir dia melihat monster," kataku pada Harun. 
"Hah? Jangan monster lagi!" teriak Aaron. Dia memberiku dorongan main-main. "Pergi dari sini, Lucy!" 
"Ada satu di atas pohon itu," kataku serius, menunjuk. 
Aaron berbalik untuk melihat. "Kau begitu dungu," katanya, sambil menyeringai. 
"Tidak. Sungguh," aku bersikeras. "Ada satu monster asli yang jelek. Kurasa ia terjebak di sana di pohon itu." 
"Lucy, hentikanlah," kata Aaron.
"Itulah yang Randy lihat," aku lanjutkan. "Itulah yang membuatnya lari berteriak ke dalam rumah." 
"Kau melihat monster di mana-mana," kata Aaron. "Apakah kau tak pernah lelah akan itu?" 
"Aku tak bercanda kali ini," kataku.
Daguku gemetar, dan ekspresi wajahku berubah menjadi rasa takut saat aku menatap langsung melewati bahu Aaron di pohon sassafras besar berdaun itu. "Aku akan membuktikan kepadamu." 
"Ya. Tentu," jawab Harun dengan kesinisan yang biasa. 
"Sungguh. Ambillah sapu." Aku menunjuk ke sapu yang bersandar di belakang rumah.
"Hah? Apa?" tanya Aaron. 
"Ambillah sapu," aku bersikeras. "Kita akan melihat apakah kita bisa membuat monster itu turun dari pohon." 
"Eh.. Mengapa kita perlu melakukan itu?" tanya Aaron. Dia terdengar sangat ragu-ragu. Aku bisa melihat bahwa ia mulai bertanya-tanya apakah aku sedang serius atau tidak. 
"Jadi kau akan percaya padaku," kataku serius. 
"Aku tak percaya pada monster," jawab Aaron. "Kau tahu itu, Lucy. Simpan cerita monstermu untuk Randy Dia cuma anak-anak." 
"Apakah kau percaya padaku jika salah satunya jatuh keluar dari pohon itu?" tanyaku. 
"Tak ada yang akan jatuh keluar dari pohon itu. Kecuali mungkin beberapa daun," kata Aaron. 
"Pergilah ambil sapu dan kita akan lihat," kataku. 
"Oke. Baik." Ia pergi berlari menuju rumah. 
Aku meraih sapu keluar dari tangannya ketika ia membawanya di atas. "Ayo," kataku, memimpin jalan ke pohon. "Kuharap monster itu belum naik lagi."
Aaron memutar matanya. "Aku tak percaya aku akan sejauh ini, Lucy. Aku pasti benar-benar bosan!."
"Kau tak akan bosan dalam satu detik," aku berjanji. "Jika monster pohon itu masih di atas sana." 
Kami melangkah ke bayangan pohon. Aku bergerak mendekat ke batang pohon dan mendongak menatap cabang-cabang berdaun yang hijau. "Wah. Masih di sana." Aku meletakkan tanganku di dada Harun, menahannya. "Ini bisa berbahaya." 
"Yang benar saja," gumamnya pelan.
"Aku akan mencoba mengguncang cabang itu dan membawanya turun," kataku. 
"Ayo kita luruskan ini," kata Aaron. "Kau berharap aku untuk percaya bahwa kau akan mengambil sapu, mengguncang cabang pohon, dan monster itu akan jatuh dari atas sana?" 
"He-eh." Aku bisa melihat bahwa gagang sapu itu tak cukup panjang untuk mencapai. "Aku harus memanjat sedikit," kataku Harun.
"Cuma hati-hati, oke?" 
"Ooh, aku gemetar. Aku begitu takut.!" teriak Aaron, mengolok-olokku. 
Aku menggesek atas batang pohon dan menarik diriku ke dahan terendah. Butuh waktu karena aku membawa sapu di satu tangan. 
"Kau lihat ada monster menakutkan di atas sana?" tanya Harun dengan puas.
"Itu di sana," aku turun, ketakutan merayap ke dalam suaraku. "Itu terjebak di sana. Ia.... kurasa sangat marah." 
Aaron mencibir. "Kau begitu bodoh." 
Aku menarik diri ke posisi berlutut di ujung dahan. Lalu aku mengangkat sapu di depanku. 
Aku mengangkatnya ke cabang berikutnya. Lebih tinggi. Lebih tinggi.
Kemudian, sambil memegang erat-erat pada batang dengan tangan yang bebas, aku mengangkat sapu sejauh-jauhny - dan mendorongnya ke dahan pohon.
Sukses! 
Aku menurunkan mataku segera untuk menonton Aaron. 
Dia menjerit memekakkan telinga ngeri saat monster itu jatuh dari pohon dan mendarat tepat di dadanya. 



3 

Yah, sebenarnya itu bukan monster yang mendarat dengan suara berdebum, gemeretak lembut di dada Aaron. 
Itu adalah sarang burung tua lusuh yang dibuat burung jay biru dua musim semi yang lalu. 
(burung jay = burung kecil berjambul dengan warna bulu yang terang. Habitatnya daerah pepohonan. Termasuk hewan omnivora, memakan biji-bijian, amfibi kecil, serangga, dan terkadang memakan telur dan anak burung lainnya) 
Tapi Aaron tak menduganya. Jadi membuatnya benar-benar ketakutan.
"Kena kau!" Aku memproklamirkan setelah turun dari pohon. 
Dia merengut padaku. Wajahnya berwarna agak ungu, yang membuat bintik-bintiknya itu terlihat benar-benar aneh. "Kau dan monstermu," gumamnya. 
Itulah persisnya yang dikatakan ibuku sekitar sepuluh menit kemudian. Aaron sudah pulang, dan aku datang ke dapur dan menarik kotak jus keluar dari kulkas. 
Benar saja, Ibu muncul di ambang pintu, matanya tajam dan dingin, ekspresi wajahnya cemberut. Aku bisa melihat langsung bahwa ia siap untuk memberikan ceramah "Jangan Menakuti Randy". 
Aku bersandar meja dan pura-pura mendengarkan. Ide dasar dari ceramah itu adalah bahwa cerita-ceritaku membuat gangguan permanen pada adik kecilku yang lembut. Bahwa aku harusnya mendorong Randy jadi pemberani, bukan membuatnya takut bahwa monster mengintai di setiap sudut. 
"Tapi, Bu - aku melihat monster asli di bawah pagar pagi ini!" Kataku.
Aku benar-benar tak tahu mengapa aku mengatakan itu. Kurasa aku hanya ingin mengganggu ceramahnya. 
Ibu jadi benar-benar jengkel. Dia mengangkat tangannya dan mendesah. Dia memiliki rambut hitam mengilap lurus, seperti Randy dan aku, dan dia memiliki mata hijau, mata kucing, dan hidung kecil kucing. Setiap kali Ibu mulai padaku dengan salah satu ceramahnya, aku selalu membayangkannya dengan kucing menerkam. 
Jangan salah. Dia sangat cantik. Dan dia juga ibu yang baik. 
"Aku akan membicarakan hal ini dengan ayahmu malam ini," katanya. "Ayahmu berpikir obsesi monster ini hanya satu tahap yang sedang kau alami. Tapi aku tak begitu yakin." 
"Hidup hanyalah satu tahap yang kualami," kataku pelan. 
Kurasa itu cukup pintar. Tapi dia hanya menatapku. 
Lalu dia mengingatkanku bahwa jika aku tak terburu-buru, aku akan terlambat untuk pertemuan Reading Rangers-ku. 
Aku melirik jam. Dia benar. Janjiku adalah jam 04:00. 
Reading Rangers adalah program membaca musim panas di perpustakaan kota yang Ibu dan Ayah membuatku masuk mendaftarkan diri. Mereka mengatakan bahwa mereka tak ingin aku menyia-nyiakan seluruh musim panas. Dan jika aku bergabung dengan hal ini di perpustakaan, setidaknya aku pernah membaca beberapa buku bagus. 
Cara kerja Reading Rangers adalah aku harus pergi menemui Pak Mortman, pustakawan, seminggu sekali. Dan aku harus memberikan laporan singkat dan menjawab beberapa pertanyaan tentang buku yang kubaca minggu itu. Aku mendapat satu bintang emas untuk setiap buku yang kulaporkan. 
Jika aku mendapatkan enam bintang emas, aku mendapatkan hadiah. Kupikir hadiahnya adalah sebuah buku. Hebat, kan? Tapi itu cuma cara untuk membuatmu membaca. 
Kupikir aku akan membaca beberapa novel misteri menakutkan yang dibaca semua teman-temanku. Tapi tidak. Pak Mortman menekankan pada semua orang membaca buku "klasik." Maksudnya buku-buku lama. 
"Aku akan meluncur ke atas," kataku pada ibuku, dan bergegas ke kamarku untuk mengambil sepatu rodaku.
"Sebaiknya kau terbang di atas!" teriak ibuku padaku. "Hei," ia menambahkan beberapa detik kemudian, " Tampaknya seperti hujan!" 
Dia selalu memberiku laporan cuaca.
Aku melewati kamar Randy. Dia di sana dalam kegelapan, tanpa cahaya, bayangan-bayangan yang tertarik. Bermain Super Nintendo, seperti biasa.
Pada saat aku memasang sepatu roda dan mengikatnya, aku hanya punya waktu lima menit untuk sampai ke perpustakaan itu. Untungnya, itu hanya enam atau tujuh blok jauhnya
Bagaimanapun juga aku berada dalam kesulitan besar. Aku hanya berhasil membaca empat bab dari Huckleberry Finn, bukuku selama seminggu. Itu berarti aku harus menipu Pak Mortman. 
Aku mengambil buku itu dari rakku. Buku ini bersampulkan kertas tipis yang baru. Aku mengusutkan beberapa halaman dekat bagian belakang agar terlihat seolah-olah aku membaca sejauh itu. Aku memasukkannya ke dalam ranselku, bersama dengan sepasang sepatu kets. Lalu aku berjalan menuruni tangga - tak mudah dengan bersepatu roda - dan menuju ke perpustakaan kota Timberland Falls.
Perpustakaan berada di rumah tua bobrok di tepi hutan Timberland. Rumah itu milik salah seorang pertapa tua yang eksentrik. Dan saat dia meninggal, dia tak punya keluarga, jadi dia menyumbangkan rumah itu ke kota. Mereka merubahnya jadi perpustakaan. 
Beberapa anak mengatakan rumah itu berhantu. Tapi anak-anak mengatakan hal itu hampir pada setiap rumah tua yang menyeramkan. Perpustakaan itu memang lebih tampak seperti rumah berhantu yang sempurna. 
Rumah itu bertingkat tiga tinggi, bersirap gelap, dengan atap gelap runcing di antara dua menara batu kecil. Rumah itu terletak dibelakang pepohonan, seolah-olah bersembunyi di sana. Selalu di tempat teduh, selalu gelap dan dingin. 
Di dalam, papan lantai tua berderit di bawah karpet tipis yang telah diletakkan (pegawai) kota. Jendela-jendela yang tinggi membiarkan cahaya yang masuk sangat sedikit. Dan lemari-lemari buku kayu tua mencapai hampir ke langit-langit. Ketika aku berjalan melalui gang-gang sempit di antara, rak-rak tinggi gelap, aku selalu merasa seolah-olah mereka akan menyelimutiku. 
Aku punya perasaan menakutkan bahwa rak-rak itu akan bersandar padaku, menutupi tubuhku, dan aku akan terkubur di sana dalam kegelapan selamanya. Terkubur di bawah seribu pon debu buku-buku tua yang berjamur.
Tapi tentu saja itu konyol. 
Ini hanya satu rumah yang sangat tua. Sangat gelap dan lembab. Sangat berderit-derit. Tak sebersih seperti  perpustakaan yang seharusnya. Banyak sarang laba-laba dan debu. 
Mr Mortman melakukan yang terbaik yang ia bisa, kurasa. Tapi dia agak menyeramkan juga. 
Hal yang paling dibenci kami semua -anak-anak- tentangnya adalah tangannya yang selalu tampak basah. Dia akan tersenyum padamu dengan mata bulat hitam kecil di kepala botak gemuknya yang mengkilap. Dia akan mengulurkan tangan dan menjabat tanganmu. Dan tangannya selalu basah! 
Ketika ia membalik halaman-halaman buku, dia akan meninggalkan sidik jari basah di sudut-sudutnya. Mejanya selalu memiliki genangan air kecil di atasnya, cetakan-cetakan tangan basah di atas  pelindung meja kulitnya.
Tubuhnya pendek dan bulat. Dengan kepala botak mengkilap dan mata hitam kecil, ia tampak sangat mirip tikus mondok. Seekor tikus mondok basah-mencakar. 
Dia berbicara dengan suara tinggi kasar. Hampir selalu berbisik. Dia bukanlah orang jahat, sungguh. Dia tampaknya menyukai anak-anak. Dia tak buruk atau apa pun. Dan dia benar-benar menyukai buku. 
Dia hanya aneh, itu saja. Dia duduk di bangku kayu tinggi yang membuatnya melayang-layang di atas meja yang besarnya. Dia menyimpan satu panci aluminium yang dalam di samping mejanya. Di dalam panci itu beberapa kura-kura kecil, bergerak berputar-putar dalam air yang kira-kira seinci. "Teman-temanku yang pemalu," kudengar dia memanggil mereka suatu kali.
Terkadang ia akan mengambil salah satu dari mereka dan menahannya di jari-jari gemuk, tinggi di udara, sampai kura-kura itu memasukkan dirinya ke cangkangnya. Lalu ia dengan lembut akan meletakkannya, tersenyum senang di wajah pucatnya yang kendur.
Dia begitu mencintai kura-kuranya. Kukira mereka baik-baik saja sebagai hewan peliharaan. Tapi mereka adalah jenis yang berbau. Aku selalu berusaha untuk duduk di sisi lain meja, sejauh mungkin yang aku bisa dari panci kura-kuranya. 
Yah, aku meluncur ke perpustakaan secepat yang aku bisa. Aku hanya terlambat beberapa menit aku aku meluncur ke bayangan jalanan masuk perpustakaan yang dingin. Langit berawan. Aku duduk di tangga batu dan melepas sepatu roda. Lalu aku cepat-cepat memasang sepatuku dan membawa sepatu rodaku, aku berjalan melalui pintu depan. 
Berjalan melalui tumpukan-tumpukan rak tinggi yang sempit di bagian belakang ruang baca utama - Aku menjatuhkan sepatu luncur ke dinding. Lalu dengan cepat aku berjalan melalui gang ke meja Mr Mortman di dinding belakang. 
Ia mendengar langkah-langkah kakiku dan segera mendongak dari tumpukan buku yang dia cap dengan cap besar. Lampu langit-langit membuat kepalanya yang botak bersinar seperti lampu. Dia tersenyum. 
"Hai, Lucy," katanya dengan suara melengking itu. "Jadi benar kau."
Aku menyapanya dan duduk di kursi lipat di depan mejanya. Aku mengawasinya mencap buku-buku itu. Ia memakai sweater abu-abu berleher kura-kura yang membuatnya terlihat sangat mirip kura-kura peliharaannya.
Akhirnya, setelah melirik jam besar yang berdetak keras di dinding, dia berbalik ke arahku. 
"Dan apa yang kau baca untuk Reading Rangers minggu ini, Lucy?" Dia bersandar di atas meja itu ke arahku. Aku bisa melihat sidik jari basah pada meja gelap itu. 
"Eh... Huckleberry Finn." Aku menarik buku itu dari ranselku dan menjatuhkannya ke pangkuanku. 
"Ya, ya. Satu buku yang indah," kata Mr Mortman, sambil melirik  buku bersampul kertas tipis di pangkuanku. "Apakah kau tak setuju?" 
"Ya," kataku cepat. "Saya benar-benar menikmatinya aku.... Tidak bisa meletakkannya." 
Itu semacam kebenaran. Aku tak pernah mengangkatnya - jadi bagaimana aku bisa meletakkannya? 
"Apa yang kau sukai tentang Huckleberry Finn?" Mr Mortman bertanya, tersenyum menatapku penuh harap. 
"Eh... deskripsinya (penggambarannya)," kataku. 
Aku mendapat bintang emas Reader Rangers bintang emas di saku bajuku. Dan aku punya sebuah buku baru dalam ranselku - Frankenstein, oleh Mary Shelley. 
Mungkin aku akan membaca Frankenstein dengan lantang untuk Randy, pikirku keji. 
Itu mungkin akan membuat giginya gemeretak selamanya! 
Matahari sore tersembunyi di balik awan-awan hujan menyebar. Aku telah berjalan hampir sepanjang perjalanan pulang saat aku sadar bahwa aku telah melupakan sepatu rodaku. 
Maka aku pun berbalik dan kembali. Aku tak yakin berapa lama perpustakaan tetap buka. Mr Mortman tampaknya sepenuhnya sendirian di sana, aku berharap dia tak memutuskan untuk menutup toko lebih awal. Aku benar-benar tak ingin meninggalkan sepatu roda baruku di sana semalaman. 
Aku berhenti dan menatap perpustakaan tua itu. Jauh dalam gelapnya malam, rumah itu tampaknya menatap kembali ke arahku, jendela-jendela gelapnya seperti mata-mata hitam tak berkedip. 
Aku menaiki tangga batu, kemudian ragu-ragu dengan tanganku di pintu. Aku tiba-tiba kedinginan. 
Apa itu hanya karena melangkah ke kegelapan malam? 
Tidak. Ini sesuatu yang lain. 
Aku punya perasaan aneh. Perasaan buruk. 
Aku kadang-kadang mendapatkan itu. Satu sinyal. Saat gelisah. 
Sepertinya sesuatu yang buruk akan terjadi. 
Menghilangkan perasaan itu, aku membuka pintu tua yang berderit dan melangkah ke dalam kegelapan perpustakaan yang pengap. 



4 

Bayangan menari-nari di dinding saat aku berjalan menuju ruang utama. Satu cabang pohon membentur berisik pada kaca yang tertutup debu dari jendela yang tinggi. 
Perpustakaan ini sunyi kecuali deritan papan lantai di bawah sepatuku. Saat aku memasuki ruang utama, aku bisa mendengar (bunyi) tetap tik-tik-tik dari jam dinding. 
Semua lampu telah dipadamkan.
Kupikir aku merasakan sesuatu yang berlari cepat di sepatuku. 
Seekor tikus? 
Aku berhenti dan melirik ke bawah. 
Hanya bola debu yang menempel ke dasar rak buku. 
Wah, Lucy, aku memarahi diriku sendiri. Ini hanya perpustakaan tua berdebu. Tak ada yang aneh tentangnya. Jangan biarkan imajinasi liarmu mengambil alih dan membawamu ke dalam kesulitan
Masalah? 
Aku masih punya perasaan aneh. Setahap demi setahap tetapi terus-menerus membuat perih perut. Satu sentakan di dadaku. 
Ada sesuatu yang tak benar. Sesuatu yang buruk akan terjadi. 
Orang-orang menyebutnya firasat. Itu satu kosa kata yang pas untuk apa yang kurasakan saat ini. 
Aku menemukan sepatu rodaku tempat dimana kutinggalkan, pada dinding belakang dalam tumpukan-tumpukan. Aku menyambarnya, ingin segera keluar dari tempat gelap menyeramkan itu. 
Aku melangkah cepat-cepat kembali ke arah pintu masuk, berjingkat untuk suatu alasan. Tapi suatu suara membuatku berhenti. 
Aku menahan napasku. Dan mendengarkan. 
Itu hanya batuk. 
Mengintip menyusuri gang sempit itu, aku bisa melihat Mr Mortman melayang di atas mejanya. Yah, sebenarnya, aku hanya bisa melihat bagian dari dirinya - satu lengan, dan sebagian wajahnya saat ia membungkuk ke kiri. 
Aku masih menahan napasku. 
Tik-tik tik, jam berdetak ribut dari seberang ruangan. Di belakang mejanya, dari wajah Mr Mortman bergerak-gerak masuk dan keluar bayangan biru-ungu. 
Sepatu roda ini tiba-tiba terasa berat. Aku pelan-pelan menurunkannya ke lantai. Lalu rasa ingin tahuku mengalahkanku, dan aku mengambil beberapa langkah ke arah depan. 
Mr Mortman mulai bersenandung untuk dirinya sendiri. Aku tak mengenali lagu itu. 
Bayang-bayang jadi lebih dalam saat aku mendekat. Mengintip lorong gelap, aku melihatnya memegang stoples kaca besar antara tangan-tangannya yang gemuk. Aku cukup dekat untuk melihat bahwa wajahnya tersenyum senang. 
Menjaga dalam bayang-bayang, aku begerak lebih dekat. 
Aku suka memata-matai orang. Itu menggairahkan, bahkan saat mereka tak melakukan sesuatu yang sangat menarik. 
Hanya mengetahui bahwa kau sedang melihat mereka dan mereka tak tahu bahwa mereka sedang diawasi itu menarik. 
Bersenandung pada dirinya sendiri, Mr Mortman menahan stoples itu di depan dadanya dan mulai membuka tutup atas. "Lalat-lalat buah, teman-teman pemaluku," katanya dalam nada tinggi suaranya. 
Jadi. Toples itu penuh dengan lalat.
Tiba-tiba, ruangan itu jadi lebih gelap saat awan bergulung di atas matahari sore. Cahaya dari jendela meredup. Bayangan-bayangan abu-abu berputar di atas Mr Mortman dan meja besarnya, seolah-olah menyelimuti dirinya dalam kegelapan. 
Dari tempat persembunyianku di antara rak-rak, aku melihat dia mempersiapkan untuk memberi makan kura-kura itu. 
Tapi tunggu dulu. 
Ada sesuatu yang salah. 
Firasatku jadi nyata. 
Sesuatu yang aneh sedang terjadi! 
Saat dia berusaha untuk membuka tutup stoples, wajah Mr Mortman mulai berubah. Kepalanya melayang naik dari kerah bajunya yang melipat ke bawah dan mulai mengembang, seperti balon yang digelembungkan. 
Aku mengeluarkan satu hembusan napas pelan saat aku melihat matanya yang kecil mencuat dari kepalanya. Mata menonjol membesar dan lebih besar, sampai sebesar gagang pintu. 
Cahaya dari jendela jadi lebih redup. 
Seluruh ruangan memproyeksikan dalam bayang-bayang tebal. Bayang-bayang itu berayun dan bergeser. 
Aku tak bisa melihat dengan baik. Rasanya aku seperti melihat segala sesuatu melalui kabut gelap. 
Mr Mortman terus bersenandung, bahkan saat kepalanya bergerak-gerak dan berdenyut-denyut di atas bahunya dan matanya menonjol keluar seperti pada tangkai (bunga), mengulur ke atas seperti antena serangga. 
Dan kemudian mulutnya mulai berputar dan tumbuh. Terbuka lebar, seperti sebuah lubang hitam menganga di kepala besar yang mengangguk-angguk. 
Mr Mortman sekarang bernyanyi lebih keras. Satu suara ngeri yang menakutkan, lebih mirip lolongan binatang daripada nyanyian. 
Dia melepas tutup stoples dan membiarkannya jatuh ke meja. Stoples itu berdentang keras saat membentur bagian atas meja. 
Aku mencondongkan tubuh ke depan, berusah untuk melihat. (Dengan) menyipitkan mata tajam, aku melihat Mr Mortman memasukkan tangan gemuknya ke dalam botol itu. Aku bisa mendengar dengungan keras dari botol itu. Dia mengeluarkan beberapa lalat. 
Aku bisa melihat mata menonjolnya jadi lebih lebar. 
Aku bisa melihat lubang hitam menganga yang mulutnya. 
Dia menahan tangannya sebentar di kandang kura-kura kecil. Aku bisa melihat lalat-lalat itu, titik-titik hitam di seluruh tangannya. Di telapak tangannya. Pada jari-jari gemuknya yang pendek . 
Kupikir dia akan menurunkan tangannya ke lubang aluminium itu. Kupikir dia akan memberi makan kura-kura. 
Tapi, sebaliknya, ia menjejalkan lalat-lalat itu ke mulutnya sendiri. 
Aku menutup mata dan menahan tanganku ke mulutku untuk menahan muntah. 
Atau teriakan. 
Aku menahan napas, tapi hatiku terus berpacu. 
Bayang-bayang itu bergerak tiba-tiba dan melompat. Kegelapan seolah-olah mengapung di sekelilingku. 
Aku membuka mataku. Dia sedang makan segenggam lalat lainnya, mendorongnya ke dalam mulut menganganya dengan jari-jarinya, menelan mereka semuanya. 
Aku ingin berteriak. 
Aku ingin lari. 
Mr Mortman, kusadari, adalah monster. 



5 

Bayang-bayang itu tampak menarik diri. Langit di luar jendela cerah, dan segitiga abu-abu cahaya jatuh di atas meja Mr Mortman itu. 
Membuka mataku, aku menyadari bahwa aku telah menahan napas. Dadaku terasa seolah-olah akan meledak. Aku membiarkan udara keluar perlahan dan menarik napas dalam-dalam lainnya. 
Kemudian, tanpa melirik lagi ke depan ruangan, aku berbalik dan berlari. Sepatuku berdebam di lantai berderit, tapi aku tak peduli. 
Aku harus keluar dari sini secepat yang aku bisa. 
Aku meloncat keluar pintu depan perpustakaan ke tangga batu, kemudian menyusuri jalan kerikil. Aku berlari secepat aku bisa, lenganku terbang liar di pinggangku, rambut hitamku bertiup di belakangku. 
Aku tak berhenti sampai aku satu blok jauhnya. 
Lalu aku jatuh ke tepi jalan dan menunggu hatiku untuk berhenti berdebar seperti genderang . 
Awan hujan padat menggulung matahari lagi. Langit menjadi menakutkan kuning-hitam. Sebuah mobil station wagon bergemuruh lewat. Beberapa anak-anak di belakang itu memanggilku, tapi aku tak mengangkat kepalaku. 
Aku terus melihat adegan bayangan itu di perpustakaan lagi dan lagi. 
Mr Mortman adalah monster. 
Kata-kata berulang-ulang tanpa henti dalam pikiranku. 
Ini tak bisa, pikirku, menatap awan hitam yang sangat rendah di atas kepala. 
Aku telah melihat benda-benda. Pasti itu. 
Semua bayangan di perpustakaan gelap itu. Semua kegelapan yang berputar-putar. 
Itu adalah ilusi optik. 
Itu adalah imajinasi liarku. 
Itu adalah lamunan, satu fantasi konyol. 
Tidak! Teriak satu suara yang nyaring di kepalaku. 
Tidak, Lucy, kau melihat kepala Mr Mortman yang menonjol itu. Kau melihat matanya menonjol keluar dan tumbuh seperti jamur payung mengerikan di wajah balonnya. 
Kau melihatnya meraih lalat dalam stoples. Kau mendengarnya bersenandung begitu bahagia, begitu. . . lapar. 
Kau melihatnya menjejalkan lalat-lalat itu ke dalam mulutnya. Tidak segenggam penuh, tapi dua genggam.
Dan mungkin dia masih di sana, makan kenyang. 
Saat itu gelap, Lucy. Di sana ada bayangan-bayangan. Tapi kau melihat apa yang kau lihat. Kau melihat semua itu. 
Mr Mortman adalah monster. 
Aku berdiri. Aku merasa setetes hujan dingin di atas kepalaku. 
"Mr Mortman itu monster." Aku berkata dengan keras. 
Aku tahu aku harus memberitahu Ibu dan Ayah secepat yang aku bisa.
"Pustakawan itu monster." Itulah yang akan aku beritahukan pada mereka.
Tentu saja, mereka akan terkejut. Siapa yang tidak? 
Merasa tetesan hujan lain di kepalaku, lalu satu lagi di bahuku, aku mulai berlari-lari kecil ke rumah. Aku sudah berlari sekitar setengah blok saat aku berhenti. 
Sepatu roda bodoh itu! Aku telah meninggalkannya di perpustakaan lagi.
Aku berputar kembali. Hembusan angin keras meniup rambutku di depan wajahku. Aku mendorongnya kebelakang dengan kedua tangan. Aku berpikir keras, mencoba untuk mencari tahu apa yang harus dilakukan. 
Hujan berderai-derai lembut di trotoar jalan. Air hujan yang dingin terasa nyaman di dahiku yang panas. 
Kuputuskan untuk kembali ke perpustakaan dan mengambil sepatu rodaku. Kali ini, aku akan membuat banyak suara. Memastikan Mr Mortman tahu ada orang di sana. 
Jika ia mendengar aku datang, aku yakin ia akan bersikap normal. Dia tak akan makan lalat di depanku. Dia tak akan membiarkan matanya menonjol dan kepalanya tumbuh seperti itu. 
Dia akan begitu kan? 
Aku berhenti saat perpustakaan kembali lagi ke tampak. Aku ragu-ragu, menatap melalui hujan gerimis di gedung tua itu. 
Mungkin aku seharusnya menunggu dan kembali besok dengan ayahku. 
Bukankah itu lebih pintar? 
Tidak, aku memutuskan aku ingin sepatu rodaku. Dan aku akan mendapatkannya. Aku selalu cukup berani. 
Waktu itu seekor kelelawar terbang masuk ke dalam rumah kami, akulah orang yang memekik, berteriak dan mengejar keluar dengan jaring kupu-kupu. 
Aku tak takut kelelawar. Atau ular. Atau serangga. 
"Atau monster," kataku keras-keras. 
Saat aku berjalan ke bagian depan perpustakaan, hujan berderai-derai lembut di sekelilingku, aku terus berkata pada diriku sendiri untuk membuat banyak suara. Memastikan Mr Mortman tahu kau ada di sana, Lucy. Memanggilnya. Katakan padanya kau datang kembali karena kau meninggalkan sepatu rodamu. 
Ia tak akan membiarkanmu melihat bahwa dia monster jika dia tahu kau berada di sana. 
Dia tak akan menyakitimu atau apa pun jika kau memberinya beberapa peringatan. 
Aku terus meyakinkan diriku sendiri sepanjang jalan sampai ke gedung, gelap tua itu. Aku menaiki tangga batu ragu-ragu. 
Lalu, sambil mengambil napas dalam-dalam, aku meraih pegangan pintu dan mulai masuk. 



6 

Aku memutar kenop dan mendorong, tapi pintu tak mau terbuka. Aku mencoba lagi. Aku perlu waktu beberapa saat untuk menyadari bahwa pintu itu terkunci. 
Perpustakaan telah tutup. 
Hujan berderai lembut di rumput saat aku berjalan ke jendela depan. Jendela itu tinggi dari tanah. Aku harus menarik diriku di kusen jendela untuk melihat ke dalam. 
Gelap. Benar-benar gelap. 
Aku merasa lega dan kecewa pada saat yang sama. 
Aku ingin sepatu rodaku, tetapi aku benar-benar tak ingin kembali di sana.
"Aku akan mengambilnya besok," kataku keras-keras. 
Aku merendahkan diri ke tanah. Hujan mulai turun semakin deras, dan angin beliung meniup hujan dalam lembaran-lembaran. 
Aku mulai berlari, sepatuku berlumpur di atas rumput basah. Aku berlari sepanjang perjalanan pulang. Aku benar-benar basah kuyup saat aku berjalan melalui pintu depan.
Rambutku jadi kusut di atas kepalaku. Bajuku basah kuyup. 
"Ibu! Ayah?! Apa kalian di rumah?" teriakku. 
Aku berlari melalui lorong, hampir tergelincir di lantai halus, dan mendadak muncul ke dapur. 
"Monster!" teriakku. 
"Hah?" Randy duduk di atas meja dapur, memisah-misahkan tumpukan besar kacang panjang untuk Ibu. Dia satu-satunya yang mendongak. 
Ibu dan Ayah sedang berdiri di meja, menggulung bakso-bakso kecil di tangan mereka. Mereka bahkan tak berbalik. 
"Monster!" Aku menjerit lagi. 
"Dimana?" teriak Randy. 
"Apa kehujanan?" tanya Ibu. 
"Bukankah kau (seharusnya) berkata: hai?"  tanya Ayah. "Apa kau pantas meledak ke satu ruangan berteriak-teriak? Bukankah aku (harusnya) mendapatkan 'Hai, Ayah," atau apa? "
"Hai, Ayah," teriakku terengah-engah. "Ada monster di perpustakaan!"
"Lucy, tolong -" Ibu mulai tak sabar.
"Monster macam apa ?" tanya Randy. Dia berhenti memisahkan-misahkan ujung kacang dan menatap tajam ke arahku.
Ibu akhirnya berbalik. "Kau basah kuyup!" teriaknya. "Kau membanjiri seluruh lantai. Naiklah dan ganti dengan pakaian kering." 
Ayah berbalik, juga, wajahnya berkerut. "Ibumu baru saja mengepel lantai,''gumamnya. 
"Aku coba untuk memberitahu kalian sesuatu!" jeritku, mengacungkan kepalan tanganku di udara. 
"Tak perlu berteriak," hardik Ibu. "Ganti baju. Lalu katakan pada kami."
"Tapi Mr Mortman itu monster!" teriakku. 
"Tak bisakah kau simpan masalah monster sampai nanti? Aku baru pulang, dan aku punya sakit kepala yang paling buruk," keluh Ayah. Matanya menatap lantai dapur. Genangan air kecil yang terbentuk sekitarku di lantai linoleum putih. 
"Aku serius!" Aku bersikeras. "Mr Mortman - dia benar-benar monster!" 
Randy tertawa. "Dia kelihatan lucu." 
"Randy, tak bagus mengolok-olok penampilan orang," kata Ibu dengan jengkel. Dia berbalik padaku. "Lihat apa yang kau ajarkan pada adik kecilmu? Tak bisakah kau memberi contoh yang baik?" 
"Tapi, Bu!" 
"Lucy, silakan ganti pakaian kering," pinta Ayah. "Lalu turun dan mengatur meja, oke?" 
Aku sangat frustrasi! Aku memiringkan kepalaku ke belakang dan mengeluarkan geraman marah. 
"Apa tak ada orang di sini yang percaya padaku?" teriakku. 
"Ini benar-benar bukan waktunya untuk cerita monstermu," kata Ibu, berbalik kembali ke baksonya. 
"Larry, kamu membuatnya terlalu besar," tegurnya pada ayahku. "Itu seharusnya kecil dan halus." 
"Tapi aku suka bakso besar," Ayah bersikeras. 
Tak ada yang menaruh perhatian kepadaku. Aku berbalik dan berjalan marah keluar dari dapur. 
"Apakah Mr Mortman benar-benar monster?" panggil Randy setelahku. 
"Aku tak tahu, dan aku tak peduli - tentang apa pun!" jeritku kembali. Aku begitu marah dan kesal.
Mereka tak seharusnya mengabaikanku seperti itu. Yang mereka pedulikan hanyalah bakso-bakso bodoh mereka.
Sampai di kamarku, aku melepas pakaianku yang basah dan melemparkannya ke lantai. Aku ganti dengan celana jeans dan kaos ketat. 
Apa Mr Mortman itu benar-benar monster?
Pertanyaan terulang dalam kepalaku.
Apa aku membayangkan semuanya?
Apa aku hanya memiliki monster di pikiran? 
Begitu gelap dan remang-remang di perpustakaan dengan semua lampu dimatikan. Mungkin Mr Mortman tak makan lalat. Mungkin ia menariknya keluar dari toples dan menjadikannya makanan untuk kura-kura peliharaannya. 
Mungkin aku membayangkan bahwa ia memakannya. 
Mungkin kepalanya tak mengembang seperti balon. Mungkin matanya tak menonjol. Mungkin itu hanya tipuan kegelapan, bayang-bayang yang menari, lampu abu-abu yang redup. 
Mungkin aku perlu kacamata.
Mungkin aku gila dan aneh. 
"Lucy - segera turun dan atur meja," panggil ayahku menaiki tangga. 
"Oke. Segera datang." Saat aku berjalan ke lantai bawah, aku merasa campur aduk semua. 
Aku tak menyebut Mr Mortman saat makan malam. Sebenarnya, Ibu yang mengajukannya. "Buku apa yang kau memilih untuk dibaca minggu ini?" dia tanyanya. 
"Frankenstein," kataku. 
Ayah mengerang. "Monster lagi!" serunya, sambil menggeleng. "Apa kau tak pernah cukup dengan monster? Kau melihat mereka di mana pun kau pergi! Apa kau harus membaca tentang monster, juga?" 
Ayah punya suara menggelegar besar. Segala sesuatu tentang ayahku adalah besar. Dia terlihat sangat tangguh, dengan dada yang luas dan lengan yang terlihat kuat. Saat dia berteriak, seluruh rumah bergetar. 
"Randy, kau melakukan pekerjaan bagus dengan buncis," kata Ibu, cepat mengubah topik pembicaraan. 
Setelah makan malam, aku membantu Ayah (mencuci) piring. Lalu aku naik ke kamarku untuk mulai membaca Frankenstein. Aku pernah melihat film Frankenstein lama di TV, jadi aku tahu tentang apa itu. Ini tentang seorang ilmuwan yang membuat monster, dan monster itu jadi hidup. 
Ini kedengarannya seperti semacam ceritaku. 
Aku bertanya-tanya apakah itu benar.
Mengejutkan, aku mendapati Randy di kamarku, duduk di tempat tidur, menungguku.
"Apa yang kau inginkan?" tanyaku. Aku benar-benar tidak menyukai dia bermain-main di kamarku. 
"Ceritakan tentang Mr Mortman," katanya. Aku bisa tahu dari wajahnya bahwa dia ketakutan dan bersemangat pada saat yang bersamaan. 
Aku duduk di tepi tempat tidur. Aku sadar aku ingin mengatakan kepada seseorang tentang apa yang terjadi di perpustakaan. Jadi, aku bercerita pada Randy seluruh kisah itu, dimulai dengan bagaimana aku harus kembali ke sana karena aku meninggalkan sepatu rodaku. 
Randy meremas bantal ke dadanya dan bernapas benar-benar keras. Kurasa, cerita itu membuatnya sangat ketakutan.
Aku baru saja menyelesaikan bagian mana Mr Mortman menjejalkan segenggam lalat ke dalam mulutnya. Randy terkesiap. Dia tampak sakit. 
"Lucy!" Ayahku tiba-tiba muncul dengan marah ke dalam ruangan. "Apa masalahmu?"
"Tak ada, Yah, aku -" 
"Berapa kali kami harus memberitahumu untuk tak menakut-nakuti Randy dengan cerita konyol monstermu?" 
"Konyol?" jeritku. "Tapi, Ayah - yang satu ini benar!" 
Dia membuat wajah jijik dan berdiri di sana memelototiku. Aku berharap api terlepas keluar dari lubang hidungnya setiap saat. 
"Aku - aku tak takut. Sungguh!" protes Randy, membelaku. Tapi adikku yang malang itu (wajahnya) seputih bantal yang dipegangnya, dan (tubuhnya) gemetaran semua. 
"Ini peringatan terakhirmu," kata Ayah. "Maksudku, Lucy, aku benar-benar marah.." Dia menghilang kembali ke bawah. 
Aku menatap pintu tempat ia berdiri. 
Aku benar-benar marah, pikirku. 
Aku benar-benar marah bahwa tak ada seorang pun di keluarga ini percayaku saat aku sedang serius. 
Aku tahu saat itu bahwa aku tak punya pilihan. 
Aku harus membuktikan bahwa aku bukan pembohong. Aku harus membuktikan bahwa aku tidak gila. 
Aku harus membuktikan kepada Ibu dan Ayah bahwa Mr Mortman adalah monster. 



7 

"Apa itu?" Aku bertanya pada Aaron. 
Ini adalah seminggu kemudian. Aku harus melewati rumahnya untuk sampai ke perpustakaan untuk pertemuan Reading Rangers-ku. Aku berhenti saat melihat Aaron di halaman depan. Dia melemparkan sebuah cakram biru, lalu menangkapnya saat benda itu bergerak dengan bersuara ke arahnya. 
"Ini semacam Frisbee pada karet gelang panjang," katanya. Dia melemparkan cakram itu dan langsung kembali dengan cepat. Dia meleset dan cakram itu terbang di belakangnya, lalu bergerak kembali lagi - dan memukul bagian belakang kepalanya.
"Ini tak persis sebagaimana harusnya bekerja," katanya, tersipu. Dia mulai melepaskan simpul pada pita karet tebal itu. 
"Bisakah aku bermain denganmu?" tanyaku. 
Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak. Ini untuk satu orang, lihat." 
"Ini Frisbee untuk satu orang?" tanyaku. 
"Ya. Apa kau tak melihat iklan di TV? Kau memainkannya sendiri. Kau melemparnya dan lalu kau menangkapnya." 
"Tapi bagaimana jika seseorang ingin bermain denganmu?" tuntutku. 
"Kau tak bisa," jawab Aaron. "Ini tak bekerja seperti itu." 
Kupikir itu cukup bodoh. Tapi Aaron tampaknya bersenang-senang. Jadi aku mengucapkan selamat tinggal dan melanjutkan perjalanan ke perpustakaan. 
Ini adalah hari yang cerah yang indah. Semuanya tampak terang dan ceria, keemasan dan hijau musim panas. 
Perpustakaan, seperti biasa, bermandikan bayang-bayang biru. Aku cuma pernah kembali sekali sejak hari itu. Sekali dengan sangat cepat, untuk mengambil sepatu rodaku. Aku berhenti di pinggir jalan, menatapnya. Aku tiba-tiba merasa kedinginan. 
Seluruh dunia tampaknya jadi lebih gelap di sini. Lebih gelap dan lebih dingin. 
Cuma imajinasiku? 
Kita akan lihat, pikirku. Kita akan lihat hari ini, apa yang nyata dan apa yang tidak. 
Aku menarik ranselku dari bahuku, dan berayun di talinya, berjalan ke pintu depan. Sambil mengambil napas dalam-dalam, aku membuka pintu dan melangkah masuk. 
Bertengger di atas meja di ruang baca utama, Mr Mortman baru saja selesai dengan anggota Reading Rangers lainnya. Itu gadis yang kukenal di sekolah, Ellen Borders. 
Aku menyaksikan dari ujung deretan panjang buku. Mr Mortman mengatakan selamat tinggal. Dia menyerahkan sebuah bintang emas. Lalu ia menjabat tangan Ellen, dan aku bisa melihat Ellen mencoba untuk tak membuat wajah jijik. Tangannya mungkin basah kuyup, seperti biasa. 
Ellen mengatakan sesuatu, dan mereka berdua tertawa. Sangat gembira. 
Ellen berkata selamat tinggal dan menuju pintu. Aku melangkah keluar untuk menyambutnya. 
"Buku apa yang kau dapatkan?" Tanyaku setelah kami telah saling menyapa. 
Dia mengangkatnya untukku. "Ini disebut White Fang," katanya. 
"Ini tentang monster?" tebakku. 
Dia tertawa. "Tidak, Lucy. Ini tentang anjing." 
Kupikir aku melihat kepala Mr Mortman terangkat ketika aku mengatakan kata monster. 
Tapi mungkin aku hanya membayangkannya. 
Aku mengobrol sebentar lagi dengan Ellen, yang telah (membaca) tiga buku lebih banyak dariku di musim panas ini. Dia hanya perlu satu buku lagi yang dibaca untuk mendapatkan hadiahnya. Pamer sekali. 
Aku mendengar pintu depan ditutup di belakangnya saat aku duduk di samping meja Mr Mortman dan menariknya buku Frankenstein dari kantong bukuku. 
"Apakah kau menikmatinya?" tanya Mr Mortman. Dia sedang mempelajari kura-kuranya, tapi ia berbalik ke arahku, wajahnya tersenyum ramah. 
Dia mengenakan baju berkerah lainnya, kuning cerah saat ini. Aku melihat bahwa ia mengenakan cincin besar ungu di salah satu jari gemuknya yang berwarna merah jambu. Dia memutar-mutar cincin itu saat ia tersenyum padaku. 
"Ini agak sulit," kataku. "Tapi aku berkorban (untuk) itu." 
Aku telah membaca lebih dari setengah yang satu ini. Aku akan menyelesaikannya jika ia tak punya tipe kecil yang serupa. 
"Apakah kau menikmati deskripsi dalam buku ini, juga?" tanya Mr Mortman, mendekatiku di atas meja. 
Mataku menangkap stoples besar lalat di rak di belakangnya. Stoples itu sangat penuh. 
"Well, ya," kataku. "Aku agak mengharapkan lebih banyak aksi." 
"Apa bagian favoritmu dari buku itu?" tanya Mr Mortman. 
"Monster!" Aku langsung menjawab. 
Aku mengamati wajahnya untuk melihat apakah ia bereaksi terhadap kata itu. Tapi dia bahkan tak berkedip. Mata yang kecil hitam tetap terkunci padaku. 
"Monster itu benar-benar hebat," kataku. Aku putuskan untuk mengujinya. "Bukankah akan sangat bagus jika ada monster yang asli, Mr Mortman?" 
Sekali lagi dia tak berkedip.
"Kebanyakan orang tak akan terlalu senang tentang itu," katanya pelan, memutar-mutar cincin ungunya. "Kebanyakan orang suka mendapatkan ketakutan mereka dalam buku atau di film Mereka tak ingin mereka menjadi takut dalam kehidupan nyata.." Dia terkekeh. 
Aku memaksakan diri untuk tertawa juga. 
Aku menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan tes kecilku. Aku mencoba untuk membuatnya berbuat satu kesalahan, untuk mengungkapkan bahwa ia bukan manusia asli. 
"Apakah Anda percaya bahwa monster asli itu ada?" tanyaku. 
Tak sangat halus. Aku akui. Tapi dia tak memperhatikannya. 
"Apakah aku percaya bahwa seorang ilmuwan seperti Dr Frankenstein bisa membuat monster hidup?" tanya Mr Mortman. Ia menggelengkan  kepala botak bulatnya. "Kita bisa membuat robot, namun bukan hidup makhluk."
Itu bukan apa yang kumaksud. 
Beberapa orang lain datang ke perpustakaan. Seorang gadis kecil dengan neneknya yang berambut putih. Gadis kecil pergi melompat-lompat ke bagian buku anak-anak. Nenek itu mengambil koran dan membawanya ke kursi berlengan di seberang ruangan. 
Aku sangat senang melihat mereka. Aku tahu bahwa pustakawan ini tak akan berubah menjadi monster sementara mereka ada di sini. Aku yakin ia hanya makan lalat ketika perpustakaan ini kosong. Aku harus bersembunyi di suatu tempat dan menunggu mereka untuk pergi. 
Mr Mortman merogoh laci mejanya, mengeluarkan sebuah bintang emas, dan menyerahkannya padaku. Kupikir dia akan menjabat tanganku, tapi dia tidak. 
"Apakah kau membaca Anne dari Green Gables?" tanyanya, sambil mengambil sebuah buku dari tumpukan di mejanya. 
"Tidak," kataku. "Apakah ada monster di dalamnya?" 
Dia menggerakkan kepalanya ke belakang dan tertawa, dagunya bergetar.
Kupikir aku menangkap kilatan pengakuan di matanya. Suatu pertanyaan. Sesaat singkat keragu-raguan. 
Kupikir pertanyaanku membawa sesuatu yang aneh di matanya. 
Tapi, tentu saja, sekali lagi itu bisa saja imajinasiku. 
"Aku tak berpikir kau akan menemukan monster dalam yang satu ini," katanya, masih terkekeh. Dia mencapnya dengan stempel karet dan menyerahkannya padaku. Sampulnya lembab di tempat jari-jarinya (memegang). 
Aku membuat janji untuk waktu yang sama minggu depan. Lalu aku berjalan keluar dari ruang baca utama dan berpura-pura meninggalkan perpustakaan. 
Aku membuka pintu depan dan biarkan membanting, tapi aku tak pergi keluar. Sebaliknya, aku bergerak pelan-pelan kembali, tetap berada dalam bayang-bayang. Aku berhenti di dinding belakang, tersembunyi oleh deretan panjang rak-rak buku. 
Di mana tempat bersembunyi? 
Aku harus menemukan tempat persembunyian yang aman. Aman dari matanya Mr Mortman yang bulat itu. Dan aman dari orang lain yang mungkin masuk ke perpustakaan. 
Apa rencanaku? 
Yah, aku sudah memikirkannya sepanjang minggu. Tapi aku benar-benar tak memiliki banyak rencana. Aku hanya ingin menangkapnya beraksi, itu saja. 
Aku ingin melihat dengan jelas. Aku ingin menghapus semua keraguan dari pikiranku. 
Rencanaku adalah untuk bersembunyi sampai perpustakaan kosong, untuk memata-matai Mr Mortman, untuk melihatnya berubah menjadi monster dan makan lalat lagi. 
Lalu aku tahu aku tak gila. Lalu aku akan tahu mataku tidak menipuku.
Di sisi lain ruangan, aku bisa mendengar nenek gadis kecil itu memanggil Mr Mortman.
"Apakah Anda punya buku ejaan? Samantha hanya menyukai buku bergambar. Tapi aku ingin dia belajar mengeja." 
"Nenek, berbisiklah!" Samantha disebut kasar. "Ini adalah perpustakaan, ingat. Berbisik!" 
Mataku mencari-cari, rak panjang dan gelap untuk tempat bersembunyi. Dan ada itu. Satu rak buku rendah sepanjang lantai dekat belakang itu kosong. Itu membentuk sebuah gua sempit yang aku bisa merangkak ke dalamnya. 
Mencoba untuk menjadi setenang yang aku bisa, aku berlutut, duduk di rak, berputar, tubuhku meluncur kembali, dan terselip masuk sendiri.
Ini tak benar-benar cukup besar untuk berbaring. Aku harus menjaga kakiku terlipat. Kepalaku tertekan keras pada papan atas. Sangat tak nyaman. Aku tahu aku tak bisa tinggal seperti ini selamanya. 
Tapi itu sore hari. Mungkin Samantha dan neneknya akan segera pergi. Mungkin aku tak akan tinggal terselip di rak seperti buku tua berjamur untuk waktu yang lama. 
Jantungku berdebar-debar. Aku bisa mendengar Mr Mortman berbicara dengan pelan pada Samantha. Aku bisa mendengar gemerisik koran wanita tua itu. Aku bisa mendengar tik-tik-tik dari jam dinding besar di dinding depan. 
Aku bisa mendengar setiap suara, setiap deritan dan erangan. 
Aku tiba-tiba harus bersin. Hidungku tergelitik seperti gila! Ada begitu banyak debu ke sini. 
Aku mengulurkan tangan dan meremas hidung dengan keras antara ibu jari dan telunjuk. Entah bagaimana aku berhasil untuk melenyapkan bersin  itu. 
Jantungku berdebar lebih keras. Aku bisa mendengarnya melalui tik-tik tik-jam. 
Ayo pergi, pikirku, berharap Samantha dan neneknya keluar dari sana. 
Ayo pergi. Ayo pergi. Ayo pergi. 
Aku tak tahu berapa lama aku bisa tetap terselip di rak berdebu ini. 
Leherku sudah mulai sakit dari tekanan rak. Dan aku merasa bersin lainnya akan datang. 
"Buku ini terlalu sulit. Aku perlu yang lebih mudah," kata Samantha pada Mr Mortman. 
Aku mendengar Mr Mortman menggumamkan sesuatu. Aku mendengar seretan kaki. Langkah-langkah kaki. 
Apakah mereka datang dengan cara ini? 
Apakah mereka akan melihatku? 
Tidak. Mereka berbalik dan kembali ke bagian anak-anak di samping. 
"Aku sudah membaca yang satu ini," aku dengar Samantha mengeluh.
Ayo pergi. Ayo pergi. Ayo pergi. 
Ini pasti hanya beberapa menit sesudahnya, saat Samantha dan neneknya pergi, tapi sepertinya berjam-jam untukku. 
Leherku kaku. Punggungku sakit. Kakiku gatal, keduanya kesemutan.
Aku mendengar pintu depan tertutup di belakang mereka. 
Perpustakaan ini kosong sekarang. Kecuali Mr Mortman dan aku. 
Aku menunggu. Dan mendengarkan. 
Aku mendengar derit bangku tinggi di lantai. Lalu aku mendengar langkah kakinya. Dia terbatuk. 
Tiba-tiba perpustakaan jadi lebih gelap. Dia mematikan lampu. 
Inilah saatnya! Pikirku. 
Dia menutup (perpustakaan). Sekarang saatnya. Sekarang adalah waktu neraka itu berubah menjadi monster di depan mataku. 
Aku berguling diam-diam dari rak, ke lantai. Lalu aku menarik diriku ke posisi berdiri. Berpegangan pada rak yang lebih tinggi, aku mengangkat satu kaki, lalu kaki lainnya, mencoba untuk mendapatkan sirkulasi (darahku) kembali. 
Saat lampu di atas kepala padam, sebagian besar perpustakaan itu diselimuti kegelapan. Satu-satunya cahaya berasal dari sinar matahari sore yang membanjir melalui jendela di bagian depan ruangan. 
Di mana Mr Mortman? 
Aku mendengarnya batuk lagi. Lalu dia mulai bersenandung untuk dirinya sendiri. 
Dia menutup (perpustakaan). 
Sambil menahan napas, aku berjingkat-jingkat mendekati mejanya. Aku menyandarkan pinggangku pada rak saat aku bergerak, menjaga dalam bayang-bayang. 
Wah. 
Aku tiba-tiba menyadari Mr Mortman tak berada di mejanya. 
Aku mendengar langkah kaki di belakangku, di bagian belakang ruang baca utama. Lalu aku mendengar suara gedebak gedebuk sepatunya di lantai pintu masuk depan. 
Aku membeku di tempat, mendengar dengan sungguh-sungguh, masih menahan napas. 
Apakah dia pergi? 
Tidak. 
Aku mendengar suara klik keras.  Suara putaran kunci. 
Dia telah mengunci pintu depan! 
Aku tak merencanakan ini. Tidak. Ini jelas bukan bagian dari rencanaku.
Membeku di lorong gelap, aku menyadari bahwa aku terkunci dengannya! 
Sekarang apa? 



8 

Mungkin rencanaku tepatnya bukan rencana terbaik di dunia. 
Mungkin ini gagasan bodoh. 
Kau bisa bertaruh aku punya banyak keraguan berpacu dalam pikiranku saat aku mendengar Mr Mortman kembali ke ruang baca utama. 
Rencanaku, tentu saja, adalah untuk membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku benar, bahwa ia monster. Dan lalu - lari dari perpustakaan! 
Rencananya adalah untuk tak terkunci di gedung gelap menyeramkan dengannya, tak bisa melarikan diri. 
Tapi di sinilah aku. 
Sejauh ini, aku baik-baik saja. Dia tak tahu bahwa ada orang lain di sini dengan dia. Tak tahu bahwa ia sedang dimata-matai. 
Menempel pada rak tinggi itu, aku merangkak di sepanjang gang sempit sampai aku sedekat yang aku berani. Aku bisa melihat seluruh meja, terperangkap dalam cahaya persegi panjang oranye gelap dari jendela tinggi. 
Mr Mortman melangkah ke belakang mejanya, bersenandung pelan pada dirinya sendiri. Dia membereskan tumpukan buku, lalu memasukkannya ke sudut meja. 
Dia membuka laci mejanya dan mengocok benda-benda di sekitarnya, mencari sesuatu di sana. 
Aku merangkak lebih dekat. Aku bisa melihat dengan sangat jelas sekarang. Sinar matahari sore membuat segalanya oranye-merah. 
Mr Mortman menarik-narik leher kerah bajunya. Dia menggulingkan beberapa pensil dari bagian atas meja ke dalam laci meja terbuka. Lalu ia menutup laci.
Ini membosankan, pikirku. 
Ini sangat membosankan. Dan normal. 
Aku pasti salah minggu lalu. Aku pasti membayangkan itu semuanya. 
Mr Mortman hanya pria kecil yang lucu. Dia sama sekali bukan monster. 
Aku merosot dari rak tinggi itu, kecewa. 
Aku telah menyia-nyiakan semua waktu ini, bersembunyi di rak kotor ini - tidak untuk apa pun. 
Dan sekarang di sinilah aku, terkunci di perpustakaan setelah waktu tutup, melihat pustakawan membersihkan mejanya. 
Gairah apa ini! 
Aku harus keluar dari sini, pikirku. Aku sudah benar-benar bodoh. 
Tapi kemudian aku melihat Mr Mortman meraih stoples terbang di rak di belakangnya. 
Aku menelan ludah. Hatiku tiba-tiba tersentak. 
Suatu senyum terlintas di wajah gemuk Mr Mortman saat ia mengatur stoples kaca besar di depannya. Lalu ia sampai ke seberang meja dan dengan kedua tangan, menarik panci kura-kura persegi panjang mendekat. 
"Waktunya makan malam, teman-teman pemaluku," katanya dengan suaranya yang tinggi, serak. Dia menyeringai ke bawah pada kura-kura itu. Dia meraih ke dalam panci dan memercikkan sedikit air. "Waktunya makan malam, teman-teman," ulangnya. 
Dan, lalu, saat aku menatap tanpa berkedip, menatap dengan rahangku jatuh menurun dan lebih turun tak percaya, wajahnya mulai berubah lagi.
Kepala bulatnya mulai membengkak.
Matanya yang hitam menonjol. 
Mulutnya berkembang sampai menjadi satu lubang hitam terbuka. 
Kepala besar mengapung-apung di atas kerah leher kuning. Mata-mata itu berenang di depan kepala. Mulut itu memutar, membuka dan menutup seperti mulut ikan besar. 
Aku benar! Aku sadar. 
Mr Mortman adalah monster! 
Aku tahu aku benar! Tapi tak ada yang akan percaya padaku. 
Mereka harus percaya padaku sekarang, aku berkata pada diriku sendiri. Aku melihat ini begitu jelas. Semuanya begitu cerah di lampu merah-oranye. 
Aku melihatnya. Aku tak membayangkan hal itu. 
Mereka harus percaya padaku sekarang. 
Dan saat aku terkesiap dengan mulut ternganga pada makhluk kotor jelmaan pustakawan itu, ia sampai ke dalam stoples lalat, mengeluarkan segengam penuh lalat, dan mendorongnya dengan lahap ke dalam mulutnya. 
"Waktunya makan malam," sergahnya, berbicara sambil mengunyah. 
Aku bisa mendengar dengungan lalat di dalam stoples itu. 
Mereka hidup! Lalat masih hidup, dan ia melahap mereka seolah-olah mereka permen. 
Aku mengangkat tanganku dan menekannya pada sisi wajahku saat aku menatap. 
"Waktunya makan malam!" 
Segenggam lalat lagi. 
Beberapa dari mereka telah melarikan diri. Mereka berdengung keras di sekitar kepala bengkaknya yang mengangguk-angguk. 
Saat ia mengunyah dan menelan, Mr Mortman menyambar lalat di udara, tangan mungilnya kecepatannya mengherankan. Dia menarik lalat-lalat dari udara - satu, yang lain, yang lain - dan memasukkan mereka ke dalam jurang yang sangat besar di mulutnya.
Mata Mr Mortman berenang-renang di depan wajahnya. 
Untuk sesaat singkat yang menakutkan, mata-mata itu berhenti. Menatap tepat ke arahku! 
Aku sadar telah bersandar terlalu jauh ke lorong. 
Apakah ia melihatku? 
Aku melompat mundur dengan terkesiap panik. 
Mata-mata hitam menonjol itu, seperti jamur payung bergelombang, tetap di tempat untuk satu atau dua detik. Kemudian terus berputar-putar dan berenang-renang di sekitarnya. 
Setelah genggaman lalat ketiga, Mr Mortman menutup stoples itu, menjilati bibir hitamnya dengan lidah pensil tipis seperti ular. 
Suara dengungan berhenti. 
Ruangan itu sunyi lagi kecuali untuk jam dan gemuruh detak jantungku. 
Sekarang apa? Pikirku. 
Apa itu? 
Tidak.
"Waktunya makan malam, teman-teman pemaluku," kata pustakawan itu dengan suara gemetar lemah, suara sepertinya bergerak bersama dengan kepala besar itu. 
Dia mengulurkan tangan ke dalam panci dan mengambil salah satu kura-kura hijau kecil bertempurung itu . Aku bisa melihat kaki kura-kura itu bergerak-gerak maju. 
Apakah dia akan memberi makan beberapa lalat itu untuk kura-kura itu sekarang? Aku bertanya-tanya. 
Mr Mortman memegang kura-kura lebih tinggi, mempelajarinya dengan mata menonjol berputarnya itu. Dia mengangkatnya ke sinar matahari. Kaki kura-kura itu terus bergerak. 
Kemudian dia menyorongkan kura-kura itu ke dalam mulutnya. 
Aku mendengar gemeretak tempurung saat Mr Mortman menggigit. 
Dia mengunyah dengan ribut, beberapa kali, membuat derakan keras di setiap kunyahan. Lalu aku melihat dia menelan sekali, dua kali, sampai ia menurunkan (panci) itu.. 
Aku sudah cukup melihat. 
Lebih dari cukup. 
Aku berbalik. Aku mulai untuk berjalan membabi buta kembali melalui lorong gelap. Aku berlari dengan cepat. Aku benar-benar tak peduli jika dia mendengarku atau tidak. 
Aku hanya harus keluar dari sini. 
Keluar ke cahaya matahari dan udara segar. 
Menjauh dari suara berderak yang terus berulang-ulang di telingaku. Derakan dari tempurung kura-kura saat Mr Mortman mengunyahnya dan mengunyahnya. 
Mengunyahnya hidup-hidup. 
Aku berlari dari ruang baca utama, hatiku berdebar-debar, kakiku terasa berat seperti batu. 
Aku bernapas terengah-engah saat aku mencapai pintu masuk depan. Aku berlari ke pintu dan meraih pegangan pintu. 
Dan lalu teringat. 
Pintu itu terkunci. 
Aku tak bisa keluar. 
Aku terkunci di dalam. 
Dan, kemudian, saat aku berdiri menatap lurus ke depan pintu yang tertutup, tanganku mencengkeram erat kenop kuningan, aku mendengar langkah-langkah kaki. Di belakangku. Langkah-langkah kaki yang cepat. 
Mr Mortman telah mendengarku. 
Aku terjebak. 



9 

Aku membeku panik, menatap pintu itu sampai jadi kabur-gelap di depanku. 
Langkah-langkah Mr Mortman semakin keras di belakangku. 
Tolong! Aku mengucapkan permohonan pelan. Seseorang - tolong aku! 
Pustakawan itu akan muncul mendadak di pintu masuk depan setiap saat. Dan ada aku akan ada di sini. Terjebak di pintu. 
Terjebak seperti tikus. Atau seperti kura-kura! 
Dan lalu apa? 
Apa dia akan meraihku ke atas seperti salah satu hewan peliharaannya? 
Apa dia mengunyahku di antara gigi-giginya? 
Harus ada jalan keluar dari sini. Harus ada! 
Dan, lalu, menatap pintu yang kabur itu, tiba-tiba jadi jelas bagiku.
Semuanya kembali dalam fokus. Dan aku menyadari bahwa mungkin - mungkin saja - aku tak terjebak sama sekali. 
Mr Mortman telah mengunci pintu dari dalam. 
Dari dalam. 
Itu berarti bahwa mungkin aku bisa membuka kuncinya dan membuka pintu. 
Jika pintu itu terkunci dengan sebuah kunci, lalu aku terjebak. 
Tetapi jika itu hanya kunci biasa yang kau putar. . . 
"Hei, ada seseorang di luar sana?" Suara serak Mr Mortman itu mendadak muncul dalam pikiranku. 
Mataku panik mencari pintu. Aku menemukan kunci di bawah kenop kuningan itu. 
Aku meraihnya. 
Ayo berputar. Ayo berputar. Ayo berputar. 
Kunci itu berputar di tanganku dengan klik pelan. Suara termerdu yang pernah kudengar! 
Dalam sedetik, aku membuka pintu.
Dalam detik lainnya, aku keluar di tangga batu. Kemudian, aku berlari secepat aku bisa, berlari menyeberangi halaman depan, memotong melalui beberapa semak-semak, menyelam melalui pagar - berlari untuk hidupku!
Dengab megap-megap, aku berbalik (setelah) setengah blok. Aku bisa melihat Mr Mortman, sesosok bayangan di pintu perpustakaan. Dia sedang berdiri di ambang pintu, menatap keluar, tak bergerak. Hanya berdiri di sana. 
Apakah dia melihatku? 
Apakah dia tahu ini aku memata-matainya? 
Aku tak ingin tahu. Aku hanya ingin pergi. 
Matahari sore merunduk di balik pepohonan, membuat bayang-bayang menyendiri dan gelap. Aku menunduk dan berlari ke dalam bayangan panjang biru, sepatu ketsku berbunyi keras di trotoar. 
Aku sudah keluar. Aku baik-baik saja. Aku telah melihat monster, tetapi dia tak melihatku. Aku harap. 
Aku berlari sampai aku sampai di rumah Aaron. Dia masih di halaman depan. Dia duduk di tunggul pohon tua orang tuanya telah lenyap. Aku bisa melihat benda semacam Frisbee biru di pangkuannya. Dia berusaha untuk melepaskan pita karet panjang itu. 
Aaron menunduk, berkonsentrasi menguraikan simpul (tali)nya, dan tak melihatku pada awalnya. 
"Aaron - Mr Mortman itu monster!" teriakku terengah-engah. 
"Hah?" Dia mendongak, kaget. 
"Mr Mortman - dia itu monster!" ulangku, terengah-engah seperti anjing. Aku meletakkan tanganku di lututku dan membungkuk ke depan, mencoba untuk bernapas. 
"Lucy, apa masalahmu?" gumam Aaron, kembali perhatiannya ke pita karet itu.
"Dengarkan aku!" jeritku tak sabar. Aku tak terdengar seperti diriku. Aku tak mengenali suara panik melengkingku. 
"Benda ini mutunya rendah," gumam Harun. "Ini benar-benar kusut." 
"Aaron, tolong!" Aku memohon. "Aku berada di perpustakaan. Aku melihatnya. Dia berubah jadi monster. Dia memakan salah satu kura-kura itu!" 
Aaron tertawa. "Lezat!" katanya. "Apa kau membawakanku satu?"
"Aaron, itu tak lucu!" teriakku, masih terengah-engah. "Aku - Aku sangat takut. Dia itu monster. Dia benar-benar monster. Kupikir aku terkunci di dalam dengannya. Kupikir -" 
"Begini saja," kata Aaron, masih membuka simpul di pita karet itu. Dia memegang cakram plastik biru terus kepadaku. "Jika kau bisa melepaskan simpul besar ini, aku akan membiarkanmu bermain dengan ini."
"Aaaaaagh!" Aku mengeluarkan teriakan marah. "Mengapa kau tak mendengarkanku?" 
"Lucy, yang benar saja," kata Aaron, masih memegang cakram itu  terus kepadaku. "Aku tak ingin bicara tentang monster sekarang. Ini agak kekanak-kanakan, kau tahu?"
"Tapi, Aaron!" 
"Mengapa tak kau simpan hal-hal itu untuk Randy?" saran Aaron. Dia melambaikan cakram biru itu. "Apakah kau ingin membantuku dengan ini atau tidak?" 
"Tidak!" Aku menjerit. Lalu aku menambahkan: "Kau teman yang payah!" 
Dia tampak sedikit terkejut. 
Aku tak menunggunya mengatakan sesuatu. Aku pergi lagi, menuju rumah.
Aku benar-benar marah. Apa masalahnya, sih? Kau seharusnya menerima teman dengan serius. Kau tak seharusnya berpikir bahwa temanmu secara otomatis hanya mengarang cerita. 
Aaron tak bisa melihat bagaimana ketakutan dan marah aku? 
Tak bisakah dia melihat bahwa itu bukan lelucon? 
Dia benar-benar brengsek, aku memutuskan, saat rumahku akhirnya muncul. Aku tak akan pernah berbicara lagi padanya. 
Aku berlari di jalan masuk, membuka pintu kasa, dan menghambur ke dalam rumah.
"Ibu Ayah!" Jantungku berdebar begitu keras, mulutku begitu kering, jeritanku berbisikan parau. 
"Bu - di mana kau?" 
Aku berlari melalui rumah sampai aku menemukan Randy di ruang baca. Ia berbaring di lantai, wajahnya dua ceruk(relung) di depan TV, menonton film kartun Bugs Bunny. 
"Di mana Ibu dan Ayah?" teriakku terengah-engah. 
Dia mengabaikan aku. Hanya menatap film kartunnya. Warna-warna dari TV menari-nari di wajahnya. 
"Randy - di mana mereka?" Aku mengulangi dengan panik. 
"Belanja bahan makanan," gumamnya tanpa berbalik. 
"Tapi aku harus bicara dengan mereka!" Kataku. "Kapan mereka pergi? Kapan mereka akan kembali?" 
Dia mengangkat bahu tanpa melepas matanya dari layar. "Aku tak tahu."
"Tapi, Randy!" 
"Tinggalkan aku sendiri," rengeknya. "Aku sedang menonton kartun." 
"Tapi aku melihat monster!" jeritku. "Yang asli!" 
Matanya melebar. Mulutnya ternganga.
"Monster asli?" ia tergagap.
"Ya!" teriakku. 
"Apa dia mengikutimu pulang?" tanya Randy pucat. 
"Kuharap tidak!" Aku berseru. Aku berputar dan berlari keluar dari ruang baca. Aku melirik ke luar jendela ruang tamu saat aku bergegas lewat. Tak ada tanda-tanda mobil orangtuaku. 
Jadi aku berlari ke kamarku. 
Aku begitu marah. Begitu marah dan kesal. 
Aku mengambil dua langkah ke kamarku, lalu berhenti. 
Disitu di tempat tidurku, di bawah selimut, berbaring monster besar berbulu, kepala berbonggol-bonggol coklat pada bantal, menganga, mulut ompong terpelintir dalam satu seringai jahat. 


Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com



10 

Aku meraih bagian atas lemari riasku dan mengeluarkan hembusan nafas keras kaget.
Monster itu menatapku, satu mata bulatnya lebih besar dari yang lain. Tak bergerak dari bantalku. 
Ia mengeluarkan tawa bernada tinggi.
Maksudku, kupikir itu tertawa. Aku butuh beberapa saat untuk menyadari bahwa tawa terkikik itu berasal dari belakangku. 
Aku berbalik untuk melihat Randy tepat di luar pintu. Ketika ia melihat ekspresi ketakutan di wajahku, tawa terkikiknya menjadi gemuruh tawa. 
"Seperti itu?" tanyanya, melangkah melewatiku masuk ke dalam ruangan dan berjalan ke tempat tidurku. "Aku membuatnya di kelas seni." 
"Hah?" 
Randy mengangkat kepala kasar monster coklat itu. Begitu ia mengambilnya, aku melihat bahwa rambut itu adalah benang rajutan cokelat, bahwa wajah itu lukisan. 
"Ini papier mache-," Randy mengumumkan dengan bangga. "Rapi, ya?" 
(papier mache: bahan yang terbuat dari bubur kertas yang dicampuri perekat untuk dicetak atau dibentuk patung, topeng dan yang lainnya)
Aku menghela napas panjang dan merosot ke tepi tempat tidur. 
"Ya Rapi,." Gumamku sedih. 
"Aku menaruh bantal dibawah selimutmu agar dia terlihat seperti punya tubuh," lanjut Randy, menyeringai. Senyumnya sangat mirip seringai di kepala monster itu. 
"Sangat pintar," kataku pahit. "Dengar, Randy, aku baru saja mengalami hal yang sangat menakutkan terjadi. Dan aku benar-benar tak mood untuk lelucon.." 
Senyumnya melebar. Dia melemparkan kepala monster cokelat itu padaku. 
Aku menangkapnya dan memegangnya di pangkuanku. Dia memberi isyarat padaku untuk melemparkannya kembali, tapi aku tidak. 
"Apa kau tak dengar?" teriakku. "Aku sangat marah. Aku melihat monster yang asli. Di perpustakaan." 
"Kau hanya merasa malu karena tertipu kepala monsterku," kata Randy. "Kau marah karena aku benar-benar membuatmu ketakutan." 
"Mr Mortman itu monster," kataku padanya, memantulkan kepala monster di pangkuanku. "Aku melihatnya berubah jadi monster. Kepalanya jadi besar. Dan matanya muncul keluar, dan mulutnya memutar terbuka," 
"Hentikan!" teriak Randy, mulai tampak ketakutan. 
"Aku melihatnya makan lalat," aku melanjutkan. "Segenggam lalat." 
"Lalat?" Randy bertanya. "Ih!" 
"Lalu aku melihatnya mengambil salah satu kura-kura hewan peliharaannya. Kau tahu. Yang terus dia jaga di panci itu di mejanya. Aku melihatnya menyorongkannya ke dalam mulutnya dan memakannya." 
Randy bergidik. Dia menatapku serius. Untuk sesaat, aku berpikir mungkin dia percaya padaku. Tapi kemudian ekspresinya berubah, dan ia menggeleng. 
"Tak mungkin, Lucy. Kau hanya marah karena aku menakutimu sekali ini. Jadi sekarang kau mencoba menakut-nakutiku. Tapi itu tak akan bekerja." 
Randy meraih kepala monster itu dari pangkuanku dan mulai keluar pintu. "Aku tak percaya padamu tentang Mr Mortman." 
"Tapi itu benar!" protesku melengking.
"Aku kehilangan film kartunku," katanya. 
Saat itu, aku mendengar ketukan di pintu depan. 
"Ibu!" teriakku. Aku melompat dari tempat tidur dan pergi dengan cepat ke tangga. Aku mendorong Randy keluar dari jalanku, dan hampir-hampir terbang menuruni tangga, melangkah tiga anak tangga sekaligus. 
"Ibu! Ayah - Kalian pulang!  Aku harus memberitahu kalian!" 
Aku membeku di depan pintu kasa. 
Itu bukan orang tuaku. 
Itu Mr Mortman. 



11 

Pikiran pertamaku adalah lari.
Pikiran berikutnya aku membanting pintu depan. 
Pikir berikutnya lari kembali ke atas dan bersembunyi di kamarku. 
Tapi sudah terlambat untuk bersembunyi. Mr Mortman sudah melihatku. Dia menatapku melalui pintu layar dengan mata hitam yang menyerupai manik-manik, bibir tipisnya tersenyum jahat di wajah pucatnya yang bulat.
Dia melihatku, aku menyadarinya. 
Dia melihatku memata-matainya di perpustakaan. 
Dia melihatku lari. 
Dia tahu bahwa aku mengetahui rahasianya.
Dia tahu bahwa aku tahu dia itu monster.
Dan dia datang untuk menangkapku.
Dia datang untuk menyingkirkanku, untuk memastikan rahasianya aman. 
"Lucy?" panggilnya. 
Aku menatapnya melalui layar (pintu).
Aku bisa melihat di matanya bahwa dia tahu itu aku di perpustakaan. 
Matahari hampir turun lenyap. Langit di belakangnya adalah matahari terbenam-ungu. Wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya dalam cahaya malam. 
"Lucy, hai. Ini aku," katanya. 
Dia menungguku mengatakan sesuatu. Tapi aku membeku di sana panik, mencoba untuk memutuskan apakah untuk lari atau menjerit. Atau keduanya. 
Randy berhenti di tengah tangga.
"Siapa itu?" tanyanya. 
"Ini Mr Mortman," jawabku pelan. 
"Oh." Itulah yang dikatakan adikku. Dia terus berjalan turun, lalu berjalan melewatiku dalam perjalanan kembali ke ruang baca. 
"Hai, Mr Mortman," aku berhasil berkata, tak bergerak lebih dekat ke pintu. Lalu aku berseru, "Orang tuaku tak ada di rumah." 
Aku langsung tahu bahwa itu adalah hal yang bodoh untuk dikatakan. Sekarang monster itu tahu bahwa Randy dan aku ada di sini sendirian. 
Mengapa aku mengatakannya? Aku bertanya pada diriku sendiri. Bagaimana aku bisa begitu bodoh? 
"Aku tak datang untuk menemui orang tuamu," kata Mr Mortman pelan. "Aku datang untuk menemuimu, Lucy." 
Dia tahu! Pikirku. Dia benar-benar tahu! 
Aku daging mati! 
Aku menelan ludah. Aku tak tahu harus berkata apa. Mataku mencari-cari di lorong depan untuk senjata, sesuatu untuk memukulnya dengan itu saat ia menerobos pintu kasa dan datang mengejarku. 
Mata Mr Mortman menyipit. Senyumnya memudar. 
Ini dia! Pikirku. 
Tak ada apa pun di dekat sini yang bisa kugunakan untuk melawannya. Sebuah vas bunga kaca kecil. Itu saja yang bisa kulihat. Aku tak berpikir itu akan terlalu efektif melawan raungan monster. 
"Lucy, aku yakin ini milikmu," kata Mr Mortman. Ia mengangkat ransel dari kain kampas biru. 
"Hah?" 
"Aku menemukan di belakang dalam tumpukan," kata Mr Mortman, senyumnya kembali. "Aku tak tahu siapa yang meninggalkannya Tapi aku menemukan namamu dan alamat pada pening (tanda pengenal) di sini.." 
"Anda - Maksud Anda -?" Aku tergagap.
"Aku selalu berjalan pulang setelah aku menutup perpustakaan, jadi kupikir aku akan membawanya kepadamu, "katanya. 
Apakah ini jebakan? 
Aku mengamati wajah waspadanya. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. 
Aku tak punya pilihan. Aku membuka pintu layar, dan ia memberiku ransel itu.
"Wow. Terima kasih," kataku. "Anda benar-benar baik." 
Dia meluruskan lengan baju berleher kuningnya itu. "Yah, kupikir kau mungkin ingin untuk memulai Anne of Green Gables malam ini," katanya.
"Ya. Tentu," jawabku ragu-ragu. 
"Kurasa kau berlari keluar dari perpustakaan cukup cepat," kata Mr Mortman, menatap ke mataku. 
"Eh... Ya. Saya harus pulang," kataku, sambil kembali ke ruang baca. Musik film kartun melayang ke ruang masuk.
"Jadi kau tak menunggu di sekitar (perpustakaan) atau apa pun setelah pertemuan kita?" tanyanya. 
Apakah dia tahu? Aku bertanya-tanya.
Atau ia hanya mencoba untuk mencari tahu apakah itu aku atau bukan? 
"Tidak," kataku, berusaha menjaga suaraku dari gemetar. "Saya berlari keluar, saya sedang terburu-buru. Saya - saya kira itulah sebabnya saya lupa tas saya." 
"Oh, begitu," jawab Mr Mortman serius, menggosok dagunya. 
"Kenapa?" Aku berseru. 
Pertanyaan itu tampaknya mengejutkannya. 
"Oh, bukan apa-apa, sungguh," katanya. "Kupikir seseorang sedang bermain-main untuk menipuku. Tinggal di perpustakaan setelah ditutup." 
"Sungguh?" tanyaku, membuka mata lebar-lebar dan berusaha terdengar tak bersalah sebisa mungkin. "Mengapa mereka melakukan itu?" 
"Untuk menakut-nakutiku," jawab Mr. Mortman, tergelak. "Beberapa anak tak punya sesuatu yang lebih baik untuk dilakukan daripada mencoba menakut-nakuti pustakawan tua yang baik."
Tapi kau bukan pustakawan tua yang baik, pikirku. Kau monster! 
"Aku bangun untuk melihat-lihat," lanjut Mr Mortman, "dan siapa pun itu di (punya) ekor yang tinggi." Dia tertawa kecil lagi.
"Aku tak ingin terkunci di sana semalaman," kataku, mengamati wajahnya, berharap aksi tak bersalahku bekerja. 
" Aku juga!" serunya. "Itu adalah bangunan tua yang cukup menyeramkan. Kadang aku begitu takut dari deritan-deritan dan rintihan-rintihan yang aneh.!" 
Ya. Tentu! Pikirku sinis. 
Di belakangnya, aku melihat mobil orangtuaku berputar di jalan masuk. Aku diam-diam menarik napas lega. Syukurlah akhirnya mereka pulang! 
"Kurasa aku akan mengatakan selamat malam," kata Mr Mortman menyenangkan. Dia berbalik dan melihat orang tuaku berjalan dengan roda (mobil mereka) melewatinya di jalan masuk, menuju ke belakang rumah. 
"Terima kasih untuk membawakan tas," kataku, ingin pergi menyambut Ibu dan Ayah. 
"Tak masalah. Sampai jumpa minggu depan." Dia bergegas pergi. 
Aku berlari ke dapur. Ibu baru saja masuk melalui pintu dapur, membawa tas belanja cokelat. "Bukankah itu Mr Mortman di pintu depan?" tanyanya, heran. 
"Ya," jawabku penuh semangat ". Aku sangat senang melihatmu, Bu. Aku harus memberitahumu -" 
"Apa yang dia inginkan?" sela Ibu.
"Dia.... eh.... mengembalikan ranselku, aku meninggalkannya di perpustakaan, begitu. Aku harus memberitahumu tentang dia, Bu. Dia -" 
"Itu sangat baik sekali," kata Ibu, mengatur tas belanja di atas meja. "Bagaimana kau lupa, Lucy?" 
"Aku berlari keluar dari sana sangat cepat, Bu. Kau lihat -." 
"Yah, Mr Mortman itu benar-benar baik," selanya lagi. Dia mulai untuk mengeluarkan barang-barang dari tas belanja. "Dia tak tinggal di arah ini. Kupikir dia tinggal jauh di sisi utara." 
"Bu, aku mencoba untuk memberitahumu sesuatu!" teriakku tak sabar. Tanganku mengepal ketat. Jantungku berdebar-debar. "Mr Mortman itu monster!"
"Hah?" Dia berpaling dari meja dan menatapku. 
"Dia monster, Bu. Benar-benar monster!" teriakku. 
"Lucy, Lucy." Dia menggelengkan kepalanya. "Kau melihat monster-monster di mana-mana." 
"Bu!" 
"Hentikan, Lucy. Berhentilah menjadi bodoh. Kuharap kau sopan kepada Mr Mortman." 
"Bu!" 
"Cukup. Pergilah ke luar dan bantu ayahmu membawa sisa-sisa belanjaan." 



12 

Jadi, sekali lagi orang tuaku yang luar biasa menolak untuk mempercayaiku.
Kucoba untuk menggambarkan apa yang kulihat dari tempatku bersembunyi di perpustakaan. Tapi Ibu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ayah bilang aku punya imajinasi yang hebat. Bahkan Randy menolak untuk takut. Dia berkata pada Ibu dan Ayah bagaimana ia menakut-nakutiku dengan kepala monster papier mache- tololnya. 
Aku hampir-hampir memohon mereka untuk percaya padaku. 
Tapi Ibu bilang aku hanya malas. Dia berkata aku mengarang cerita tentang Mr Mortman sehingga aku bisa keluar dari program Reader Rangers dan tak perlu membaca buku-buku lagi di musim panas ini. 
Ketika dia mengatakan itu, aku sangat tersinggung, tentu saja. Aku kembali meneriakkan sesuatu. Dan berakhir dengan kita semua saling menggeram dan menggeretak satu sama lain, diikuti oleh serbuanku ke kamarku. 
Merosot di tempat tidurku, aku berpikir keras tentang kesulitanku. 
Aku bisa melihat bahwa mereka tak akan percaya padaku. 
Aku telah mengatakan terlalu banyak kisah monster, memainkan terlalu banyak lelucon monster. 
Jadi, aku sadar, aku perlu orang lain untuk memberitahu orang tuaku tentang Mr Mortman. Aku butuh orang lain untuk melihat Mr Mortman menjadi monster. Aku butuh orang lain untuk percaya kebenaran padaku.
Aaron. 
Jika Aaron datang bersama denganku dan bersembunyi di perpustakaan dan melihat Mr Mortman makan lalat dan kura-kura dengan kepala menggembung - maka Aaron bisa memberitahu orang tuaku. 
Dan mereka akan percaya Aaron. 
Mereka tak punya alasan untuk tak percaya Aaron. Dia orang yang serius, pria tanpa basa-basi. Temanku yang paling serius, tanpa basa-basi. 
Aaron jawaban pasti untuk masalahku.
Aaron akhirnya akan membuat orang tuaku menyadari kebenaran tentang Mr Mortman. 
Aku segera meneleponnya. 
Kukatakan padanya bahwa aku butuh dia untuk datang bersembunyi di perpustakaan dan memata-matai Mr Mortman. 
"Kapan?" dia bertanya. "Pada pertemuan Reading Rangers-mu berikutnya ?" 
"Tidak, aku tak bisa menunggu seminggu penuh," kataku, berbisik ke telepon, meskipun orang tuaku ada di bawah dan tak ada orang di sekitar. "Bagaimana kalau besok siang? Tepat sebelum waktu tutup. Sekitar jam lima." 
"Itu terlalu bodoh," Aaron bersikeras. "Aku tak berpikir aku ingin." 
"Aku akan membayarmu!" Aku berseru.
"Berapa banyak?" tanyanya. 
Apanya yang teman! 
"Lima dolar," kataku enggan. Aku tak pernah menyimpan banyak dari uang sakuku. Aku bertanya-tanya apakah aku masih punya lima dolar di laciku. 
"Yah, oke," kata Aaront. "Lima dolar. Di muka." 
"Dan kau akan bersembunyi denganku dan kemudian memberitahu semua yang kau lihat kepada orang tuaku?" tanya. 
"Ya. Oke. Tapi aku masih berpikir itu bodoh." Dia diam sejenak. "Dan bagaimana jika kita tertangkap?" tanyanya setelah beberapa saat. 
"Kita akan berhati-hati," kataku, merasa dingin sedikit ketakutan. 



13 

Aku menghabiskan sebagian besar hari berikutnya berkeliaran, menggoda Randy. Aku tak bisa menunggu sore hari untuk terjadi seperti biasanya. 
Aku begitu gembira. Dan gugup. 
Aku sudah merencanakan semuanya. Aaron dan aku akan menyelinap ke ruang baca utama tanpa Mr Mortman tahu ada orang yang masuk. Kami bersembunyi di rak-rak gelap, seperti yang telah kulakukan. 
Lalu, saat pustakawan itu mematikan lampu dan menutup perpustakaan, kami akan menyelinap ke lorong, menjaga dalam bayang-bayang, dan menontonnya menjadi monster. 
Lalu kami tak akan pergi tergesa-gesa dengan cara telah kulakukan. Itu terlalu berisiko. Kami akan kembali ke tempat kita bersembunyi di rak rendah dan menunggu Mr Mortman untuk pergi. Setelah ia pergi, Aaron dan aku akan membiarkan diri kami keluar dari perpustakaan dan bergegas ke rumahku untuk memberitahu orang tuaku apa yang kami lihat. 
Mudah. Tak ada yang itu, aku terus berkata pada diriku sendiri. 
Tapi aku begitu gugup, begitu bersemangat untuk menyelesaikannya, aku tiba di rumah Aaron satu jam lebih awal. Aku membunyikan bel.
Tak ada jawaban. 
Aku memanggil lagi. 
Akhirnya, setelah menunggu lama, adik belasan tahun Aaron, Burt, membuka pintu. Dia memakai celana pendek denim biru dan kemeja. 
"Hai," katanya, menggaruk-garuk dadanya. "Kau mencari Aaron?" 
"Ya." Aku mengangguk. 
"Dia tidak di rumah." 
"Hah?" Aku nyaris terjatuh dari beranda. "Dimana dia? Maksudku, kapan dia akan kembali?" 
"Tak tahu. Dia pergi ke dokter gigi," kata Burt, menatap jalan melaluiku. 
"Dia pergi?" 
"Ya. Dia punya janji dengan orthodontist. Dia mendapatkan kawat gigi. Apa dia tak bilang padamu?" 
(orthodontist: dokter gigi yang keahliannya merapikan gigi)
"Tidak," kataku murung. Aku bisa merasakan hatiku tenggelam ke lututku. "Aku seharusnya bertemu dengannya." 
"Mungkin dia lupa," kata Burt sambil mengangkat bahu. "Kau tahu Aaron. Dia tak pernah ingat hal-hal seperti itu." 
"Yah. Terima kasih," gumamku sedih. Aku mengucapkan selamat tinggal dan berjalan kembali ke trotoar. 
Pengkhianat busuk itu. 
Aku merasa sangat dikhianati. 
Aku sudah menunggu sepanjang hari. Aku begitu menjiwai untuk memata-matai Mr Mortman. 
Aku sudah mengharapkan Aaron. Dan sementara, ia punya janji dokter gigi bodoh itu. 
"Kuharap kawat-kawat gigimu benar-benar sakit!" teriakku keras.
Aku menendang sebuah batu kecil di trotoar. Aku merasa seperti menendang banyak batu. Aku merasa seperti menendang Aaron. 
Aku berbalik dan menuju rumah, memikirkan segala macam pikiran jelek. Aku berada di jalan masuk rendah (rumah)ku ketika ide itu muncul di kepalaku. 
Aku tak perlu Aaron, tiba-tiba aku menyadarinya. 
Aku punya kamera. 
Orangtuaku telah memberiku sebuah kamera yang benar-benar bagus Natal lalu. 
Jika aku menyelinap ke perpustakaan dengan kamera dan mengambil beberapa foto Mr Mortman setelah ia menjadi monster, foto-foto itu akan jadi bukti yang kubutuhkan. 
Orang tuaku akan percaya pada foto berwarna yang asli. 
Melupakan kekecewaanku tentang Aaron, aku bergegas ke kamarku dan menarik kamera dari rak. Kamera ini sudah ada film di dalamnya. Aku telah mengambil sejumlah foto di pesta ulang tahun Randy sebelum sekolah. 
Aku memeriksanya dengan cermat. Masih ada delapan atau sembilan sisa jepretan pada roll (gulungan film). 
Itu harusnya cukup untuk menangkap Mr Mortman di (bentuk) terjeleknya. 
Aku melirik jam di mejaku. Ini masih terlalu awal. Jam empat tiga puluh lebih sedikit. Aku ingin setengah jam sebelum perpustakaan tutup. 
"Ini harus bekerja," kataku keras-keras, menyilangkan jari di kedua tangan. 
Lalu aku melilitkan kamera di leherku dan menuju ke perpustakaan. 
Aku memasuki perpustakaan diam-diam dan bergerak pelan-pelan ke pintu ruang baca utama. Rencanaku adalah menyelinap ke dalam rak yang rendah di mana aku bersembunyi sebelumnya. Tapi aku dengan cepat melihat bahwa semuanya itu tak akan semudah pemikiranku. 
Perpustakaan itu sangat ramai. Ada beberapa anak di bagian buku anak-anak. Ada orang-orang yang  membolak-balik majalah. Salah satu mesin microfiche sedang digunakan di salah satu dinding. Dan beberapa lorong, termasuk satu lorong dengan tempat persembunyian khususku, ada orang-orang di dalamnya, melihat-lihat dan mencari-cari di rak.
(microfiche: lembaran mikrofilm kecil dengan banyak halaman atau isi yang merupakan hasil foto)
Aku hanya perlu menunggu mereka keluar, aku putuskan, berbalik dan berpura-pura untuk mencari-cari di salah satu rak itu kembali. 
Aku bisa melihat Mr Mortman berdiri di belakang mejanya. Dia memeriksa setumpuk buku untuk seorang wanita muda, membuka sampul-sampulnya, mencap kartu, lalu menutup sampul-sampul itu dengan kasar. 
Saat itu hampir pukul lima. Tepat waktunya tutup. 
Aku merangkak di sepanjang dinding belakang, mencari tempat lain untuk bersembunyi. Di dekat sudut, aku melihat sebuah lemari kayu besar. Aku mengenalinya saat aku melangkah di belakangnya dan merendahkan diri dari pandangan. Itu adalah lemari panjang yang tinggi yang menahan kartu-kartu katalog. 
Ini akan jadi persembunyianku yang cukup baik, pikirku. 
Aku membungkuk di balik lemari tua itu dan menunggu. Waktu berlalu. Setiap detik terasa seperti satu jam. 
Pada pukul lima seperempat, Mr Mortman masih memeriksa buku orang-orang. Ia mengumumkan waktu tutup, tetapi beberapa dari pembaca majalah tampak sangat enggan untuk pergi. 
Aku merasa diriku semakin gugup. Tanganku sedingin es. Kamera tiba-tiba tampa beratnya seribu pound, seperti beban mati di sekitar leherku. Aku memindahkannya dan menjatuhkannya ke pangkuanku. 
Ini semua akan sia-sia, aku terus mengulang-ulang pada diri sendiri. 
Ini semua akan bernilai jika aku mendapatkan jepretan yang baik yang jelas dari monster itu. 
Aku bersandar di belakang lemari dan menunggu, tanganku mencengkeram erat kamera di pangkuanku. 
Akhirnya, ruangan itu kosong. 
Aku bangkit, tiba-tiba sangat waspada, ketika aku mendengar pustakawan itu pergi untuk mengunci pintu depan. Beberapa detik kemudian, aku mendengar dia kembali ke mejanya. 
Aku berdiri dan mengintip di sisi lemari. Dia sibuk mengocok kertas, merapikan mejanya malam ini. 
Dalam beberapa menit, aku berharap, itu waktunya makan. 
Waktunya monster. 
Mengambil napas dalam-dalam, aku mencengkeram erat kamera di satu tangan, dan mulai merasakan hatiku berdebar-debar, aku mulai berjalan diam-diam menuju meja Mr Mortman di depan ruangan. 



14 

Segalanya jadi tampak begitu lama hari ini. 
Apa waktu benar-benar bergerak sangat lambat? Atau segalanya tampak begitu lambat karena denyut nadiku berpacu begitu cepat? 
Aku begitu ingin mendapatkan buktiku - dan keluar dari sini! 
Tapi Mr Mortman menggunakan waktu tuanya dengan baik. Dia membolak-balik setumpuk kertas, membaca beberapa darinya, melipat beberapa darinya jadi setengah, dan melemparkannya dalam keranjang sampah kawat di samping mejanya. 
Dia bersenandung sendiri saat dia membaca seluruh tumpukan itu. Akhirnya, ia sampai ke bagian bawah tumpukan dan melemparkankan lembaran terakhir itu.
Sekarang! Pikirku. Sekarang kau akan memulai rutinitas monstermu, bukan begitu, Mr Mortman! 
Tapi tidak. 
Ia mengangkat setumpuk buku dari meja dan membawanya ke rak-rak. Bersenandung keras, ia mulai mengembalikan buku-buku itu ke tempatnya. 
Aku menekan diriku ke dalam kegelapan, berharap ia tak akan datang ke barisanku. Aku berada dekat di dinding jauh di depan deretan mesin microfiche. 
Tolong, ayo kita mulai dengan itu! Aku memohon diam-diam. 
Tetapi ketika ia selesai dengan tumpukan pertama, Mr Mortman kembali ke mejanya dan mengangkat ke tumpukan buku lainnya untuk dikembalikan. 
Aku akan terlambat untuk makan malam, aku menyadarinya dengan tumbuhnya rasa takut. Orangtuaku akan membunuhku! 
Pikiran itu membuatku tertawa. Di sinilah aku, terkunci di dalam perpustakaan tua menyeramkan ini dengan monster, dan aku khawatir tentang dimarahi karena terlambat untuk makan malam! 
Aku bisa mendengar Mr Mortman, tapi aku tak bisa melihatnya. Dia berada suatu tempat di antara deretan-deretan rak, mengembalikan buku-buku. 
Tiba-tiba senandungnya semakin keras.
Aku sadar bahwa ia berada di lorong sebelah. Aku bisa melihatnya di atas puncak buku-buku di rak-rak sebelah kananku. 
Dan itu artinya ia bisa melihatku! 
Dicekam panik, aku menunduk dan jatuh ke lantai. 
Apa ia mendengarku? 
Apa dia melihatku? 
Aku tak bergerak. Aku tak bernapas. 
Dia terus bersenandung untuk dirinya sendiri. Suara semakin samar saat ia bergerak ke arah lain. 
Dengan mengeluarkan desahan lega pelan, aku naik berdiri. Mencengkeram erat kamera di tangan kananku, aku mengintip dari sisi rak. 
Aku mendengar seretan sepatunya di lantai. Dia muncul kembali, kepalanya yang botak mengkilap di bawah sinar matahari sore hari dari jendela, dan berjalan perlahan ke mejanya. 
Jam di dinding terus berdetak ribut. 
Tanganku mencengkeram kamera itu dingin dan lembap. 
Melihatnya mengaduk-aduk barang-barang di dalam laci mejanya, aku tiba-tiba kehilangan keberanian. 
Ini bodoh, pikirku. Suatu ide yang sangat buruk. 
Aku akan tertangkap. 
Begitu aku melangkah keluar untuk menganbil gambar, dia akan melihatku.
Dia akan mengejarku. Dia tak akan membiarkanku keluar dari perpustakaan dengan kamera ini. 
Dia tak akan membiarkanku keluar dari sini hidup-hidup. 
Berbalik dan larilah! Perintah satu suara di dalam kepalaku. 
Cepatlah, saat kau punya kesempatan - berbalik dan larilah! 
Lalu terdengar suara lain menyelanya. Dia tak akan berubah jadi monster malam ini, Lucy, kata suara itu. Kau membuang-buang waktumu. Kau membuat dirimu sendiri gugup dan ketakutan tanpa alasan. 
Pikiranku berputar, berdesing dengan suara-suara dan pikiran-pikiran yang menakutkan. Aku bersandar keras pada rak kayu, memantapkan diriku sendiri. Aku memejamkan mata sejenak, mencoba untuk menjernihkan kepalaku. 
Berapa banyak potret yang bisa kau ambil? Tanya satu suara di kepalaku. Bisakah kau memotret tiga atau empat (kali) sebelum ia menyadari apa yang terjadi? 
Kau hanya perlu satu potret yang baik, kata suara lain kepadaku. Satu potret yang bagus dan jelas akan menjadi bukti yang kau butuhkan. 
Lebih baik kau berharap dia bersenandung sangat keras, kata suara lain. Jika tidak, dia akan mendengar bunyi klik pemetik (rana) kameramu. 
Berbalik dan larilah! (kata) suara lain berulang-ulang. Berbalik dan larilah! 
Kau hanya perlu satu potret yang baik.
Jangan biarkan dia mendengar bunyi klik pemetik (kamera)mu. 
Aku melangkah ke depan dan mengintip di sekeliling rak. 
Mr Mortman, bersenandung riang pergi, adalah meraih stoples lalat. 
Ya! Aku diam-diam berteriak. Akhirnya!
"Waktunya makan malam, teman-teman pemalu saya," aku mendengarnya berkata dalam suara senang yang datar. Dan saat ia mulai membuka tutup stoples, kepalanya mulai semakin besar. 
Matanya menonjol. Mulutnya berputar terbuka dan menjadi besar. 
Dalam beberapa detik, kepalanya yang besar bergoyang-goyang di atas kemejanya. Lidahnya yang seperti ular menjentik keluar dari mulut hitamnya saat ia memindahkan tutup stoples dan mengeluarkan segenggam lalat. 
"Waktunya makan malam, teman-teman pemaluku!" 
Waktunya memotret! Pikirku, mengumpulkan keberanianku. 
Aku mengangkat kamera ke mataku dengan tangan gemetar. Aku mencengkeram erat-erat kamera itu dengan kedua tangan agar tak bergoncang.
Lalu dengan menahan napasku, aku bersandar ke depan sejauh yang kubisa. 
Mr Mortman menenggak genggaman lalat pertamanya, mengunyah dengan suara keras, bersenandung saat ia mengunyah. 
Aku berusaha membuatnya di tengah jendela bidik. 
Aku sangat gugup, kamera bergoncang-goncang di semua tempat!
Aku sangat senang dia bersenandung, pikirku, mengangkat jariku untuk tombol pemetik kamera. 
Dia tak akan mendengar bunyi kamera.
Aku akan dapat mengambil lebih dari satu potret. 
Oke. Oke. . . 
Dia masih menikmati kumpulan pertama dari daging lunak lalat. 
Sekarang! Aku berkata pada diriku sendiri. 
Aku akan menekan tombol - saat Mr Mortman tiba-tiba berbalik. 
Dengan terengah, aku berhenti sendiri tepat pada waktunya. 
Urat nadiku bergetar begitu keras di alisku, aku hampir benar-benar tak bisa melihat. 
Apa yang dia lakukan? 
Dia meraih stoples lain. Dia meletakkannya di atas meja dan membuka tutupnya.
Aku mengangkat kamera lagi dan menyipitkan mata padanya melalui jendela bidik. 
Apa yang dimilikinya di stoples itu?
Sesuatu berkibar di sana. Butuh beberapa waktu untuk menyadari bahwa itu ngengat. Ngengat putih. 
Dia menutup kepalan tangannya di satu ngengat dan memasukkannya ke dalam mulutnya dengan lahap.
Ngengat lainnya terbang dari toples sebelum ia bisa menutup tutupnya. 
Mata Mr Mortman menonjol seperti jamur payung tumbuh keluar dari kepalanya yang seperti balon. Mulutnya berputar dan menggulung saat ia mengunyah ngengat. 
Sambil mengambil napas dalam-dalam lainnya dan menahannya, aku mencondongkan tubuh ke depan sejauh yang aku bisa, memantapkan kamera di depan mataku - dan pemetik potret bersuara. 





15 

LAMPU KILAT! 
Aku lupa tentang lampu kilat! 
Aku begitu khawatir tentang suara pemetik kamera, aku benar-benar lupa bahwa kameraku punya lampu kilat otomatis! 
Cahaya putih singkat lampu kilat itu membuat Mr Mortman berteriak marah. Terkejut, ia mengangkat tangannya untuk menutupi mata menonjolnya. 
Aku berdiri membeku di lorong, membeku karena kecerobohan, membeku karena kebodohanku! 
"Siapa di sana?" geramnya, masih menutupi matanya. 
Aku menyadari bahwa ia masih belum melihatku. Mata yang besar itu pasti sangat sensitif terhadap cahaya. Lampu kilat itu sesaat telah membutakan matanya. 
Dia mengeluarkan raungan dahsyat yang bergema di empat dinding ruangan yang luas itu. 
Entah bagaimana dalam waktu singkat indraku kembali cukup untuk menarik diriku kembali, keluar dari pandangan.
"Siapa di sana?" ulangnya, suaranya serak membentak. "Kau tak akan bisa lolos!" 
Aku melihanya melangkah dengan susah payah ke arahku. Saat ia menerjang ke arahku, tubuhnya bergoyang canggung, seolah-olah matanya masih buta. 
Aku terkesiap ketakutan saat dia mendekat. 
Dia tampak mantap di setiap langkah. Mata menonjolnya mencari di deretan rak-rak. Dia terengah-engah, setiap napasnya menggeram sangat marah.
"Siapa di sana? Siapa di sana?" 
Pergi! Aku berkata pada diriku sendiri, masih mencengkeram kamera di kedua tangan. Pergi! Apa yang kau tunggu?
"Kau tak akan bisa lolos!" jerit monster itu. 
Oh, ya, aku akan lolos! 
Dia pergi sejauh tiga baris, matanya mengintip lorong-lorong gelap. Mencari. Mencari. 
Dia tak melihatku, aku tahu. Cahaya lampu kilat itu mengejutkannya, lalu membuatnya buta. 
Dia tak tahu itu aku. 
Sekarang yang harus kulakukan adalah lari. Yang harus kulakukan adalah keluar dari sini dengan bukti aman di tanganku. 
Jadi apa yang kutunggu? 
Dia terhuyung-huyung mendekat. Dia hanya sebaris jauhnya. 
Pergi! Aku memerintahkan kaki lumpuhku. Lari! Jangan hanya berdiri di sini! 
Aku berputar, dengan canggung menabrak rak buku. Beberapa buku jatuh ke lantai. 
Lari! Jangan berhenti! 
Perlu waktu begitu lama bagiku untuk bergerak. Aku begitu terbebani oleh ketakutanku. 
Lari! Lucy! Dia tepat di belakangmu! 
Akhirnya, kakiku mulai untuk bekerja sama. 
Sambil memegang kamera di satu tangan, aku mulai berlari melalui lorong gelap menuju bagian belakang ruangan, 
"Kau tak akan bisa lolos!" teriak monster itu dari lorong sebelah. "Aku mendengarmu. Aku tahu kau di mana!"
Mengeluarkan jeritan binatang mengerikan, aku berlari membabi buta ke ujung gang, berbalik ke arah pintu - dan menabrak satu kereta buku pendek. 
Kereta itu terguling saat aku jatuh di atasnya. 
Aku mendarat keras pada perut dan lututku. Kamera itu terpental dari tanganku dan meluncur di lantai. 
"Aku mendapatkanmu sekarang!" monster itu menggeram, bergerak cepat dari lorong sebelah. 




16 

Aku bergegas bangun, tapi kakiku terjebak dalam kereta. 
Monster itu terhuyung-huyung ke arahku, terengah-engah keras. 
Sekali lagi, ketakutanku mencoba untuk melumpuhkanku. Aku mencoba untuk mendorong diriku dengan kedua tangan, tapi tubuhku terasa seolah-olah beratnya seribu pound. 
Aku daging mati! Pikirku. 
Akhirnya, aku mendorong diriku dan membebaskan diri dari kereta. 
Daging mati. Mati daging. 
Monster yang menggeram terengah-engah itu hanya beberapa kaki jauhnya sekarang, meluncur keluar dari satu deretan rak-rak. 
Aku meraih kamera itu dan tersandung ke pintu, lututku berdenyut-denyut, kepalaku berputar-putar. 
Aku tak akan pernah berhasil.
Tak akan pernah. 
Dan lalu aku mendengar deringan keras elektronik. 
Pada awalnya, kupikir itu adalah alarm.
Tapi lalu aku sadar itu adalah telepon.
Aku menarik diriku ke ambang pintu dan berbalik. 
Monster itu ragu-ragu di ujung lorong. Mata bulatnya yang hitam mengapung-apung di atas wajahnya. Mulutnya ternganga, mengeluarkan air liur cairan hijau, memutar jadi (huruf) O karena terkejut. 
Dia berhenti sebentar, kaget oleh gangguan mendadak itu. 
Diselamatkan oleh bel! Pikirku gembira.
Aku membuka pintu depan yang berat itu dan keluar mendadak dengan cepat menuju kebebasan.
Aku berlari untuk dua blok, sepatuku membentur keras trotoar, hatiku menolak untuk memperlambat, mengalahkan kepanikannya. Aku menutup mata saat aku berlari, menikmati hangatnya udara segar di wajahku, kehangatan matahari sore, menyapu rambutku yang berkibar di belakangku saat aku berlari. Merasa bebas. Bebas dan aman!
Saat aku membuka mata dan memperlambat langkahku, aku menyadari bahwa aku mencengkeram kamera itu begitu erat, tanganku terluka.
Buktiku. Aku punya buktiku. 
Satu potret. Satu potret yang hampir meminta nyawaku. Tapi aku memilikinya di kamera ini, buktiku bahwa Mr Mortman adalah monster. 
"Aku harus mencetaknya," kataku keras-keras, "Secepatnya." 
Aku berlari di sisa perjalanan pulang, mengayunkan kamera di bawah lenganku. 
Saat rumahku kelihatan, aku punya perasaan mengerikan bahwa Mr Mortman akan menunggu di sana. Bahwa dia akan menunggu di samping teras depan, menunggu untuk mengambil kamera dariku, untuk merampok buktiku.
Aku ragu-ragu di bagian bawah halaman. 
Tak ada orang di sana. 
Apakah dia bersembunyi di semak-semak? Di sekitar samping rumah? 
Aku berjalan perlahan-lahan halaman depan. Kau sedang (jadi) bodoh, aku memarahi diriku sendiri. Bagaimana bisa Mr Mortman sampai di sini sebelummu? 
Selain itu, aku bahkan tak yakin dia mengenaliku. 
Lampu-lampu di perpustakaan padam. Ruangan itu gelap. Dia paling dekat di lorong di sebelahku. Dan ia buta untuk waktu yang lama dari lampu kilat kamera. 
Aku mulai bernapas sedikit lebih mudah. Ya, itu mungkin bahwa pustakawan tak tahu siapa yang dia kejar. Itu mungkin bahwa ia tak pernah melihat padaku dengan baik sama sekali. 
Mobil ayahku berhenti di jalan masuk saat aku sampai di teras depan. Aku pergi bergerak cepat mengejarnya, berlari mengitari samping rumah ke belakang.
"Ayah! Hai!" Panggilku saat dia keluar dari mobil. 
"Hei, bagaimana kabarmu?" tanyanya. Pakaiannya kusut. Rambutnya acak-acakan. Dia tampak lelah. 
"Ayah, bisa kita mencetak film ini - segera?" tuntutku, menyorongkan kamera ke arahnya. 
"Wah!" teriaknya. "Aku baru saja pulang. Ayo kita bicarakan tentang hal itu saat makan malam, oke?." 
"Tidak, Ayah - sungguh!" Aku bersikeras. "Aku harus mencetak ini. Ada sesuatu yang sangat penting di dalamnya." 
Dia berjalan melewatiku menuju rumah, sepatunya berderak di atas jalanan kerikil. 
Aku mengikuti tepat di belakangnya, masih memegang kameraku tinggi-tinggi. "Tolong, Yah? Ini sangat penting. Benar-benar penting!" 
Dia berbalik, tertawa. "Apa yang kau punya? Satu gambar anak laki-laki yang pindah ke seberang jalan??" 
"Tidak," jawabku dengan marah. "Aku serius, Yah. Tak bisakah kau membawaku ke mal? Ada tempat cuci cetak satu jam di sana." 
"Apa yang begitu penting?" tanyanya, senyumnya memudar. Dia mengusap kepalanya, merapikan rambut hitam tebalnya. 
Aku memiliki dorongan untuk memberitahunya. Aku memiliki dorongan untuk mengatakan bahwa aku punya satu foto monster di sana. Tapi aku menahan diri. 
Aku tahu ia tak akan percaya padaku. Aku tahu ia tak akan menganggapku serius. 
Lalu ia tak akan mengantarku ke mal untuk mencetak filmku. Tidak. 
"Aku akan menunjukkan kepada Anda saat itu dicetak," kataku. 
Dia membukakan pintu kasa. Kami berjalan ke dapur. Ayah mengendus udara beberapa kali, mengharapkan aroma masakan makanan. 
Ibu tiba-tiba datang dalam dari lorong untuk menyambut kami. "Jangan mengendus," katanya kepada ayahku. "Tak ada masakan apa-apa. Kita makan di luar malam ini." 
"Bagus!" teriakku. "Bisakah kita makan di mal? Di restoran Cina kesukaan Anda?" Aku berpaling pada ayahku. "Tolong? Tolong? Lalu aku bisa mencetak filmku saat kita makan." 
"Aku bisa pergi untuk makanan Cina," kata Ibu sambil berpikir. Lalu ia berbalik menatapku. "Mengapa begitu bersemangat untuk mencetak filmmu?"
"Itu rahasia," kata Ayah sebelum aku bisa menjawab. "Dia tidak akan bicara." 
Aku tak bisa menahan lagi. "Itu foto Mr Mortman yang kujepret," kataku penuh semangat. "In bukti bahwa dia itu monster." 
Ibu memutar matanya. Ayah menggelengkan kepalanya. 
"Ini bukti!" Aku bersikeras. "Mungkin saat kalian melihat foto itu, kalian akhirnya akan percaya padaku." 
"Kau benar," kata Ayah sinis. "Aku akan percaya saat aku melihatnya." 
"Randy! Cepat bawah!" Ibu berteriak ke lorong. "Kita akan pergi ke mal untuk makanan Cina!" 
"Ah, kita harus makan makanan Cina?" kata adikku sedih. Jawaban standarnya. 
"Aku akan membelikanmu mie polos lo mein yang kau sukai," seru Ibu ke arahnya. "Cepatlah. Kita semua lapar."
Aku menekan tombol pada kameraku untuk memutar gulungan film. "Aku akan meninggalkan ini di tempat cuci cetak satu jam sebelum makan malam," kataku pada mereka. "Lalu kita bisa mengambilnya setelah makan malam."
"Tak ada pembicaraan monster saat makan malam - janji?" Ibu berkata tegas. "Aku tak ingin kau menakut-nakuti adikmu." 
"Janji," kataku, menarik gulungan film itu dari kamera, meremasnya antara jari-jariku. 
Setelah makan malam, aku berkata pada diriku sendiri, aku tak akan berbicara tentang monster - Aku akan menunjukkan kalian satu monster! 
Makan malam tampaknya mengambil (waktu) selamanya. 
Randy tak berhenti mengeluh sepanjang waktu. Dia mengatakan mie-nya terasa lucu. Dia mengatakan sparerib-nya terlalu berminyak, dan sup itu terlalu panas. Ia menumpahkan gelas airnya ke seluruh meja.
(sparerib: tulang rusuk babi dengan sedikit daging) 
Aku nyaris tak menaruh perhatian pada apa yang orang katakan. Aku sedang memikirkan potretku. Aku tak sabar untuk melihatnya - dan untuk menunjukkannya pada Ibu dan Ayah
Aku benar-benar bisa membayangkan ekspresi wajah mereka saat mereka melihat bahwa aku benar, bahwa aku tak mengarangnya - bahwa Mr. Mortman benar-benar monster. 
Aku membayangkan kedua orang tuaku meminta maaf kepadaku, berjanji bahwa mereka tak akan pernah meragukanku lagi. 
"Aku merasa sangat buruk," aku membayangkan ayahku berkata, "Aku akan membelikanmu komputer yang kau minta." 
"Dan sebuah sepeda baru," Aku membayangkan Ibu berkata. "Maafkan kami untuk meragukanmu." 
"Dan aku juga menyesal," aku membayangkan Randy berkatak. "Aku tahu aku sudah jadi benar-benar brengsek." 
"Dan kau boleh tetap bangun sampai tengah malam setiap malam dari sekarang, bahkan di malam sekolah," Aku membayangkan Ayah berkata.
Tiba-tiba, suara ibuku membuyarkan lamunanku. "Lucy, aku tak berpikir kau mendengar kata yang kuucapkan," omelnya. 
"Tidak... Aku... Eh... Sedang memikirkan sesuatu," aku mengakui. Aku mengangkat sumpitku dan mengangkat segumpal nasi ke mulutku. 
"Dia sedang berpikir tentang monster!" teriak Randy, mengangkat kedua tangan di atas meja, meremas jari-jarinya seolah-olah ia adalah monster yang akan menyerangku. 
"Tak ada pembicaraan monster!" Ibu bersikeras tajam. 
"Jangan lihat aku!" teriakku. "Dia yang bilang itu - bukan aku!" Aku menunjuk jari menuduh pada Randy. 
"Habiskan saja makan malammu," kata Ayah pelan. Seluruh dagunya berlumuran dengan sparerib-nya. 
Akhirnya, kami membuka kue keberuntungan kami. Aku mengatakan sesuatu tentang menunggu sinar matahari ketika awan-awan berpisah. Aku tak pernah mendapatkan keberuntungan itu.
Ayah membayar bon. Randy nyaris menumpahkan segelas air lainnya saat kami berdiri. Aku berlari keluar dari restoran. Aku begitu gembira, begitu bersemangat, aku tak bisa menunggu sedetik pun. 
Toko foto yang kecil itu di tingkat atas. Aku melompat ke eskalator, menyambar susuran eskalator, dan naik ke atas. Lalu aku bergegas ke toko, ke meja kasir, dan dengan terengah-engah memanggil kepada wanita muda di mesin cuci cetak itu, "Apakah fotoku sudah siap?" 
Dia berbalik, kaget dengan suara kerasku. "Kupikir begitu. Siapa namamu?" 
Kukatakan padanya. Dia berjalan ke rak amplop-amplop kuning dan mulai menggesernya perlahan-lahan.
Aku mengetuk jari-jariku gugup di atas meja, menatap tumpukan amplop kuning itu. Tak bisakah dia cepat sedikit? 
Dia menggeser semua tumpukan itu, kemudian berbalik padaku. "Apa nama yang kau katakan tadi?" 
Mencoba untuk tak terdengar terlalu putus asa, aku mengatakan padanya namaku lagi. Aku bersandar penuh semangat di atas meja, jantungku berdebar-debar, dan menatapnya saat ia mulai sekali lagi untuk menggeser amplop-amplop kuning itu, bibirnya bergerak-gerak saat ia membaca nama.
Akhirnya, ia menarik keluar satu dan menyerahkannya padaku. 
Aku meraihnya dan mulai merobek terbuka. 
"Itu (ongkosnya) pas empat belas dolar," katanya. 
Aku sadar bahwa aku tak punya uang. "Aku harus mencari ayahku," kataku, tak melepaskan paket berharga itu. 
Aku berbalik, dan Ayah muncul di ambang pintu. Ibu dan Randy menunggu di luar. 
Dia membayarnya. 
Aku membawa amplop foto keluar dari toko. Tanganku gemetar saat aku menariknya terbuka dan mengambil foto-foto itu.
"Lucy, tenang," kata Ibu, terdengar khawatir. 
Aku menatap foto-foto itu. Semua foto dari pesta ulang tahun Randy. 
Aku menyaringnya dengan cepat, menatap wajah-wajah teman Randy yang menyeringai bodoh. 
Dimana itu? Dimana itu? Dimana itu? 
Tentu saja, itu adalah foto yang sangat terakhir, satu yang di bagian bawah tumpukan. 
"Ini dia!" teriakku. 
Ibu dan Ayah mencondongkan tubuh ke depan untuk melihat dari bahuku. 
Foto-foto lain jatuh dari tanganku dan tersebar di lantai saat aku mengangkat foto itu ke wajahku - 
- Dan terkesiap. 



17 

Foto itu jelas dan tajam. 
Meja besar Mr Mortman berdiri di tengah dalam cahaya terang yang tiba-tiba. Aku bisa melihat kertas-kertas di meja, panci kura-kura di sudut jauh, tumpukan rendah buku-buku. 
Di belakang meja, aku bisa melihat bagian atas bangku kayu Mr Mortman yang tinggi itu. Dan di belakang bangku, rak-rak terfokus dengan jelas, bahkan stoples kaca lalat di rak bawah.
Tapi di sana tak ada monster. 
Tak ada Mr. Mortman. 
Tak ada. 
Tak ada seorang pun di potret itu sama sekali. 
"Dia - dia berdiri di sana!" teriakku. "Di sisi meja!" 
"Ruangan itu terlihat kosong," kata Ayah, menatap ke bawah dari atas bahuku pada potret di tanganku yang bergetar. 
"Tak ada orang di sana," kata Ibu, tatapannya beralih padaku. 
"Dia di sana," desakku, tak mampu mengalihkan pandanganku dari foto itu. "Tepat di sana." Aku menunjuk ke tempat monster itu berdiri. 
Randy tertawa. "Coba kulihat." Dia menarik foto itu dari tanganku dan mengamatinya. "Aku melihatnya!" ia menyatakan. "Dia tak terlihat!" 
"Itu tak lucu," kataku pelan. Aku menarik foto itu darinya. Aku mendesah sedih. Aku merasa begitu buruk. Aku ingin tenggelam ke dalam lubang di lantai dan tak pernah keluar.
"Dia tak terlihat!" ulang Randy gembira, menikmati leluconnya sendiri.
Ibu dan Ayah menatapku, tampak kekhawatiran di wajah mereka.
"Tidakkah kalian lihat?" teriakku, melambaikan foto itu di satu tangan. "Tidakkah kalian lihat? Ini membuktikan hal itu!? Ini membuktikan dia monster. Dia tak muncul di foto ini!" 
Ayah menggelengkan kepalanya dan mengerutkan kening. "Lucy, kau tak akan melakukan lelucon ini cukup jauh kan?" 
Ibu meletakkan tangan di bahuku. "Aku mulai khawatir tentangmu," katanya lembut. "Kupikir kau benar-benar mulai percaya lelucon monstermu sendiri." 
"Bisakah kita minum es krim?" tanya Randy. 
***
"Aku tak percaya kita melakukan ini," keluh Aaron. 
"Tutup mulut. Kau berutang padaku!" bentakku. 
Itu adalah malam berikutnya. Kami berjongkok rendah, bersembunyi di balik semak-semak rendah di samping perpustakaan. 
Ini adalah hari segar yang dingin. Matahari sudah menurunkan diri di balik pohon. Bayang-bayang membentang panjang dan biru di atas halaman rumput perpustakaan. 
"Aku berutang padamu?" Aaron protes. "Apa kau gila?" 
"Kau berutang padaku," ulangku. "Kau seharusnya datang ke perpustakaan denganku kemarin, ingat. Kau mengecewakanku." 
Dia menyikat serangga dari hidung berbintik-bintik. "Bisakah aku bantu jika aku punya janji dengan dokter gigi?" Dia terdengar lucu. Kata-katanya keluar lengket. Dia belum menggunakan kawat gigi barunya. 
"Ya," aku bersikeras. "Aku mengandalkanmu, dan kau mengecewakanku - dan kau membuatku dalam segala macam masalah." 
"Kesulitan apa?" Ia jatuh ke tanah dan duduk bersila, menjaga kepalanya rendah di balik semak yang berdaun hijau. 
"Orangtuaku bilang aku tak akan lagi diperbolehkan untuk menyebut Mr Mortman atau fakta bahwa dia itu monster," kataku. 
"Bagus," kata Aaron. 
"Tak bagus. Ini berarti aku benar-benar membutuhkanmu, Aaron. Aku ingin kau melihat bahwa aku mengatakan yang sebenarnya,. Dan memberitahu orang tuaku." Suaraku pecah. "Mereka pikir aku gila. Mereka benar-benar berpikir begitu!" 
Dia mulai menjawab, tapi ia bisa melihat aku benar-benar marah. Jadi dia berhenti sendiri. 
Satu angin sepoi-sepoi menyapu lewat, membuat semua pepohonan tampaknya berbisik pada kami. 
Aku terus menjaga mataku terarah di pintu perpustakaan. Saat itu jam lima dua puluh. Waktu tutup telah lewat. Mr Mortman dapat keluar setiap saat. 
"Jadi kita akan mengikuti Mr Mortman pulang?" tanya Aaron, menggaruk belakang lehernya. "Dan memata-matainya di rumahnya? Mengapa kita tak hanya menontonnya melalui jendela perpustakaan?" 
"Jendelanya terlalu tinggi," jawabku. "Kita harus mengikutinya. Dia berkata padaku (kalau) dia berjalan pulang setiap malam. Aku ingin kau melihatnya berubah menjadi monster," kataku, menatap lurus ke depan dari atas semak-semak, "aku ingin kau percaya padaku." 
"Bagaimana jika aku hanya mengatakan aku percaya padamu?" tanya Aaron, nyengir. "Lalu kita bisa pulang saja?" 
"Sssttt!" Aku menekan tangan ke mulut Aaron. 
Pintu perpustakaan terbuka. Mr Mortman muncul di tangga depan.
Aaron dan aku menunduk lebih rendah. 
Aku mengintip melalui cabang-cabang semak. Pustakawan itu berbalik untuk mengunci pintu depan. Dia mengenakan kaos olahraga merah dan bergaris-garis putih berlengan pendek dan celana panjang longgar abu-abu. Dia memakai topi bisbol merah di kepalanya yang botak. 
"Tinggal jauh di belakang," bisikku kepada Aaron. "Jangan biarkan dia melihatmu." 
"Saran yang bagus," kata Aaron sinis.
Kami berdua mengangkat lutut kami dan menunggu Mr Mortman menuju ke trotoar. Dia ragu-ragu di tangga, memindahkan kunci ke dalam saku celananya. Lalu, bersenandung untuk dirinya sendiri, ia berjalan menyusuri jalan dan berbalik menjauh dari kami.
"Apa yang dia senandungkan?" bisik Aaron. 
"Dia selalu bersenandung," aku berbisik kembali. Mr Mortman lebih dari setengah blok jauhnya. "Ayo pergi," kataku, berdiri dengan cepat. 
Menjaga dalam bayang-bayang pohon dan semak-semak, aku mulai mengikuti pustakawan itu. Aaron mengikuti tepat di belakangku. 
"Apa kau tahu di mana dia tinggal?" tanya Aaron. 
Aku berbalik kepadanya, mengerutkan dahi. "Kalau aku tahu di mana dia tinggal, kita tak akan mengikutinya - bukan begitu!" 
"Oh. Benar." 
Membuntuti seseorang jauh lebih sulit daripada yang kupikirkan. Kami harus memotong melalui halaman-halaman depan. Beberapa darinya punya anjing-anjing yang menggonggong. Beberapa (darinya) punya penyiram rumput yang menyala. Beberapa (darinya) punya pagar tebal yang bagaimanapun juga kami harus menunduk melaluinya. 
Pada setiap sudut jalan, Mr Mortman akan berhenti dan melihat jalan baik-baik untuk mobil yang akan datang. Setiap kali, aku juga yakin dia akan melihat melalui bahunya, dan melihat Aaron dan aku bergerak pelan-pelan di belakangnya. 
Dia tinggal lebih jauh dari perpustakaan daripada yang kupikir. Setelah beberapa blok, rumah-rumah berakhir, dan bidang datar kosong tersebar di depan kami. 
Mr Mortman memotong melalui lapangan itu, berjalan dengan cepat, mengayunkan lengan pendek gemuknya berirama dengan setiap langkah. Kami tak punya pilihan selain mengikutinya di lapangan. Tak ada tempat bersembunyi. Tak ada semak-semak untuk merunduk dibaliknya . Tak ada pagar untuk melindungi kami.
Kami benar-benar di tempat terbuka. Kami hanya berdoa agar dia tak berbalik di tengah lapangan dan melihat kami. 
Satu blok kecil, rumah-rumah tua berdiri di luar lapangan. Sebagian besar rumah-rumah bata, mengatur dekat dengan jalan di halaman depan yang kecil. 
Mr Mortman berbelok ke blok rumah-rumah itu. Aaron dan aku berjongkok di balik kotak dan mengawasinya berjalan ke sebuah rumah dekat bagian tengah blok. Dia melangkah ke beranda depan kecil dan memainkan kunci di sakunya.
"Kita di sini," bisikku kepada Aaron. "Kita berhasil." 
"Temanku Ralph kurasa tinggal di blok ini." kata Aaron. 
"Siapa yang peduli?" bentakku. "Jauhkan pikiranmu dari urusan-urusan, oke?" 
Kami menunggu sampai Mr Mortman menghilang melalui pintu depan rumahnya, lalu bergerak pelan-pelan lebih dekat. 
Rumahnya berdinding papan putih, sangat buruk dan perlu untuk dicat. Dia punya halaman depan kecil persegi panjang, dengan rumput yang baru saja dipotong dibatasi oleh satu bari tinggi bunga lili macan kuning. 
Aaron dan aku berjalan cepat ke samping rumah di mana ada rumput sempit yang mengarah ke belakang. Jendela di dekat bagian depan rumah cukup tinggi bagi kami untuk berdiri di bawahnya dan tak terlihat. 
Satu lampu menyala di jendela. "Itu pasti ruang tamunya," bisikku. 
Aaron berekspresi ketakutan. Bintik-bintik dimukanya tampak lebih pucat daripada biasanya. "Aku tak suka ini," katanya. 
"Bagian yang tersulit adalah mengikutinya," kataku meyakinkan Aaron. "Bagian ini mudah. Kita hanya melihatnya melalui jendela." 
"Tapi jendelanya terlalu tinggi," Aaron menunjuk. "Kita tak bisa melihat apa-apa." 
Dia benar. Menatap dari bawah jendela, aku bisa melihat langit-langit ruang tamu. 
"Kita harus berdiri di atas sesuatu," kataku. 
"Hah? Apa?" 
Aku bisa melihat Aaron tak akan membantu. Dia begitu ketakutan, hidungnya berkedut seperti kelinci kecil. Aku memutuskan jika aku bisa membuatnya sibuk, mungkin aku bisa menjaganya dari benar-benar panik dari dan kabur. 
"Pergilah di belakang. Lihat apa ada tangga atau sesuatu," bisikku sambil menunjuk ke arah bagian belakang rumah. 
Lampu lainnya menyala, yang satu ini di jendela belakang. Mungkin dapur, pikirku. Hal itu juga terlalu tinggi untuk melihat ke dalam. 
"Tunggu. Bagaimana dengan itu?" tanya Aaron bertanya. Aku mengikuti pandangannya ke kereta sorong, miring di samping rumah. 
"Ya, Mungkin,." Kataku. "Bawa ke sini,  aku akan mencoba untuk berdiri di atasnya." 
Menjaga kepala dan bahu membungkuk rendah, Aaron bergegas ke kereta dorong. Dia mengangkatnya menjauh dari rumah dengan gagangnya, lalu mendorongnya di bawah jendela depan.
"Pegang dengan mantap," kataku. 
Dia meraih pegangan kayu itu, menatapku ketakutan-. "Kau yakin tentang ini?" 
"Aku akan mencobanya," kataku, sambil menatap jendela tinggi itu.
Memegang bahu Aaron, aku dorongan diriku ke kereta dorong. Dia memegang kuat-kuat pegangan itu saat aku berjuang untuk menemukan keseimbangan di dalam bagian keranjang logam itu. 
"Ini - ini agak miring," bisikku, menekan satu tangan pada sisi rumah untuk menstabilkan diriku. 
"Aku melakukan yang terbaik yang kubisa," gerutu Aaron. 
"Nah. Kupikir aku bisa berdiri," kataku. Aku tak terlalu tinggi dari tanah, tapi aku sama sekali tak nyaman. Kereta sorong adalah benda yang sulit untuk berdiri. 
Di suatu tempat di blok seekor anjing menggonggong. Kuharap ia tak menggonggong karena Aaron dan aku.
Anjing lainnya, dekat dengan kami, dengan cepat bergabung, dan itu menjadi suatu gonggongan percakapan. 
"Apa kau cukup tinggi? Dapatkah kau melihat sesuatu?" tanya Aaron.
Satu tangan masih menempel ke sisi rumah, aku mengangkat kepalaku dan mengintip ke dalam rumah melalui bagian bawah jendela.
"Yah, aku dapat melihat beberapa,." Seruku ke bawah. "Ada sebuah akuarium besar di depan jendela, tapi aku bisa melihat sebagian besar ruang tamu." 
Dan seperti kukatakan bahwa, wajah Mr Mortman yang menjulang beberapa inci dariku. 
Dia menatap tepat ke arahku! 



18 

Aku tersentak dan kehilangan keseimbangan. 
Aku terjatuh ke tanah, menabrak kereta, mendarat dengan keras di lutut dan sikuku. "Aduh!" 
"Apa yang terjadi?" teriak Aaron, terkejut. 
"Dia melihatku!" Aku tersedak, menunggu rasa sakit itu untuk berhenti berdenyut. 
"Hah?" Mulut Aaron ternganga. 
Kami berdua menatap jendela. Aku mengharapkan melihat Mr Mortman menatap kami. Tapi tidak. Tak ada tanda dari dia. 
Aku dengan cepat berdiri. 
"Mungkin dia sedang melihat akuarium-nya," bisikku, memberi isyarat bagi Aaron untuk mengatur gerobak dorong. "Mungkin dia tak melihatku." 
"A-apa yang akan kau lakukan?" Aaron tergagap. 
"Naik kembali, tentu saja," kataku.
Kakiku gemetar saat aku naik kembali ke kereta dorong. Aku meraih langkan jendela dan menarik diri.  
Matahari hampir saja turun. Kegelapan di luar membuatnya lebih mudah untuk melihat di dalam rumah. Dan, aku berharap, sulit bagi Mr Mortman untuk melihat keluar. 
Aku tak punya pandangan yang terbaik di dunia, dengan cepat aku menyadarinya. Akuarium, penuh dengan ikan tropis berwarna-warni, menghalangi pandanganku pada sebagian besar ruangan. 
Kalau saja aku sedikit lebih tinggi, kupikir, aku bisa melihat di atasnya. Tapi kalau aku lebih tinggi, aku menyadari, Mr Mortman akan melihatku. 
"Apa yang dia lakukan?" tanya Aaron dalam bisikan gemetar. 
"Tidak apa-apa. Dia.... tunggu!" 
Mr Mortman sedang menatap ikan. Dia berdiri hanya beberapa kaki dariku, di sisi lain dari akuarium. 
Aku membeku, menekan tanganku melawan sisi rumah. 
Dia menatap ke dalam akuarium, dan satu senyuman terbentuk di wajah gemuknya. Dia telah melepaskan topi bisbol merah itu. Kepala botaknya tampak kuning dalam cahaya lampu di ruang tamu. 
Mulutnya bergerak-gerak. Dia mengatakan sesuatu pada ikan tropis di akuarium. Aku tak bisa mendengar dia melalui kaca. 
Lalu, saat ia tersenyum pada ikan, ia mulai berubah. 
"Dia melakukan hal itu," aku berbisik kepada Aaron. "Dia berubah jadi monster." 
Saat aku melihat kepala Mr Mortman itu mengembang dan mata menonjol keluar, aku dipenuhi dengan segala macam perasaan yang aneh, aku ketakutan. Dan aku terpesona. Ini menarik untuk jadi begitu dekat, beberapa inci jauhnya dari monster asli. 
Dan aku merasa sangat bahagia dan lega bahwa Aaron akhirnya akan melihat sendiri bahwa aku mengatakan yang sebenarnya. 
Lalu, saat mulut Mr Mortman jadi lebih luas dan mulai berputar, satu gulungan lubang hitam di wajah kuning bengkaknya, rasa takut menguasaiku. Aku membeku di sana, wajahku menempel jendela, tak berkedip, tak bergerak. 
Aku menatap saat ia mengulurkan tangan ke dalam akuarium. 
Jari gemuknya melilit ikan biru kecil itu. Dia menariknya dan melemparkannya ke dalam mulutnya. Aku bisa melihat  gigi kuning panjang di dalam mulut besar itu, menggigit, mengunyah ikan yang menggeliat-geliat itu. 
Lalu, saat aku ternganga bertambah takut, Mr Mortman menarik siput hitam dari sisi kaca akuarium. Memegang cangkangnya di antara ujung-ujung jarinya, ia menjejalkan siput itu ke dalam mulutnya. Giginya berderak keras pada cangkang itu, meretakkannya - suatu gemeretak yang begitu keras, aku bisa mendengarnya melalui kaca jendela. 
Perutku bergejolak. Aku merasa mual.
Dia menelan siput itu, lalu mengulurkan tangannya untuk menarik satu siput lainnya dari kaca akuarium. 
"Kupikir aku akan melemparkan makan siang," bisikku kepada Aaron. 
Aaron. 
Aku benar-benar sudah melupakannya.
Aku begitu terpesona oleh monster itu, begitu gembira, begitu takut untuk menontonnya dari dekat, aku sudah lupa seluruh tujuan berada di sini. 
"Aaron, tolong aku," bisikku. "Cepat."
Masih menatap melalui jendela, aku mengulurkan tangan bawah untuk Aaron pegang. 
"Aaron - cepat! Bantu aku ke bawah sehingga kau dapat memanjat ke sini. Kau harus melihat ini. Kau harus melihat monster itu!" 
Ia tak menjawab. 
"Aaron? Aaron?" 
Aku menurunkan mataku dari jendela.
Aaron telah menghilang. 




19 

Aku merasakan tikaman kepanikan di dadaku. 
Seluruh tubuhku mengejang dalam getaran dinginnya rasa takut dingin. 
Di mana dia? 
Apa dia melarikan diri? 
Apa Aaron begitu ketakutan hingga ia  pergi tanpa memberitahuku? 
Atau sesuatu terjadi padanya? 
Sesuatu yang benar-benar buruk? 
"Aaron? Aaron?" Dalam kepanikanku, aku lupa bahwa aku beberapa inci dari monster itu, dan mulai berteriak. "Aaron? Di mana kau?" 
"Sst," aku mendengar bisikan dari belakang rumah. Aaron muncul, berjalan cepat ke arahku sepanjang jalur sempit rumput. "Aku ada di sini, Lucy." 
"Hah? Kemana kau pergi?" 
Dia menunjuk ke belakang. "Aku berpikir mungkin aku bisa menemukan tangga atau sesuatu. Kau tahu. Jadi aku bisa melihat juga." 
"Kau membuatku takut setengah mati!" teriakku. 
Aku kembali melirik ke jendela. Mr Mortman mengisap belut merayap ke dalam mulutnya seperti seuntai spaghetti. 
"Cepat, Aaron - bantu aku turun," perintahku, masih merasa terguncang dari rasa takut akan menghilangnya. "Kau harus melihat ini. Kau harus. Sebelum ia berubah kembali." 
"Dia - dia benar-benar monster?" Mulut Aaron ternganga. "Kau tak bercanda?"
"Naik saja ke sini!" teriakku tak sabar.
Tapi saat aku mencoba untuk menurunkan diri ke tanah, kereta dorong itu meluncur keluar dari bawahku. 
Kereta itu terguling ke samping, pegangannya menggores sisi rumah. 
Tanganku terangkat untuk meraih jendela. Aku luput dan terjatuh keras di atas kereta dorong. 
"Aduh!" teriakku saat rasa nyeri yang tajam menusuk pinggangku. 
Melirik ke atas, aku melihat wajah monster itu kaget, terbelalak ke arahku melalui kaca. 
Aku bergegas bangun. Tapi rasa sakit berdenyut di pinggangku melenyapkan napasku. 
"Aaron - tolong aku!" 
Tapi dia sudah berlari ke jalan, sepatunya menggores rumput, lengannya terentang lurus di depannya seolah berusaha mencari keselamatan. 
Mengabaikan rasa sakit di pinggangku, aku buru-buru berdiri. 
Aku mengambil satu langkah goyah, lalu yang langkah lainnya. Aku menggeleng, mencoba mengusir pusingku. 
Lalu aku menarik napas dalam-dalam dan mulai berlari, mengikuti Aaron ke jalan. 
Aku sudah berjalan sekitar empat atau lima langkah saat aku merasakan tangan Mr Mortman yang kuat dengan mengejutkan memegang bahuku dari belakang. 





20 

Aku mencoba berteriak, tapi tak ada suara yang keluar. 
Dia memegang erat ke bahuku. Aku bisa merasakan panasnya, tangan-tangan yang basah melalui kaosku. 
Aku mencoba melepaskan diri, tapi ia terlalu kuat. 
Dia memutar tubuhku. 
Wajahnya kembali normal. 
Ia memicingkan mata ke arahku dengan mata hitam kecil, seolah-olah dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Lucy!" serunya dengan suara paraunya. 
Dia melepaskan bahuku dan melangkah mundur. 
Aku terengah-engah keras. Aku begitu takut, dadaku serasa akan meledak.
Bagaimana ia berubah kembali dari bentuk monsternya begitu cepat? 
Apa yang akan ia lakukan padaku? 
"Lucy, surga yang baik. Kupikir kau pencuri," katanya, menggelengkan kepala. 
Dia mengeluarkan saputangan putih dari saku belakang celananya dan menyeka dahinya yang berkeringat.
"M-maaf," kataku tergagap. Suaraku keluar dalam bisikan tersedak. 
Dia mengepalkan saputangan di antara tangan gemuknya dan mendesakkan sapu tangan itu kembali ke sakunya. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Yah..." Jantungku berdebar begitu keras, aku bisa merasakan denyut darah di pelipisku. Pinggangku di mana aku telah jatuh pada kereta dorong masih sakit. 
Aku berusaha untuk menjernihkan pikiranku. Aku harus memikirkan jawaban atas pertanyaannya. Aku harus. 
"Yah..." Aku mulai lagi, berpikir putus asa. "Aku... Eh... Datang untuk memberitahukan Anda bahwa aku akan... Eh... Akan sedikit terlambat untuk janji Rangers Membaca besok."
Dia menyipitkan matanya dan menatapku serius. "Tapi mengapa kau melihat melalui jendelaku?" tuntutnya.
"Yah... Aku hanya..." 
Berpikir, Lucy - berpikir! 
"Aku tak tahu apakah Anda ada di rumah atau tidak, aku hanya mencoba untuk melihat apakah Anda ada di sana.. Maksudku. Jadi aku bisa memberitahu Anda. Tentang janji besok." 
Menatap wajahnya, berusaha terdengar tulus, aku mundur selangkah, dalam masalah aku harus lari. 
Apakah dia percaya padaku? 
Apakah ia menerima itu sebagai kebenaran? 
Aku tak tahu. Dia terus menatapku serius. 
Dia mengusap dagu nya. "Kau benar-benar tak perlu datang jauh-jauh di sini," katanya pelan. "Apa kau naik sepeda?" Matanya melesat ke halaman depan kecil. 
"Tidak, aku... Eh... Berjalan. Aku suka berjalan," jawabku canggung. 
"Sudah mulai gelap," katanya.
"Mungkin kau harus menghubungi ibu atau ayahmu untuk datang menjemputmu. Kenapa kau tak masuk dalam dan menggunakan telepon?." 
Masuk ke dalam? 
Masuk ke dalam rumah monster ini? 
Tak mungkin! 
"Eh... Tidak, terima kasih, Mr Mortman," kataku, mengambil langkah mundur lainnya ke jalan. "Orangtuaku tak keberatan kalau aku berjalan pulang. Ini tak begitu jauh. Sungguh." 
"Tidak, aku bersikeras," katanya, satu seringai aneh mulai melintas di wajahnya yang seperti tikus mondok . Dia menunjuk ke arah rumah. "Ayo masuk, Lucy. Telponnya di ruang tamu," desaknya. "Ayo aku tak akan menggigit." 
Aku bergidik. 
Aku baru saja melihatnya menggigit siput. Dan belut. 
Tak akan mungkin aku akan di rumah itu. Aku tahu bahwa jika aku masuk, kemungkinan besar aku tak akan pernah keluar. 
"Aku - aku harus pergi," kataku, melambai padanya dengan satu tangan. Aku bisa merasakan rasa takut merayapi punggungku, berjalan di atas tubuhku. Aku tahu jika aku tak pergi dari sana - saat itu - aku akan dibekukan oleh rasa takutku, tak bisa melarikan diri. 
"Lucy -" Mr Mortman bersikeras. 
"Tidak. Sungguh. Sampai jumpa, Mr Mortman." Aku melambai lagi, berbalik, dan mulai berlari ke jalan. 
"Kau benar-benar tak seharusnya datang dengan cara ini!" panggilnya setelahku dengan suaranya yang tinggi, gatal. "Sungguh. Kau tak seharusnya!" 
Aku tahu! Pikirku. Aku tahu aku tak seharusnya. 
Aku berlari-lari kecil di sepanjang jalan, berbelok, dan terus menuruni blok berikutnya. 
Apa aku benar-benar semakin jauh? 
Apa dia benar-benar membiarkan aku pergi? 
Aku tak percaya dia menerima alasan payahku. 
Mengapa dia membiarkan aku pergi? 
Aku melambat untuk berjalan. pingggangku masih sakit. Aku tiba-tiba sakit kepala berdenyut-denyut. 
Malam telah turun. Melewati mobil-mobil yang lampunya menyala. Satu jejak awan gelap ramping melintas di atas bulan pucat yang setengah masih rendah di langit ungu abu-abu. 
Aku hendak menyeberang jalan ke lapangan luas kosong saat tangan-tangan meraih bahuku lagi. 
Aku menjerit, lebih mirip dengkingan daripada jeritan, dan berputar, berharap untuk melihat monster. 
"Aaron!" teriakku. Aku menelan ludah, mencoba untuk memaksa turun ketakutanku. "Di mana -?" 
"Aku menunggumu," katanya. Suaranya bergetar. Tangannya mengepal. Dia tampaknya siap menangis. 
"Aaron -" 
"Aku sudah menunggu sepanjang waktu ini," katanya nyaring, "Dari mana saja kau? Aku begitu takut." 
"Aku... Kembali ke sana," kataku. 
"Aku siap untuk memanggil polisi atau sesuatu," kata Aaron. " bersembunyi di blok. Aku -." 
"Kau melihatnya?" tanyaku penuh semangat, tiba-tiba teringat mengapa kami harus mempertaruhkan nyawa kami malam ini. "Kau melihat Mr Mortman?" 
Aaron menggelengkan kepala. "Tidak, aku tak aku. Terlalu jauh." 
"Tapi sebelumnya," kataku. "Melalui jendela. Saat ia masih (jadi) monster. Apa kau tak melihatnya? Apa tidak melihatnya makan siput dan belut?" 
Aaron menggelengkan kepalanya lagi.
"Aku tak melihat apa-apa, Lucy," katanya pelan. "Maafkan aku. Aku berharap aku melihatnya." 
Bantuan besar, pikirku pahit. 
Sekarang apa yang harus kulakukan? 




21 

"Ibu - kau tak mengerti. Aku tak bisa pergi!" 
"Lucy, aku tak memberimu pilihan. Kau akan pergi. Dan hanya itu ." 
Itu adalah sore hari berikutnya, hari abu-abu berangin, Ibu dan aku berada di dapur, berdebat. Aku mencoba mengatakan padanya tak mungkin aku bisa pergi ke pertemuan Reader Rangers-ku di perpustakaan. Dan dia bersikeras bahwa aku harus pergi. 
"Ibu, kau harus percaya padaku," pintaku. Aku berusaha untuk tak mengeluh, tapi suaraku terus merayap lebih tinggi dan lebih tinggi. "Mr Mortman itu monster. Aku tak bisa pergi lagi ke perpustakaan." 
Wajah ibu jijik dan melemparkan handuk piring yang sudah dilipatnya. "Lucy, ayahmu dan aku sudah cukup sampai di sini dengan cerita-cerita konyol monstermu." 
Dia berbalik ke arahku. Ekspresinya marah. "Faktanya adalah, Lucy sayang, bahwa kau adalah orang yang gampang menyerah. Kau tak pernah tetap dengan apa pun. Kau malas. Itulah masalahmu." 
"Mr Mortman itu monster," selaku. "Itulah masalahku." 
"Yah, aku tak peduli," jawab Ibu dengan tajam. "Aku tak peduli jika dia berubah menjadi manusia serigala yang mengeluarkan air liur di malam hari. Kau tak akan berhenti dari Reader Rangers-mu. Kau akan pergi ke pertemuanmu sore ini kalau (perlu) aku harus membawamu dengan tangan dan berjalan ke sana sendiri.."
"Wah - akankah kau?" tanyaku. 
Satu ide terlintas di kepalaku bahwa Ibu bisa bersembunyi di tumpukan dan melihat sendiri ketika Mr Mortman berubah menjadi monster. 
Tapi kurasa dia mengira aku sedang menyindir. Dia hanya cemberut dan berjalan keluar dari dapur. 
Dan, satu jam kemudian, aku berjalan susah payah menaiki tangga batu ke perpustakaan lama. Saat itu hujan keras, tapi aku tak membawa payung. Aku tak peduli kalau aku basah kuyup.
Rambutku basah kuyup dan lengket di kepalaku. Aku menggeleng keras saat aku melangkah ke pintu masuk, menjatuhkan tetes-tetes air terbang ke segala arah. 
Aku menggigil, kebanyakan dari ketakutanku berada kembali di tempat ini menakutkan, daripada kedinginan. Aku melepas ranselku. Itu basah kuyup juga.
Bagaimana aku bisa menghadapi Mr Mortman? Aku bertanya-tanya saat aku berjalan dengan enggan ke ruang baca utama. Bagaimana aku bisa menghadapi dia setelah tadi malam? 
Dia pasti menduga bahwa aku tahu rahasianya. 
Dia tak percaya padaku semalam, bukan begitu? 
Aku begitu marah pada ibuku yang memaksaku datang ke sini, 
Kuharap dia berubah menjadi raksasa mengunyahku sepotong demi sepotong! Pikirku getir. Itu benar-benar akan memberi Ibu pelajaran. 
Aku membayangkan Ibu, Ayah dan Randy, duduk murung di ruang tamu kami, menangis, air mata mereka keluar, meratap, "Kalau saja kita percaya padanya. Jika saja kita mau mendengarkan!" 
Memegang ransel basahku di depanku seperti tameng, aku berjalan perlahan melewati deretan panjang buku ke depan ruangan. 
Aku lega, ada beberapa orang di perpustakaan. Aku melihat dua anak kecil dengan ibu mereka dan beberapa wanita lain mencari-cari di bagian buku misteri. 
Bagus! Pikirku, mulai merasa sedikit lebih tenang. Mr Mortman tak akan berani melakukan apa-apa sementara perpustakaan penuh dengan orang. 
Pustakawan itu mengenakan baju berkerah hijau hari ini, yang benar-benar membuatnya tampak seperti kura-kura, besar dan bulat. Dia mencap setumpuk buku dan tak mendongak saat aku melangkah mendekati meja.
Aku berdeham gugup. "Mr Mortman?"
Perlu waktu lama baginya untuk melihat. Ketika ia akhirnya melakukannya, senyum hangat yang terbentuk di atas dagunya. "Hai, Lucy. Beri aku beberapa menit, oke?" 
"Tentu," kataku. "Aku akan pergi mengeringkan badan." 
Dia tampaknya sangat ramah, pikirku, menuju ke sebuah kursi di salah satu meja-meja panjang. Dia tak tampak marah. 
Mungkin dia benar-benar percaya ceritaku tadi malam. 
Mungkin dia benar-benar tak tahu bahwa aku pernah melihatnya berubah menjadi monster. 
Mungkin aku akan keluar dari sini hidup-hidup. . . . 
Aku duduk di meja dan mengguncangkan air lagi dari rambutku. Aku menatap jam, dinding besar dan bulat, gelisah menunggunya memanggilku untuk pertemuan kami. Jam berdetak ribut. Setiap detik sepertinya dalam beberapa menit. 
Anak-anak dengan ibu mereka memeriksa beberapa buku dan pergi. Aku berbalik ke bagian misteri dan melihat bahwa dua perempuan itu juga sudah tak ada. Pustakawan dan aku adalah satu-satunya yang tersisa. 
Mr Mortman mendorong setumpuk buku di meja dan berdiri. "Aku akan segera kembali, Lucy," katanya, lagi senyum, ramah meyakinkan di wajahnya. "Lalu kita akan melakukan pertemuan kita." 
Dia melangkah menjauh dari mejanya dan, berjalan cepat, menuju ke bagian belakang ruang baca. Aku menduga dia akan ke kamar mandi atau sesuatu. 
Kilatan petir bergerigi putih berkedip di langit gelap di luar jendela. Diikuti oleh gemuruh goncangan guntur. 
Aku berdiri dari meja dan, membawa ransel basah di talinya, mulai menuju meja Mr Mortman itu. 
Aku sudah setengah ke meja ketika aku mendengar suara klik keras. 
Aku segera tahu bahwa ia telah mengunci pintu depan. 
Beberapa detik kemudian, ia kembali, berjalan cepat, masih tersenyum. Dia menggosok tangannya yang gemuk putih bersama-sama saat dia berjalan.
"Bisakah kita bicara tentang bukumu?" tanyanya, melangkah ke arahku. 
"Mr Mortman - Anda mengunci pintu depan," kataku, menelan ludah. 
Senyumnya tak memudar. 
Mata gelapnya sedikit terkunci padaku.
"Ya. Tentu saja." Katanya pelan, mengamati wajahku. Tangannya masih menggenggam bersama di depannya.
"Tapi - kenapa?" Aku tergagap. 
Dia membawa wajahnya dekat dengan wajahku, dan senyumnya memudar.
"Aku tahu mengapa kau berada di rumahku tadi malam," geramnya ke telingaku. "Aku tahu semuanya." 
"Tapi, Mr Mortman, aku -" 
"Maafkan aku," katanya menggeram dalam paraunya. "Tapi aku tak dapat membiarkanmu pergi, Lucy. Aku tak bisa membiarkan meninggalkan perpustakaan." 


22 

"Oohhh." Suara yang keluar dari bibirku, benar-benar erangan ketakutan. 
Aku menatapnya tanpa bergerak. Kurasa aku ingin melihat apakah dia serius atau tidak. Jika ia benar-benar bermaksud dengan apa yang dikatakannya. 
Matanya mengatakan padaku bahwa dia akan melakukannya. 
Dan saat aku menatapnya, kepalanya mulai mengembang. Mata bulat kecilnya terlepas keluar dari rongganya dan tumbuh menjadi bola lampu hitam yang berdenyut-denyut.
"Oohhh." 
Sekali lagi, suara ketakutan keluar dari bibirku. Seluruh tubuhku mengejang bergidik ketakutan. 
Kepalanya sekarang  berdenyut-denyut, berdenyut seperti jantung. Mulutnya terbuka menganga, melirik dengan pemandangan yang mengerikan, dan air liur hijau bergerak menuruni dagunya yang gemetar. 
Bergeraklah! Aku berkata pada diriku sendiri. Bergeraklah, Lucy! Lakukan sesuatu!
Seringai menjijikkannya tumbuh lebih lebar. Kepala besarnya bergerak-gerak dan berdenyut-denyut penuh semangat. 
Dia mengeluarkan geraman serangan yang pelan. Dan mengulurkan kedua lengannya untuk meraihku. 
"Tidak!" jeritku. 
Aku bersandar dan dengan sekuat tenaga, mengayunkan tas ke dalam perut lembeknya. 
Hal itu mengejutkannya. 
Dia tersentak saat dia mengambil napas menjauh. 
Aku melepaskan ransel, berputar, dan mulai berlari. 
Dia tepat di belakangku. Aku bisa mendengar napasnya terengah-engah dan pelan, geraman mengancam.
Aku berlari melalui lorong sempit di antara dua rak-rak tinggi. 
Satu gemuruh guntur dari luar tampaknya mengguncang ruangan. 
Dia masih di belakangku. Mendekat. Lebih dekat. 
Dia akan menangkapku, akan meraihku dari belakang. 
Aku mencapai ujung baris. Aku ragu-ragu. Aku tak tahu mana berputar kemana. Aku tak bisa berpikir. 
Dia meraung, suara hewan yang mengerikan. 
Aku berbelok ke kiri dan mulai berlari di sepanjang dinding belakang ruangan. 
Gemuruh guntur lainnya. 
"Ohh!" Aku menyadari dengan ngeri bahwa aku telah berbuat kesalahan. 
Satu kesalahan yang fatal. 
Aku berjalan tepat ke pojokan. 
Tak ada jalan keluar di sini. Tak (ada jalan) melarikan diri. 
Dia meraung lagi, begitu keras sehingga menenggelamkan guntur. 
Aku terjebak. 
Aku tahu itu. 
Terjebak. 
Dengan menangis putus asa, aku berlari membabi buta - menabrak ke dalam katalog kartu dengan kepalaku.
Di belakangku, aku mendengar gemuruh tawa raksasa. 
Dia tahu dia telah menang. 




23 

Kartu katalog itu roboh. Laci-lacinya meluncur keluar. Kartu-kartu tumpah di kakiku, berhamburan di atas lantai.
"Tidaaak!" monster itu melolong.
Pada awalnya kupikir itu adalah pekikan kemenangan. Tapi kemudian aku sadar itu adalah jeritan protes kemarahan. 
Dengan erangan menakutkan, ia membungkuk ke lantai dan mulai mengumpulkan kartu-kartu itu. 
Menatap tak percaya, aku meloncat melewatinya, berlari panik, lenganku meronta-ronta liar di pinggangku. 
Pada saat takut itu, aku ingat satu hal yang paling dibenci pustakawan: kartu-kartu dari kartu katalog yang tumpah di lantai! 
Mr Mortman adalah monster - tetapi ia juga pustakawan. 
Dia tak tahan (melihat) kartu-kartu itu berantakan. Dia harus mencoba untuk meletakkannya kembali sebelum mengejarku. 
Hanya butuh sedetik untuk lari ke pintu masuk depan, memutar kunci, membuka pintu, dan melarikan diri keluar dalam hujan. 
Sepatuku menampar trotoar saat aku berlari, memercikkan air hujan. 
Aku berjalan ke jalanan dan berjalan setengah blok saat aku menyadari bahwa ia mengejarku. 
Satu kilatan petir berderak di sebelah kiriku. 
Aku menjerit, terkejut, saat ledakan guntur yang memekakkan telinga mengguncang tanah. 
Aku melirik ke belakang untuk melihat seberapa dekat monster itu. 
Dan berhenti. 
Dengan tangan gemetar, aku panik menyikat lapisan air hujan dari mataku.
"Aaron!" jeritku. "Apa yang kau lakukan di sini?" 
Dia berlari ke arahku, membungkuk melawan hujan yang dingin. Dia terengah-engah. Matanya lebar dan ketakutan. "Aku - aku berada di perpustakaan," dia tergagap, berusaha untuk menarik napas. "Bersembunyi. Aku melihatnya. Aku melihat monster itu. Aku melihat semuanya." 
"Kau?" Aku sangat gembira. Aku ingin memeluknya. 
Permukaan hujan yang luas menyapu kami, didorong oleh embusan angin. 
"Ayo kita ke rumahmu!" teriakku. "Kau bisa memberitahu orang tuaku. Sekarang mungkin mereka akhirnya akan percaya!." 
Aaron dan aku menghambur masuk ke ruang kerja. Ibu mendongak dari sofa, menurunkan koran untuk pangkuannya. "Kau membanjiri karpet," katanya. 
"Mana Ayah? Apa dia sudah pulang?" tanyaku, air hujan mengalir di keningku. 
Aaron dan aku basah kuyup dari kepala sampai kaki. 
"Aku di sini." Dia muncul di belakang kami. Dia telah berganti dari pakaian kerjanya. "Apa artinya kehebohan ini?"
"Ini tentang monster itu!" Aku berseru. "Mr Mortman - dia -" 
Ibu menggeleng dan mulai mengangkat tangan untuk menghentikanku. 
Tapi Aaron dengan cepat datang untuk menyelamatkanku. 
"Aku melihatnya  juga!" seru Aaron. "Lucy tak mengarangnya. Itu benar!"
Ibu dan Ayah mendengarkan Aaron.
Aku tahu mereka akan mendengarkannya. 
Dia mengatakan kepada mereka apa yang telah dilihatnya di perpustakaan. Dia mengatakan kepada mereka bagaimana pustakawan telah berubah menjadi monster dan mengejarku ke pojokan. 
Ibu mendengarkan dengan seksama cerita Aaron, menggelengkan kepala.
"Kurasa cerita Lucy itu benar," katanya ketika Aaron telah selesai. 
"Ya, kurasa itu benar." Kata Ayah, meletakkan tangan dengan lembut di bahuku. 
"Nah, sekarang kalian akhirnya percaya padaku - apa yang akan kalian lakukan, Yah?" tuntutku. 
Dia menatapku serius. "Kami akan mengundang Mr Mortman untuk makan malam," katanya. 
"Hah?" Aku terbelalak menatapnya, air hujan mengalir di wajahku. "Kau akan apa! Dia mencoba untuk melahapku! Kau tak dapat mengundangnya ke sini!" protesku. "Kau tak bisa!" 
"Lucy, kami tak punya pilihan," desak Ayah. "Kami akan mengundangnya untuk makan malam." 




24 

Mr Mortman tiba beberapa malam kemudian, membawa buket bunga. Dia mengenakan celana panjang hijau limau dan kemeja olahraga kuning cerah berlengan pendek. 
Ibu menerima bunga itu darinya dan membawanya ke ruang tamu di mana Ayah, Randy, dan aku sedang menunggu. Aku mencengkeram punggung kursi erat-erat saat dia masuk. Kakiku terasa kenyal, dan perut bergelombang merasa seolah-olah aku menelan batu yang keras. 
Aku masih tak percaya bahwa Ayah telah mengundang Mr Mortman ke rumah kami! 
Ayah melangkah maju untuk berjabat tangan dengan pustakawan. "Kami sudah lama ingin mengundang Anda untuk waktu yang cukup lama," kata Ayah, tersenyum. "Kami ingin mengucapkan terima kasih untuk program membaca yang baik di perpustakaan." 
"Ya," Ibu ikut masuk "Ini benar-benar berarti bagi Lucy." 
Mr Mortman menatapku ragu. Aku bisa melihat bahwa dia mempelajari ekspresiku. "Aku senang," katanya, memaksakan senyuman dengan bibir terkatup rapat. 
Mr Mortman menurunkan tubuhnya ke sofa. Ibu menawarkan nampan biskuit dengan keju di atasnya. Dia mengambil satu dan mengunyahnya dengan hati-hati.
Randy duduk di karpet. Aku masih berdiri di belakang kursi, mencengkeram erat punggung kursi itu begitu erat, tanganku sakit. Aku belum pernah segugup itu di sepanjang hidupku. 
Mr Mortman tampak gugup juga. Ketika Ayah memberinya segelas es teh, Mr Mortman menumpahkan sedikit di celananya.
"Hari ini sepertinya lembab," katanya. "Es teh ini tepat sasaran." 
"Menjadi pustakawan pastilah pekerjaan yang menarik," kata Ibu, mengambil kursi di samping Mr Mortman di sofa. 
Ayah berdiri di samping sofa. 
Mereka mengobrol sebentar. Ketika mereka berbicara, Mr Mortman terus menerus melirik dengan cepat kepadaku. Randy, duduk bersila di lantai, mengetuk-ngetukkan jarinya di atas karpet. 
Ibu dan Ayah tampak tenang dan sangat santai. Mr Mortman tampak sedikit tak nyaman. Butir-butir keringatnya berkilau di dahi bulatnya yang mengkilat. 
Perutku menggeram keras, lebih karena gugup daripada kelaparan. Tak ada seorang pun mendengarnya. 
Tiga orang dewasa itu mengobrol beberapa saat lagi. Mr Mortman menghirup es tehnya. 
Dia bersandar di sofa dan tersenyum pada ibuku. "Ini baik sekali bahwa kslian mengundangku, aku tak terlalu sering dapat makanan masakan rumah. Apa makan malamnya?" tanyanya. 
"Kau!" Kata Ayahku padanya, melangkah di depan sofa. 
"Apa?" Mr Mortman mengangkat tangan di belakang telinganya. "Aku tak mendengar Anda dengan benar. Apa makan malamnya?" 
"Kau!" ulang Ayah. 
"Ohh!" Mr Mortman menjerit kecil dan (wajahnya) berubah jadi merah terang. Dia berusaha untuk bangkit dari sofa pendek itu. 
Tapi Ibu dan Ayah terlalu cepat baginya. 
Mereka berdua menerkamnya. Taring mereka muncul ke bawah. Dan mereka melahap pustakawan itu dalam waktu kurang dari satu menit, tulang dan semua. 
Randy tertawa gembira. 
Aku tersenyum lebar. 
Adikku dan aku belum mendapatkan taring kami. Itu sebabnya kami tak bisa bergabung masuk 
"Yah, itulah," kata Ibu, berdiri dan merapikan bantal sofa. Lalu ia berpaling kepada Randy dan aku. "Itu monster pertama yang datang ke Timberland Falls hampir dua puluh tahun lalu," katanya kami. "Itulah sebabnya kami butuh lama untuk percaya padamu, Lucy." 
"Kalian benar-benar melahapnya dengan cepat!" seruku. 
"Dalam beberapa tahun, kau akan mendapatkan gigi taringmu," kata Ibu.
"Aku juga!" Randy dinyatakan. "Lalu mungkin aku tak akan takut monster lagi!" 
Ibu dan Ayah tertawa kecil. Lalu ekspresi Ibu berubah serius. "Kalian berdua mengerti mengapa kami harus melakukan itu, bukan begitu? Kami tak bisa membiarkan monster lain di kota ini. Ini akan menakut-nakuti seluruh masyarakat. Dan kami tak ingin orang menjadi ketakutan dan mengusir kami. Kami suka di sini! " 
Ayah bersendawa keras. "Maaf," katanya sambil menutup mulutnya. 
***
Lalu malam itu, aku atas di kamar Randy. Dia masuk di (selimutnya), dan aku menceritakan dongeng pengantar tidur. 
"... Dan pustakawan bersembunyi di balik rak buku tinggi," kataku dengan suara bisikan pelan. "Dan saat anak kecil bernama Randy itu menggapai untuk menarik sebuah buku dari rak, pustakawan menjulurkan lengan panjangnya melalui rak dan mengambil anak itu, dan -" 
"Lucy, berapa kali aku harus memberitahumu?" 
Aku melirik dan melihat Ibu berdiri di ambang pintu, wajahnya berkerut. 
"Aku tak ingin kau menakut-nakuti adikmu sebelum tidur," omel Ibu. "Kau akan memberinya mimpi buruk. Sekarang, ayolah, Lucy - tak  ada lagi cerita monster."





No comments:

Post a Comment