Thursday, May 16, 2013
Jangan Sembarangan Mengucapkan Keinginan
R. L. Stine:
Jangan Sembarangan Mengucapkan Keinginan
(Goosebumps # 12)
1
JUDITH BELLWOOD sengaja membuatku tersandung sewaktu pelajaran Matematika.
Aku melihat sepatu putihnya terjulur ke gang antar bangku.
Terlambat.
Aku sedang membawa buku catatan ke papan tulis karena akan mengerjakan soal. Mataku menatap tulisan cakar ayam di buku catatanku. Tulisanku memang tidak rapi.
Aku tidak sempat berhenti lagi ketika melihat sepatu putih itu terjulur.
Aku tersandung dan jatuh lintang-pukang di lantai, mendarat bertelekan pada siku dan lutut. Semua kertas beterbangan dari buku catatanku dan berserakan di mana-mana.
Seluruh kelas menganggap kejadian itu lucu. Semua tertawa dan bersorak waktu aku bersusah payah bangun. Judith dan teman akrabnya, Anna Frost, tertawa paling keras.
Aku mendarat di ujung siku dan sakitnya terasa sampai ke sekujur tubuh. Aku tahu wajahku pasti semerah tomat waktu bangun dan memungut buku catatan.
"Gerakan hebat, Sam!" teriak Anna, ia tersenyum lebar.
"Bagus!" teriak seseorang.
Aku menoleh sekilas dan melihat kilatan puas di mata hijau Judith.
Aku anak perempuan paling jangkung di kelas tujuhku. Bukan. Salah.
Aku anak paling jangkung di kelas. Aku paling tidak lebih tinggi lima senti dari temanku, Cory Blinn, padahal ia anak laki-laki paling jangkung.
Aku juga anak paling kikuk yang pernah ada di muka bumi ini.
Maksudku, meskipun tinggi dan langsing, bukan berarti aku juga anggun. Percaya deh, aku sama sekali tidak anggun.
Tapi kenapa orang selalu tertawa kalau aku jatuh tersandung tempat sampah atau menjatuhkan baki makanan di ruang makan siang atau tersandung kaki orang waktu pelajaran Matematika?
Judith dan Anna memang jahat, itu saja.
Aku tahu mereka diam-diam menjuluki aku "Bangau". Cory yang memberitahu aku.
Dan Judith selalu mengolok-olok nama keluargaku, yaitu Byrd.
Samantha Byrd.
"Terbang sana, Byrd!"
Itulah yang selalu dikatakannya padaku. Lalu ia dan Anna tertawa seakan-akan itulah lelucon paling lucu yang pernah mereka dengar.
"Terbang sana, Byrd!"
Ha-ha. Tidak lucu.
Kata Cory, Judith sebenarnya iri padaku. Tapi itu kan konyol.
Maksudku, buat apa Judith iri? Tingginya bukan dua koma tujuh meter. Tingginya kira-kira satu koma lima enam meter, pas untuk anak berusia dua belas tahun. Ia anggun. Ia atletis. Dan ia manis sekali, kulitnya pucat halus, matanya hijau besar, dan rambutnya warna tembaga, berombak, tergerai sampai bahu.
Jadi apa yang diirikannya?
Kurasa Cory cuma berusaha menyenangkan perasaanku�dan sama sekali tidak berhasil.
Yah, kukumpulkan semua kertas-kertasku dan menjejalkannya ke dalam buku tulis lagi.
Sharon bertanya apa aku baik-baik saja. (Sharon guruku. Di Sekolah Menengah Montrose sini, kami semua memanggil guru dengan nama depan mereka.)
Aku menggumam mengatakan aku tidak apa-apa, meskipun sikuku berdenyut-denyut sakit bukan main. Langsung saja kutulis soal di papan tulis.
Kapurnya berdecit-decit, semua orang jadi mengerang dan berkeluh kesah. Yah, bagaimana lagi. Tiap kali aku menulis di papan tulis, kapurnya selalu berdecit-decit.
Mestinya orang tidak perlu ribut begitu, kan?
Kudengar Judith berbisik membicarakan aku pada Anna, tapi aku tidak bisa mendengar apa yang dibisikkannya itu. Aku menoleh dan melihat mereka berdua mencibir dan menyeringai.
Dan yang lebih parah�aku tidak bisa mengerjakan soalnya.
Persamaannya ada yang salah, dan aku tidak tahu yang mana.
Sharon melangkah ke belakangku, lengannya yang kurus terlipat di depan baju hangat warna hijau mudanya yang norak. Bibirnya bergerak-gerak ketika membaca pekerjaanku, berusaha melihat di mana kesalahanku.
Dan tentu saja Judith mengacungkan tangan dan berseru, "Aku tahu salahnya, Sharon. Byrd tidak bisa menambah. Empat tambah dua jadi enam, bukan lima."
Aku merasa wajahku merah padam lagi.
Entah bagaimana nasibku kalau tidak ada Judith yang menunjukkan kesalahanku di depan anak-anak sekelas.
Semua orang tertawa lagi. Bahkan Sharon pun mengganggapnya lucu.
Dan aku terpaksa berdiri saja dan pasrah menerima ejekan begitu.
Dasar si Samantha, anak paling goblok di kelas.
Tanganku gemetar waktu menghapus kesalahanku dan menuliskan angka yang benar.
Aku marah sekali. Pada Judith. Dan pada diri sendiri.
Tapi aku berusaha tenang waktu berjalan�hati-hati�ke tempat dudukku. Aku bahkan tidak melirik Judith ketika melewati dia.
Aku bisa tetap tenang sampai pelajaran Ekonomi Rumah Tangga siang harinya.
Lalu jadi konyol.
2
GURU pelajaran Ekonomi Rumah Tangga adalah Daphne. Aku suka pada Daphne. Ia wanita bertubuh besar, riang, dagunya berlipat-lipat, dan suka bergurau.
Menurut desas-desus, Daphne selalu menyuruh kami memasak kue, pai, brownies, supaya bisa dimakannya sendiri setelah pelajaran selesai.
Kurasa omongan begitu jahat juga. Tapi mungkin ada benarnya juga.
Pelajaran Ekonomi Rumah Tangga dimulai tepat setelah makan siang, jadi kami tidak pernah terlalu lapar. Lagi pula, sebagian besar hasil masakan kami tidak enak, anjing saja rasanya tidak akan suka. Jadi biasanya kami tinggalkan saja di kelas.
Aku selalu menunggu-nunggu pelajaran itu. Selain karena Daphne guru yang asyik, cuma pelajaran itulah yang tidak pernah ada pekerjaan rumahnya.
Satu-satunya hal yang menyebalkan pada pelajaran Ekonomi Rumah Tangga, Judith juga ada di situ. Tadi Judith dan aku bertengkar di ruang makan siang. Aku duduk di ujung meja, sejauh mungkin dari dia. Tapi aku masih bisa mendengar ia bercerita pada dua anak kelas delapan. "Byrd berusaha terbang waktu pelajaran matematika."
Semua orang tertawa dan memandangi aku.
"Kau menjegal aku, Judith!" teriakku marah. Mulutku sedang penuh selada telur, yang mengalir ke daguku waktu aku berteriak.
Semua orang menertawakan aku lagi.
Judith mengatakan sesuatu, aku tidak bisa mendengarnya karena ruang makan siang berisik sekali. Ia mencibir padaku dan mengibaskan rambut merahnya ke belakang bahu.
Aku berdiri dan mendatanginya. Aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan. Tapi aku marah sekali sampai tidak bisa berpikir jernih
Untunglah Cory muncul di seberang meja. Diletakkannya baki makan siangnya di meja, dibalikkannya kursi seperti biasa, dan duduk.
"Berapa empat tambah dua?" godanya.
"Empat puluh dua," jawabku sambil membelalakkan mata. "Kau percaya Judith?" tanyaku suram.
"Tentu saja aku percaya Judith," katanya sambil membuka bungkusan makan siangnya. "Judith ya Judith."
"Apa maksudmu?" bentakku.
Ia mengangkat bahu. Ia meringis. "Entah."
Cory lumayan cakep. Matanya cokelat tua yang agak berkerut di sudut, hidung yang sedikit terlalu panjang, dan senyum bengkok yang lucu.
Rambutnya bagus, tapi tidak pernah disisirnya. Jadi ia selalu pakai topi. Topi Orlando Magic, meskipun ia tidak tahu dan tidak peduli pada tim itu. Ia cuma suka topinya.
Ia mengintip bungkusan makan siangnya dan memberengut.
"Lagi-lagi?" tanyaku sambil mengelap selada telur dari bagian depan baju kausku dengan serbet.
"Yeah. Lagi-lagi," jawabnya sebal.
Dikeluarkannya makan siang yang selalu dibuatkan ayahnya setiap pagi. Sandwich keju panggang dan jeruk. "Hii!"
"Kenapa setiap hari ayahmu selalu membuatkan keju panggang?" tanyaku. "Tidak kau bilang padanya kejunya jadi dingin dan lengket waktu makan siang?"
"Sudah kubilang," geram Cory sambil meletakkan selembar sandwichnya di satu tangan dan diamatinya seperti mengamati bahan laboratorium ilmiah. "Katanya keju protein bagus."
"Bagaimana bisa jadi protein bagus kalau tiap hari kau buang ke tempat sampah?" tanyaku.
Cory tersenyum miring. "Aku tidak bilang padanya tiap hari membuang sandwich ke tempat sampah." Dimasukkannya sandwich liat itu ke dalam bungkusan dan mengupas jeruk.
"Untung kau datang," kataku sambil menelan gigitan terakhir sandwich selada telurku. "Aku tadi baru saja akan bangun dan membunuh Judith di sana itu."
Kami berdua memandang sekilas ke ujung meja.
Judith dan kedua anak kelas delapan itu memiringkan kursi dan menertawakan sesuatu. Salah satu anak kelas delapan itu memegang majalah, kurasa majalah People, ia sedang menunjukkan gambar di majalah pada teman-temannya.
"Jangan bunuh Judith," kata Cory sambil terus mengupas jeruk. "Kau bisa susah nanti."
Aku tertawa, tertawa mengejek. "Kau bercanda? Aku bisa dapat penghargaan."
"Kalau kau bunuh Judith, tim bola basketmu bisa kalah melulu nanti," kata Cory, asyik mengupas jeruk.
"Oh, jahat sekali kau!" seruku. Kulemparkan bola kertas alumunium ke arahnya. Bola itu mental di dadanya dan jatuh ke lantai.
Ia benar, tentu saja. Judith pemain terbaik tim kami, the Montrose Mustangs. Ia satu-satunya pemain terbaik. Ia pintar sekali membawa bola, bolanya takkan terselip di kakinya. Dan matanya tajam sekali sehingga bisa menembak dari jauh.
Aku, tentu saja, pemain paling parah di tim. Kuakui itu. Aku benar-benar goblok, seperti kubilang tadi, yang tidak bisa macam-macam di lapangan basket.
Sebetulnya aku tidak mau ikut bermain di tim Mustangs. Aku tahu aku bakal bermain jelek.
Tapi Ellen ngotot. Ellen adalah pelatih bola basket tim anak perempuan. Ia ngotot memaksaku bergabung..
"Sam, kau tinggi sekali!" katanya padaku. "Kau harus bermain bola basket. Kau punya bakat alam!"
Yah, aku memang punya bakat alam. Bakat alam jadi orang goblok.
Aku sama sekali tidak bisa menembak, tembakan hukuman pun tidak bisa. Terutama tembakan hukuman.
Dan aku tidak bisa berlari tanpa tersandung sepatu Reebok-ku sendiri.
Tanganku kecil, meskipun bagian lain tubuhku tidak, jadi aku tidak terlalu pandai melempar atau menangkap bola.
Kurasa Ellen sudah dapat pelajaran: tinggi bukanlah segalanya
Tapi sekarang ia malu untuk mengeluarkan aku dari tim. Jadi aku masih saja bergabung terus. Aku berlatih keras. Maksudku, aku tetap merasa nanti akan pandai juga main basket. Jangan sampai permainanku semakin parah.
Kalau saja Judith tidak sejahat itu.
Dan kalau saja ia lebih ramah padaku.
Tapi, seperti kata Cory, "Judith ya Judith." Ia selalu membentak-bentak aku selama latihan, mengolok-olok aku, dan membuatku merasa setinggi enam puluh senti (yang kadang-kadang memang itulah harapanku)!
"Byrd, bantulah kami, terbang sajalah kau jauh-jauh!" Kalau sekali lagi dia bicara begitu, akan kutinju dia. Betul.
"Apa yang kau pikirkan, Sam?" Suara Cory membuyarkan lamunan pahitku.
"Tentu saja tentang Judith," gumamku. "Si Nona Sempurna."
"Hei, stop," kata Cory sambil membagi jeruk.
"Tahu tidak, kau juga punya sifat yang baik."
"Oya?" bentakku. "Apa sifat baikku? Tinggi badanku?"
"Bukan." Akhirnya dimakannya potongan jeruknya. Belum pernah kulihat orang makan jeruk segitu lamanya!
"Kau juga pandai," katanya. "Dan kau lucu."
"Terima kasih banyak," kataku, dengan dahi berkerut.
"Dan kau sangat baik hati," tambahnya. "Kau sangat baik hati, makanya kau akan memberikan sebungkus keripik kentang itu buatku, kan?" Disambarnya bungkusan itu sebelum aku bisa menyembunyikannya.
Aku tahu pasti ada apa-apanya di balik pujian itu.
Kuamati Cory menyikat keripik kentangku. Aku tidak ditawari sedikit pun.
Lalu bel berbunyi, dan aku segera masuk ke kelas Ekonomi Rumah Tangga.
Di sanalah aku jadi kacau.
Kejadiannya begini: kami membuat puding tapioka. Dan semuanya berantakan.
Kami semua punya mangkuk adonan besar warna jingga, dan bahan-bahan untuk memasak diletakkan di meja panjang di sebelah kompor.
Aku sibuk mengaduk adonanku. Adonanku kelihatan bagus dan empuk, suaranya plop plop kalau kuaduk dengan sendok kayu panjang.
Entah kenapa tanganku jadi lengket. Mungkin ketumpahan puding sedikit. Jadi aku berhenti mengaduk dan melap tanganku di celemek.
Aku lumayan bersih�untuk ukuranku. Cuma ada sedikit genangan puding kuning di mejaku. Sisanya sebagian besar ada di dalam mangkuk adonan.
Aku selesai mengaduk, dan ketika kuangkat kepala, ada Judith.
Aku agak terkejut karena tadi ia bekerja di seberang sana, di dekat jendela. Biasanya kami selalu berusaha memisahkan diri sejauh mungkin.
Judith tersenyum aneh. Dan ketika mendekati aku, ia pura-pura tersenyum.
Aku bersumpah ia cuma pura-pura tersandung. Ditumpahkannya seluruh isi mangkuk adonan tapiokanya ke sepatuku.
Sepatu Doc Martens biruku yang baru.
"Ups!" katanya.
Cuma itu. Cuma "Ups."
Kupandang sepatu baruku yang tertutup adonan puding kuning empuk.
Saat itulah aku jadi kacau.
Aku meraung marah dan mengulurkan tangan ke tenggorokan Judith.
Aku tidak bermaksud melakukannya. Kurasa aku jadi gila sesaat begitu karena marah sekali.
Aku mengulurkan kedua tanganku dan mencengkeram tenggorokan Judith, dan mulai mencekiknya.
Sepatu baruku! Sepatu baruku jadi hancur!
Judith meronta-ronta dan berusaha berteriak. Dijambaknya rambutku dan mencoba mencakarku.
Tapi kupegang terus tenggorokannya dan meraung lagi, seperti harimau marah.
Daphne terpaksa memisahkan kami.
Ditariknya bahuku, lalu dijejalkannya tubuhnya yang besar di antara kami, menghalangi pandangan kami.
Napasku memburu. Dadaku naik turun.
"Samantha! Samantha! Kenapa kau ini?" Kurasa itu yang diteriakkan Daphne.
Aku tidak terlalu mendengarnya. Di telingaku terdengar suara menggemuruh, keras seperti suara air terjun. Kurasa cuma karena perasaanku sedang marah saja.
Sebelum aku sadar, aku sudah menjauh dari meja dan lari ke luar ruangan. Aku berlari ke lorong sekolah yang sepi�dan berhenti.
Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku marah sekali.
Kalau aku bisa mengajukan permintaan, kataku pada diri sendiri, aku tahu akan minta apa: Hancurkan Judith! Hancurkan Judith! Hancurkan Judith!
Aku tidak tahu harapanku itu akan segera terkabul.
Ketiga-tiganya!
3
DAPHNE menyeretku masuk ke kelas lagi dan memaksa Judith dan aku bersalaman dan saling minta maaf. Kalau tidak begitu, kami akan dikeluarkan dari sekolah.
"Tadi benar-benar kecelakaan," gumam Judith samar. "Kenapa kau ini, Byrd?"
Minta maaf apaan tuh.
Tapi aku mau bersalaman dengan dia. Aku tidak mau orangtuaku sampai dipanggil ke sekolah karena anak perempuan mereka berusaha mencekik teman sekelasnya.
Dan aku ikut latihan basket sepulang sekolah�meskipun segan-segan.
Aku tahu kalau aku tidak datang, Judith akan mengatakan pada semua orang berhasil ia menakut-nakuti aku.
Aku datang karena tahu Judith tidak mau aku datang. Yang menurutku adalah alasan tepat.
Selain itu, aku juga perlu gerak badan. Aku perlu berlari bolak-balik melintasi lapangan beberapa ratus kali supaya perasaan marahku bisa hillang. Aku perlu menghilangkan rasa frustrasi karena tidak bisa mencekik Judith sampai puas.
"Ayo lari cepat," usul Ellen.
Beberapa anak lain mengeluh, tapi aku tidak. Aku sudah berlari sebelum Ellen meniup peluit.
Kami semua mengenakan celana pendek dan kaus tanpa lengan. Ellen mengenakan baju olah-raga kelabu yang longgar di mana-mana.
Rambut Ellen merah keriting kribo, tubuhnya lurus dan kurus, ia kelihatan seperti korek api.
Ellen tidak terlalu suka berolahraga. Ia memberitahu kami ia jadi pelatih basket anak perempuan karena dibayar ekstra, dan ia perlu uangnya.
Setelah berlari di sekeliling aula, latihan berlangsung seperti biasanya.
Judith dan Anna sering saling memberi bola. Dan mereka berdua sering menembakkan bola�tembakan melompat, tembakan lay-up, bahkan tembakan melengkung.
Anak-anak lain berusaha menyamai mereka. Aku berusaha tidak diperhatikan.
Aku masih terbayang-bayang kekacauan gara-gara puding tapioka tadi dan ingin sebisa mungkin tidak berhubungan dengan Judith�atau siapa saja. Maksudku, aku benar-benar sedang suntuk.
Dan mengamati Judith menembak sejauh enam meter, menangkap pantulan bolanya sendiri, dan memberikan bola pada Anna dengan teknik dua tangan yang sempurna, sama sekali tidak mengurangi kesuntukanku.
Tentu saja, keadaan jadi semakin parah.
Anna ternyata memberikan bola padaku. Aku tidak berhasil menangkapnya. Bola itu lolos dari tanganku, mengenai dahiku, dan menggelinding ke luar.
"Bangun, Byrd!" kudengar Ellen berteriak.
Aku tetap berlari-lari. Aku berusaha tidak kelihatan gugup karena telah menggagalkan kesempatanku berlatih.
Beberapa menit kemudian, kulihat bolanya terbang ke arahku lagi, dan kudengar Judith berteriak, "Tangkap yang ini, Bangau!"
Aku terkejut sekali mendengar ia terang-terangan menyebutku "Bangau" sehingga aku jadi bisa menangkap bola. Aku mulai membawa bola ke jaring�tiba-tiba Anna mengulurkan tangan dan dengan mudah mencuri bola. Ia berbalik dan menembak bola ke jaring, hampir saja masuk.
"Hebat, Anna!" teriak Ellen.
Dengan napas terengah-engah, aku berbalik dan berkata marah pada Judith, "Kau bilang apa aku tadi?"
Judith pura-pura tidak mendengar.
Ellen meniup peluit. "Fast break!" teriaknya.
Kami berlatih fast break sekaligus tiga-tiga. Kami membawa bola cepat-cepat, memberikan bola ke depan dan ke belakang. Lalu anak yang berada di bawah hoop sambil membawa bola harus menembak.
Aku harus latihan slow break! pikirku sendiri.
Aku tidak punya masalah untuk menyamai anak-anak lain. Kakiku kan paling panjang. Aku bisa lari lumayan cepat. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa kalau sedang lari.
Ketika Judith, Anna, dan aku ribut berlari-lari di lapangan, aku berdoa semoga permainanku tidak memalukan. Keringat bercucuran di dahiku. Jantungku berdebar-debar kencang.
Kuambil bola pendek dari Anna, membawanya ke bawah jaring, dan menembak. Bolanya terbang lurus ke atas, lalu mental di lantai.
Mendekati papan ring saja tidak.
Kudengar anak-anak di pinggir lapangan tertawa. Judith dan Anna seperti biasa mencibir meremehkan.
"Tembakan bagus!" seru Judith, anak-anak semakin keras tertawa.
Setelah dua puluh menit siksaan fast break, Ellen meniup peluit.
"Latihan," teriaknya. Itu tanda supaya kami membuat dua tim dan bertanding.
Aku menarik napas, kuusap keringat di dahi dengan punggung tangan.
Aku berusaha ikut terlibat dalam permainan. Aku berkonsentrasi keras, sebagian besar agar tidak kacau. Tapi aku agak patah semangat juga.
Lalu, setelah bermain beberapa menit, Judith dan aku sama-sama menyerbu bola.
Entah bagaimana caranya, ketika aku menyerbu bola, lenganku terjulur, lutut Judith terangkat kuat-kuat�dan menusuk dadaku seperti pisau.
Rasa sakitnya menyambar ke sekujur tubuhku.
Aku berusaha berteriak. Tapi suaraku tidak mau keluar.
Napasku megap-megap, suaranya aneh, seperti suara anjing laut sakit�lalu aku sadar aku tidak bisa bernapas.
Semuanya jadi merah. Merah terang yang bersinar-sinar.
Lalu hitam.
Aku tahu aku akan mati.
4
MERASAKAN napas putus seperti itu pastilah perasaan paling tidak enak sedunia. Mengerikan sekali rasanya. Kau berusaha bernapas, tapi tidak bisa. Dan rasa sakitnya terus saja semakin mengembang, seperti ada balon ditiup di dalam dadamu.
Aku benar-benar mengira aku sudah mati.
Tentu saja beberapa menit kemudian aku sudah sembuh. Aku masih merasa lemas sedikit, agak pusing. Tapi pada dasarnya aku baik-baik saja.
Ellen menyuruh salah satu ada yang mengantarkan aku ke ruang ganti pakaian. Tentu saja, Judith bersedia. Ketika kami berjalan, ia minta maaf. Katanya tadi itu kecelakaan. Benar-benar kecelakaan.
Aku diam saja. Aku tidak butuh permintaan maafnya. Aku sama sekali tidak mau bicara dengannya. Aku cuma ingin mencekiknya lagi.
Sekali ini sampai mati.
Maksudku, seberapa yang bisa ditahan orang dalam satu hari? Judith sudah menjegalku waktu pelajaran matematika, menumpahkan puding tapiokanya yang menjijikkan di sepatu Doc Martens baruku waktu pelajaran Ekonomi Rumah Tangga, dan menendangku sampai pingsan waktu latihan basket.
Apa sekarang aku harus tersenyum dan menerima permintaan maafnya?
Tidak usah ya! Sampai kapan pun aku tidak sudi.
Aku berjalan diam ke ruang ganti pakaian, kepalaku tertunduk, mataku menatap lantai.
Ketika dilihatnya aku tidak mau memaafkannya, Judith jadi marah.
Coba lihat kelakuannya! Dadaku ditendangnya�eeh, malah dia yang marah!
"Terbang saja kau, Byrd!" gumamnya. Lalu ia lari lagi ke aula.
Aku ganti pakaian tanpa mandi lagi. Lalu kukumpulkan barang-barangku, keluar dari gedung, dan mengambil sepeda.
Cukup sudah, pikirku sambil menuntun sepeda melintasi pelataran parkir di belakang sekolah.
Setengah jam kemudian. Langit siang tampak kelabu dan mendung.
Kurasakan sedikit tetesan hujan di kepala.
Cukup sudah, ulangku dalam hati.
Rumahku dua blok dari sekolah, tapi aku sedang tidak ingin pulang.
Aku ingin naik sepeda terus. Aku ingin naik sepeda lurus saja dan tidak menoleh-noleh lagi.
Aku marah, sebal, dan gemetaran. Tapi lebih banyak marahnya.
Tidak kupedulikan hujan, aku naik ke atas sepeda dan mengayuhnya menjauh dari rumah. Halaman depan dan rumah-rumah berseliweran.
Aku tidak melihatnya. Aku tidak melihat apa-apa.
Aku menggenjot semakin kuat dan semakin kuat. Enak sekali rasanya menjauh dari sekolah. Menjauh dari Judith.
Hujan mulai turun semakin deras. Aku tidak peduli. Kutengadahkan kepala ke langit sambil menggenjot sepeda. Air hujan terasa dingin dan menyegarkan di kulitku yang panas.
Ketika memandang ke depan lagi, kulihat aku sudah sampai Hutan Jeffers, deretan panjang pepohonan yang membatasi lingkungan rumahku dengan lingkungan sebelah.
Di antara pohon-pohon yang tinggi dan tua itu ada jalan setapak kecil untuk naik sepeda. Pohon-pohon itu gundul dan tampak sedih dan kesepian tanpa daun-daunnya. Kadang-kadang aku bersepeda di situ, untuk mengetahui seberapa cepat aku bisa naik sepeda di jalan yang berkelok-kelok dan tidak rata.
Tapi langit semakin gelap, awan hitam melayang rendah. Dan kulihat ada kilatan petir di langit di atas pepohonan.
Kuputuskan sebaiknya berbalik dan pulang saja. Tapi ketika aku berbalik, ada orang melangkah di depanku. Seorang wanita!
Aku terkesiap, terkejut melihat ada orang di jalan sepi di samping pepohonan ini.
Aku memicingkan mata menatapnya, sementara hujan semakin deras, bergemericik di jalanan sekitarku. Wanita itu tidak muda, dan tidak tua. Matanya kelam, seperti batu bara, wajahnya putih pucat.
Rambutnya yang hitam lebat tergerai di belakang.
Pakaiannya agak kuno. Di bahunya melingkar syal wol merah cerah yang tebal. Ia mengenakan rok hitam panjang sampai ke mata kaki.
Matanya yang kelam kelihatan seperti menyala ketika menatap mataku.
Ia kelihatan bingung.
Mestinya aku lari.
Mestinya aku menggenjot sepedaku menjauh dari dia secepat-cepatnya.
Kalau saja aku tahu...
Tapi aku tidak menjauh. Aku tidak pergi.
Aku malah tersenyum padanya. "Bisa saya bantu?" tanyaku.
5
MATA wanita itu menyipit. Aku tahu ia sedang mengamati aku.
Kujejakkan kaki ke tanah, berusaha agar sepedaku tidak sampai jatuh.
Hujan gemericik di jalanan, tetesannya besar-besar dan dingin.
Tiba-tiba aku ingat mantelku ada tudung kepalanya. Kujulurkan tangan ke belakang kepala dan memasang tudung menutupi rambut.
Langit semakin gelap dan berubah warna menjadi warna buah zaitun yang mengerikan. Pepohonan gundul di hutan bergetar ditiup angin yang berputar.
Wanita itu maju beberapa langkah. Pucat sekali dia, pikirku. Hampir seperti hantu, tapi matanya dalam dan kelam, terus menatapku tajam.
"Rasa�rasanya aku tersesat," katanya. Aku terkejut, suaranya seperti suara wanita tua, agak gemetar dan lemah.
Kupicingkan mata. Rambutnya yang hitam lebat menempel bergumpal-gumpal di kepalanya karena kena hujan. Umurnya tidak bisa ditebak. Bisa saja dua puluh atau enam puluh tahun!
�Ini Montrose Avenue," kataku keras-keras karena suara hujan berisik sekali. "Sebetulnya, Montrose cuma sampai sini. Sampai di hutan."
Dia mengangguk serius, dikerutkannya bibirnya yang pucat. "Aku ingin ke Madison," katanya. "Kurasa aku benar-benar kehilangan arah."
"Anda lumayan jauh dari Madison," kataku. "Madison di sebelah sana." Aku menunjuk.
Wanita itu menggigit bibir bawahnya.
"Biasanya aku pintar membaca arah," sesalnya dengan suara gemetar. Dirapikannya syal merah tebal di bahunya yang langsing.
"Madison jauh di sebelah timur sana," kataku sambil menggigil. Hujan terasa dingin. Aku tidak sabar ingin pulang dan berganti pakaian.
"Kau bisa mengantarkan aku ke sana?" tanya wanita itu.
Dicengkeramnya pergelangan tanganku.
Aku nyaris terkesiap keras-keras. Tangannya dingin seperti es!
"Bisa kau antarkan aku ke sana?" ulangnya, didekatkannya wajahnya.
"Aku akan sangat berterima kasih."
Ia sudah menarik tangannya. Tapi aku masih bisa merasakan genggamannya yang sedingin es di pergelangan tanganku.
Kenapa aku tidak lari saja?
Kenapa tidak kuangkat saja kakiku ke pedal sepeda dan mengayuhnya secepat mungkin?
"Tentu. Akan kutunjukkan di mana letaknya," kataku.
"Terima kasih, Sayang." Ia tersenyum. Kalau tersenyum, tampak ada lesung pipit di salah satu, pipinya. Aku sadar ia lumayan cantik juga, dalam ukuran kuno.
Aku turun dari sepeda dan mendorongnya sambil memegangi setang.
Wanita itu berjalan di sampingku, dirapatkannya syalnya. Ia berjalan di tengah jalan, matanya tak henti-hentinya menatapku.
Hujan terus turun. Kulihat ada kilatan petir di kejauhan di langit yang berwarna buah zaitun. Angin yang berputar-putar membuat mantelku berkibar-kibar mengenai kakiku.
"Apa jalanku terlalu cepat? tanyaku.
"Tidak, Sayang. Aku bisa menyamai langkahmu," jawabnya sambil tersenyum. Di bahunya tersampir tas ungu kecil. Dikepitnya tas itu supaya tidak basah.
Ia mengenakan sepatu bot hitam di bawah roknya yang panjang.
Kulihat di bagian samping sepatu botnya itu ada deretan kancing-kancing kecil. Ketika kami berjalan, sepatunya berdetik-detik di jalanan yang basah.
"Maaf aku jadi merepotkan kau," kata wanita itu dikerutkannya bibirnya dengan penuh penyesalan lagi.
"Tidak apa-apa," jawabku. Amalku untuk hari ini, pikirku, kuusap tetesan hujan dari hidungku.
"Aku suka hujan," katanya, diangkatnya tangannya, dibiarkannya air hujan membasahi telapak tangannya yang terbuka. "Kalau tidak ada hujan, siapa yang akan menyingkirkan setan?"
Aneh omongannya, pikirku. Aku menggumam tidak jelas. Aku ingin tahu setan apa yang dimaksudkannya tadi.
Rambut hitam panjangnya sudah basah kuyup, kelihatannya ia tidak peduli. Ia berjalan cepat dengan langkah yang panjang dan mantap sambil mengayun satu tangan, dan melindungi tas ungu di kepitan tangan yang satu lagi.
Beberapa blok kemudian, setang sepeda terlepas dari peganganku.
Sepedaku jatuh, dan lututku luka tergores pedal waktu aku berusaha menyambar sepeda supaya jangan jatuh.
Dasar goblok!
Kutarik sepedaku dan berjalan lagi. Lututku berdenyut-denyut. Aku menggigil. Angin meniup hujan ke wajahku.
Buat apa aku di sini? pikirku dalam hati.
Wanita itu terus saja berjalan cepat-cepat, wajahnya kelihatan serius.
"Hujannya deras juga," katanya, dipandangnya awan-awan gelap. "Kau baik sekaIi, Sayang."
" Tidak terlalu jauh dari tujuanku, kok," kataku sopan. Cuma delapan atau sepuluh blok lagi saja!
"Entah kenapa aku bisa tersesat begitu jauh," katanya sambil menggeleng-geleng. "Aku yakin menuju arah yang benar. Lalu waktu aku sampai di pepohonan itu..."
"Kita hampir sampai," kataku.
"Siapa namamu?" tanyanya tiba-tiba.
"Samantha," kataku. "Tapi panggilanku Sam."
"Namaku Clarissa," katanya. "Aku Sang Wanita Kristal."
Aku tidak yakin apa pendengaranku mengenai perkataannya yang terakhir itu benar begitu. Aku bingung sebentar, lalu kulupakan saja.
Aku tahu sekarang sudah sore. Mom dan Dad mungkin sudah pulang kerja. Kalaupun mereka belum sampai di rumah, abangku, Ron, mungkin saja ada di rumah, kebingungan kenapa aku belum juga pulang.
Ada mobil station wagon melaju ke arah kami, lampu depannya menyala. Kulindungi mataku supaya tidak silau kena cahaya terang itu dan hampir saja menjatuhkan sepedaku lagi.
Wanita itu tetap berjalan di tengah jalan. Aku berjalan ke pinggir supaya ia bisa menyingkir dari jalanan mobil tadi. Tapi tampaknya ia tidak peduli. Ia tetap saja berjalan lurus ke depan, ekspresi wajahnya tidak berubah, meskipun wajahnya terang benderang kena sinar lampu.
"Awas!" teriakku.
Aku tidak tahu apakah ia mendengarku.
Mobil itu berbelok untuk menghindarinya dan membunyikan klakson sambil berlalu.
Wanita itu tersenyum hangat padaku ketika kami terus berjalan. "Baik sekali kau mau mengurus orang yang benar-benar tidak kau kenal," katanya.
Tiba-tiba lampu jalanan menyala. Jalanan yang basah jadi berkilau-kilau. Semak-semak dan pagar tanaman, rumput, trotoar�semua
kelihatan berkilau. Semua kelihatan aneh.
"Sudah sampai. Ini Madison," kataku sambil menunjuk papan nama jalan. Akhirnya! pikirku.
Aku cuma ingin mengucapkan selamat tinggal pada wanita aneh ini dan pulang secepat mungkin.
Kilat menyambar. Sekali ini lebih dekat.
Melelahkan sekali hari ini, pikirku sambil menarik napas.
Lalu aku teringat Judith.
Sepanjang hari yang menyebalkan tadi tiba-tiba memasuki pikiranku lagi. Aku merasa marah sekali.
"Arah timur ke mana?" tanya wanita itu, suaranya yang gemetaran membuyarkan lamunanku.
"Timur?" Kupandang kedua arah Madison, berusaha menghilangkan Judith dari pikiranku. Kutunjukkan.
Tiba-tiba angin berembus, meniup hujan ke arahku. Kueratkan peganganku di setang.
"Kau baik sekali," kata wanita itu sambil melilitkan syal di lehernya. Matanya yang kelam menatap tajam mataku. "Begitu baik. Kebanyakan anak muda tidak baik seperti kau."
"Terima kasih," jawabku kikuk. Udara dingin membuat aku menggigil lagi. "Yah... selamat tinggal" Aku naik ke sepeda.
"Tidak. Tunggu," pintanya. "Aku ingin membalas budimu."
"Hah?" seruku. "Jangan. Betul. Tidak usah."
"Aku ingin membalas budimu," kata wanita itu ngotot.
Dicengkeramnya pergelangan tanganku lagi. Dan sekali lagi kurasakan dingin yang mengejutkan.
"Kau sudah begitu berbaik hati," ulang wanita itu. "Begitu baik pada orang yang tidak kau kenal."
Aku mencoba melepaskan pergelangan tanganku, tapi cengkeramannya kuat sekali. "Anda tidak harus membalas budi padaku," kataku.
"Aku ingin membalas budi," jawabnya, didekatkannya wajahnya, tangannya masih memegangi pergelangan tanganku. "Begini saja. Akan kukabulkan tiga permintaanmu."
6
DIA gila, pikirku.
Kutatap matanya yang hitam seperti batu bara. Air hujan menetes dari rambutnya, turun ke bagian samping wajahnya yang pucat. Bisa kurasakan tangannya yang dingin, meskipun tanganku tertutup mantel.
Wanita ini gila, pikirku.
Dua puluh menit aku berjalan di tengah hujan lebat dengan orang gila.
"Tiga permintaan," ulang wanita itu, dipelankannya suaranya seolah-olah tidak ingin kedengaran orang lain.
�Terima kasih. Aku benar-benar harus pulang," kataku. Kutarik pergelangan tanganku dari cengkeramannya dan kuputar sepedaku.
"Akan kukabulkan tiga permintaanmu," ulang wanita itu. "Apa saja yang kau minta akan jadi kenyataan." Dibawanya tas ungunya ke depan dan dengan hati-hati dikeluarkannya sesuatu. Bola kaca, warnanya merah cerah, seukuran anggur besar. Bola kaca itu menyala meskipun sekeliling kami gelap.
"Anda baik sekali," kataku sambil mengusap air hujan di sadel sepeda dengan tangan. "Tapi sekarang ini aku tidak ingin minta apa-apa."
"Tolonglah�biarkan aku membalas kebaikan hatimu," wanita itu berkeras. Diangkatnya bola yang menyala itu dengan satu tangan. Tangannya kecil dan pucat seperti wajahnya, jari-jarinya kurus. "Aku benar-benar ingin membalas budi."
"Ibu�uh�ibu saya pasti sudah cemas," kataku sambil memandang ke jalanan.
Tidak ada orang.
Tidak ada orang yang bisa melindungi aku dari orang gila ini kalau ia jadi berbahaya.
Seberapa gilanya dia? pikirku. Apa dia bisa jadi berbahaya? Apa aku membuatnya marah karena tidak mau menurut, karena tidak mau meminta sesuatu?
"Ini tidak main-main," kata wanita itu, ia bisa melihat ada perasaan ragu di mataku. "Permintaanmu akan jadi kenyataan. Aku berjanji."
Disipitkannya matanya. Bola merah itu tiba-tiba menyala semakin terang. "Ucapkan permintaan pertamamu, Samantha."
Kupandang dia lagi sambil berpikir keras. Aku kedinginan, basah, lapar�dan agak ketakutan. Aku cuma ingin pulang dan ganti baju.
Bagaimana kalau dia tidak mau membiarkan aku pergi?
Bagaimana kalau aku tidak bisa menyingkirkannya? Bagaimana kalau ia mengikuti aku sampai ke rumah?
Kupandang lagi jalanan. Lampu-lampu di sebagian besar rumah sudah dinyalakan. Mungkin kalau perlu aku bisa lari ke rumah paling dekat dan minta tolong.
Tapi, pikirku, mungkin lebih mudah kalau dituruti saja wanita gila ini dan minta sesuatu. Mungkin ia akan puas dan meneruskan perjalanannya, membiarkan aku pulang.
"Apa keinginanmu, Samantha?" desaknya. Matanya yang hitam menyala merah, sama seperti bola menyala yang dipegangnya.
Tiba-tiba ia kelihatan sangat tua. Kuno. Kulitnya pucat dan kencang sekali, aku sampai merasa bisa melihat tengkoraknya.
Aku berdiri kaku.
Aku tidak tahu harus minta apa.
Lalu aku keterlepasan bicara, "Saya ingin... menjadi pemain paling kuat di tim bola basket saya!"
Entah kenapa waktu itu aku berkata begitu. Kurasa karena gugup. Dan karena teringat pada Judith dan semua kejadian hari itu, yang berakhir dengan bencana waktu latihan basket.
Jadi itulah permintaanku. Tentu saja aku segera merasa seperti orang yang benar-benar goblok. Maksudku, dari segitu banyaknya hal yang bisa diminta di dunia ini, buat apa minta yang seperti itu?
Tapi wanita itu sama sekali tidak kelihatan terkejut. Ia mengangguk, dipejamkannya matanya sebentar.
Bola merah itu menyala semakin terang, semakin terang sambil cahaya merahnya yang seperti api bersinar menyelimuti aku. Lalu segera meredup.
Clarissa mengucapkan terima kasih sekali lagi, berbalik, dimasukkannya bola kacanya ke dalam tas ungu, dan cepat-cepat berjalan pergi.
Aku menarik napas lega. Aku senang sekali ia pergi!
Aku naik ke sepeda, kuputar, dan cepat-cepat kukayuh ke arah rumah.
Akhir yang sempurna untuk hari yang sempurna, pikirku pahit.
Terjebak di tengah hujan dengan wanita gila.
Dan permintaan tadi?
Aku tahu semuanya benar-benar goblok.
Aku tahu aku tidak usah memikirkannya lagi.
7
WAKTU sedang makan malam tiba-tiba aku teringat pada permintaan itu.
Aku tidak bisa melupakan bagaimana bola kristal tadi memancarkan cahaya merah aneh.
Mom berusaha menyuruhku makan bubur kentang lagi, aku tidak mau. Bubur kentang ini dari kotak�kau tahu kan, seperti potongan kentang, atau makanan kotakan lainnya�dan rasanya sama kali tidak seperti rasa bubur kentang asli.
"Sam, kau harus makan lebih banyak kalau mau tumbuh besar dan kuat," kata Mom sambil menyodorkan mangkuk kentang padaku.
"Mom, aku tidak ingin tumbuh lagi!" seruku. "Aku sudah lebih tinggi dari Mom, padahal umurku baru dua belas!"
"Tolong jangan teriak-teriak," kata Dad sambil mengambil buncis.
Buncis kalengan. Mom tadi terlambat pulang kerja dan tidak sempat memasak makanan asli.
"Aku juga tinggi waktu berusia dua belas tahun," kata Mom serius.
Disodorkannya kentang pada Dad.
"Lalu Mom menciut!" seru Ron, mengejek. Abangku mengira ia lucu.
"Maksudku aku tinggi untuk anak seusiaku," kata Mom.
"Yah, aku terlalu tinggi untuk anak seumurku," gerutuku. "Aku terlalu tinggi untuk anak seumur berapa pun."
"Beberapa tahun lagi kau tidak akan bicara begitu," kata Mom.
Ketika ia melihat ke arah lain, kumasukkan tanganku ke kolong meja dan memberikan buncis pada Punkin.
Punkin anjingku, anjing kampung cokelat kecil. Ia makan segalanya.
"Ada bakso lagi?" tanya Dad. Ia sebetulnya tahu masih ada bakso. Ia cuma ingin Mom bangun dan mengambilkannya.
Mom mengambilkannya.
"Bagaimana latihan bola basketmu?" tanya Dad padaku.
Aku mencibir dan mengacungkan dua jempol ke bawah.
"Dia terlalu tinggi untuk main basket," gumam Ron dengan mulut penuh makanan.
"Bola basket butuh stamina," kata Dad.
Kadang kadang aku tidak tahu kenapa Dad mengucapkan hal-hal yang diucapkannya.
Maksudku, mesti kujawab apa perkataan seperti itu?
Tiba-tiba aku teringat pada wanita gila tadi dan permintaan yang kuucapkan. "Hei, Ron, mau main basket sebentar setelah makan malam?" tanyaku sambil mengaduk-aduk buncis di piringku dengan garpu.
Kami punya ring basket di depan garasi dan ada lampu sorot untuk menerangi jalan masuk. Kadang-kadang setelah makan malam Ron dan aku main basket satu lawan satu. Kau tahu, kan. Untuk menyegarkan diri sebelum mengerjakan pekerjaan rumah.
Ron memandang ke luar jendela ruang makan. "Hujan sudah berhenti?"
"Yeah. Sudah," kataku. "Kira-kira setengah jam vang lalu."
�Lapangannya masih basah," katanya.
"Sedikit genangan air tidak akan merusak permainanmu," kataku sambil tertawa.
Ron jago sekali main bola basket. Ia punya bakat jadi atlet. Jadi tentu saja ia nyaris tidak berminat main denganku. Ia lebih suka membaca buku di kamar. Buku apa saja.
"Aku banyak pekerjaan rumah," kata Ron sambil mendorong kaca mata berbingkai hitamnya yang melorot.
�Sebentar saja," kataku memohon-mohon. "Cuma latihan menembak sedikit."
"Bantu adikmu," desak Dad. "Kau bisa mengajarinya.�
Ron terpaksa setuju. "Tapi cuma sebentar, ya." Ia memandang ke luar jendela lagi. "Kita bakal basah kuyup.�
"Kubawakan handuk," kataku sambil meringis.
"Jangan sampai Punkin keluar," kata Mom. "Nanti kakinya basah semua dan mengotori lantai."
"Entah kenapa kita mau melakukan hal ini," gerutu Ron.
Aku tahu ini konyol, tapi aku harus melihat apakah permintaanku jadi kenyataan.
Mungkinkah aku tiba-tiba jadi jago main bola basket?
Mungkinkan aku tiba-tiba bisa mengalahkan Ron?
Benar-benar bisa memasukkan bola ke ring?
Bisakah aku membawa bola tanpa tersandung?
Membawa bola ke arah yang kuinginkan?
Menangkap bola tanpa mental di dadaku?
Aku terus mengejek diriku karena memikirkan permintaanku tadi.
Konyol. Benar-benar konyol.
Cuma karena seorang wanita gila menawarkan untuk mengabulkan tiga permintaan, kataku dalam hati, bukan berarti kau harus bersemangat dan mengira kau langsung berubah jadi Michael Jordan!
Tapi aku tetap tidak sabar ingin melawan bersama Ron.
Apakah aku akan menerima kejutan besar?
8
Aku benar-benar menerima kejutan.
Tembakanku semakin parah!
Ketika kulemparkan bola ke ring, tembakanku meleset jauh dari garasi dan aku harus mengejar-ngejar bola di rumput basah.
Ron tertawa. "Ternyata kau sudah berlatih!" godanya.
Kudorong bola basket basah ke perutnya kuat-kuat.
Ia pantas menerimanya. Ucapannya tadi tidak lucu.
Aku kecewa sekali.
Kukatakan berulang-ulang pada diriku permintaan tidak akan terkabul, terutama permintaan yang diajukan pada wanita gila yang keluyuran di tengah hujan.
Tapi aku tetap saja berharap.
Maksudku, Judith dan Anna dan anggota tim lainnya jahat sekali padaku. Pasti hebat rasanya kalau besok ikut bertanding melawan Sekolah Dasar Jefferson dan tiba-tiba jadi bintang tim.
Bintang. Ha-ha.
Ron membawa bola ke ring dan menembak dengan mudah.
Ditangkapnya pantulan tembakannya dan diserahkannya bola padaku.
Bola itu lewat di sela-sela tanganku dan membal ke jalan masuk. Aku lari mengejarnya, terpeleset karena licin, dan jatuh tersungkur ke genangan air.
Bintang apaan.
Permainanku semakin parah! kataku dalam hati.
Jauh lebih parah.
Ron membantu aku berdiri. Kubersihkan diriku.
"Ingat, ini idemu sendiri!" katanya.
Sambil berteriak penuh tekad, kusambar bola, melesat melewati Ron, dan cepat-cepat kubawa bola ke ring.
Aku harus memasukkannya ke ring. Harus!
Tapi ketika aku melompat untuk menembakkan bola, Ron berhasil menyusul aku. Ia melompat tinggi, mengangkat tangannya, dan melemparkan bola.
"Aaaaaagggh!"
Aku berteriak frustrasi. "Aku berharap tinggimu cuma tiga puluh senti!" teriakku.
Ia tertawa dan lari mengejar bola.
Tapi aku gemetar ketakutan.
Apa yang baru kulakukan? tanyaku dalam hati menatap halaman belakang yang gelap, menunggu Ron kembali membawa bola. Apakah aku sudah mengucapkan permintaanku yang kedua?
Aku tidak sengaja! kataku pada diri sendiri, jantungku berdebar-debar kencang. Tadi itu kecelakaan. Bukan permintaan yang sebenarnya.
Apa aku telah menciutkan abangku jadi setinggi puluh senti?
Tidak. Tidak. Kukatakan berulang-ulang,menunggu ia muncul lagi.
Permintaan pertama tidak terkabul. Tidak ada alasan untuk mengharapkan permintaan kedua akan jadi kenyataan.
Aku memicingkan mata menatap halaman belakang yang gelap.
"Ron�di mana kau?"
Aku lalu tersentak ketika ia datang berlari-lari mendekatiku di atas rumput�tingginya cuma tiga puluh senti�seperti permintaanku tadi!
9
AKU berdiri kaku seperti patung. Badanku rasanya dingin seperti batu.
Lalu, ketika sosok kecil itu keluar dari kegelapan, aku jadi tertawa.
"Punkin!" teriakku. "Kok kau bisa keluar?"
Aku bahagia sekali melihatnya �bahagia sekali karena ternyata bukan Ron yang berlari-lari d rumput�sehingga kuangkat anjing kecil itu dan kupeluk erat-erat.
Tentu saja aku jadi penuh lumpur karena kakinya kotor. Tapi aku tidak peduli.
Sam, tenangkan dirimu, kataku mengejek diri sendiri, sementara Punkin meronta-ronta. Harapanmu mengenai Ron tidak akan jadi kenyataan karena Clarissa dan bola merah menyalanya tidak ada di sini.
Kau harus berhenti memikirkan tiga permintaan itu, kataku dalam hati. Konyol sekali. Dan kau jadi gila karena memikirkannya.
"Ada apa? Kok dia bisa keluar?" teriak Ron, muncul dari garasi sambil membawa bola.
"Pasti menyelinap ke luar," jawabku sambil mengangkat bahu. Kami main lagi selama beberapa menit. Tapi udara dingin dan basah. Dan sama sekali tidak asyik, terutama buatku.
Aku tidak berhasil memasukkan satu bola pun.
Kami mengakhiri permainan dengan lomba tembakan penalti, permainan pendek seperti KUDA. Ron menang mudah. Nilaiku masih nol besar.
Ketika kami berlari ke rumah, Ron menepuk punggungku. "Mau main lempar-lemparan ke dalam gelas saja?" godanya. "Atau mungkin Parcheesi?"
Aku mengeluh kesal. Tiba-tiba aku ingin sekali menceritakan padanya kenapa aku merasa begitu kecewa, menceritakan tentang wanita aneh tadi dan tiga permintaanku.
Aku belum bercerita pada Mom dan Dad. Ceritanya terlalu konyol, sih.
Tapi kurasa mungkin saja abangku akan menganggap ceritaku lucu.
"Aku harus menceritakan kejadian tadi sore padamu," kataku ketika kami membuka sepatu di dapur. "Kau takkan percaya pada apa yang kualami. Aku�"
"Nanti saja," katanya, dibukanya kaus kakinya yang basah dan dimasukkannya ke dalam sepatu. �Aku harus mengerjakan pekerjaan rumah."
Ia masuk ke kamar.
Aku berjalan ke kamarku, tapi telepon berdering. Kuangkat setelah dering pertama.
Dari Cory, ia menelepon untuk menanyakan bagaimana latihan bola basketku.
"Hebat," kataku kasar. "Hebat sekali. Aku begitu menakjubkan sampai mereka akan menghapus nomorku."
"Kau mana punya nomor," kata Cory mengingatkan.
Teman yang hebat.
***
Keesokan siangnya Judith berusaha menjegalku di ruang makan lagi.
Tapi sekali ini aku berhasil melangkahi kakinya yang terjulur.
Aku berjalan melewati meja Judith dan melihat Cory nyaris tersembunyi di sudut dekat tempat sampah. Ia sudah membuka bungkusan makan siangnya dan wajahnya kelihatan sebal sekali.
"Keju panggang lagi, ya?" tanyaku, kuletakkan bungkusan kertas cokelat makan siangku dan menarik kursi di hadapannya.
"Keju panggang lagi," gumamnya. "Lihatlah. Kurasa keju Amerika pun bukan. Kurasa ayahku berusaha menyelipkan keju murahan di rotiku."
Kubuka kotak susu cokelatku, lalu kutarik kursiku lebih dekat. Di seberang ruangan beberapa anak tertawa keras sambil melempar-lemparkan boneka Troll berambut pirang. Boneka itu jatuh ke sup seseorang dan anak-anak yang duduk di meja itu ribut bersorak-sorai.
Ketika sedang mengangkat sandwich, tiba-tiba ada bayangan di mejaku. Aku tahu ada orang berdiri di belakangku.
"Judith!" seruku sambil memandangnya.
Ia mencibir. Ia mengenakan baju hangat sekolah warna hijau dan putih dan celana warna hijau tua.
"Kau datang ke pertandingan sepulang sekolah Byrd?" desaknya dingin.
Kuletakkan sandwichku. "Yeah. Tentu aku datang" jawabku, bingung mendengar pertanyaannya.
"Sayang sekali," jawabnya, dahinya berkerut. "Kita jadi tidak punya kesempatan menang."
Sahabat karib Judith, Anna, tiba-tiba muncul di sebelahnya. "Kau sakit atau kenapa sajalah biar tidak usah datang," katanya.
�Hei, jangan ganggu Sam terus!" seru Cory marah.
"Kami betul-betul ingin mengalahkan Jefferson," kata Anna, tidak dipedulikannya Cory. Di dagu Anna ada noda lipstik warna merah tua.
Lipstik Anna paling tebal di antara semua lipstik anak-anak kelas tujuh.
"Aku akan berusaha sebaik-baiknya," jawabku dengan gigi menggeretak.
Mereka berdua tertawa seolah-olah aku bercanda. Lalu mereka pergi sambil menggeleng.
Kalau saja permintaan konyolku bisa terkabul! Pikirku kesal.
Tapi tentu saja aku tahu itu tidak mungkin.
Kurasa aku akan membuat diriku semakin malu dan terhina dalam pertandingan nanti.
Aku tidak tahu betapa akan mengejutkannya pertandingan itu.
10
DARI awal pertandingan sudah terasa aneh.
Pemain-pemain Jefferson sebagian besar anak kelas enam, dan badannya kecil-kecil. Tapi mereka cukup terlatih. Mereka benar-benar tahu apa yang harus dilakukan. Dan mereka sangat enerjik serta kompak.
Ketika mereka berlari-lari ke tengah lapangan untuk memulai pertandingan, perutku mulas dan rasanya berat badanku jadi beratus-ratus kilo.
Aku betul-betul deg-degan bermain di pertandingan ini. Aku tahu aku akan mengacau. Dan aku tahu Judith dan Anna pasti akan membiarkan aku tahu betapa kacaunya tim gara-gara aku, dan betapa sebalnya tim padaku.
Jadi aku gemetaran waktu pertandingan dimulai. Dan waktu bola melayang ke arahku, kusambar dan kubawa ke ring tim-ku sendiri!
Untung Anna sempat menarik dan membalikkan aku sebelum kumasukkan bola ke ring kami!
Kudengar tawa para pemain kedua tim. Dan ketika kulirik ke pinggir lapangan, kulihat pelatih kedua tim �Ellen dan pelatih Jefferson�tertawa juga.
Wajahku jadi merah padam. Aku langsung ingin keluar saat itu juga dan masuk ke dalam lubang di tanah dan tidak muncul-muncul lagi.
Tapi�anehnya�bolanya masih ada padaku.
Aku berusaha memberikannya pada Judith. Tapi lemparanku terlalu kuat, pemain Jefferson merebut dan membawanya ke ring kami.
Permainan baru berlangsung sepuluh detik, dan aku sudah melakukan dua kesalahan!
Aku berusaha menghibur diri, ini kan cuma permainan, tapi rasanya sama saja. Setiap kali kudengar orang tertawa, aku tahu mereka pasti menertawakan aku, menertawakan bagaimana aku tadi memulai pertandingan dengan berlari ke arah yang salah.
Ketika kulihat hasil pertandingan untuk pertama kalinya, angkanya enam-kosong, untuk Jefferson.
Tiba-tiba bola terbang ke arahku, entah dari mana datangnya.
Kusambar, tapi tangkapanku meleset.
Salah satu anggota timku mengambilnya, lalu mengembalikannya padaku.
Aku melepaskan tembakan pertamaku. Bolanya mengenai papan�menurutku sudah hebat bisa kena papan! �tapi masih jauh dari ring.
Jefferson mengambil pantulannya. Beberapa saat kemudian, kedudukan sudah delapan-kosong.
Permainanku semakin payah! erangku dalam hati.
Aku bisa melihat Judith melotot marah dari seberang lapangan.
Aku mundur, diam di sudut, jauh dari ring. Aku memutuskan akan berusaha sebisa mungkin aku tidak berbuat apa-apa. Mungkin dengan begitu aku jadi tidak terlalu mempermalukan diriku sendiri.
Kira-kira lima menit sebelum babak pertama berakhir, kejadian mulai aneh.
Kedudukan dua belas-dua, untuk Jefferson.
Judith melempar bola ke dalam lapangan.
Ia bermaksud melemparkannya ke Anna.Tapi lemparan Judith lemah, bolanya mental ke pemain Jefferson yang berambut pirang pendek.
Kulihat Judith menguap ketika mengejar anak itu.
Beberapa detik kemudian, bola terlepas, mental di dekat tengah lapangan. Anna berusahe menyambar.Tapi gerakannya lambat sekali, pemain Jefferson berambut pirang tadi berhasil merebut bola.
Anna berdiri mengamatinya, napasnya terengah- engah, keringat mengalir di dahinya. Aku terpaksa berhenti dan memandanginya.
Anna kelihatan kepayahan�padahal kami baru bermain lima menit!
Tim Jefferson membawa bola melintasi lapangan pemain-pemainnya saling melemparkan bola, sementara tim kami cuma berdiri bengong.
"Ayo, Mustangs!" teriak Judith, berusaha membangkitkan semangat.
Tapi kulihat ia menguap lagi ketika berjalan ke pinggir lapangan untuk melempar bola ke dalam.
"Ayo, anak-anak! Semangat! Semangat!" teriak Ellen dari pinggir, tangannya dibulatkan seperti terompet di mulut. "Lari, Judith�jangan jalan saja!Semangat dong!"
Dengan lemah Judith melempar bola ke lantai.
Bola itu mental menjauh dari pemain Jefferson.
Kusambar dan kubawa sambil berlari secepat mungkin.
Tepat di luar key, aku berhenti, berbalik, dan mencari teman untuk diberi bola.
Aku terkejut, teman-temanku masih jauh di belakang, berjalan pelan kecapekan ke arahku.
Ketika pemain-pemain Jefferson mengerumuni aku, berusaha merebut bola, kutembakkan bolanya.
Kena pinggiran ring�dan memantul lagi ke tanganku.
Kutembakkan lagi. Dan gagal lagi.
Pelan-pelan Judith mengangkat tangan untuk menangkap pantulan bola. Tapi bola mental melewati tangannya. Dahinya berkerut karena kaget,tapi ia tidak berusaha mengejar.
Kusambar bola, ku-dribble dua kali, nyaris tersandung�dan kutembakkan.
Aku terkejut waktu melihat bolanya membal di atas ring, mendarat di lingkaran besinya, lalu masuk.
"Bagus, Sam!" kudengar Ellen berteriak dari pinggir lapangan.
Teman-teman satu tim-ku bersorak lemah. Kulihat mereka mengejar pemain Jefferson sambil menguap dan bergerak pelan, seperti terbius.
"Ambil! Ambil!" Ellen memompa semangat kami. Tapi percuma saja.
Judith tersandung dan jatuh. Aku bingung melihat ia tidak bangun.
Anna menguap keras-keras sambil berjalan ke arah bola, bukannya lari.
Dua teman tim Mustangs-ku juga kelihatan seperti berjalan pelan begitu saja, usaha mereka untuk menjaga ring kami lemah sekali.
Dengan mudah Jefferson menambah angka. Judith masih berlutut, matanya setengah terpejam.
Astaga, apa-apaan ini? pikirku.
Suara peluit yang tinggi melengking membuyarkan lamunanku. Agak lama baru aku sadar Ellen ingin time out.
"Mustangs�semangat! Semangat!" teriaknya sambil memberi tanda agar berkumpul d sekelilingnya.
Aku cepat-cepat berlari mendatanginya. Ketika aku berbalik, kulihat Judith, Anna, dan anak-anak lain berjalan pelan sambil menguap, terseret-seret.
Dan ketika Ellen berteriak agar kami "bersemangat�, kulihat mereka mendekat kepayahan. Aku terkejut ketika menyadari harapanku jadi kenyataan!
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com
11
" KENAPA kalian ini, anak-anak?" desak Ellen ketika kami berdesak-desakan di pinggir lapangan. Dipandanginya kami, diamatinya satu per satu dengan prihatin.
Anna terduduk lemas di lantai, bahunya membungkuk. Kelihatannya untuk buka mata saja ia sudah tidak sanggup.
Judith bersandar di dinding ruang olahraga. Napasnya terengah-engah, tampak titik-titik keringat di dahinya yang pucat.
"Ayo, yang semangat, dong," desak Ellen sambil menepuk tangannya. "Kukira kalian bersemangat untuk bertanding."
"Di sini udaranya pengap," keluh salah satu pemain.
"Rasanya capek sekali," kata yang lain sambil menguap.
"Mungkin kami terkena sesuatu," kata Anna dari bawah.
"Kau merasa tidak enak juga?" tanya Ellen padaku.
"Tidak," kataku. "Aku baik-baik saja."
Di belakangku Judith mengerang kepayahan dan berusaha menjauh dari dinding.
Wasit, anak sekolah menengah yang mengenakan pakaian garis-garis hitam putih yang sangat kedodoran, meniup peluit. Ia memberi tanda agar kami kembali ke lapangan.
"Aku tidak mengerti," Ellen menarik napas sambil menggeleng. Dibantunya Anna berdiri. "Aku tidak mengerti. Aku benar-benar tidak mengerti."
Aku mengerti.
Aku sangat mengerti.
Harapanku jadi kenyataan. Aku benar-benar tidak percaya! Wanita aneh itu benar-benar punya kekuatan gaib. Dan ia telah memenuhi permintannku.
Meskipun tidak seperti yang kubayangkan.
Aku ingat sekali kata-kata yang kuucapkan. Aku berharap jadi pemain terkuat di tim bola basket. Artinya aku ingin wanita itu membuatku jadi pemain yang lebih kuat, lebih baik.
Tapi ia malah membuat pemain-pemain lain jadi lebih lemah!
Aku tetap saja pemain payah. Aku tetap tidak bisa membawa, mengoper, menembakkan bola. Tapi aku pemain paling kuat di tim!
Kenapa aku dulu bisa goblok begitu? Aku marah-marah sendiri sambil berlari ke tengah lapangan. Harapan tidak pernah menjadi kenyataan seperti yang kau inginkan. Ketika sampai di tengah lapangan, aku berbalik dan melihat Judith, Anna, dan pemain-pemain lain timku berjalan malas-malasan masuk lapangan.
Bahu mereka membungkuk, dan mereka berjalan dengan sepatu diseret-seret.
Harus kuakui aku agak senang juga melihatnya. Maksudku, aku merasa sangat sehat. Dan mereka kelihatan begitu lemah dan memelas.
Judith dan Anna pantas menerimanya, kataku dalam hati. Aku berusaha supaya tidak tersenyum ketika mereka ogah-ogahan berdiri di posisi mereka. Tapi mungkin aku tersenyum juga sedikit.
Wasit meniup peluit dan memanggil kami sebelum ia melempar bola tanda permainan dimulai. Judith berhadap-hadapan dengan seorang pemain Jefferson di lingkaran tengah.
Wasit melemparkan bola ke atas. Pemain Jefferson melompat tinggi.
Judith setengah mati berusaha melompat. Aku bisa melihat ketegangan di wajahnya.
Tapi kakinya tetap saja menempel di lantai.
Pemain Jefferson memberikan bola pada salah satu teman satu timnya, dan mereka segera berlari membawa bola ke ujung lapangan.
Aku berlari sekuat tenaga mengejar mereka. Tapi teman-temanku cuma bisa berjalan.
Dengan mudah Jefferson memasukkan bola. "Ayo, Judith�kita bisa menyusul mereka!" teriakku sambil bersemangat bertepuk tangan.
Judith menatapku hampa. Matanya yang hijau tampak pudar, seperti luntur.
"Ambil! Ambil! Ayo, Mustangs!" teriakku penuh semangat.
Aku suka sekali memanas-manasi begini.
Dengan lemah Judith melempar bola ke dalam lapangan. Kuambil dan kubawa ke ujung lapangan.
Di bawah ring, salah satu pemain Jefferson menabrakku dari belakang ketika aku berusaha menembak.
Dua tembakan penalti untukku.
Rasanya lama sekali teman-temanku baru datang dan berbaris di dekat ring.
Tentu saja kedua tembakanku gagal.
Tapi aku tidak peduli.
"Ayo, Mustangs!" teriakku sambil bertepuk tangan penuh semangat.
"Bertahan! Bertahan!�
Tiba-tiba aku jadi pemain dan cheerleader juga. Aku benar-benar menikmati jadi pemain paling hebat di tim.
Asyik sekali rasanya melihat Judith dan Anna berjalan membungkuk dan terseret-seret di lapangan seperti regu kalah yang kecapekan! Benar-benar asyik!
Kami kalah dengan kedudukan dua puluh-empat.
Judith, Anna, dan pemain lain tampak senang pertandingan sudah selesai. Aku berlari-lari ke ruang ganti pakaian sambil tersenyum lebar.
Aku hampir selesai berganti pakaian ketika teman-teman satu timku terseret-seret masuk.
Judith berjalan mendekatiku dan bersandar di lemariku.
Dipandanginya aku dengan tatapan curiga.
"Kenapa kau bisa penuh semangat begini?" desaknya.
Aku mengangkat bahu. "Entahlah," kataku. "Persaanku baik-baik saja. Seperti biasanya."
Keringat mengalir di dahi Judith. Rambut merahnya menempel di kepalanya karena basah.
"Ada apa, Byrd?" desaknya sambil menguap. "Aku tidak mengerti."
"Mungkin kau kena flu atau apalah," kataku, berusaha menutupi betapa senangnya aku.
lni benar-benar hebat!
"Ohh, aku capek sekali," erang Anna sambil mendekati Judith.
"Aku yakin besok kalian pasti sudah baikan," kataku riang.
"Ada yang aneh di sini," gumam Judith lemah. Ia berusaha menatapku tajam, tapi matanya terlalu lelah untuk difokuskan.
"Sampai ketemu besok!" kataku gembira, kuambil barang-barangku dan berjalan ke luar. "Baikan, ya, teman-teman!"
Aku berhenti di luar ruang ganti pakaian. Mereka akan merasa baikan besok, kuyakinkan diriku sendiri. Mereka akan kembali normal. Mereka tidak mungkin tetap seperti sekarang�kan?
Keesokan harinya kabar buruk menimpaku seperti satu ton batu bata.
12
KEESOKAN paginya Judith dan Anna tidak sekolah.
Aku memandangi kursi mereka yang kosong sambil berjalan ke tempat dudukku di deretan depan. Aku menoleh terus, mencari-cari mereka. Tapi sampai bel berbunyi, mereka tetap tidak ada.
Absen. Dua-duanya absen.
Aku ingin tahu apa pemain-pemain lain di timku absen juga.
Aku bergidik.
Apa mereka masih lemah dan capek? Terlalu lemah dan capek sehingga tidak masuk sekolah?
Aku punya pikiran mengerikan: Bagaimana kalau mereka tidak pernah kembali normal? Bagaimana kalau kekuatan gaibnya tidak pernah habis?
Lalu aku punya pikiran yang lebih mengerikan lagi: Bagaimana kalau Judith, Anna, dan pemain-pemain lain terus saja semakin lemah?
Bagaimana kalau mereka terus melemah sampai akhirnya mati�dan semuanya gara-gara aku?
Semuanya salahku. Semuanya salahku.
Seluruh tubuhku terasa dingin. Perutku rasanya seperti ada batunya.
Seumur hidup belum pernah aku merasa begitu bersalah, amat sangat bersalah.
Kucoba menyingkirkan pikiran-pikiran itu dari kepalaku, tapi tidak bisa.
Aku terus saja berpikir bagaimana kalau mereka sampai mati karena permintaanku yang ceroboh. Aku akan jadi pembunuh, kataku dalam hati sambil gemetaran. Pembunuh.
Sharon, guru kami, berdiri tepat di depanku, sedang membicarakan sesuatu. Aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya sedikit pun.
Aku terus saja bergerak-gerak di kursiku, memandangi dua kursi kosong di belakang.
Judith dan Anna. Apa yang telah kulakukan pada kalian?
Saat makan siang kuceritakan semuanya pada Cory.
Tentu saja ia menertawakan aku. Mulutnya penuh dengan keju panggang, ia nyaris tercekik karena tertawa.
"Kau percaya juga Kelinci Paskah itu ada?" tanyanya.
Tapi aku sedang tidak ingin bercanda. Aku benar-benar sedang cemas.
Kupandangi makan siangku yang belum kumakan, aku merasa mual.
"Seriuslah, Cory," kataku. "Aku tahu hal ini kedengarannya konyol�"
"Maksudmu kau sungguh-sungguh?" tanyanya, matanya mengamati wajahku. "Kukira kau bercanda, Sam. Kukira tadi itu cerita untuk penulisan kreatif atau apalah."
Aku menggeleng. "Dengar, Cory�kalau kemarin kau menonton pertandingan basket anak perempuan, kau akan tahu aku tidak main-main," kataku sambil bersandar di meja dan berbisik. "Mereka melangkah terseret-seret seperti sedang berjalan sambil tidur," kataku. "Benar-benar mengerikan!"
Saking bingungnya, bahuku jadi bergetar. Kututupi mataku supaya tidak menangis.
"Oke... ayo kita pikirkan," kata Cory pelan, senyumnya yang lucu dan bengkok hilang, dahinya berkerut. Akhirnya, mau juga ia menganggapku serius.
"Seharian ini aku terus-terusan memikirkannya; kataku sambil berusaha menahan tangis. "Bagaimana kalau aku pembunuh, Cory? Bagaimana kalau mereka betul-betul mati?"
"Sam, tolong," katanya, dahinya masih berkerut, matanya yang cokelat tua menatap mataku. "Mungkin saja Judith dan Anna sama sekali tidak sakit. Mungkin ini cuma khayalanmu. Mungkin saja mereka sehat-sehat saja."
"Tidak mungkin," gumamku suram.
"Oh. Aku tahu!" Wajah Cory berubah cerah. "Kita tanya saja Audrey."
"Audrey?" Audrey adalah perawat kesehatan sekolah kami. Lama aku baru mengerti apa yang dimaksudkan Cory. Tapi akhirnya tahu juga.
Ia betul. Kalau kau akan absen, orangtuamu harus menelepon Audrey pagi-pagi dan memberilahukan penyebabnya.
Kemungkinan besar Audrey akan bisa mengatakan pada kami kenapa Judith dan Anna hari ini tidak masuk sekolah.
Aku melompat, kursiku sampai hampir jatuh. "Ide hebat, Cory!" seruku. Aku berlari melintasi ruang makan siang menuju pintu.
"Tunggu! Aku ikut kau!" teriak Cory sambil bergegas menyusul.
Sepatu kami berdetak-detak di lantai yang keras ketika kami berlari di lorong panjang menuju kantor perawat. Kami sampai ketika Audrey sedang mengunci pintu.
Ia wanita yang agak gemuk, pendek, kurasa umurnya sekitar empat puluhan, rambutnya pirang dan disanggul di atas kepala. Ia selalu mengenakan jins longgar dan baju hangat gombrong, tidak pernah ia mengenakan seragam perawat.
"Waktu makan siang," katanya ketika melihat kami berhenti di sampingnya. "Apa yang mereka masak hari ini? Aku lapar sekali."
"Audrey, Anda bisa mengatakan pada kami kenapa hari ini Judith dan Anna tidak masuk sekolah?" desakku dengan napas terengah-engah, tidak kujawab pertanyaannya tadi.
�Hah?�
Karena bicara terlalu cepat, terlalu bersemangat, kurasa ia tidak tahu apa yang kumaksudkan.
"Judith Bellwood dan Anna Frost?" ulangku, jantungku berdebar-debar. "Kenapa hari ini mereka tidak masuk sekolah?"
Kulihat mata Audrey yang kelabu pucat tampak terkejut. Lalu ditundukkannya pandangannya. Judith dan Anna, mereka sudah tidak ada,"katanya sedih.
13
AKU bengong menatapnya. Mulutku ternganga ketakutan. "Mereka sudah tidak ada?"
"Mereka tidak ada paling tidak selama seminggu," kata Audrey. Ia membungkuk dan mengunci pintu kantor.
"Mereka�apa?" jeritku.
Audrey berusaha menarik kunci dari pintu. "Mereka pergi ke dokter," ulangnya. "Tadi pagi ibu mereka menelepon. Mereka sakit parah. Kedua anak itu terkena flu atau apalah. Mereka merasa lemah. Tidak sanggup masuk sekolah."
Aku menarik napas lega. Aku senang Audrey sedang berkonsentrasi menarik kunci, ia jadi tidak melihat wajahku yang ketakutan.
Audrey berjalan cepat di lorong. Begitu ia tidak kelihatan, aku merosot di dinding.
"Paling tidak mereka tidak mati," keluhku. "Ia bikin aku setengah mati ketakutan!"
Cory menggeleng. "Audrey bikin aku takut juga," akunya. "Lihat? Judith dan Anna cuma kena flu. Aku yakin dokter�"
"Mereka tidak kena flu," aku ngotot. "Mereka jadi lemah karena permintaanku."
"Telepon mereka nanti," usulnya. "Kau akan lihat sendiri. Mungkin saja mereka sudah merasa baikan."
"Aku tidak bisa menunggu sampai nanti," kataku dengan suara gemetar. "Aku harus melakukan sesuatu, Cory. Aku harus melakukan sesuatu untuk mencegah mereka jadi makin lemah dan akhirnva mati!"
"Tenanglah, Sam�"
Aku berjalan mondar-mandir di depannya. Beberapa anak bergegas lewat, menuju ke lemari penyimpanan mereka. Ada yang memanggilku, tapi tidak kujawab.
"Kita harus masuk kelas," kata Cory. "Kurasa kau mengada-ada tanpa sebab, Sam. Kalau kau mau menunggu sampai besok�"
"Dia bilang aku punya tiga permintaan!" seruku tidak kudengar perkataan Cory sepatah pun. "Baru satu yang kugunakan."
"Sam�" Cory menggeleng tidak setuju.
"Aku harus menemukan dia!" kataku. "Aku harus menemukan wanita aneh itu. Kau tidak lihat? Aku bisa minta permintaan pertama dibatalkan. Dia bilang aku punya tiga permintaan. Jadi permintaan keduaku bisa untuk menghapus permintaan pertama!"
Ide ini membuatku merasa jauh lebih baik.
Tapi Cory lalu membuatku merasa suram dengan satu pertanyaan: "Bagaimana caramu menemukan dia, Sam?"
14
SEPANJANG siang aku memikirkan pertanyaan Cory. Nyaris tidak kudengarkan perkataan orang padaku.
Menjelang pulang kami ada ujian perbendaharaan kata. Kupandangi kata-kata itu seolah-olah mereka berasal dari Planet Mars saja!
Sesaat kemudian, kudengar Lisa, guruku, memanggil namaku. Ia berdiri tepat di depanku, tapi kurasa aku baru mendengar panggilannya setelah yang kelima atau keenam.
"Kau baik-baik saja, Samantha?" tanyanya, ia membungkuk ke arahku. Aku tahu ia heran kenapa aku belum mulai mengerjakan ujian.
"Saya merasa agak kurang enak badan," jawabku pelan. "Sebentar lagi juga sembuh."
Saya akan sembuh begitu saya menemukan wanita aneh itu dan menyuruhnya menghilangkan mantranya!
Tapi di mana aku bisa menemukannya? pikirku.
Di mana?
Sepulang sekolah, aku pergi ke ruang olahraga untuk latihan basket.
Semua anggota timku absen, jadi tidak ada latihan.
Absen gara-gara aku...
Aku melangkah pelan ke lemari penyimpananku dan mengambil jaket.
Ketika membanting dan mengunci pintu, aku dapat ide.
Hutan itu. Hutan Jeffers.
Di situlah aku dulu bertemu Clarissa.
Pasti aku bisa menemukan dia lagi di sana. Mungkin itu tempat pertemuan rahasianya, pikirku.
Mungkin ia menungguku di sana.
Tentu saja! kataku dalam hati, menyemangati diri sendiri. Kenapa lama sekali aku baru teringat pada hal ini? Rasanya tepat sekali.
Sambil bersenandung sendiri, aku berlari ke pintu. Lorong hampir kosong.
Aku berhenti ketika kulihat ada sosok yang kukenal berdiri di pintu.
"Mom!"
"Hai, Sam." Ia melambai padaku, meskipun aku berdiri tepat di depannya. Mom mengenakan topi wol warna merah putih yang menutupi rambut pirang pendeknya, dan jaket ski merah robek-robek yang selalu dipakainya.
Sudah bertahun-tahun ia tidak main ski. Tapi ia suka mengenakan pakaian ski.
"Mom�buat apa Mom ke sini?" teriakku, tidak bermaksud seketus kedengarannya. Aku tidak sabar ingin mengambil sepeda dan pergi ke Hutan Jeffers. Aku tidak perlu Mom di sini!
"Kau tidak lupa jadwal pertemuanmu dengan Dr. Stone?" tanyanya sambil melambai-lambaikan kunci mobil yang dipegangnya.
"Dokter gigi itu? Hari ini?" teriakku. "Aku tidak bisa!"
"Harus bisa," jawabnya tegas sambil menarik lengan jaketku. "Kau tahu betapa sulitnya memperoleh kesempatan berobat dengan Dr. Stone."
"Tapi aku tidak mau pakai kawat gigi!" teriakku, sadar aku kedengaran agak berlebihan, agak konyol.
"Mungkin kau tidak perlu pakai kawat gigi,"kata Mom sambil menarikku ke pintu. "Mungkin kau cuma harus pakai penahan gigi. Terserah apa kata Dr. Stone."
"Tapi, Mom�aku�aku�" Aku bingung mencari alasan. "Aku tidak bisa ikut Mom. Sepedaku ada di sini!" teriakku putus asa.
"Ambillah. Kita taruh di bagasi mobil," jawabnya tanpa berkedip.
Tidak ada pilihan lain. Aku harus ikut Mom. Sambil menarik napas kuat-kuat, kudorong pintu dan bergegas melewatinya menuju tempat parkir sepeda.
Ternyata aku harus pakai kawat gigi selama paling tidak enam bulan.
Aku harus bertemu Dr. Stone lagi minggu depan untuk memasangkannya. Kurasa aku mestinya kesal karena harus pakai kawat gigi. Tapi susah rasanya memikirkan kawat gigi kalau di pikiranku ada Judith, Anna, dan anak-anak lain.
Aku terus saja terbayang-bayang mereka makin sakit, semakin kurus, semakin lemah. Aku terus membayangkan hal-hal yang mengerikan ini. Aku sedang berada di ruang olahraga, mondar-mandir membawa bola, semakin lama semakin cepat. Judith, Anna, dan anak-anak lain berbaring terlentang di bangku, berusaha melihat, tapi tidak sanggup mengangkat kepala.
Setelah makan malam, aku merasa begitu bersalah, sehingga kutelepon Judith untuk menanyakan kabarnya. Kurasa seumur hidup baru sekali itulah aku pernah meneleponnya.
Mrs. Bellwood yang mengangkat telepon. Ia kedengaran lelah dan tegang. "Siapa ini?" tanyanya.
Entah kenapa tiba-tiba aku ingin menutup telepon. Tapi kujawab, "Ini Samantha Byrd. Saya teman sekolah Judith."
Teman apaan.
"Saya rasa Judith tidak bisa bangun," jawabnya. "Ia lemah sekali."
"Apa dokter mengatakan�" tanyaku.
"Saya tanya Judith apa dia mau bicara," potong Mrs. Bellwood. Aku bisa mendengar adik laki-laki Judith meneriakkan sesuatu di kejauhan.
Dan aku bisa mendengar musik dari film kartun di TV mereka.
"Jangan lama-lama," perintah ibu Judith.
"Halo?" kata Judith dengan suara pelan.
"Oh. Hai, Judith. Ini aku. Sam," kataku, berusaha tidak kedengaran gugup.
"Sam?" Terdengar suara pelan lagi, nyaris berbisik.
"Sam Byrd," aku tergagap. "Aku�aku cuma ingin menanyakan bagaimana keadaanmu?"
"Sam, kau memantrai kami, ya?" tanya Judith. Aku terkesiap. Kok dia tahu?
15
"JUDITH�apa maksudmu?" semburku.
"Semua pemain sakit, kecuali kau," jawab Judith.
"Anna sakit. Arlene juga. Dan Krista."
"Ya, tapi bukan berarti�" kataku.
"Jadi kurasa kau memantrai kami," potong Judith. Apa dia bercanda?
Aku tidak tahu.
"Aku cuma berharap kau merasa baikan," gumamku kaku. Aku bisa mendengar Mrs. Bellwood menyuruh Judith berhenti menelepon.
Jadi kuakhiri saja teleponku dan kututup. Aku merasa bersyukur percakapan kami cuma sebentar.
Tapi aku tidak tahu Judith bercanda atau tidak soal aku memantrai mereka.
Suaranya benar-benar pelan. Ia kedengaran begitu lelah dan tak bersemangat.
Aku merasa marah karena ia telah menuduhku,bercanda ataupun tidak. Memang begitulah sifat Judith. Selalu menemukan jalan untuk membuatku marah bahkan di saat aku baik-baik meneleponnya. Tapi aku juga merasa bersalah. Entah Judith menebaknya atau tidak, aku memang telah memantrai dia dan yang lainnya.
Dan sekarang aku harus menemukan cara untuk menghilangkan mantra itu.
Keesokan paginya, dua tempat duduk di kelasku kosong lagi. Judith dan Anna absen.
Saat makan siang, kutanya Cory apa ia mau ikut denganku pergi mencari wanita aneh itu sepulang sekolah nanti.
"Tidak mau!" teriaknya sambil menggeleng. "Ia bisa mengubah aku jadi kodok atau entah apa lagi!"
"Cory�kau tidak bisa serius, ya?" jeritku. Beberapa anak menoleh.
"Yang benar saja," gumam Cory, wajahnya merah padam di bawah topi Orlando Magic-nya.
"Oke, maafkan aku," kataku. "Aku benar-benar tegang�tahu kan?"
Ia tetap tidak mau menemaniku. Ia mengarang alasan yang payah dan mengatakan harus membantu ibunya membersihkan ruang bawah tanah.
Mana ada orang membersihkan ruang bawah tanah pada pertengahan musim dingin begini?
Cory pura-pura tidak percaya pada ceritaku tentang wanita itu dan ketiga permintaanku. Tapi aku merasa mungkin ia agak takut.
Aku juga takut. Takut tidak berhasil menemukannya.
Sepulang sekolah, aku melompat naik ke sepeda dan mengayuh ke arah Hutan Jeffers.
Hari itu kelabu dan berangin. Awan-awan besar dan gelap bergulung cepat di langit, mungkin hujan akan turun, atau salju.
Mirip sekali dengan hari aku bertemu Clarissa, pikirku. Entah kenapa, hal itu membuatku bersemangat.
Beberapa teman sekelasku melambai dan memanggilku. Tapi aku terus saja, bersandar di setang, semakin kuat mengayuh.
Beberapa menit kemudian, Montrose Avenue membelok meninggalkan rumah-rumah yang berbaris di kedua sisi jalan, dan tampaklah pohon-pohon gundul di hutan.
Pepohonan yang tinggi membentuk dinding gelap, lebih gelap dari langit hitam di atas.
"Ia harus ada di sana, harus ada di sana," kataku berulang-ulang seirama dengan kayuhan kakiku. Harus ada di sana, harus ada di sana.
Jantungku nyaris terlompat ke luar ketika aku melihat wanita itu, membungkuk di pinggir jalan. Menungguku.
"Hai!" panggilku. "Hai! Ini aku!"
Kenapa ia tidak menjawab?
16
KETIKA sepeda kukayuh mendekat, dengan jantung berdebar-debar senang, kulihat ia memunggungi aku.
Pakaiannya sudah ganti. Ia mengenakan topi baret wol ungu, dan mantel hitam panjang hampir sampai mata kaki.
Kuinjak rem sampai berdecit-decit dan sepedaku berhenti beberapa senti di belakangnya, roda sepedaku meluncur di jalan yang berbatu-batu.
"Aku ingin mengajukan permintaan lagi!" seruku dengan napas terengah-engah.
Ia berbalik, dan aku terkesiap.
Kutatap wajah yang penuh bintik-bintik, wajah yang kelihatan muda dengan rambut pirang pendek dan keriting.
"Maaf. Apa kau bilang tadi?" tanyanya, disipitkannya matanya menatapku, wajahnya bingung.
"Saya�saya minta maaf," aku tergagap, kurasa wajahku seperti terbakar. "Saya�saya kira Anda orang lain."
Wanita ini bukan wanita aneh yang dulu.
Aku ingin mati saja saking malunya!
Di belakangnya kulihat ada dua orang anak berambut pirang sedang melempar-lemparkan frisbee di pinggir hutan. "Tommy�jangan lempar kuat-kuat begitu. Saudaramu tidak bisa menangkapnya!" perintah wanita itu.
Lalu ia kembali menatapku. "Apa yang kau bilang soal permintaan tadi? Kau tersesat?" tanyanya, dengan penuh perhatian diamatinya wajahku.
Aku tahu aku masih merah padam, tapi bagaimana lagi. "Tidak. Saya tadi mengira Anda�" kataku.
"Tommy�kejar sendiri!" teriaknya pada anak laki-lakinya. Kedua anak itu mulai bertengkar. Ia segera meleraikannya.
"Maaf saya merepotkan Anda," seruku. "Bye." Kuputar sepedaku dan cepat-cepat kugenjot pulang.
Aku malu karena tadi mengucapkan hal konyol seperti itu pada orang yang sama sekali tidak kukenal. Tapi sebetulnya aku kecewa.
Aku betul-betul mengira wanita aneh itu ada di sana.
Ada di mana lagi dia? pikirku.
Aku ingat dulu aku menunjukkan dia jalan ke Madison Road kepadanya. Siapa tahu aku beruntung dan bertemu dia di sana, pikirku.
Jauh sekali ke sana. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana lagi.
Kuputar sepedaku dan menuju Madison. Angin bertiup semakin kencang, wajahku mulai terasa dingin dan kaku. Aku naik sepeda melawan arah angin, dan udara dingin yang menusuk membuat mataku berair.
Meskipun mataku kabur, aku bisa melihat wanita itu tidak ada di Madison, menunggu kedatanganku.
Dua anjing kampung cokelat kudisan berlari menyeberang jalan bersama-sama, kepala mereka menunduk menentang angin. Cuma merekalah makhluk hidup yang kulihat.
Aku mondar-mandir naik sepeda beberapa kali, mataku mengamati rumah-rumah tua bobrok di sekitar situ.
Cuma buang-buang waktu saja.
Badanku terasa kaku semua. Kuping dan hidungku terasa gatal karena mati rasa. Air mata dingin mengalir di pipi dari mataku yang berair.
"Sudahlah, Sam," perintahku pada diri sendiri keras-keras.
Langit semakin gelap. Awan badai melayang rendah di atas pepohonan yang bergetar.
Dengan perasaan sedih dan kalah, aku berbalik dan pulang. Kukayuh sepeda sekuat tenaga di sepanjang jalan, berusaha agar sepedaku jangan sampai terjatuh ditiup angin kencang.
Aku berhenti ketika rumah Judith sudah kelihatan. Rumahnya panjang dan rendah dari bahan kayu merah, bergaya peternakan, terletak jauh dari jalan, dengan halaman depan yang luas dan landai.
Mungkin sebaiknya aku berhenti sebentar dan melihat keadaan Judith, pikirku.
Aku juga jadi bisa menghangatkan badan sebentar, kataku dalam hati.
Kuangkat tangan dan kupegang hidungku. Benar-benar mati rasa.
Sambil gemetaran kukayuh sepeda di jalan masuk dan kurebahkan di tanah. Lalu sambil menggosok-gosok hidung supaya tidak mati rasa, aku lari ke teras dan membunyikan bel.
Mrs. Bellwood tampak sangat terkejut melihat ada tamu. Kusebutkan namaku dan kubilang kebetulan aku lewat rumahnya.
"Bagaimana kabar Judith?" tanyaku, badanku gemetaran.
"Yah, begitulah," jawabnya sambil menarik napas cemas. Matanya hijau seperti mata Judith, tapi rambutnya hampir beruban semua.
Diajaknya aku masuk ke ruang tengah yang terasa hangat. Tercium bau ayam panggang. Tiba-tiba aku merasa lapar.
"Judith! Ada tamu!" teriak Mrs. Bellwood ke atas tangga.
Kudengar jawaban lemah, tapi aku tidak tahu apa yang dikatakannya.
"Naik saja," kata ibu Judith, dipegangnya bahuku. "Kau kelihatan kedinginan," tambahnya sambil menggeleng. "Hati-hati, Sayang. Kau tidak mau sampai sakit juga, kan?"
Aku naik tangga dan melihat kamar Judith ada di ujung lorong. Aku berdiri ragu-ragu di pintu dan mengintip ke dalam.
Kamarnya remang-remang. Aku bisa melihat Judith berbaring di tempat tidur, di atas kain pelapis tempat tidur. Kepalanya disangga beberapa bantal. Buku, majalah, dan dua buku catatan pelajaran bertebaran. Tapi Judith tidak sedang membaca. Ia cuma menatap lurus ke depan.
"Bangau?" teriaknya ketika melihat aku berdiri di pintu.
Aku masuk ke kamar, tersenyum terpaksa. "Bagaimana keadaanmu?" tanyaku pelan.
"Buat apa kau ke sini?" tanyanya dingin. Suaranya serak.
"Aku�aku sedang naik sepeda, dan�" aku tergagap, tetap berdiri di samping pintu. Aku terkejut mendengar ia marah begitu.
"Naik sepeda? Dingin-dingin begini?" Ia bersusah payah bangun dan duduk. Sambil bersandar di kepala tempat tidur, dipandangnya aku penuh kecurigaan.
"Aku cuma ingin tahu bagaimana kabarmu," gumamku.
"Terbang sajalah kau, Byrd!" geramnya kesal.
"Hah?"
"Kau tukang sihir�ya kan?" tuduhnya.
Astaga, beraninya ia bicara begitu. Aku terpesona. Terkejut! Ia tidak bercanda. Aku bisa jelas melihat ia serius!
"Kau memang memantrai kami. Aku tahu!"
"Judith�tolong," teriakku. "Bicara apa, sih, kau ini?"
"Tahun lalu kita belajar tentang tukang sihir pada pelajaran ilmu sosial," katanya dengan suara parau. "Kita mempelajari mantra dan hal-hal lain."
"Gila!" kataku.
"Kau iri padaku, Sam. Pada aku, Anna, dan yang lainnya," tuduh Judith.
"Jadi?" teriakku marah.
"Jadi, tiba-tiba semua anak anggota tim merasa lemah dan sakit. Kecuali kau, Sam. Kau merasa sehat-sehat saja�kan? Kau tukang sihir, Sam!" jeritnya, suaranya yang lemah terdengar melengking. Ia terbatuk-batuk.
"Judith, bicaramu seperti orang gila saja," kataku ngotot. "Aku bukan tukang sihir. Bagaimana aku bisa jadi tukang sihir? Aku turut sedih kau sakit. Betul. Tapi�"
"Kau tukang sihir! Kau tukang sihir!" kata Judith, suaranya berbisik melengking. "Aku sudah bicara dengan anak-anak. Mereka semua setuju. Kau tukang sihir. Tukang sihir!"
Saking marahnya, aku merasa seperti bisa meledak. Kukepalkan tanganku kuat-kuat. Kepalaku terasa berdenyut-denyut.
Judith sudah bicara dengan anak-anak lain, menyebarkan cerita bahwa aku tukang sihir. Tega sekali ia melakukan perbuatan gila seperti itu.
"Tukang sihir! Kau tukang sihir!" ia terus berceloteh.
Karena kesal sekali, aku jadi lepas kontrol.
"Judith �" jeritku. "Aku�aku tidak akan melakukannya padamu kalau saja kau tidak jahat padaku!"
Aku langsung tersadar aku telah melakukan kesalahan fatal.
Aku baru saja mengaku padanya bertanggung jawab menyebabkan ia sakit.
Aku keterlepasan mengatakan aku memang tukang sihir!
Tapi karena marah sekali aku jadi tidak peduli.
"Betul kan!" jerit Judith dengan suaranya yang parau, matanya yang hijau bersinar gembira, ditudingnya aku dengan sikap menuduh.
"Ada apa, sih? Kenapa teriak-teriak?" Ibu Judith masuk ke kamar, ditatapnya Judith dan aku berganti-ganti.
"Dia tukang sihir! Tukang sihir!" jerit Judith. "Judith�tolong. Tolong, tenanglah. Kau tidak boleh capek dulu," kata Mrs. Bellwood.
"Maafkan saya. Saya pulang saja sekarang," kataku ketus.
Aku segera keluar kamar, lari menuruni tangga, dan pergi dari rumah itu secepat mungkin.
"Tukang sihir! Tukang sihir!" teriakan Judith yang parau terus mengikutiku.
Aku marah, sakit hati, dan terhina sekali, sehingga rasanya sebentar lagi bisa meledak.
"Semoga Judith menghilang!" jeritku. "Semogaaa!"
"Baik. Itu akan jadi permintaan keduamu," kata suara di belakangku.
Aku berputar dan melihat wanita aneh yang dulu sedang berdiri di samping rumah, rambutnya yang panjang dan hitam berkibar-kibar ditiup angin. Diangkatnya bola kaca merah yang menyala tinggi-tinggi. Matanya bersinar merah seperti bola kaca itu.
"Akan kubatalkan permintaan pertamamu," katanya dengan suara gemetar seperti wanita tua. "Akan kukabulkan permintaan keduamu."
17
"TIDAK�tunggu!" teriakku.
Wanita itu tersenyum dan ditutupinya kepalanya dengan syal.
"Tunggu! Saya tidak serius!" teriakku sambil berlari mendatanginya. "Saya tidak tahu Anda ada disini. Tunggu�OW!"
Kakiku tersandung batu di jalanan, aku terjatuh.
Lututku terasa sakit sekali. Rasa sakitnya terasa di sekujur tubuh.
Ketika kulihat lagi, ia sudah tidak ada.
Setelah makan malam, Ron mau diajak main basket di belakang. Tapi udara terlalu dingin dan berangin. Butir-butir salju mulai berjatuhan.
Kami akhirnya main ping-pong di ruang bawah tanah.
Susah rasanya main ping-pong di ruang bawah tanah rumah kami.
Yah, alasan pertama langit-langitnya terlalu rendah, bola selalu terpental kesana dan memantul ke mana-mana. Selain itu, Punkin punya kebiasaan buruk mengejar-ngejar bola dan menggigitinya sampai bolong.
Aku cuma pandai main ping-pong. Aku punya servis yang sangat menipu, dan aku pintar memukul bola ke arah kerongkongan lawan.
Biasanya aku bisa mengalahkan Ron dua set dari tiga set pertandingan.
Tapi malam ini ia tahu aku tidak main serius.
"Ada apa?" tanyanya ketika kami memukul bola pelan-pelan. Matanya yang kelam menatapku dari balik kacamata berbingkai hitamnya.
Kuputuskan aku harus menceritakan padanya soal Clarissa, bola kristal merahnya, dan tiga permintaanku. Aku ingin sekali bercerita pada seseorang.
"Beberapa hari yang lalu aku membantu seorang wanita aneh," kataku. "Dan ia berjanji akan mengabulkan tiga permintaanku. Kuucapkan permintaanku, dan sekarang semua pemain tim bola basketku sebentar lagi mati!"
Ron menjatuhkan pemukulnya ke atas meja. Mulutnya ternganga.
"Waduh, kebetulan sekali!" teriaknya.
"Hah?" Aku melongo menatapnya.
"Kemarin aku ketemu peri pelindungku!" seru Ron. "Ia berjanji akan membuatku jadi orang paling kaya di dunia, dan ia akan memberi aku mobil Mercedes dari emas dengan kolam renang di belakangnya!"
Ia tertawa terbahak-bahak. Dikiranya ia lucu sekali.
"Aaaaaagh!" Aku menggeram karena marah dan frustrasi. Lalu kulemparkan pemukulku ke arah Ron dan lari ke kamarku di atas.
Kubanting pintu kamar dan berjalan mondar-mandir di dalam, tanganku terlipat di dada.
Aku terus menenangkan diri sendiri, tidak bagus kalau sampai kacau begini. Tapi tentu saja percuma menyuruh diri sendiri tenang. Kau malah jadi semakin tegang.
Kuputuskan aku harus melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikiran, supaya tidak teringat Judith terus, dan Clarissa, dan permintaan baru yang tidak sengaja kuucapkan.
Permintaan keduaku.
"Tidak adil!" teriakku kuat-kuat sambil terus berjalan mondar-mandir.
Aku sama sekali tidak sadar waktu mengucapkan permintaan keduaku itu. Wanita itu menipuku! Ia tiba-tiba muncul�dan menipuku!
Aku berhenti di depan cermin dan bermain-main dengan rambutku.
Rambutku pirang dan sangat indah. Begitu indahnya, sehingga rasanya tidak perlu diatur dengan gaya macam-macam. Biasanya kuikat jadi buntut kuda di sebelah kanan kepalaku. Kulihat ada model yang agak mirip dengan aku di majalah Seventeen menata rambutnya seperti itu.
Supaya ada kerjaan, kucoba-coba gaya rambut yang lain. Sambil mengamati diriku di cermin, kucoba menyisir rambut ke belakang.
Lalu kucoba membelah rambut di tengah dan kugerai menutupi telinga. Kelihatan payah sekali.
Percuma. Aku tetap saja teringat Judith terus. Akhirnya kuikat jadi buntut kuda lagi. Lalu kusisir sebentar, kulempar sisirnya sambil menarik napas, dan mondar-mandir lagi.
Aku terus bertanya-tanya: Apakah harapanku sudah jadi kenyataan?
Apa aku telah menyebabkan Judith menghilang?
Meskipun benci pada Judith, aku jelas tidak mau bertanggungjawab karena telah membuatnya menghilang untuk selamanya.
Sambil mengerang keras, aku melompat ke tempat tidur. Apa yang harus kulakukan? tanyaku dalam hati. Aku harus tahu apa harapanku telah jadi kenyataan.
Kuputuskan akan menelepon rumah Judith.
Aku tidak mau bicara dengan dia. Akan kutelepon saja rumahnya dan kulihat apa dia masih ada.
Aku tidak mau mengatakan dari siapa teleponnya.
Kucari nomor telepon Judith di buku alamat sekolah. Aku tidak hapal.
Aku cuma pernah meneleponnya sekali.
Tanganku gemetar ketika meraih telepon di atas meja. Kutekan nomor teleponnya.
Aku perlu mengulangi sampai tiga kali. Salah tekan terus.
Aku benar-benar ketakutan. Rasanya perutku melilit dan jantungku lompat ke tenggorokan. Teleponnya berbunyi.
Sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
Apakah ia sudah menghilang?
18
EMPAT kali.
Tidak ada yang mengangkat.
"Dia sudah tidak ada," gumamku keras-keras,punggungku terasa dingin.
Sebelum telepon berdering lima kali, kudengar ada bunyi klik. Ada orang mengangkat telepon. "Halo?"
Judith!
"Halo? Siapa ini?" desaknya.
Kubanting telepon.
Jantungku berdebar-debar. Tanganku sedingin es. Aku menarik napas lega. Judith masih ada. Ia benar-benar masih ada. Ia belum menghilang dari muka bumi ini.
Dan, kusadari suaranya sudah kembali normal. Ia tidak kedengaran parau atau lemah. Suaranya kedengaran judes seperti biasanya.
Apa artinya ini? Aku melompat berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir lagi, berusaha memahami segalanya.
Tentu saja, aku tidak bisa memahaminya.
Aku cuma tahu permintaan keduaku tidak dikabulkan.
Dengan perasaan agak lega, aku naik ke tempat tidur dan segera tertidur pulas tanpa mimpi.
Kubuka sebelah mataku, lalu yang sebelah lagi. Cahaya matahari pagi yang pucat bersinar menembus jendela kamar tidurku. Sambil menggeram mengantuk, kusibak selimut dan duduk.
Kupandang jam di atas meja dan terkesiap. Sudah hampir pukul delapan lewat sepuluh? Kugosok mataku dan kupandang lagi. Ya.
Pukul delapan lewat sepuluh.
"Hah?" teriakku, berusaha menghilangkan kantuk dari suaraku. Setiap pagi Mom selalu membangunkan aku pukul tujuh supaya aku bisa sampai di sekolah pukul setengah sembilan.
Ada apa?
Sekarang aku pasti sudah telat.
"Hei�Mom!" teriakku. "Mom!" Aku melompat bangun dari tempat tidur. Kakiku yang panjang terlilit selimut, aku nyaris jatuh.
Hebat sekali, pagi-pagi sudah kacau begini�memang ciri khas Samantha!
"Hei, Mom�" teriakku dari pintu kamar. "Ada apa? Aku jadi telat, nih!"
Karena tidak mendengar jawaban, kubuka baju tidur dan cepat-cepat mencari pakaian bersih dari dalam lemari. Hari ini hari Jumat, hari cuci pakaian. Jadi aku terpaksa mencari sampai ke tumpukan bawah.
"Hei, Mom? Ron? Ada yang sudah bangun?" Setiap pagi Dad berangkat kerja pukul tujuh.
Biasanya aku mendengarnya berjalan ke sana kemari. Tapi pagi ini aku tidak mendengar apa-apa. Kupakai celana jins-ku dan baju hangat warna hijau muda. Lalu kusisir rambutku, kupandang wajahku yang masih mengantuk di cermin.
"Ada yang sudah bangun?" teriakku. ''Kenapa hari ini tidak ada yang membangunkan aku? Ini bukan hari libur kan?"
Kudengarkan dengan cermat sambil memakai sepatu Doc Martens-ku.
Tidak terdengar suara radio dari dapur. Aneh sekali, pikirku. Setiap pagi Mom selalu mendengar siaran berita dari radio itu. Kami selalu bertengkar soal radio. Mom ingin mendengar berita, dan aku ingin mendengar musik.
Tapi hari ini tidak terdengar suara apa-apa.
Ada apa, sih?
"Hei�aku terpaksa tidak sarapan!" teriakku ke bawah tangga. "Aku sudah telat."
Tidak ada jawaban.
Kupandang cermin sekali lagi, kusisir rambut dari keningku, dan segera keluar ke lorong.
Kamar abangku di sebelah kamarku. Pintunya tertutup.
O-oh, Ron, pikirku. Kau terlambat bangun juga?
Kugedor pintunya. "Ron? Ron, kau sudah bangun?"
Sepi.
"Ron?" kudorong pintunya sampai terbuka. Kamarnya gelap, cuma ada cahaya pudar dari jendela. Tempat tidurnya rapi.
Apa Ron sudah berangkat? Kenapa ia sudah merapikan tempat tidur?
Biasanya tidak pernah!
"Hei, Mom!" Dengan perasaan bingung, aku segera menuruni tangga.
Di tengah jalan, aku tersandung dan nyaris jatuh. Gerakan Kacau Nomor Dua. Bagus sekali untuk pagi-pagi begini.
"Ada apa, sih, di bawah sini? Apa sekarang sudah akhir pekan? Apa aku tidur selama hari Jumat?"
Dapur kosong. Tidak ada Mom. Tidak ada Ron. Tidak ada sarapan.
Apa mereka harus pergi cepat-cepat ke suatu tempat? Kuperiksa pintu kulkas kalau-kalau ada pesan tertempel.
Tidak ada.
Dengan perasaan bingung, kulirik jam. Hampir pukul setengah sembilan. Aku sudah terlambat untuk pergi ke sekolah.
Kenapa tidak ada yang membangunkan aku? Kenapa mereka semua pergi pagi-pagi sekali?
Kucubit diriku. Betul-betul kucubit. Siapa tahu aku mimpi.
Tapi tidak.
"Hei�semua?" panggilku. Suaraku bergema di rumahku yang kosong.
Aku lari ke lemari depan untuk mengambil mantel. Aku harus berangkat ke sekolah. Aku yakin misteri ini akan jelas juga nantinya.
Cepat-cepat kupakai mantel dan lari ke atas untuk mengambil tas ranselku. Perutku ribut keroncongan. Biasanya aku sarapan paling tidak segelas sari buah dan semangkuk sereal.
Yah, pikirku, aku nanti beli makan siang yang agak banyak saja.
Beberapa saat kemudian, aku keluar dari pintu depan dan pergi ke garasi di samping untuk mengambil sepeda. Kutarik pintu garasi�dan berhenti.
Aku berdiri kaku sambil menatap ke dalam garasi.
Mobil ayahku. Masih ada di dalam garasi. Dad belum berangkat kerja.
Kalau begitu, kemana mereka semua?
19
AKU kembali ke dalam rumah dan menelepon kantor Dad. Telepon berdering-dering, tapi tidak ada yang mengangkat.
Kucari lagi pesan dari Dad dan Mom di dapur. Tapi tidak ada apa-apa.
Ketika kulirik jam di dapur, kulihat aku sudah terlambat sekolah dua puluh menit. Aku perlu surat terlambat, tapi tidak ada yang bisa menuliskannya untukku.
Aku cepat-cepat ke luar untuk mengambil sepeda. Lebih baik telat daripada tidak masuk sekolah sama sekali, pikirku. Sebetulnya aku tidak takut. Aku cuma bingung.
Kutelepon Dad dan Mom waktu makan siang nanti dan akan kutanyakan ke mana orang-orang pergi pagi ini, kataku dalam hati.
Sambil mengayuh sepeda ke sekolah, aku mulai merasa agak marah.
Mereka kan bisa bilang padaku kalau hendak berangkat pagi-pagi!
Di jalanan tidak ada mobil, dan tidak ada anak-anak bersepeda.
Kurasa semua orang sudah berada di sekolah atau di tempat kerja atau di mana saja orang biasanya berada waktu pagi hari. Aku memecahkan rekor bisa sampai ke sekolah cepat sekali.
Setelah memarkir sepeda, kurapikan ransel di bahuku dan lari ke sekolah. Lorong-lorong sekolah gelap dan kosong. Suara langkah kakiku bergema keras di lantai.
Kumasukkan mantel ke lemari penyimpanan. Ketika kubanting pintunya, suaranya terdengar seperti suara ledakan di lorong yang kosong.
Seram juga lorong-lorong ini kalau kosong begini, pikirku. Aku lari ke kelasku, yang letaknya tidak jauh dari lemari penyimpananku.
"Ibu saya lupa membangunkan, makanya saya jadi terlambat bangun."
Itulah alasan yang akan kukatakan pada Sharon begitu masuk kelas.
Maksudku, itu kan bukan sekadar alasan. Itulah yang sebenarnya.
Tapi aku tidak pernah mengatakan alasan keterlambatanku itu pada Sharon.
Kudorong pintu kelas�dan terkejut.
Kosong. Kelas kosong.
Tidak ada anak-anak. Tidak ada Sharon.
Lampu belum dinyalakan. Dan tulisan kemarin masih ada di papan tulis.
Aneh, pikirku.
Tapi waktu itu aku belum tahu betapa anehnya kejadian yang akan terjadi.
Aku berdiri kaku sesaat, menatap ruang kelas yang kosong dan gelap.
Lalu aku teringat mungkin saja semua orang sedang berkumpul di auditorium.
Aku cepat-cepat berbalik dan berlari-lari melewati lorong kosong ke auditorium di depan sekolah.
Pintu ruang guru terbuka. Kuintip dan terkejut ketika melihat ruangan itu kosong juga. Mungkin guru-guru ikut berkumpul juga, pikirku.
Beberapa detik kemudian, kubuka pintu auditorium.
Dan kupandangi ruangan yang gelap itu.
Auditorium sepi dan kosong.
Kututup pintu dan berlari-lari di lorong. Aku berhenti dan memandang ke dalam semua ruangan yang kosong.
Aku segera sadar cuma aku satu-satunya orang di gedung ini. Tidak ada anak-anak. Tidak ada guru. Aku bahkan memeriksa kamar penjaga sekolah di bawah. Kosong.
Apa sekarang hari Minggu? Apa sekarang hari libur? Aku berusaha menebak-nebak ke mana semua orang pergi, tapi gagal.
Dengan panik, kumasukkan koin ke telepon umum di samping kantor kepala sekolah dan menelepon ke rumah.
Kubiarkan telepon berdering sampai sepuluh kali. Tetap tidak ada orang di rumah.
"Ke mana sih orang-orang?" teriakku di koridor yang kosong.
Jawabannya cuma gema suaraku.
"Ada yang mendengarkan aku?" teriakku, kubentuk tanganku seperti terompet di depan mulut. Sepi.
Tiba-tiba aku merasa ketakutan sekali. Aku harus keluar dari gedung sekolah yang mengerikan ini. Kusambar mantel dan segera lari. Aku bahkan tidak sempat menutup pintu lemari.
Sambil menyandang mantel di bahu, aku lari ke luar, ke tempat sepeda. Cuma sepedaku yang diparkir di sana. Aku kesal sendiri karena tidak dari tadi menyadarinya.
Kukenakan mantel, kurapikan ransel, dan mengayuh sepeda ke rumah.
Lagi-lagi kulihat tidak ada mobil di jalan. Tidak ada orang.
"Aneh sekali!" teriakku kuat-kuat.
Kakiku tiba-tiba terasa berat, seakan-akan ada yang membebani. Aku tahu pasti karena merasa panik. Jantungku berdebar-debar. Aku terus mencari-cari orang�siapa saja�di jalan.
Di tengah perjalanan pulang, aku berputar dan kukayuh sepeda ke arah kota. Daerah pertokoan cuma beberapa blok di sebelah utara sekolah.
Aku naik sepeda di tengah jalan. Buat apa di pinggir-pinggir. Tidak tampak ada mobil atau truk dari arah mana pun.
Bank mulai nampak, lalu toko serba ada. Ketika kukayuh sepeda sekuat tenaga, kuperhatikan semua toko yang berderet di kedua sisi Montrose Avenue.
Semuanya gelap dan kosong.
Tak ada orang di kota. Tak ada seorang pun di toko.
Tak seorang pun.
Kurem sepeda di depan toko Farber's dan melompat turun. Sepedaku jatuh ke samping. Aku melangkah ke trotoar, dan mendengarkan.
Yang terdengar cuma suara tirai terbanting-banting ditiup angin di atas tempat tukang potong rambut.
"Halo!" Aku berteriak sekuat tenaga. "Hallllooooo!"
Aku segera berlari panik dari toko ke toko, kutekan wajahku ke etalase, mengintip ke dalam, setengah mati mencari-cari manusia lain.
Bolak-balik. Aku berlari di kedua sisi jalan, semakin lama aku semakin merasa takut.
"Hallooooo! Halllooooo! Ada yang mendengarkan aku?"
Tapi aku tahu percuma saja berteriak-teriak.
Sambil berdiri di tengah jalan, melotot memandangi toko-toko gelap dan trotoar sepi, aku tahu aku sendirian.
Sendirian di dunia.
Tiba-tiba aku sadar permintaanku telah dikabulkan.
Judith sudah menghilang. Dan semua orang telah menghilang bersamanya.
Semua orang.
Mom dan Dad-ku. Abangku, Ron. Semua orang.
Bisakah aku bertemu mereka lagi?
Aku terduduk di teras semen di depan tempat potong rambut dan memeluk diriku sendiri, berusaha menahan badanku supaya tidak gemetaran.
Sekarang bagaimana? pikirku suram. Sekarang bagaimana?
20
AKU tidak tahu berapa lama aku duduk di teras itu, memeluk diri sendiri, kepalaku tertunduk, pikiranku pusing karena panik. Aku bisa saja duduk di sana terus, mendengarkan suara tirai berdebam-debam, mendengarkan angin bertiup di jalanan yang sepi�kalau saja perutku tidak berkeriuk dan keroncongan.
Aku berdiri, tiba-tiba ingat tadi pagi tidak sempat sarapan.
"Sam, kau sendirian di dunia ini. Kok masih ingat makan, sih?" tanyaku pada diri sendiri keras-keras.
Entah kenapa lega juga rasanya mendengar ada suara manusia, meskipun itu suaraku sendiri.
"Aku lapaaaaaar!" teriakku.
Aku menunggu, siapa tahu ada jawaban. Meskipun terasa sangat goblok, aku tetap tidak mau menyerah.
"Ini semua salah Judith," gumamku sambil mengambil sepeda yang tergeletak di jalan.
Aku mengayuh sepeda pulang melewati jalan-jalan yang kosong, mataku memelototi halaman dan rumah-rumah yang sepi. Ketika melewati rumah Carter di sudut blok rumahku, aku berharap anjing terrier putih kecil mereka mengejar-ngejar sepedaku sambil menggonggong seperti biasanya.
Tapi tak ada seekor anjing pun yang tersisa di duniaku. Punkin-ku yang malang pun tidak.
Cuma ada aku. Samantha Byrd. Manusia terakhir di bumi.
Begitu sampai di rumah, aku bergegas masuk ke dapur dan membuat sandwich selai kacang. Sambil menelan, kupandang tempat selai kacang yang terbuka. Hampir kosong.
"Bagaimana aku mencari makan nanti?" tanyaku keras-keras.
"Bagaimana nasibku kalau makanan sudah habis?"
Kuisi gelasku dengan sari jeruk. Tapi aku ragu-ragu, akhirnya kuisi cuma setengah.
Apa kurampok saja toko serba ada? tanyaku pada diri sendiri. Apa kuambil saja makanan yang kubutuhkan?
Apa bisa disebut perampokan kalau tidak ada orang? Kalau tidak ada orang di mana-mana?
Apa itu penting? Apa ada yang penting?
"Bagaimana caraku mengurus diri sendiri? Aku baru dua belas tahun!" teriakku.
Untuk pertama kalinya, aku ingin menangis. Tapi kumasukkan sepotong sandwich selai kacang lagi ke mulutku dan kuusir perasaan ingin menangis tadi.
Aku malah memikirkan Judith. Perasaan sedih dan takutku segera berubah jadi perasaan marah.
Kalau Judith tidak mengolok-olok aku, berusaha membuatku malu, kalau Judith tidak terus-terusan mengejek dan berkata, "Terbang sajalah kau, Byrd!" dan semua perkataan kasarnya ,yang lain, aku takkan meminta macam-macam soal dirinya, dan aku takkan jadi sendirian sekarang.
"Aku benci kau, Judith!" jeritku.
Kujejalkan potongan terakhir sandwich ke dalam mulut�tapi tidak kukunyah.
Aku berdiri kaku. Dan mendengarkan.
Aku mendengar sesuatu.
Suara langkah kaki. Ada orang berjalan di ruang duduk.
21
KUT'ELAN potongan sandwich bulat-bulat, dan menyerbu ruang duduk.
"Mom? Dad?"
Apa mereka pulang? Apa mereka benar-benar pulang?
Tidak.
Aku berhenti di depan pintu ruang duduk ketika melihat Clarissa. Ia berdiri di tengah ruangan, rambutnya yang hitam memantulkan cahaya dari jendela depan, ia tersenyum senang.
Syalnya yang berwarna merah cerah tersampir di bahunya. Ia mengenakan celana hitam panjang dan blus putih berkerah tinggi.
"Anda!" teriakku terengah-engah. "Bagaimana cara Anda masuk?"
Ia mengangkat bahu. Senyumnya semakin lebar.
"Kenapa Anda lakukan ini pada saya?" jeritku, meledak marah. "Tega sekali Anda melakukan hal ini pada saya!" teriakku sambil menunjuk ruangan yang kosong, rumah yang kosong.
"Bukan aku," jawabnya tenang.
Ia berjalan ke jendela. Diterangi cahaya matahari siang, kulitnya tampak pucat dan keriput. Ia tampak tua sekali.
"Tapi�tapi�" kataku, tidak bisa bicara karena marah sekali.
"Kau yang melakukannya," katanya, senyumnya hilang. "Kau yang mengucapkan permintaan. Aku yang mengabulkan."
"Aku tidak minta keluargaku menghilang!" jeritku sambil melangkah masuk, tanganku terkepal kuat-kuat. "Aku tidak minta semua orang di dunia ini menghilang! Anda yang melakukannya! Anda!"
"Kau minta Judith Bellwood menghilang," kata Clarissa sambil merapikan syal di bahunya. "Kukabulkan permintaanmu sebisa yang kutahu."
"Tidak. Anda menjebak saya," kataku ngotot dan marah.
Ia mencibir. "Sihir memang sering sulit ditebak," katanya. "Aku tahu kau takkan bahagia dengan permintaan terakhirmu. Itulah sebabnya aku kembali lagi. Kau punya satu permintaan lagi. Kau mau mengucapkannya sekarang?"
"Ya!" seruku. "Aku ingin keluargaku kembali. Aku ingin semua orang kembali. Aku�"
"Hati-hati," katanya memperingatkan sambil mengeluarkan bola kaca merah dari tas ungu. "Pikirkan masak-masak sebelum kau mengucapkan permintaan terakhirmu. Aku berusaha membalas kebaikanmu padaku. Aku tidak mau kau jadi tidak bahagia karena permintaanmu."
Aku akan bicara, tapi tidak jadi.
Ia betul. Aku harus hati-hati.
Sekali ini aku harus mengucapkan permintaan yang benar. Dan aku harus mengucapkannya dengan benar.
"Pelan-pelan saja," katanya pelan. "Karena ini permintaan terakhirmu, akan jadi abadi. Hati-hatilah."
Kupandangi matanya yang berubah dari hitam jadi merah, memantulkan cahaya merah dari bola di tangannya, dan aku berpikir keras.
Apa yang akan kuminta?
22
CAHAYA dari jendela ruang duduk memudar ketika matahari tertutup awan. Ketika cahaya meredup, wajah wanita tua itu menggelap. Di bawah matanya ada keriput hitam dan dalam. Dahinya berkerut. Ia kelihatan seperti tenggelam ke dalam bayangan.
"Inilah permintaan saya," kataku dengan suara gemetar. Aku bicara pelan-pelan, hati-hati. Aku ingin memikirkan setiap perkataanku.
Sekali ini aku tidak ingin salah bicara lagi.
Aku tidak mau ia punya kesempatan untuk menjebakku.
"Aku mendengarkan," bisiknya, wajahnya sekarang sudah tertutup bayangan semua. Kecuali matanya, yang menyala merah seperti api.
Aku berdeham. Kutarik napas dalam-dalam.
"Inilah permintaan saya," kataku hati-hati. "Saya ingin semua kembali normal. Saya ingin semua kembali persis seperti dulu�tapi�"
Aku ragu-ragu.
Haruskah kuucapkan bagian ini?
Ya! kataku dalam hati.
"Saya ingin semua seperti dulu�tapi saya ingin Judith menganggap saya orang paling hebat sedunia!"
"Aku akan mengabulkan permintaan ketigamu, katanya sambil menganggap bola kaca tinggi-tinggi. "Permintaan keduamu akan dibatalkan. Waktu akan kembali lagi pada pagi ini. Selamat tinggal, Samantha."
"Selamat tinggal," kataku.
Aku ditelan oleh cahaya merah yang memancar. Ketika cahaya itu memudar, Clarissa sudah tidak ada.
"Sam! Sam�ayo bangun!"
Suara ibuku terdengar dari bawah.
Aku duduk tegak di tempat tidur, langsung terbangun. "Mom!" teriakku bahagia.
Aku teringat semuanya. Aku ingat bangun di rumah yang kosong, di dunia yang kosong. Dan aku ingat permintaan ketigaku.
Tapi waktu sudah kembali ke pagi ini lagi. Kupandang jam. Tujuh.
Mom membangunkan aku pada jam yang biasanya.
"Mom!" Aku melompat dari tempat tidur, lari ke bawah dengan masih mengenakan baju tidur, dan dengan perasaan senang kupeluk Mom erat-erat. "Mom!"
"Sam? Kau baik-baik saja?" Mom melangkah mundur, wajahnya tampak terkejut. "Kau sedang demam, ya?"
"Selamat pagi!" seruku bahagia sambil memeluk Punkin, yang tampak terkejut juga. "Dad masih di rumah?" Aku tidak sabar ingin bertemu Dad juga, ingin tahu ia sudah ada lagi.
"Dad berangkat beberapa menit yang lalu," kata Mom sambil terus menatapku curiga.
"Oh, Mom!" seruku. Aku tidak bisa menutupi perasaan bahagiaku.
Kupeluk dia lagi.
"Wo." Kudengar di belakangku Ron masuk ke dapur.
Aku berbalik dan melihatnya memandangi aku, matanya menyipit tidak percaya di balik kaca matanya. Aku lari mendekat dan memeluknya juga.
"Mom�Mom kasih apa sari buahnya?" desak Ron sambil berusaha membebaskan diri. "Hii! Lepaskan aku!"
Mom mengangkat bahu. "Jangan minta aku menjelaskan kelakuan adikmu," jawabnya datar. Ia berbalik ke lemari dapur. "ganti pakaian, Sam. Kau tidak mau terlambat, kan?"
"Indah sekali pagi ini!" seruku.
"Yeah. Indah," ulang Ron sambil menguap. "Kau pasti bermimpi hebat, Sam."
Aku tertawa dan bergegas naik untuk berganti pakaian.
Aku tidak sabar ingin segera sampai ke sekolah. Aku tidak sabar ingin melihat teman-temanku, melihat aula penuh lagi dengan wajah-wajah yang tertawa dan bicara.
Sambil mengayuh sepeda sekuat tenaga, aku tersenyum setiap kali ada mobil lewat. Aku senang bisa melihat orang-orang lagi. Aku melambai pada Mrs. Miller di seberang jalan, yang sedang membungkuk untuk mengambil koran paginya.
Aku bahkan senang-senang saja waktu anjing terrier keluarga Carter mengejar-ngejarku, menyalak-nyalak dan menggigiti tumitku.
"Anjing bagus!" seruku bersemangat.
Semua kembali normal, kataku dalam hati. Semuanya sudah kembali normal.
Kubuka pintu depan sekolah dan mendengar suara pintu lemari dibanting dan teriakan anak-anak.
"Hebat!" teriakku kuat-kuat.
Seorang anak kelas enam berlari di sudut dan menabrakku, aku sampai terjatuh. Aku tidak berteriak marah. Aku cuma tersenyum.
Aku bahagia sekali bisa kembali ke sekolah, kembali ke sekolahku yang ramai dan ribut.
Sambil terus tersenyum, kubuka lemari penyimpananku. Dengan gembira kupanggil beberapa temanku di seberang lorong.
Aku bahkan mengucapkan selamat pagi pada Mrs. Reynolds, kepala sekolah kami!
"Hei�Bangau!" teriak seorang anak kelas tujuh padaku. Diejeknya aku, lalu menghilang di sudut. Aku tidak peduli. Aku tidak peduli pada ejekan orang-orang. Suara yang berisik begini sangat indah!
Ketika akan membuka mantel, kulihat Judith dan Anna datang.
Mereka asyik mengobrol, dua-duanya bicara. Tapi Judith diam ketika melihat aku.
"Hai, Judith," panggilku datar. Aku ingin tahu bagaimana kelakuan Judith sekarang. Apa kelakuannya padaku akan berubah? Apa ia akan lebih ramah padaku?
Apa ia akan ingat betapa kami dulu saling membenci?
Apa ia akan berubah?
Judith melambai pada Anna dan bergegas mendekatiku. "Pagi, Sam," katanya, dan tersenyum.
Lalu dibukanya topi ski wol-nya�dan aku terkesiap.
23
"JUDITH�rambutmu!" teriakku terkejut.
"Kau suka?" tanyanya sambil menatapku penuh semangat.
Ia memotong rambutnya seperti rambutku dan diikatnya seperti buntut kuda di samping�persis seperti aku!
"Ku�kurasa..." aku tergagap.
Ia menarik napas lega dan tersenyum padaku. "Oh, aku senang sekali kau menyukainya, Sam!" teriaknya berterima kasih. "Persis seperti rambutmu, kan? Atau jangan-jangan kupotong terlalu pendek? Apa menurutmu mestinya lebih panjang?" Diamatinya rambutku. "Kurasa rambutmu lebih panjang."
"Tidak. Tidak. Rambutmu... bagus, Judith," kataku sambil mundur.
"Tentu saja tidak sebagus rambutmu," kata Judith lagi sambil menatap buntut kudaku. "Rambutku tidak seindah rambutmu. Tidak secantik rambutmu, dan warnanya terlalu gelap."
Astaga! pikirku.
"Rambutmu kelihatan bagus, kok," kataku pelan.
Kubuka mantel dan kugantung di dalam lemari. Lalu kupungut ranselku.
"Biar kubawakan," kata Judith berkeras. Dirampasnya dari tanganku. "Betul. Aku tidak keberatan, Sam."
Aku akan protes, tapi Anna memotong.
"Apa-apaan kau ini?" tanyanya pada Judith sambil melirikku dingin. "Ayo masuk kelas."
"Kau masuk saja duluan," jawab Judith. "Aku ingin membawakan ransel Sam."
"Hah?" Anna ternganga. "Kau benar-benar gila ya, Judith?" desaknya.
Judith tidak memedulikannya dan berbalik memandangku. "Aku suka baju kausmu, Sam. Itu kaus lucu-lucuan, kan. Kau beli di Gap, ya? Aku beli bajuku di sana. Lihat. Aku pakai baju persis seperti bajumu."
Aku melotot kaget. Astaga, Judith mengenakan baju kaus yang sama seperti punyaku, tapi bajunya kelabu dan bajuku biru muda.
"Judith�kenapa sih kau ini?" tanya Anna sambil mengoleskan lipstik jingga menyala untuk kedua puluh kalinya di bibirnya. "Dan kauapakan rambutmu?" serunya, tiba-tiba ia menyadari gaya rambut Judith yang baru.
"Persis seperti rambut Sam, kan?" tanya Judith sambil mengibas-ngibaskan buntut kudanya.
Anna terbelalak. "Judith, kau ini sudah gila, ya?"
"Cukup, Anna," jawab Judith. "Aku ingin bicara dengan Sam�oke?"
"Hah?" Anna mengetuk kepala Judith, seperti mengetuk pintu. "Ada orang di rumah?"
"Sampai nanti, ya?" kata Judith tidak sabar. Anna menarik napas, lalu pergi dengan marah.
Judith kembali menatapku. "Boleh aku minta tolong?"
"Yeah. Tentu," jawabku. "Minta tolong apa?"
Disandangnya ranselku di bahu kirinya. Ranselnya sendiri tergantung di bahu kanannya. "Kau mau membantuku memperbaiki tembakan penaltiku waktu latihan nanti siang?"
Aku tidak yakin pada apa yang kudengar. Kupandangi dia, mulutku ternganga.
"Mau, ya?" pintanya. "Aku ingin sekali mencoba tembakan penalti seperti gayamu. Tahu, kan. Dari bawah. Pasti aku lebih bisa mengontrol bola kalau dari bawah, seperti kau."
Ini sudah keterlaluan! Keterlaluan!
Ketika kupandang mata Judith, kulihat ia benar-benar memujaku!
Di tim-ku dia yang paling jago melakukan tembakan penalti. Sekarang dia malah memohon-mohon padaku untuk menunjukkan padanya cara menembak yang kaku yang selalu kulakukan!
"Yeah. Oke. Kuusahakan untuk membantumu," kataku.
"Oh, terima kasih, Sam!" teriaknya penuh terima kasih. "Baik sekali kau! Boleh aku nanti meminjam catatan pelajaran sosialmu? Punyaku berantakan sekali."
"Yah..." kataku bingung. Catatanku benar-benar berantakan, aku sendiri tidak bisa membacanya.
"Biar kusalin dan langsung kukembalikan padamu. Janji," kata Judith terengah-engah. Kurasa ia mulai merasa berat karena menyandang dua tas ransel.
"Oke. Kau boleh meminjamnya," kataku.
Kami berjalan ke kelas. Beberapa anak berhenti berjalan dan memandangi Judith, yang menyandang dua tas ransel di bahunya.
"Di mana kau beli sepatu Doc Martens-mu?" tanya Judith ketika kami masuk ke kelas. "Aku ingin beli persis seperti punyamu."
Hebat sekali! pikirku, senang bukan main. Ini benar-benar hebat!
Perubahan pada diri Judith benar-benar luar biasa. Susah sekali rasanya menahan tawa.
Aku tidak tahu sebentar lagi tawaku akan berubah jadi kengerian.
24
LAMA-LAMA jadi memalukan juga. Judith selalu menempel padaku.
Ia ikut ke mana pun aku pergi. Kalau aku bangun untuk meraut pinsil, ia mengikuti aku dan meraut pinsilnya juga.
Waktu sedang ujian mengeja, tenggorokanku terasa kering, aku minta izin pada Lisa untuk pergi minum sebentar di luar. Ketika sedang membungkuk di keran, aku berbalik dan melihat Judith tepat di belakangku. "Tenggorokanku kering seperti kau," katanya, pura-pura batuk.
Kemudian, ketika sedang pelajaran membaca, Lisa terpaksa memisahkan Judith dan aku karena Judith terus-terusan mengobrol.
Saat makan siang, aku duduk di hadapan Cory seperti biasanya. Aku baru saja akan menceritakan kelakuan baru Judith padanya�ketika Judith datang ke meja kami.
"Kau bisa geser sedikit?" tanyanya pada anak yang duduk di sebelahku. "Aku ingin duduk di sebelah Sam."
Anak itu bergeser, Judith meletakkan baki makan siangnya di meja dan duduk. "Kau mau tukar-tukaran makan siang?" tanyanya padaku.
"Punyamu kelihatannya jauh lebih enak daripada punyaku."
Aku sedang memegangi sandwich ikan tuna hancur. "
Ini?" tanyaku sambil menggoyang-goyang rotiku. Setengah ikan tunanya jatuh dari roti lembek.
"Enak!" seru Judith. "Mau pizza-ku, Sam? Ini. Ambillah."
Disorongkannya bakinya ke hadapanku. "Kau membawa makan siang paling enak. Coba ibuku menyiapkan makan siang seperti punyamu."
Aku bisa melihat Cory memandangiku dari seberang meja, matanya terbelalak tidak percaya.
Aku juga tidak percaya. Judith benar-benar ingin mirip denganku!
Beberapa meja dari kami, di dekat dinding, Anna duduk sendirian. Ia kelihatan sangat muram. Kulihat ia melirik-lirik meja kami, keningnya berkerut. Lalu cepat-cepat ditundukkannya pandangannya dan menatap makan siangnya.
Setelah makan siang, Judith mengikuti aku ke lemari penyimpanan.
Dibantunya aku mengeluarkan buku dan catatan dan bertanya apa ia boleh membawakan ranselku.
Mula-mula, kuanggap semua ini benar-benar lucu. Dua teman sekelasku mengikuti kami di lorong sambil mengejek. Kudengar anak-anak lain membicarakan Judith dan aku di lorong. Mereka berhenti bicara ketika Judith dan aku lewat, tapi kulihat wajah mereka tersenyum senang.
Gara-gara Judith, aku jadi kelihatan konyol! pikirku.
Seluruh sekolah menertawakan kami!
"Kau pakai kawat gigi, ya?" tanya Judith ketika kami berjalan kembali ke kelas. "Ada yang memberitahuku kau pakai kawat gigi."
"Yeah. Memang," gerutuku sambil membelalakkan mata.
"Hebat!" seru Judith. "Kalau begitu aku mau pasang juga!"
Sepulang sekolah aku bergegas ke gedung olah raga, ingin latihan basket. Karena sibuk memikirkan permintaan-permintaanku, aku jadi lupa siang ini kami akan bertanding.
Tim anak perempuan dari Sekolah Menengah Edgemont sudah berada di lapangan, sedang melakukan pemanasan dengan menembak lay-up.
Sebagian besar tembakan mereka masuk. Mereka bertubuh besar dan kelihatannya mantap. Kami dengar tim mereka benar-benar bagus�dan kelihatannya memang begitu.
Aku cepat-cepat berganti pakaian dan segera keluar dari ruang ganti pakaian. Teman-teman satu tim-ku berkumpul di sekeliling Ellen untuk menerima pengarahan akhir. Sambil berlari mendekati mereka, kusilangkan jari di kedua tanganku dan berdoa semoga aku tidak terlalu memalukan diriku sendiri dalam pertandingan ini.
Judith tersenyum padaku ketika aku bergabung dengan mereka. Lalu ia benar-benar membuatku malu bukan main dengan berteriak, "Ini dia! Ini dia bintang kita!"
Tentu saja Anna dan anak-anak lain tertawa.
Tapi senyum mereka segera menghilang ketika Judith memotong perkataan Ellen dan mengumumkan, "Sebelum pertandingan dimulai, kurasa sebaiknya kita angkat Sam jadi kapten tim."
"Kau bercanda!" teriak Anna.
Beberapa anak tertawa. Ellen menatapku, bingung.
"Pemain terbaik kita seharusnya jadi kapten," kata Judith serius. "Jadi seharusnya Sam, bukan aku. Yang setuju harap angkat tangan."
Judith segera mengangkat tangan, tapi yang lain tidak.
"Kenapa kau ini?" tanya Anna marah. "Mau apa kau, Judith�menghancurkan tim kita?"
Judith dan Anna bertengkar sambil berteriak-teriak, dan Ellen terpaksa memisahkan mereka.
Ellen menatap Judith seolah-olah ia sudah gila. Lalu ia berkata, "Nanti saja kita pikirkan siapa yang jadi kapten. Sekarang pergi dan bermainlah, oke?"
Pertandingannya benar-benar kacau.
Judith meniru semua yang kulakukan.
Kalau aku berusaha membawa bola, dan tersandung, Judith akan membawa bola dan tersandung.
Kalau lemparan bolaku jelek sehingga bisa ditangkap pemain lawan,
Judith juga akan melakukan lemparan jelek.
Ketika aku gagal melakukan lay-up yang gampang di bawah ring, Judith juga melakukan hal yang sama, sengaja gagal melakukannya ketika ia mendapat bola.
Kegagalan terus terjadi�berlipat ganda karena Judith meniru-niru aku!
Dan ia terus-terusan bertepuk tangan dan berteriak, menyemangati aku. "Bagus, Sam! Usaha yang bagus, Sam! Kau yang paling hebat, Sam!"
Menjengkelkan sekali!
Dan aku bisa, melihat pemain-pemain tim Edgemont mengejek kami, dan tertawa keras ketika Judith jatuh tersungkur ke kursi penonton hanya karena sebelumnya aku melakukannya.
Anna dan pemain-pemain lain di timku tidak tertawa. Wajah mereka kesal dan marah.
"Kau sengaja mengacau!" Anna menuduh Judith di tengah-tengah pertandingan.
"Tidak!" jawab Judith marah.
"Kenapa kau tiru-tiru lembu kikuk itu?" kudengar Anna marah-marah.
Judith mencengkeram Anna dan meninjunya, dan mereka segera bergulat seru di lantai sambil menjerit dan mencakar-cakar.
Terpaksa Ellen dan wasit memisahkan mereka. Kedua anak itu mendapat ceramah panjang-lebar tentang sportivitas dan disuruh masuk ke ruang ganti pakaian.
Ellen menyuruhku istirahat dan duduk di bangku cadangan. Aku senang. Aku sudah tidak bersemangat main.
Sambil menonton lanjutan pertandingan, aku tidak bisa lagi berkonsentrasi. Aku terus teringat pada permintaanku yang ketiga dan yang terakhir, dan bagaimana aku telah mengacaukannya lagi.
Aku kecewa ketika menyadari ternyata jauh lebih buruk kalau Judith memujaku dan bukannya membenciku! Kalau ia membenciku, paling tidak ia tidak akan mengikuti aku terus!
Aku sudah mengucapkan tiga permintaan, dan semuanya berubah jadi mimpi buruk saking kacaunya. Sekarang aku terpaksa menerima kenyataan Judith selalu mengikuti aku, meniru-niru, terus memuji-muji apa pun yang kulakukan, menempel padaku seperti anak anjing�dan, terutama, jadi penyakit saja!
Aku benar-benar menginginkan saat-saat ketika ia mempermalukan aku di depan kelas, ketika ia mengikuti aku sambil berseru, "Byrd, terbang sajalah kau! Terbang sajalah kau, Byrd!"
Tapi apa dayaku? Sudah kuucapkan tiga permintaanku.
Apa seumur hidup aku harus ditempeli Judith terus?
Kami kalah dengan perbedaan lima belas atau enam belas angka. Aku tidak terlalu memedulikan skor-nya. Aku cuma ingin keluar dari sana.
Tapi ketika aku berjalan ke ruang ganti pakaian, Judith sudah menungguku. Diberikannya sehelai handuk. "Pertandingan hebat!" teriaknya sambil menepuk tanganku.
"Hah?" Aku cuma bisa bengong menatapnya.
"Setelah makan malam kita belajar bersama, ya?" pintanya dengan tatapan memohon. "Ya? Kau bisa mengajari aku aljabar. Kau jauh lebih pandai daripada aku. Kalau untuk urusan aljabar, kaulah jagonya."
Untunglah, setelah makan malam aku harus pergi mengunjungi tanteku bersama orangtuaku. Aku jadi punya alasan tepat supaya tidak belajar bersama Judith.
Tapi apa alasanku untuk malam berikutnya? Dan berikutnya, dan berikutnya?
Tanteku sedang tidak sehat, dan tujuan kunjungan kami untuk menghiburnya. Kurasa aku tidak terlalu baik melakukannya. Aku nyaris tidak bicara sepatah kata pun.
Aku terus saja teringat pada Judith.
Harus kuapakan dia? Aku bisa saja marah dan menyuruhnya pergi.
Tapi aku tahu itu percuma saja. Aku telah memintanya menganggap aku orang paling hebat sedunia. Sekarang Judith tersihir, terpengaruh mantera Wanita Kristal.
Ia tidak akan mau disuruh pergi.
Bisakah aku mengabaikannya saja? Pasti tidak mudah karena ia terus mengikuti aku, bertanya-tanya, memohon supaya boleh melayaniku.
Apa yang bisa kulakukan? Apa?
Aku terus memikirkannya di sepanjang perjalanan pulang. Orangtuaku pun jadi tahu aku tidak seperti biasanya.
"Ada apa, Sam?" desak ibuku ketika kami dalam perjalanan pulang.
"Oh, tidak ada apa-apa," kataku berbohong. "Cuma memikirkan tugas sekolah."
Sesampainya di rumah, ada empat pesan untukku di mesin penjawab telepon, semuanya dari Judith.
Ibu menatapku, curiga. "Lucu. Seingatku kau dulu tidak berteman dengan dia," katanya.
"Yeah. Ia sekarang sekelas denganku," kataku. Aku tidak mau menerangkannya. Aku tahu aku tidak bisa.
Aku segera ke kamar. Capek sekali rasanya, kurasa karena cemas terus-terusan. Kuganti pakaianku dengan baju tidur, kumatikan lampu, dan naik ke tempat tidur.
Sesaat, aku berbaring menatap langit-langit, mengamati bayang-bayang pohon di luar jendela terayun-ayun. Aku berusaha mengosongkan pikiran, berusaha membayangkan biri-biri putih gemuk melompati awan-awan putih.
Aku baru saja akan tertidur ketika kudengar papan lantai berderak.
Ketika kubuka mata lebar-lebar, tampak bayangan hitam bergerak di dekat lemari pakaianku yang gelap.
Aku berteriak tertahan ketika menyadari ada orang di kamarku.
Sebelum aku sempat bergerak, ada tangan yang panas dan kering mencengkeram lenganku.
25
AKU mencoba berteriak, tapi tangan itu menutup mulutku.
Aku�aku bisa tercekik! pikirku, kaku karena ketakutan. Aku tidak bisa bernapas!
"Sst�jangan menjerit!" bisik penyerangku. Lampu kamar dinyalakan.
Tangan itu tidak lagi menutup mulutku.
"Judith!" kataku parau, suaraku tercekat di tenggorokan.
Ia tersenyum, matanya yang hijau berkilat-kilat karena bersemangat, dan ditempelkannya jari ke bibirnya. "Ssttt.
"Judith�ngapain kau di sini?" akhirnya aku bisa berteriak, suaraku sudah kembali. Jantungku masih berdebar-debar keras sekali, rasanya aku sampai tidak bisa bernapas. "Bagaimana caramu masuk?"
"Pintu belakangmu tidak terkunci," bisiknya. "Aku bersembunyi di lemari dan menunggumu. Kurasa aku sempat tertidur sebentar tadi."
"Tapi kenapa?" desakku marah. Aku bangun dan kupijakkan kakiku ke lantai. "Mau apa kau?"
Senyumnya hilang. Mulutnya cemberut. "Katamu kita bisa belajar bersama," katanya dengan suara seperti anak kecil. "Jadi kutunggu kau, Sam."
Cukup sudah.
"Keluar!" teriakku.
Aku akan bicara lagi, tapi aku terdiam ketika pintuku diketuk.
"Sam�kau baik-baik saja?" seru ayahku. "Kau sedang bicara dengan seseorang?"
"Aku baik-baik saja, Dad," kataku.
"Kau tidak sedang menelepon, kan?" tanyanya curiga. "Kau tahu kau tidak boleh menelepon malam-malam begini."
"Ya. Aku mau tidur sekarang," kataku.
Kutunggu sampai kedengaran suara langkah kakinya di tangga. Lalu aku berbalik menatap Judith. "Kau harus pulang," bisikku. "Begitu keadaan sepi�"
"Tapi kenapa?" desaknya, sakit hati. "Kau bilang kita akan belajar aljabar."
"Tidak!" teriakku. "Lagipula, sekarang sudah terlalu malam. Kau harus pulang. Orangtuamu pasti sudah cemas memikirkan kau, Judith."
Ia menggeleng. "Aku pergi diam-diam. Mereka mengira aku sudah tidur." Ia tersenyum. "Tapi kau baik sekali mau memikirkan orangtuaku, Sam. Kau memang anak yang paling penuh perhatian."
Pujian konyolnya malah membuatku semakin marah. Aku marah sekali, rasanya ingin sekali merobeknya.
"Aku suka sekali kamarmu," katanya sambil memandang berkeliling sekilas. "Kau sendiri yang memilih poster-poster itu?"
Aku menarik napas kesal.
"Judith, aku ingin kau pulang�sekarang," bentakku pelan, kata per kata, supaya ia bisa mendengarkan aku.
"Besok kita bisa belajar bersama?" tanyanya memohon. "Aku betul-betul butuh bantuanmu, Sam."
"Mungkin," jawabku. "Tapi kau tidak boleh menyelinap ke rumahku lagi, dan�"
"Pintar sekali kau," katanya. "Di mana kau beli baju tidurmu? Garis-garisnya bagus sekali. Coba aku punya baju seperti itu."
Sambil memberi tanda supaya dia diam, aku pelan-pelan keluar kamar. Semua lampu sudah dimatikan. Orangtuaku sudah masuk kamar.
Sambil menarik tangan Judith, aku berjalan ke bawah, berjingkat-jingkat tanpa suara, melangkah satu-satu. Lalu aku benar-benar mendorongnya ke luar dari pintu depan dan mengunci pintu begitu ia keluar.
Aku berdiri di ruang tengah yang gelap, terengah-engah, pikiranku bekerja keras.
Apa yang bisa kulakukan? Apa yang bisa kulakukan? Apa yang bisa kulakukan?
Berjam-jam kemudian aku baru bisa tertidur. Dan ketika akhirnya aku terlelap, aku memimpikan Judith.
"Kau kelihatan lelah, Sayang," kata Mom waktu sarapan.
"Tidurku tidak nyenyak," kataku mengaku. Ketika aku keluar dari pintu depan, Judith sudah menungguku di jalan masuk.
Ia tersenyum dan melambai penuh semangat. "Kurasa kita bisa berjalan ke sekolah pagi ini," katanya riang. "Tapi kalau kau mau naik sepeda, aku akan senang sekali berlari di sampingmu."
"Tidak!" jeritku. "Tidak! Tolong�tidak!"
Aku benar-benar lupa diri! Aku sudah tidak tahan lagi.
Kujatuhkan ranselku dan segera berlari. Entah ke mana aku lari. Aku tidak peduli.
Aku cuma tahu aku harus lari dari dia. "Sam�tunggu! Tunggu!"
Aku menoleh dan melihatnya lari mengejarku. "Jangan�tolong!
"Pergi! Pergi!" jeritku.
Tapi kulihat ia lari semakin cepat, sepatunya berdetak-detak di trotoar, semakin mendekatiku.
Aku berbelok ke halaman rumah orang dan lari ke balik pagar tanaman, berusaha bersembunyi dari dia.
Aku tidak tahu apa yang kulakukan. Aku tidak punya rencana, tidak punya tujuan. Pokoknya aku harus lari!
Sekarang aku lari di halaman belakang, menyeberangi jalan masuk, di belakang garasi-garasi.
Dan Judith mengikuti, lari sekuat tenaga, buntut kudanya yang pendek bergerak-gerak ketika ia lari. "Sam�tunggu! Sam!" panggilnya terengah-engah.
Tiba-tiba aku lari menembus hutan, pohon-pohon dan rumput tinggi saling berbelit. Aku lari menembusnya, mula-mula jalan sini, lalu ke sana, melompati dahan-dahan yang jatuh, melewati tumpukan tebal daun-daun cokelat kering.
Aku harus lari dari dia! kataku dalam hati. Aku harus lari!
Tapi aku lalu tersandung akar pohon yang menonjol dan jatuh, tersungkur di atas hamparan daun-daun mati.
Dasar kikuk.
Dan sedetik kemudian, Judith sudah berdiri di atasku.
26
AKU mengangkat kepala�dan terkejut ketika melihat ternyata orang itu bukan Judith.
Clarissa membungkuk ke arahku. Syal merahnya melilit bahunya, matanya yang hitam menatapku tajam.
"Kau!" teriakku marah, dan segera lompat berdiri.
"Kau tidak senang," katanya pelan sambil mengerutkan kening.
"Permintaan Anda telah menghancurkan hidup saya!" teriakku sambil menyingkirkan daun-daun mati dari bagian depan baju hangatku.
"Aku tidak ingin kau jadi sedih," jawabnya. "Aku berusaha membalas kebaikan hatimu."
"Saya ingin dulu tidak bertemu dengan Anda!" teriakku marah.
"Baik." Dengan satu tangan diangkatnya bola kristal merah. Sambil mengangkat bola kristal itu, matanya yang kelam menyala, merah seperti warna kristal itu. "Aku akan membatalkan permintaan ketigamu. Ucapkanlah satu permintaan terakhir. Karena kau tidak senang, aku akan mengabulkan satu lagi permintaanmu."
Aku bisa mendengar suara daun-daun bergemerisik di belakangku.
Judith berlari-lari mengejarku.
"Saya�saya tidak ingin bertemu dengan Anda!" teriakku pada Wanita Kristal itu. "Saya ingin Judith saja yang bertemu dengan Anda!"
Bola kristal itu menyala semakin terang sampai cahaya merahnya menyelubungiku.
Ketika cahaya itu memudar, ternyata aku sedang berdiri di pinggir hutan.
Fiuh! pikirku. Leganya! Untung lolos.
Aku beruntung sekali!
Aku bisa melihat Judith dan Clarissa berdiri di bawah pohon besar.
Mereka berdiri berdekatan sambil berbicara serius.
Ini baru balas dendam yang sempurna! kataku dalam hati. Sekarang Judith yang akan mengucapkan permintaan�dan hidupnya yang akan hancur total!
Sambil tertawa terkekeh-kekeh, aku berusaha mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Aku ingin tahu apa yang diinginkan Judith.
Aku yakin sekali mendengar Judith berkata, "Byrd, terbang sajalah kau!"
Tapi itu tidak masuk akal.
Aku sangat bahagia! Amat sangat bahagia! Aku bebas, benar-benar bebas!
Tiba-tiba aku merasa sangat berbeda. Lebih ringan. Lebih bahagia.
Biar Judith mengucapkan permintaannya! pikirku girang. Biar dia tahu seperti apa jadinya!
Sambil memiringkan kepala kulihat seekor cacing tanah gemuk berwarna cokelat menjulurkan kepalanya dari dalam tanah. Tiba-tiba aku merasa sangat lapar. Kujulurkan kepalaku dan kutangkap ujung cacing itu. Lalu kumakan.
Lezat sekali.
Kukepakkan sayapku, merasakan angin.
Lalu aku terbang, rendah di atas hutan.
Angin dingin terasa begitu menyegarkan di bulu-buluku.
Sambil mengepakkan sayap lebih kencang, terbang semakin tinggi di langit, aku memandang ke bawah dan melihat Judith. Ia berdiri di samping Clarissa.
Judith menatapku dari bawah, dan kurasa permintaan pertamanya telah dikabulkan�karena ia tersenyum lebar sekali.
END
Labels:
Goosebumps
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
sumber aslinya ga dicantumin zzzzzzzzzzz
ReplyDeleteI Love Goosebumps!
ReplyDeletebisa gak posting cerita-cerita goosebumps lain.a? di blog ini cuma beberapa..kalo bisa cantum semua cerita goosebumps.a...hehehe :)