Thursday, May 16, 2013

Bergaya Sebelum Mati!

R. L. Stine
Bergaya Sebelum Mati! 
(Goosebump # 4) 



1 

"Tak ada yang bisa dilakukan di Pitts Landing," kata Michael Warner, memasukkan tangannya ke kantong celana jins pudarnya. 
"Ya Pitts Landing adalah terowongan,." Kata Banks Greg. 
Doug Arthur dan Shari Walker menggumamkan persetujuan mereka. 
Pitts Landing adalah terowongan . Itulah slogan kota, menurut Greg dan tiga temannya. Sebenarnya, Pitts Landing tak jauh berbeda dari kota-kota kecil lain dengan jalan-jalan sepi. rumput teduh dan nyaman, rumah-rumah tua. 
Tapi di sini itu, suatu sore yang nyaman, dan empat sekawan itu nongkrong di jalan masuk rumah Greg, menendang-nendang kerikil, bertanya-tanya apa yang harus dilakukan untuk bersenang-senang dan bergembira. 
"Ayo kita pergi ke Grover dan melihat apa buku-buku komik baru sudah datang," usul Doug. 
"Kita tak punya uang, Bird," kata Greg padanya. 
Semua orang yang menyebut Doug "Bird" karena dia sangat mirip burung. Suatu julukan yang lebih baik mungkin adalah "Bangau." Dia punya kaki kurus yang panjang dan punya langkah yang besar dan jauh. Di bawah rambut tebal coklatnya, yang jarang ia sisir, ia punya mata kecil cokelat seperti burung dan hidung panjang yang melengkung seperti paruh. Doug tak benar-benar senang dipanggil Bird, tapi ia sudah terbiasa untuk itu. 
"Kita masih bisa melihat komik-komik itu," desak Bird. 
"Sampai Grover mulai berteriak padamu," kata Shari. Dia menggembungkan pipinya dan melakukan tiruan yang cukup baik dari pemilik toko yang kasar itu. " Apa kau akan bayar atau akan menetap ?" 
"Dia pikir dia keren," kata Greg, menertawakan tiruan Shari. "Dia benar-benar brengsek." 
"Kupikir X-Force baru akan datang di minggu ini," kata Bird. 
"Kau mestinya bergabung dengan X-Force," kata Greg, mendorong temannya dengan main-main. "Kau bisa jadi Manusia Burung. Kau akan jadi terkenal !." 
"Kita semua harus bergabung dengan X-Force," kata Michael. "Jika kita pahlawan super, mungkin kita akan memiliki sesuatu untuk dikerjakan." 
"Tidak, kita tak akan punya pekerjaan," jawab Shari dengan cepat. "Tak ada kejahatan untuk diperangi di Pitts Landing." 
"Kita bisa melawan rumput alang-alang," saran Bird. Dia pelawak dalam kelompok itu. 
Yang lainnya tertawa. Mereka berempat sudah berteman sejak lama. Greg dan Shari tinggal bertetangga satu sama lain, dan orang tua mereka berteman terbaik. Bird dan Michael tinggal di blok berikutnya. 
"Bagaimana kalau main kasti?" usul Michael. "Kita bisa pergi ke taman bermain." 
"Tidak," kata Shari. "kau tak dapat bermain hanya dengan empat orang." Dia mendorong kebelakang helaian rambut hitamnya yang mengganggu, yang jatuh di wajahnya. Shari mengenakan kaus kuning besar di atas celana panjang hijau terang. 
"Mungkin kita akan menemukan beberapa anak lain di sana," kata Michael, mengambil segenggam kerikil dari jalanan dan menyaringnya melalui jari-jarinya yang gemuk itu. Michael berambut merah pendek, bermata biru, dan berwajah penuh bintik-bintik. Dia tak benar-benar gemuk, tapi tak ada seorangpun yang akan menyebutnya kurus. 
"Ayo, mari kita main kasti," desak Bird. "Aku butuh latihan. Liga Kecilku dimulai dalam beberapa hari.." 
"Liga Kecil ? Di musim gugur?" tanya Shari. 
"Ini musim liga yang baru. Pertandingan pertamanya hari Selasa setelah sekolah.," Bird menjelaskan. 
"Hei - kami akan datang menontonmu," kata Greg. 
"Kami akan datang menontonmu dicoret," tambah Shari. Hobinya adalah mengolok-olok Bird. 
"Kau main di posisi apa ?" tanya Greg. 
"Penghalang," sela Michael. 
Tak ada yang tertawa. Lelucon Michael selalu terasa datar. 
Bird mengangkat bahu. "Mungkin outfield (penangkap dan pelempar bola). Kenapa kau tak bermain, Greg?" 
Dengan bahu yang besarnya dan lengan dan kakinya yang berotot, Greg adalah atlet alami kelompok itu. Dia (berambut) pirang dan tampan, dengan mata abu-abu hijau berkedap-kedip dan senyum ramah yang lebar. 
"Kakakku Terry seharusnya pergi mendaftarkanku, tapi dia lupa," kata Greg, ekspresi wajahnya jijik. 
"Di mana Terry?" Tanya Shari. Dia agak naksir pada kakak Greg. 
"Dia punya pekerjaan di hari Sabtu setelah sekolah. Di Dairy Freeze," kata Greg padanya. 
"Ayo kita pergi ke Dairy Freeze!" seru Michael antusias. 
"Kita tak punya uang - ingat?" kata Bird muram. 
"Terry akan memberi kita horen es krim gratis," kata Michael, menatap penuh harapan pada Greg. 
"Ya horen es krim gratis. Tapi tak ada es krim di dalamnya," kata Greg padanya. "Kau tahu bagaimana jujurnya kakakku itu." 
"Ini membosankan," keluh Shari, menonton burung murai melompat di trotoar. "Ini membosankan, berdiri di sekitar sini berbicara tentang bagaimana bosannya kita." 
"Kita bisa duduk dan berbicara tentang bagaimana bosannya kita," usul Bird, memonyongkan setengah mulutnya dengan senyum konyol yang selalu digunakannya saat ia membuat lelucon bodoh. 
"Ayo kita jalan-jalan atau lari-lari kecil atau berbuat sesuatu," desak Shari. Ia berjalan melintasi halaman dan mulai berjalan, menyeimbangkan badannya di puncak-puncak putih yang tinggi di tepi trotoar, melambaikan tangannya seperti pemain (akrobat) di kawat yang tinggi. 
Anak-anak itu mengikutinya, meniru di permainan dadakan Follow the Leader (Ikuti si Pemimpin), semuanya menyeimbangkan badannya di tepi trotoar saat mereka berjalan. 
Seekor anjing cocker spaniel yang penasaran datang melesat keluar dari pagar tetangga, menyalak bersemangat. Shari berhenti untuk membelainya. Anjing itu, mengibaskan ekor pendeknya penuh semangat, menjilat tangannya beberapa kali. Lalu anjing itu kehilangan minat dan menghilang kembali ke pagar. 
Keempat sahabat itu melanjutkan ke blok, bermain-main mencoba untuk menjatuhkan satu sama lainnya dari trotoar saat mereka berjalan. Mereka menyeberangi jalan dan melanjutkan melewati sekolah. Beberapa orang sedang bermain basket, dan beberapa anak-anak kecil bermain sepak bola memakai lapangan bisbol, tetapi tak ada yang mereka kenal. 
Jalanan berbelok menjauh dari sekolah. Mereka mengikutinya melewati rumah-rumah yang biasa. Kemudian, tepat di luar area berhutan kecil, mereka berhenti dan melihat lapangan rumput yang melandai, rumput yang tak dipotong selama berminggu-minggu, gulma-gulma tinggi mencuat di mana-mana, semak-semak acak-acakan dan tumbuh tak terkendali. 
Di atas lapangan, hampir-hampir tersembunyi dalam bayangan-bayangan besar dari pohon ek tua, tergeletak sebuah rumah besar bobrok. Rumah itu, siapa pun bisa melihatnya, dulu pernah besar. Atap berpapan abu-abu, tiga loteng tinggi, dengan beranda yang ditutupi kawat nyamuk, atap merah yang miring, dan cerobong asap tinggi pada kedua ujungnya. Tapi jendela-jendela yang pecah di lantai dua, sirap-sirap kotor yang retak karena cuaca, tempat-tempat kosong bernoda di atap, dan daun-daun jendela tergantung longgar di samping jendela-jendela yang berlapis debu adalah bukti rumah itu tak terurus. 
Semua orang di Pitts Landing tahu itu rumah Coffman. Coffman adalah namayang dicat di kotak surat yang miring pada tiang yang rusak di jalan depan. 
Tapi rumah itu telah kosong selama bertahun-tahun - sejak Greg dan teman-temannya bisa mengingat. 
Dan orang-orang suka menceritakan kisah-kisah aneh tentang rumah itu: cerita hantu, kisah tentang pembunuhan liar dan hal-hal mengerikan yang terjadi di sana. Kemungkinan besar, tak satupun darinya yang benar. 
"Hei - aku tahu apa yang bisa kita lakukan untuk bersenang-senang," kata Michael, sambil menatap rumah yang bermandikan bayang-bayang. 
"Hah ? Apa yang kau bicarakan?" tanya Greg berwaspada. 
"Ayo kita pergi ke rumah Coffman," kata Michael, mulai untuk berjalan melewati lapangan yang berisi rerumputan liar. 
"Wah. Apakah kau gila?" teriak Greg, bergegas untuk mengejarnya. 
"Ayo masuk," kata Michael, mata birunya menangkap cahaya matahari akhir sore yang tersaring turun melalui pohon-pohon ek yang tinggi. "Kita ingin suatu petualangan. Sesuatu yang agak menarik, bukan ? Ayo - Ayo kita periksa." 
Greg ragu-ragu dan menatap rumah itu. Satu udara dingin membasahi punggungnya. 
Sebelum ia bisa menjawab, suatu bentuk gelap melompat dari bayang-bayang rerumputan liar yang tinggi dan menyerangnya! 

2 

Greg berguling mundur ke tanah. 
"Aah!" jeritnya. 
Kemudian dia menyadari yang lainnya tertawa. 
"Ini anjing cocker spaniel yang bodoh itu!" teriak Shari. "Dia mengikuti kita!" 
"Pulanglah, anjing. Pulanglah!." Bird mengusir anjing itu pergi. 
Anjing berlari ke tepi jalan, berbalik, dan menatap kembali pada mereka, ekor pendeknya bergoyang-goyang marah. 
Merasa malu bahwa dia tadi begitu takut, Greg perlahan-lahan menarik dirinya berdiri, mengharapkan teman-temannya untuk memberinya hiburan. Tapi mereka menatap rumah Coffman dan berpikir. 
"Ya, Michael benar," kata Bird, memukul keras punggung Michael, begitu keras, Michael meringis dan berbalik untuk menghantam Bird. "Ayo kita lihat seperti apa itu di sana." 
"Tidak," kata Greg, mundur. "Maksudku, tempat semacam ini menyeramkan bukan?" 
"Jadi?" Shari menantangnya, bergabung dengan Michael dan Bird, yang mengulangi pertanyaannya: "Jadi?" 
"Jadi.. Aku tak tahu.," Jawab Greg. Dia tak suka menjadi salah satu orang yang berakal dalam kelompok itu. Semua orang selalu menertawakan seseorang yang berakal. Dia lebih suka menjadi orang yang liar dan gila. Tapi, entah bagaimana, akhirnya ia selalu jadi yang berakal. 
"Aku tak berpikir kita harus masuk ke sana," katanya, menatap rumah tua terlantar itu. 
"Apakah kau ayam (panggilan untuk orang yang pengecut-pent) ?" tanya Bird. 
"Ayam!" Michael bergabung masuk.
 Bird mulai berketok keras, menyelipkan tangannya ke ketiak dan mengepakkan lengannya. Dengan matanya yang bulat dan hidungnya bengkok, ia tampak seperti seekor ayam. 
Greg tak ingin tertawa, tapi ia tak bisa menahannya. 
Bird selalu membuatnya tertawa. 
Ketokan dan kepakan itu tampaknya jadi akhir diskusi. Mereka berdiri di kaki tangga beton yang rusak yang menuju ke beranda ditutup dengan kawat nyamuk. 
"Lihatlah. Jendela berikutnya ke pintu depan rusak," kata Shari. "Kita bisa meraihnya dan membuka pintu." 
"Ini keren," kata Michael antusias. 
"Apakah kita benar-benar melakukan ini?" Greg, jadi satu-satunya orang yang berakal, harus bertanya. "Maksudku - bagaimana akan Spidey" 
Spidey adalah seorang pria aneh yang tampaknya berumur lima puluh atau enam puluh tahun, mereka semua pernah melihatnya mengintai kota. Ia berpakaian hitam-hitam dan bergerak pelan di sepanjang panjang, berkaki ramping. Dia tampak seperti laba-laba hitam, sehingga semua anak-anak memanggilnya Spidey. 
Kemungkinan besar ia adalah seorang pria tunawisma. Tak ada yang benar-benar tahu apa-apa tentang dirinya - dari mana ia berasal, tempat tinggalnya. Tapi banyak anak-anak telah melihatnya berkeliaran di sekitar rumah Coffman. 
"Mungkin Spidey tak seperti orang asing," kata Greg. 
Tapi Shari telah mencapai melalui kaca jendela yang rusak untuk membuka pintu depan. Dan setelah sedikit usaha, ia memutar kenop kuningan dan pintu kayu yang berat terbuka. 
Mereka satu demi satu melangkah ke pintu masuk depan, Greg dengan enggan memimpin di bagian belakang. Saat itu sudah gelap di dalam rumah. Hanya sorotan sempit sinar matahari berhasil mengalir ke bawah melalui pepohonan tebal di depan, menciptakan lingkaran cahaya pucat pada karpet cokelat usang di kaki mereka. 
Papan lantai berderit ketika Greg dan teman-temannya berjalan melewati ruang tamu itu, yang kosong kecuali beberapa kardus bahan makanan yang terguling di salah satu dinding. 
Perabotan Spidey itu? Greg bertanya-tanya. 
Karpet ruang tamu, bisa dikatakan usang, yang ada di jalan masuk, memiliki noda oval gelap di tengahnya. Greg dan Bird, berhenti di ambang pintu, keduanya melihatnya pada waktu yang sama. 
"Kau pikir itu darah?" tanya Bird, matanya yang kecil bersinar gembira. 
Greg merasakan hawa dingin di bagian belakang lehernya. "Mungkin kecap," jawabnya.
Bird tertawa dan menampar dengan keras di belakang. 
Shari dan Michael menjelajahi dapur. Mereka menatap meja dapur yang tertutup debu ketika Greg melangkah di belakang mereka. Dia melihat langsung apa yang telah menarik perhatian mereka. Dua tikus abu-abu gemuk berdiri di meja, menatap kembali pada mereka. 
"Mereka lucu," kata Shari. "Mereka tampak seperti tikus kartun," 
Bunyi suaranya membuat dua hewan pengerat itu berlari cepat di sepanjang meja, di sekitar wastafel, dan hilang dari pandangan. 
"Mereka kotor," kata Michael, wajahnya jijik. "Kupikir mereka itu tikus besar (rat). Bukan tikus (curut-bahasa jawa)" 
"Tikus besar punya ekor yang panjang, tikus tidak," Kata Greg padanya. 
"Mereka pasti tikus besar," gumam Bird, mendorong melewati mereka dan masuk ke lorong. Dia menghilang ke bagian depan rumah. 
Shari mengulurkan tangan dan membuka lemari di atas meja. Kosong. "Kukira Spidey tak pernah menggunakan dapur," katanya. 
"Ya, aku tak berpikir dia adalah seorang koki yang ahli," canda Greg. 
Dia mengikuti Shari ke ruang makan yang panjang dan sempit, seperti kosong dan berdebu sebagai ruang-ruang lainnya. Sebuah lampu gantung rendah masih tergantung di langit-langit, begitu cokelat dengan tempelan debu, mustahil untuk mengatakan bahwa itu adalah kaca. 
"Seperti rumah hantu," kata Greg pelan. 
"Huu," jawab Shari. 
"Tak banyak yang bisa dilihat di sini," keluh Greg, setelah kembali ke lorong gelap. "Kecuali kau mendapatkan getaran dari bola yang berdebu." 
Tiba-tiba, suara keras sesuatu yang patah membuat Greg melompat. 
Shari tertawa dan meremas bahunya. 
"Apa itu!" teriaknya, tak mampu menahan rasa takutnya. 
"Rumah tua melakukan hal-hal seperti itu," kata Shari. "Mereka membuat suara-suara tanpa alasan sama sekali." 
"Kupikir kita harus pergi," desak Greg, kembali malu bahwa dia bertindak begitu ketakutan. "Maksudku, disini membosankan." 
"Ini sesuatu yang menarik, ada di tempat yang kita tidak seharusnya berada," kata Shari, mengintip ke dalam ruangan kosong yang gelap - mungkin sebuah ruangan kerja atau belajar di suatu waktu. 
"Kupikir," jawab Greg ragu. 
Mereka menabrak Michael. 
"Di mana Bird?" tanya Greg. 
"Kupikir ia turun di ruang bawah tanah," jawab Michael. 
"Hah? Ruang bawah tanah?" 
Michael menunjuk ke satu pintu yang terbuka di sebelah kanan lorong. "Tangganya di sana." 
Ketiga-tiganya ber jalan mereka ke bagian atas tangga. Mereka mengintip ke dalam kegelapan. "Bird?" 
Di suatu tempat jauh di ruang bawah tanah, suara Bird sampai kepada mereka dalam suatu jeritan ngeri: "Tolong ! Ini menangkapku, siapapun - tolong bantu. Ini menangkapku!" 

3 

"Ini menangkapku. Ini menangkapku!" 
Pada saat Bird bersuara menjerit ketakutan, Greg mendorong melalui Michael dan Shari, yang berdiri beku dengan mulut ternganga ngeri. Hampir-hampir melayang menuruni tangga yang curam, Greg memanggil temannya. "Aku datang Bird! Apa itu!" 
Jantungnya berdebar, Greg berhenti di bawah tangga, setiap ototnya tegang dengan ketakutan. Matanya panik mencari-cari melalui cahaya berasap yang mengalir dari jendela ruang bawah tanah di dekat langit-langit. 
"Bird?" 
Dia di sana, duduk nyaman, tenang, di atas tong sampah logam yang terbalik, kakinya disilangkan, teesenyum lebar di wajah burungnya. "Kena kau," katanya pelan, dan tertawa keras. 
"Ada apa? Apa yang terjadi?" suara-suara takut datang dari Michael dan Shari. Mereka berteriak-teriak menuruni tangga, datang berhenti di samping Greg. 
Mereka hanya perlu waktu beberapa detik untuk menyadari situasinya. 
"Lelucon bodoh lainnya?" tanya Michael, suaranya masih gemetar ketakutan. 
"Bird - kau iseng lagi pada kami?" tanya Shari, menggelengkan kepalanya. 
Menikmati momennya, Bird mengangguk, dengan setengah seringai anehnya. "Kalian terlalu mudah (ditipu)," ejeknya. 
"Tapi, Doug -" Shari memulai. Dia hanya memanggilnya Doug ketika ia kesal dengannya. "Apakah kau belum pernah mendengar anak yang berteriak serigala? Bagaimana jika kapan-kapan sesuatu yang buruk terjadi, dan kau benar-benar butuh bantuan, dan kami pikir kau hanya iseng?" 
"Apa yang bisa terjadi?" jawab Bird puas. Dia berdiri dan menunjuk ke sekeliling ruang bawah tanah. "Lihat - di sini lebih terang daripada di atas." 
Dia benar. Sinar matahari dari halaman belakang mengalir turun melalui empat jendela-jendela panjang di permukaan tanah, dekat langit-langit ruang bawah tanah. 
"Aku masih berpikir kita harus keluar dari sini," desak Greg, matanya bergerak cepat di sekitar ruangan besar yang kacau itu. 
Di belakang tong sampah Bird yang terbalik berdiri sebuah meja buatan sendiri yang terbuat dari selembar kayu triplek diletakkan diatas empat kaleng cat. Sebuah kasur yang hampir datar, kotor dan bernoda, juga bersandar di dinding, selimut wol pudar terlipat di bawah. 
"Spidey pasti hidup di bawah sini!" seru Michael. 
Bird iseng berjalan melalui tumpukan kotak-kotak makanan kosong yang telah dilemparkan di seluruh lantai - kebanyakan makan malam TV. "Hei, makan malam si orang yang lapar !" serunya. "Di mana Spidey memanaskan makanan-makanan ini?" 
"Mungkin dia memakannya (dalam keadaan) beku," usul Shari. "Kau tahu. Seperti es lilin." 
Dia berjalan menuju lemari kayu ek yang tinggi dan membuka pintunya. "Wah. Ini sangat bagus!" Katanya. "Lihat!" Dia mengeluarkan sebuah mantel bulu yang tampak kumal dan melilitkannya di bahunya. "Bagus!" ulangnya, berputar-putar di dalam mantel tua. 
Dari seberang ruangan, Greg bisa melihat bahwa lemari itu penuh dengan pakaian tua. Michael dan Bird bergegas bergabung dengan Shari dan mulai menarik keluar sepasang celana panjang yang kelihatan aneh yang berlonceng bawahnya, kemeja menguning dengan lipatan di bagian depan, dasi-dasi yang dicelup selebar satu kaki, dan syal-syal dan saputangan-saputangan besar berwarna cerah. 
"Hei, teman-teman -" Greg memperingatkan. "Tidakkah kalian pikir mungkin benda-benda itu milik seseorang?" 
Bird berputar, selendang merah berbulu halus melilit leher dan bahu. "Ya. Baju-baju Ini adalah kostum Spidey." kelakarnya. 
"Lihat topi ini baad," kata Shari, berbalik untuk memamerkan topi ungu terang berpinggiran lebar yang diambilnya. 
"Rapi," kata Michael, memeriksa jubah biru panjang. "Pakaian ini pasti setidaknya dua puluh lima tahun. Ini mengagumkan.. Bagaimana mungkin seseorang meninggalkannya di sini begitu saja?" 
"Mungkin mereka akan datang kembali untuk itu," usul Greg. 
Saat teman-temannya memeriksa isi lemari, Greg berjalan ke ujung lain dari ruang bawah tanah besar itu. Satu tungku perapian menempati dinding yang luas, pipa yang tertutup sarang laba-laba yang tebal. Sebagian tersembunyi oleh saluran tungku, Greg bisa melihat tangga, mungkin mengarah ke pintu keluar. 
Rak kayu berjajar di tengah dinding, penuh dengan kaleng cat lama, kain, koran, dan alat-alat ya gberkarat. 
Siapapun yang siapa tinggal di sini pastinya benar-benar seorang tukang, pikir Greg, memeriksa meja kerja kayu di depan rak. Sebuah catok logam dijepit ke tepi meja kerja. Greg memutar pegangan, mengharapkan jepitan catok terbuka. 
Tapi ia terkejut, saat ia memutar gagang catok, suatu pintu tepat di atas meja kerja muncul terbuka. Greg menarik seluruh pintu hingga terbuka, menampakkan sebuah rak lemari tersembunyi. 
Tergeletak di rak itu sebuah kamera. 

4 

Selama beberapa saat, Greg hanya menatap kamera itu. 
Sesuatu mengatakan kepadanya kamera disembunyikan karena suatu alasan. 
Sesuatu mengatakan bahwa dia tak boleh menyentuhnya. Dia harus menutup pintu rahasia dan berjalan pergi. 
Tapi dia tak bisa melawannya. 
Dia mengulurkan (tangannya) ke rak tersembunyi itu dan mengambil kamera itu dengan tangannya. 
Kamera itu ditarik keluar dengan mudah. Kemudian, Greg terkejut, pintu langsung terhentak menutup dengan suara keras. 
Aneh, pikirnya, membalik kamera itu di tangannya. 
Tempat yang aneh untuk meninggalkan kamera. Mengapa seseorang menaruhnya di sini? Jika ini cukup berharga untuk disembunyikan di lemari rahasia, mengapa mereka tak membawanya bersama mereka? 
Dengan bersemangat Greg memeriksa kamera itu. Kamera itu besar dan cukup berat, dengan lensa panjang. Mungkin lensa potret jarak jauh, pikirnya. 
Greg sangat tertarik dengan kamera-kamera. Dia memiliki kamera otomatis murahan, yang mengambil foto dengan baik. Tapi ia menabung uang sakunya dengan harapan membeli kamera yang benar-benar baik dengan banyak lensa. 
Dia suka melihat majalah-majalah kamera, mempelajari model-model yang berbeda, memilih yang ingin dibelinya. 
Seringkali ia melamun tentang bepergian di seluruh dunia, pergi ke tempat-tempat menakjubkan, puncak-puncak gunung dan sungai-sungai di hutan tersembunyi. Dia memotret semua yang dia lihat dan menjadi seorang fotografer terkenal. 
Kameranya di rumah itu terlalu payah. Itu sebabnya semua foto-fotonya yang keluar terlalu gelap atau terlalu terang, dan semua orang di foto-fotonya ada sinar titik merah di mata mereka. 
Greg bertanya-tanya apakah kamera ini ada gunanya. 
Mengangkat bidikan kamera ke matanya, ia mengamati sekitar ruangan. Dia datang berhenti di Michael, yang mengenakan dua bulu kuning terang Boas, topi Stetson putih dan telah naik ke puncak tangga untuk berpose. 
"Tunggu !Tahan!" teriak Greg, bergerak mendekat, mengangkat kamera itu ke matanya. "Biarkan aku memotretmu, Michael." 
"Di mana kau menemukannya?" tanya Bird. 
"Apa kamera itu ada filmnya di dalamnya?" tuntut Michael. 
"Aku tak tahu," kata Greg. "Ayo kita lihat." 
Sambil bersandar pada jeruji pagar, Michael melakukan pose apa saja yang dianggapnya canggih. 
Greg menunjuk ke kamera dan menfokuskan dengan hati-hati. Butuh waktu yang singkat bagi jarinya untuk menemukan tombol rana (pemetik foto). "Oke, siap Katakanlah cheese (keju)?" 
"Cheddar," kata Michael, menyeringai ke arah Greg saat ia menahan posenya pada jeruji pagar. 
"Sangat lucu. Michael amat lucu." Kata Bird sinis. 
Greg memusatkan Michael di bingkai jendela bidik, kemudian menekan tombol rana. 
Kamera itu ditekan dan berkilat. 
Kemudian kamera itu membuat suara mendesing elektronik. Sebuah slot terbuka di bagian bawah, dan satu kertas karton persegi meluncur keluar. 
"Hei - ini salah satu dari kamera cuci otomatis," seru Greg. Dia menarik keluar kertas karton persegi dan memeriksanya. "Lihat - gambarnya mulai dicuci." 
"Coba kulihat," teriak Michael ke bawah, bersandar di pagar. 
Tapi sebelum dia mulai menuruni tangga, semua orang mendengar suara berderak keras. 
Mereka semua mendongak ke sumber suara - dan melihat jeruji pagar putus dan Michael melayang ke pinggir atas. 
"Tidaaaak!" jerit Michael saat dia jatuh ke lantai, dengan lengan terentang, bulu Boas bulu di belakangnya seperti ekor-ekor binatang. 
Dia berbalik di udara, lalu terbentur beton keras di punggungnya, matanya membeku, melebar keheranan dan takut. 
Dia terpental satu kali. 
Lalu berteriak lagi: "Pergelangan kakiku! Aaauuu! Pergelangan kakiku!" Dia meraih pergelangan kakinya yang cedera, lalu cepat-cepat melepaskan dengan terkesiap keras. Terlalu sakit untuk menyentuhnya. 
"Ohhh - pergelangan kakiku!" 
Masih memegang kamera dan foto, Greg bergegas untuk Michael. Shari dan Bird melakukan hal yang sama. 
"Kami akan pergi mencari bantuan," kata Shari pada Michael, yang masih (berbaring) di punggungnya, mengerang kesakitan. 
Tapi kemudian mereka mendengar langit-langit berderit. 
Langkah-langkah kaki. Di atas mereka. 
Seseorang ada di rumah. 
Seseorang mendekati tangga ruang bawah tanah. 
Mereka akan tertangkap. 

5 

Langkah-langkah kaki di atas semakin keras. 
Keempat sekawan itu saling memandang ketakutan. 
"Kita harus keluar dari sini," bisik Shari. 
Langit-langit berderak. 
"Kalian tak bisa meninggalkanku di sini!" protes Michael. Dia menarik dirinya ke posisi duduk. 
"Cepat - berdiri," perintah Bird. 
Michael berusaha berdiri. "Aku tak dapat berdiri dengan kaki ini." Wajahnya menunjukkan kepanikannya. 
"Kami akan membantumu," kata Shari, memutar matanya ke Bird. "Aku akan memegang satu lengan, kau (Bird) memegang yang lainnya." 
Bird dengan patuh bergerak maju dan menarik lengan Michael di bahunya. 
"Oke, ayo kita bergerak!" bisik Shari, menyangga Michael dari sisi lainnya. 
"Tapi bagaimana kita keluar?" tanya Bird terengah-engah. 
Langkah-langkah kaki itu semakin keras. Langit-langit berderak di bawah berat badan mereka. 
"Kita tak bisa naik tangga itu," bisik Michael, bersandar pada Shari dan Bird. 
"Ada satu tangga lagi di belakang tungku perapian," kata Greg pada mereka, sambil menunjuk. 
"Ini mengarah keluar?" tanya Michael, meringis dari rasa sakit pergelangan kakinya. 
"Mungkin." 
Greg memimpin jalan. "Berdoa saja pintu itu tak digembok atau lainnya." 
"Kami berdoa! Kami berdoa!" kata Bird. 
"Kita pergi dari sini!" kata Shari, mengerang di bawah lengan berat Michael. 
Bersandar berat terhadap Shari dan Bird, Michael tertatih-tatih setelah Greg, dan mereka berjalan ke tangga di belakang tungku perapian. Tangga itu, mereka melihat, mengarah ke pintu ganda kayu di permukaan tanah. 
" Aku tak melihat gembok," kata Greg khawatir. " Mudah-mudahan, pintu itu terbuka!" 
"Hei - siapa di bawah sana?" suara seorang pria yang marah memanggil dari belakang mereka. 
"Itu - itu Spidey!" Michael tergagap. 
"Cepat!" desak Shari, memberikan Greg dorongan karena ketakutan. "Ayo!" 
Greg mengatur kamera itu ke bawah pada tangga teratas. Kemudian dia mengulurkan tangan dan meraih pegangan pintu ganda. 
"Siapa di bawah sana?" 
Suara Spidey terdengar dekat, marah. 
"Pintu-pintu itu bisa dikunci dari luar," bisik Greg, ragu-ragu. 
"Cukup dorong saja, Bung!" pinta Bird. 
Greg menghela napas dalam-dalam dan mendorong dengan seluruh kekuatannya. 
Pintu itu tak bergeming. 
"Kita terjebak," katanya kepada mereka. 

6 

"Sekarang apa?" rengek Michael. 
"Coba lagi," Bird mendesak Greg. "Mungkin hanya macet." Dia menyelip keluar dari bawah lengan Michael. "Sini. Aku akan membantumu." 
Greg pindah ke atas memberi ruang bagi Bird untuk naik disampingnya. "Siap?" tanyanya. "Satu, dua, tiga - dorong!" 
Kedua anak laki-laki mendorong pintu kayu berat itu dengan sekuat mereka. 
Dan pintu terbuka. 
"Oke! Sekarang kita keluar dari sini!" kata Shari gembira. 
Dengan membawa kamera itu, Greg memimpin jalan keluar. Halaman belakang itu, ia lihat, terhalang rerumputan liar dan tumbuh di luar kendali di bagian depan. Satu dahan yang sangat besar jatuh dari sebuah pohon ek tua, mungkin saat badai, roboh setengah di pohon, setengah di tanah. 
Entah bagaimana, Bird dan Shari berhasil menyeret Michael menaiki tangga dan ke rerumputan. 
"Kau bisa berjalan? Coba saja," kata Bird. 
Masih bersandar kepada mereka berdua, Michael dengan enggan menekan kakinya di atas tanah. Dia mengangkatnya. Kemudian menekan lagi. "Hei, rasanya sedikit lebih baik," katanya, terkejut. 
"Kalau begitu ayo kita pergi," kata Bird. 
Mereka lari ke pagar tanaman penuh tumbuhan yang berada di sepanjang sisi halaman, Michael sendiri sekarang melangkah dengan hati-hati di atas pergelangan kaki yang sakit, berjaga-jaga sebaik mungkin. Lalu, tetap di bawah bayangan pagar, mereka berjalan memutari rumah ke depan. 
"Bagus!" teriak Bird gembira saat mereka sampai di jalanan. "Kita berhasil!" 
Terengah-engah, Greg berhenti di pinggir jalan dan berbalik kembali ke rumah. "Lihat!" teriaknya, menunjuk ke jendela ruang tamu. 
Sebuah bayangan gelap berdiri di jendela, tangan-tangan menempel pada kaca. 
"Itu Spidey," kata Shari. 
"Dia c uma - menatap kita," seru Michael. 
"Aneh," kata Greg. "Mari kita pergi." 
Mereka tak berhenti hingga mereka sampai di rumah Michael, suatu rumah luas berkayu merah bergaya peternakan di belakan halaman depan yang teduh. 
"Bagaimana pergelangan kakimu?" tanya Greg. 
"Sudah mendingan. Bahkan tak terlalu sakit," kata Michael. 
"Bung, kau bisa saja terbunuh!" kata Bird, menyeka keringat dari dahinya dengan lengan kausnya. 
"Terima kasih mengingatkanku," kata Michael datar. 
"Untungnya kau punya semua bantal tambahan," goda Bird. 
"Diam," gumam Michael. 
"Nah, kalian menginginkan petualangan," kata Shari, bersandar di batang pohon. 
"Pria itu Spidey sudah pasti aneh," kata Bird, menggelengkan kepalanya. 
"Kau lihat bagaimana caranyamenatap kita?" tanya Michael. "Berpakaian hitam seluruhnya dan semuanya. Dia tampak seperti semacam zombie atau sesuatu?" 
"Dia melihat kita," kata Greg pelan, tiba-tiba merasa dingin ketakutan. "Dia melihat kita sangat jelas. Kita sebaiknya menjauh dari sana.." 
"Untuk apa?" tuntut Michael. "Itu bukan rumahnya. Dia hanya tidur di sana. Kita bisa menelepon polisi akan dirinya." 
"Tapi kalau dia benar-benar gila atau sesuatu, tak ada mengatakan apa yang mungkin dilakukannya," jawab Greg berpikir. 
"Ah, dia tak akan melakukan apa pun," kata Shari tenang. "Spidey tak ingin masalah. Dia hanya ingin dibiarkan sendiri.." 
"Ya," Michael setuju dengan cepat. "Dia tak ingin kita bermain-main dengan barang-barangnya. Itulah mengapa ia berteriak seperti itu dan mengejar kita.." 
Michael sedang membungkuk, menggosok pergelangan kakinya. "Hei, mana fotoku?" tuntutnya, meluruskan (diri) dan berpaling ke Greg. 
"Hah?" 
"Kau tahu. Foto yang kau ambil dengan kamera itu." 
"Oh Benar.." Greg tiba-tiba menyadari dia masih mencengkeram erat kamera itu di tangannya. Dia meletakkannya dengan hati-hati di rumput dan merogoh saku belakang celananya. "Aku menaruhnya di sini ketika kita mulai berlari," jelasnya. 
"Yah ? Apakah itu keluar?"tuntut Michael. 
Ketiganya berkerumun membungkuk di sekitar Greg agar bisa melihat jepretan foto. 
"Wah - tunggu sebentar!" teriak Greg, menatap tajam pada foto kecil persegi itu. "Ada sesuatu yang salah. Apa yang terjadi di sini?" 

7 

Keempat Mends (?) itu melongo atas foto di tangan Greg, mulut mereka ternganga karena terkejut. 
Kamera telah menangkap Michael di udara saat ia jatuh ke lantai melalui jeruji pagar yang rusak. 
"Itu tak mungkin!" teriak Shari. 
"Kau mengambil foto sebelum aku jatuh!" kata Michael, merebut foto itu dari tangan Greg sehingga ia bisa mempelajarinya dekat. "Aku mengingatnya." 
"Ingatanmu salah," kata Bird, bergerak untuk mendapatkan pandangan yang lain dari balik bahu Michael. "Kau jatuh, bung. Suatu foto aksi yang bagus." Dia mengambil kamera. "Ini adalah kamera yang bagus yang kau curi, Greg." 
"Aku tak mencurinya" - Greg memulai - "Maksudku, aku tak menyadari -" 
"Aku tak jatuh!" Michael bersikeras, memiringkan gambar di tangannya, mempelajarinya dari setiap sudut. "Aku berpose, ingat ? Aku memiliki senyum besar konyol di wajahku, dan aku berpose." 
"Aku ingat senyum konyol itu," kata Bird, menyerahkan kamera kembali ke Greg. "Apakah kau punya ekspresi lainnya?" 
"Kau tak lucu, Bird," gumam Michael. Dia mengantongi gambar itu. 
"Aneh," kata Greg. Dia melirik arlojinya. "Hei - aku harus pergi." 
Dia mengucapkan selamat tinggal kepada yang lain dan menuju rumah. Matahari sore sedang turun dibalik sekelompok pohon palem, bentuk yang panjang pergeseran bayangan-bayangan di atas trotoar. 
Dia telah berjanji pada ibunya bahwa ia akan merapikan kamarnya dan membantu menyedot debu sebelum makan malam. Dan sekarang ia sudah terlambat. 
Apa itu mobil asing di jalanan? ia bertanya-tanya, berlari-lari kecil melewati halaman tetangga menuju rumahnya. 
Itu adalah mobil biru station wagon Taurus. Merek baru. 
Ayah mengambil mobil baru kami! ia menyadari. 
Wow! Greg berhenti untuk mengaguminya. mobil ini masih memiliki stiker menempel ke jendela pintu. Dia membuka pintu pengemudi, membungkuk, dan mencium bau pelapis vinil. 
Mmmmmm. Itu bau mobil baru. 
Dia menarik napas dalam lagi. Baunya begitu enak. Begitu segar dan baru. 
Dia menutup pintu keras-keras, menilai bunyi debam benda padat it saat tertutup. 
Mobil baru yang hebat, pikirnya penuh semangat. 
Dia mengangkat kamera ke matanya dan mengambil beberapa langkah mundur jalanan. 
Aku harus mengambil gambarnya, pikirnya. Untuk mengingatkan seperti apa mobil itu saat benar-benar baru. 
Dia mundur sampai ia membingkai seluruh mobil station wagon itu dalam jendela bidik. Lalu ia menekan tombol pemetik potret. 
Seperti sebelumnya, kamera berbunyi klik keras, lampu kilat menyala, dan dengan deru elektronik, sebuah foto yang belum dicuci, suatu persegi abu-abu dan kuning meluncur keluar dari bagian bawah. 
Membawa kamera dan foto, Greg berlari ke dalam rumah melalui pintu depan. "Aku pulang!" teriaknya. "Turun sebentar lagi!" Dan bergegas menaiki tangga berkarpet ke kamarnya. 
"Greg? Apakah itu kau? Ayahmu di rumah," panggil ibunya dari lantai bawah. 
"Aku tahu. Sebentar lagi (aku) turun. Maaf, aku terlambat!" teriak Greg kembali. 
Lebih baik aku menyembunyikan kamera ini, putusnya. Jika ibu atau ayah melihatnya, mereka akan ingin tahu punya siapa itu dan dari mana aku mendapatkannya. Dan aku tak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. 
"Greg - apakah kau sudah melihat mobil baru ? Apa kau sudah turun?" panggil ibunya tak sabar dari kaki tangga. 
"Aku datang!" teriaknya. 
Matanya panik mencari tempat persembunyian yang baik. 
Di bawah tempat tidurnya? 
Tidak. Ibunya mungkin menyedot (debu) di bawah sana dan menemukannya. 
Kemudian Greg teringat ruangan rahasia di ujung papan tempat tidurnya. Dia menemukan ruangan itu tahun lalu ketika orangtuanya membelikannya satu set tempat tidur baru. Dengan cepat, ia mendorong kamera itu masuk (kedalam).
Menatap ke dalam cermin di atas meja rias, ia menyikat rambut pirangnya sikat dengan cepat, mengusap coretan jelaga hitam di pipinya dengan satu tangan, kemudian mulai ke pintu. 
Dia berhenti di ambang pintu. 
Foto mobil itu. Di mana ia meletakkannya? 
Butuh beberapa detik untuk mengingat bahwa ia melemparkannya ke tempat tidurnya. Penasaran tentang bagaimana hasilnya, ia kembali untuk mengambilnya. 
"Oh, tidak!" 
Dia menjerit pelan ketika dia menatap foto itu. 

8 

Apa yang terjadi di sini? Greg bertanya-tanya. 
Dia mendekatkan foto itu ke wajahnya. 
Ini tak benar, pikirnya. Bagaimana ini bisa! 
Mobil biru station wagon Taurus dalam foto itu berantakan. Tampaknya seolah-olah mengalami kecelakaan yang mengerikan. Kaca depannya hancur. Logam bengkok dan melemgkung. Pintu di sisi pengemudi itu ambruk, 
Mobil itu tampak (hancur) seluruhnya! 
"Ini tak mungkin!" Greg berucap pelan. 
"Greg, kau di mana?" panggil ibunya. "Kami semua lapar, dan kau membuat kami menunggu." 
"Maaf," jawabnya, tak dapat mengalihkan pandangannya dari foto itu. "Aku datang." 
Dia memasukkan foto itu ke dalam laci lemari paling atas dan berjalan ke lantai bawah. Gambar dari mobil yang terbakar menguasai pikirannya. 
Hanya untuk memastikan, ia menyeberangi ruang tamu dan mengintip keluar dari jendela depan ke jalan masuk. 
Di sana berdiri station wagon, berkilauan dalam cahaya matahari terbenam. Mengkilap dan sempurna. 
Dia berbalik dan berjalan ke ruang makan di mana saudaranya dan orang tuanya sudah duduk. "Mobil wagon baru yang mengagumkan, Yah," kata Greg, mencoba mengusir gambar foto itu dari pikirannya. 
Tapi dia terus melihat logam yang bengkok, pintu pengemudi yang ambruk, kaca depan yang hancur. 
"Setelah makan malam," Ayah mengumumkan kepada Greg dengan gembira, "Aku akan membawa kalian semua berjalan-jalan dengan mobil baru!" 

9 

"Mmmm ini ayam yang enak,." Kata saudara Greg Terry, berbicara sambil menguyah. 
"Terima kasih atas pujiannya," kata Mrs Banks datar, "tapi itu daging sapi muda -bukan daging ayam" 
Greg dan ayahnya tertawa. Wajah Terry memerah. "Yah," katanya, masih mengunyah, "itu daging sapi muda yang sangat enak, rasanya sebagus ayam!" 
"Aku tak tahu mengapa aku repot-repot memasak," desah Mrs Bank. 
Mr Banks mengganti topik pembicaraan. "Bagaimana di Dairy Freeze?" dia bertanya. 
"Kami kehabisan vanili sore ini," kata Terry, menggarpu sebuah kentang kecil dan memasukkannya utuh ke dalam mulutnya. Dia mengunyah sebentar, lalu menelannya. "Orang-orang jengkel tentang itu." 
"Kupikir aku tak bisa ikut," kata Greg, menatap makan malamnya, yang hampir tak tersentuh. "Maksudku -" 
"Mengapa tidak?" tanya ayahnya . 
"Yah..." Greg mencari di pikirannya alasan yang baik. Dia perlu satu, tapi pikirannya kosong. 
Dia tak bisa memberitahu mereka kebenaran. 
Bahwa dia telah mengambil foto Michael, dan foto itu menunjukkan Michael jatuh. Lalu beberapa detik kemudian, Michael jatuh. 
Dan sekarang ia telah mengambil gambar dari mobil baru. Dan mobil itu hancur di foto. 
Greg tak benar-benar tahu apa artinya. Tapi dia tiba-tiba dipenuhi dengan perasaan yang kuat, takut, ketakutan,. . . Yang ia tak tahu apa. 
Semacam perasaan salah yang tak pernah dialaminya sebelumnya. 
Tapi dia tak bisa memberitahu mereka semua itu. Itu terlalu aneh. Terlalu gila. 
"Aku... berencana untuk pergi ke Michael," katanya berbohong, menatap piringnya. 
"Yah, telpon dia dan katakan padanya kau akan menemuinya besok," kata Mr Banks, mengiris daging sapinya. "Itu tak masalah." 
"Yah, aku juga merasa kurang sehat," kata Greg. 
"Apa yang salah?" tanya Mrs Bank dengan keprihatinan singkat. "Apakah kau demam? Kupikir kau tampak sedikit memerah ketika kau masuk" 
"Tidak," jawab Greg tak nyaman. "Bukan demam. Aku hanya merasa agak lelah, tak terlalu lapar.." 
"Bisakah aku memiliki daging ayammu - Maksudku, daging sapi?" tanya Terry penuh semangat. Dia meraih garpunya melewati meja dan menangkap potongan daging di piring Greg. 
"Yah, perjalanan yang menyenangkan bisa membuat kau merasa lebih baik," kata ayah pada Greg, melirik Greg curiga. "Kau tahu, udara segar. Kau bisa berbaring di belakang jika kau mau.." 
"Tapi, ayah -" Greg berhenti. Dia telah menggunakan semua alasan yang bisa dipikirkannya. Mereka tak akan pernah percaya kalau dia mengatakan dia harus tinggal di rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah pada malam minggu! 
"Kau ikut kami, titik," kata Mr Banks, masih mempelajari Greg. "Kau sudah sekarat saat mobil baru ini tiba aku benar-benar tak mengerti masalahmu.." 
Aku juga tidak, aku Greg pada dirinya sendiri. 
Aku tak mengerti sama sekali. Mengapa aku begitu takut naik mobil baru? Hanya karena ada sesuatu yang salah dengan itu kamera bodoh itu? 
Aku jadi bodoh, Greg berpikir, berusaha mengusir perasaan takut yang mengambil nafsu makannya. 
"Oke, Yah. Baik," katanya, memaksakan tersenyum. "Aku ikut." 
"Apa ada kentang lagi?" tanya Terry. 

10 

"Ini sangat mudah dikendarai," kata Mr Banks, mempercepat ke jalan masuk ke jalan bebas hambatan. "Ini seperti menangani mobil kecil, tak seperti station wagon." 
"Banyak ruang di belakang sini, Yah," kata Terry, menggeser rendah jok belakang di samping Greg, mengangkat lututnya ke belakang kursi depan. 
"Hei, lihat - ada pegangan minuman yang ditarik keluar dari dasbor!" seru Ibu Greg. "Itu rapi." 
"Mengagumkan, Bu," kata Terry sinis. 
"Yah, kita tak pernah memiliki pegangan minuman sebelumnya," jawab Mrs Bank. Dia berbalik kembali kepada dua anak laki-laki itu. "Apakah sabuk pengaman kalian terkait? Apakah bekerja dengan benar?" 
"Ya. Baik-baik saja,." Jawab Terry. 
"Mereka memeriksanya di showroom, sebelum aku mengambil mobil ini," kata Mr Banks, memberi tanda untuk pindah ke jalur kiri. 
Sebuah truk menderu, mengeluarkan awan knalpot belakangnya. Greg memandang keluar jendela depan. Jendela pintu masih tertutup oleh stiker mobil baru. 
Mr Banks keluar dari jalan tol, ke jalan raya empat jalur hampir kosong yang menikung ke arah barat. Matahari terbenam adalah bola merah rendah di cakrawala di langit abu-abu arang. 
"Tancap gas, Yah," desak Terry, duduk dan bersandar ke depan. "Ayo kita lihat apa yang mobil ini bisa dilakukan." 
Mr Banks menurut menekan kakinya pada pedal gas. "Kecepatan luncurnya tampaknya sekitar enam puluh (mil perjam)," katanya. 
"Pelan-pelan," omel Mrs Bank. "Kau tahu batas kecepatan lima puluh lima." 
"Aku hanya mengujinya," kata ayah Greg membela diri. "Kau tahu. Memastikan persnelingnya tidak slip atau yang lainnya.." 
Greg menatap speedometer yang bersinar. Mereka tujuh puluh (mil per jam) sekarang. 
"Pelan-pelan. Aku serius," desak Mrs Bank. "Kau bertingkah seperti remaja gila." 
"Itu aku!" Mr Banks menjawab, tertawa. "Ini mengagumkan!" katanya, menirukan Terry, mengabaikan permohonan istrinya untuk memperlambat. 
Mereka meraung melewati beberapa mobil kecil di jalur kanan. Lampu-lampu mobil yang bergerak menuju mereka putih terang yang kabur di malam yang gelap itu. 
"Hei, Greg, kau tenang sekali," kata ibunya. "Kau baik-baik saja?" 
"Yeah, aku baik-baik saja,." Kata Greg pelan. 
Dia berharap ayahnya akan memperlambat. Dia berjalan tujuh puluh lima (mil per jam) sekarang. 
"Bagaimana menurutmu, Greg?" tanya Mr Banks, menyetir dengan tangan kiri saat tangan kanannya mencari-cari di dashboard. "Di mana tombol lampu? Aku harus menyalakan lampu mobilku." 
"Mobil bagus," jawab Greg, berusaha terdengar antusias. Tapi dia tak bisa mengusir rasa takutnya, tak bisa mengeluarkan foto mobil hancur itu dari pikirannya. 
"Mana saklar lampu yang bodoh itu? Harusnya ada di sini di suatu tempat," kata Mr Banks. 
Saat ia melirik dashboard yang tak biasa, station wagon membelok ke kiri. 
"Yah - hati-hati truk itu!" jerit Greg. 

11 

Klakson berbunyi. 
Satu hembusan udara kuat menyapu mobil station wagon, seperti gelombang laut raksasa mendorongnya ke samping. 
Mr Banks membelokkan mobil station wagon ke kanan. 
Truk itu menderu lewat. 
"Maaf," kata ayah Greg, dengan mata lurus ke depan, memperlambat mobil untuk enam puluh, lima puluh lima, lima puluh. . . 
"Aku bilang perlambat," omel Mrs Banks, menggelengkan kepala. "Kita bisa saja terbunuh!" 
"Aku coba untuk menemukan lampu," jelasnya. "Oh, Di sini. Di roda setir." Dia mengklik lampu itu. 
"Kalian baik-baik saja?" tanya Mrs Bank, berpaling untuk memeriksa mereka. 
"Ya. Baik," kata Terry, terdengar sedikit terguncang. Truk itu akan menabrak tempatnya di sisi mobil. 
"Aku baik-baik saja," kata Greg. "Bisakah kita kembali sekarang?" 
"Tidakkah kau ingin terus?" tanya Mr Banks, tak mampu menyembunyikan kekecewaannya. "Kupikir kita akan terus ke Santa Clara, berhenti dan membeli beberapa es krim atau yang lainnya.." 
"Greg benar," kata Mrs Banks pelan kepada suaminya. "Cukup untuk malam ini, Sayang. Mari kita berbalik.." 
"Truk itu tak sedemikian dekat," bantah Mr Bank. Tapi dia menurut keluar dari jalan raya dan mereka menuju rumah. 
Lalu, aman dan sehat di kamarnya, Greg mengambil foto itu keluar dari lemari dan memeriksanya. Di foto station wagon baru itu, sisi pengemudi ambruk, kaca depan hancur. 
"Aneh," katanya keras-keras, dan memasukkan foto itu di ruangan rahasia di ujung papan tempat tidurnya di mana ia menyembunyikan kamera itu. "Sungguh aneh." 
Dia menarik kamera keluar dari tempat persembunyiannya dan memutarnya di tangannya. 
Aku akan coba sekali lagi, putusnya. 
Dia berjalan ke lemari dan membidik dirinya cermin. 
Aku akan mengambil gambar diriku di cermin, pikirnya. 
Dia mengangkat kamera, kemudian merubah pikirannya. Itu tak akan bekerja, ia menyadari. Lampu kilat akan memantul kembali dan merusak foto. Sambil mencengkeram kamera di satu tangan, ia berjalan melintasi lorong ke kamar Terry. Saudaranya ada di mejanya, mengetik di papan ketik komputer, wajahnya bermandikan cahaya biru dari layar monitor. 
"Terry, bisakah aku memotretmu?" tanya Greg pelan, memegang kamera itu. 
Terry mengetik lagi, lalu mendongak dari layar. "Hei - dari mana kau dapat kamera itu?" 
"Eh... Shari meminjamkannya padaku," kata Greg padanya, berpikir cepat. Greg tak suka berbohong. Tapi dia merasa tak enak menjelaskan pada Terry bagaimana dia dan teman-temannya telah menyelinap ke rumah Coffman dan dia lari dengan kamera itu. 
"Jadi bisakah aku memotretmu?" tanya Greg. 
"Aku mungkin akan merusak kameramu," canda Terry. 
"Kupikir ini sudah rusak," kata Greg padanya. "Itu sebabnya aku ingin mengujinya padamu." 
"Silakan," kata Terry. Dia menjulurkan lidahnya dan menyilangkan matanya. 
Greg menekan pemetik potret. Satu foto yang dicuci meluncur keluar dari slot di depan. 
"Trim's. Sampai ketemu.." Greg menuju ke pintu. 
"Hei - aku tak dapat melihatnya?" panggil Terry. 
"Jika keluar," kata Greg, dan bergegas melintasi lorong ke kamarnya. 
Dia duduk di tepi tempat tidur. Memegang foto dalam pangkuannya, ia menatapnya tajam saat foto itu dicuci. Warna kuning pertama-tama yang mengisi. Lalu warna merah muncul, diikuti dengan nuansa biru. 
"Wah," gumam Greg saat wajah kakaknya muncul. "Ada sesuatu yang jelas salah di sini." 
Dalam foto tersebut, mata Terry tak disilangkan, dan lidahnya tak mencuat keluar. Ekspresinya suram, ketakutan. Ia tampak sangat kesal. 
Saat memperhatikan latar belakangny, Greg kembali terkejut. Terry tak ada di kamarnya. Dia di luar ruangan. Ada pohon-pohon di latar belakang. Dan suatu rumah. 
Greg menatap rumah itu. Itu tampak begitu akrab. 
Apakah rumah itu di seberang jalan dari taman bermain? 
Dia melihat sekali lagi melihat ekspresi ketakutan Terry. Kemudian dia menyelipkan foto dan kamera ke dalam ruang rahasianya di ujung papan tempat tidurnya dan dengan hati-hati menutupnya. 
Kamera itu pasti rusak, dia memutuskan, berusaha untuk tidur. 
Ini adalah penjelasan terbaik yang bisa keluar dari (pikiran)nya. 
Berbaring di tempat tidur, menatap bayang-bayang langit-langit yang bergeser, ia memutuskan untuk tak memikirkannya lagi. 
Satu kamera yang rusak tak perlu dicemaskan. 

***
Selasa sore setelah sekolah, Greg bergegas untuk menemui Shari di taman bermain untuk menonton pertandingan Liga Kecil Bird. 
Itu adalah sore hari yang hangat, matahari tinggi di langit yang tak berawan. Rumput lapangan baru saja dipangkas dan mengisi udara dengan bau manis yang tajam. 
Greg menyeberangi rumput dan memicingkan mata ke sinar matahari yang cerah, mencari Shari. Kedua tim melakukan pemanasan di sisi lapangan kasti, berteriak dan tertawa, suara bola masuk ke dalam sarung tangan bersaing dengan suara nyaring mereka. 
Beberapa orang tua dan anak datang untuk menonton. Sebagian berdiri di sekitar lapangan, sebagian lagi duduk di tempat duduk terbuka stadion di sepanjang garis base pertama. 
Greg melihat Shari belakang (pemain) penahan dan melambaikan tangan padanya. "Apa kau membawa kamera itu?" tanyanya penuh semangat, berlari menyambutnya. 
Greg mengangkatnya. 
"Bagus," seru Shari, sambil menyeringai. Dia meraihnya. 
"Kupikir ini rusak," kata Greg, berpegangan pada kamera. "Foto-foto tak keluar dengan benar. Sulit untuk menjelaskan.." 
"Mungkin itu bukan fotonya. Mungkin itu tukang fotonya," goda Shari. 
"Mungkin aku akan memfotomu dilempari sandwich," ancam Greg. Dia mengangkat kamera itu ke matanya dan menunjuknyapada Shari. 
"Potret itu, dan aku akan memfotomu memakan kamera," ancam Shari main-main. Dia meraih ke atas dengan cepat dan menarik kamera itu dari tangan Greg. 
"Untuk apa kau ingin kamera ini, sih?" tanya Greg, berupaya setengah hati untuk mengambilnya kembali. 
Shari memegangnya menjauh dari tangannya yang terulur. "Aku ingin mengambil gambar Bird saat ia datang untuk memukul. Dia tampak seperti burung unta di piring." 
"Aku dengar itu." Bird muncul di samping mereka, pura-pura tersinggung. 
Dia tampak konyol dalam seragam putihnya yang dikanji. Kemeja itu terlalu besar, dan celananya terlalu pendek. Topi adalah satu-satunya benda yang sesuai. Warnanya biru, dengan lumba-lumba perak di atas paruhnya dan kata-kata: PITTS LANDING DOLPHINS. 
"Nama macam apa Dholphin ( Lumba-lumba) bagi tim kasti?" tanya Greg, menyambar paruh topi dan memutar topi itu kebelakang di kepala Bird. 
"Semua topi lainnya dibawa," jawab Bird. "Kami punya pilihan antara Zephyrs (angin sepoi-sepoi)dan Dholpins (lumba-lumba). Tak seorang pun dari kami tahu apa itu Zephyrs,. Jadi kami mengambil Dholpins." 
Shari menatapnya dari atas ke bawah. "Mungkin kalian harus bermain dalam pakaian jalananmu." 
"Trim's atas dorongannya," jawab Bird. Dia melihat kamera dan mengambil itu darinya. "Hei, kau bawa kamera itu. Apa ada filmnya?" 
"Ya. Kupikir begitu," kata Greg padanya. "Coba kulihat." Dia meraih kamera, tetapi Bird mengayunkan keluar dari genggamannya. 
"Hei - apa kau akan berbagi hal ini, Greg?" tanyanya. 
"Hah? Apa maksudmu?" Greg meraih kamera itu lagi, dan sekali lagi Bird mengayunkannya menjauh darinya. 
"Maksudku, kita semua mempertaruhkan nyawa kita turun di ruang bawah tanah mendapatkan itu, kan?" kata Bird. "Kita semua harus berbagi." 
"Yah..." Greg tak memikirkannya. "Kurasa kau benar, Bird. Tapi aku orang yang menemukannya. Jadi -" 
Shari meraih kamera itu dari tangan Bird. "Kukatakan pada Greg untuk membawanya sehingga kita bisa mengambil gambarmu ketika kau sudah bangun." 
"Satu bentuk contoh yang baik?" tanya Bird. 
"Satu contoh buruk," kata Shari. 
"Kalian hanya iri," jawab Bird, mengerutkan kening, "karena aku seorang atlet alami, dan kalian tak bisa menyeberang jalan tanpa jatuh di wajah kalian." Dia memutar kembali topi menghadap ke depan. 
"Hei, Bird - kembali ke sini!" panggil salah satu pelatih dari lapangan bermain. 
"Aku harus pergi," kata Bird, memberi mereka satu lambaian cepat dan mulai berlari kembali ke teman-teman timnya. 
"Jangan. Tunggu. Biarkan aku mengambil fotomu dengan cepat sekarang," kata Greg. 
Bird berhenti, berbalik, dan mencari satu pose. 
"Tidak, aku akan memfotonya," desak Shari. 
Dia mulai untuk meningkatkan kamera ke matanya, membidik ke arah Bird. Dan saat ia mengangkatnya, Greg meraih untuk itu. 
"Biarkan aku mengambilnya!" 
Dan kamera pun berpindah. Ditekannya dan lalu (kamera itu) bersinar sekejap. 
Satu foto yang dicuci meluncur keluar. 
"Hei, kenapa kau melakukan itu?" tanya Shari dengan marah. 
"Maaf," kata Greg. "Aku tak bermaksud -" 
Dia menarik foto itu dan memegangnya di tangannya. Greg dan Bird mendekati menonton yang dicuci itu. 
"Buset, apa sih itu!" teriak Bird, menatap tajam di persegi kecil itu saat warna-warna menjadi cerah dan mengambil bentuk. 
"Oh, wow!" teriak Greg. 
Foto itu memperlihatkan Bird tergeletak tak sadarkan diri telentang di tanah, mulutnya terbuka, lehernya tertekuk dengan sudut yang menakutkan, matanya tertutup rapat. 

12 

"Hei - ada apa dengan kamera bodoh ini?" tanya Bird, menyambar foto dari tangan Shari. Dia memiringkan dari satu sisi ke sisi lain, menyipitkan mata di itu. "Ini di luar fokus atau sesuatu lainnya." 
"Aneh," kata Greg, menggelengkan kepalanya. 
"Hei, Bird - ke sini!" panggil pelatih Dolphins. 
"Aku datang!" Bird mengembalikan foto itu ke Shari dan berlari ke teman-teman timnya. 
Peluit ditiup. Kedua tim menghentikan latihan dan berlari ke bangku sepanjang garis base ketiga. 
"Bagaimana ini bisa terjadi!" tanya Shari pada Greg, melindungi matanya dari sinar matahari dengan satu tangan, memegang erat foto ke wajahnya dengan tangannya yang lain. "Ini benar-benar terlihat seperti Bird berbaring di tanah, pingsan atau yang lainnya. Tapi ia berdiri tepat di depan kita." 
"Aku tak mengerti. Aku benar-benar tak mengerti," jawab Greg berpikir. "Kamera ini terus melakukan hal itu." 
Membawa kamera di sisinya, berayun dengan tali yang ramping, ia mengikuti Shari ke tempat yang teduh di samping bangku-bangku stadion. 
"Lihat betapa bengkok lehernya," lanjut Shari. "Ini sangat mengerikan." 
"Ada sesuatu yang jelas salah dengan kamera ini," kata Greg. Dia mulai menceritakan tentang foto yang ia ambil dari mobil station wagon baru, dan foto dari Terry saudaranya. Tapi Shari menyelanya sebelum dia bisa menyelesaikan kata-katanya. 
"- Dan itu foto Michael. Menunjukkan dia jatuh dari tangga bahkan sebelum dia jatuh. Hanya saja ini begitu aneh..." 
"Aku tahu," kata Greg. 
"Coba kulihat kamera itu," kata Shari dan menarik kamera dari tangannya. "Apakah masih ada film yang tersisa?" 
"Aku tak bisa beritahu," mengakui Greg. "Aku tak bisa menemukan penghitung film atau apa pun." 
Shari memeriksa kamera dengan dekat, menggulirkannya di tangannya. "Ia tak mengatakan di mana saja. Bagaimana kau bisa tahu apakah itu dikeluarkan atau tidak." 
Greg mengangkat bahu. 
Pertandingan bisbol mulai berlangsung. Dholphins adalah tim tamu. Tim lain, Cardinals, berlari keluar untuk mengambil posisi mereka di lapangan. 
Seorang anak di bangku menjatuhkan kaleng sodanya. Kaleng itu menghantam tanah dan tumpah, dan anak itu mulai berteriak. Sebuah mobil station wagon tua berisi dengan remaja melaju lewat, membunyikan radio, bunyi klakson meraung-raung . 
"Di mana kau menempatkan filmnya?" tanya Shari tak sabar. 
Greg melangkah lebih dekat untuk membantunya memeriksanya. "Di sini, pikirku," katanya, menunjuk. "Apa bagian belakangnya tak dilepas?" 
Shari menggesek-geseknya. "Tidak, kupikir tidak begitu. Sebagian besar kamera cuci otomatis memuatnya di depan.." 
Dia menarik belakangnya, tetapi kamera tak terbuka. Dia mencoba menarik dari bawah. Tak lebih beruntung. Memutar kamera, dia mencoba menarik lensanya. Ini tak bergeming. 
Greg mengambil kamera darinya. "Tak ada slot atau lubang di depan." 
"Nah, kamera apa itu, sih?" Shari menuntut. 
"Eh... Ayo kita lihat." Greg mempelajari bagian depan, memeriksa bagian atas lensa, kemudian membalik kamera ke atas dan mempelajari bagian belakangnya. 
Dia menatap ke arahnya dengan ekspresi terkejut di wajahnya. "Tak ada nama mereknya. Tak ada." 
"Bagaimana bisa kamera tidak punya nama?" teriak Shari jengkel. Dia menyambar kamera menjauh dari Greg dan memeriksa dengan seksama, menyipitkan matanya terhadap sinar matahari sore yang terang benderang. 
Akhirnya, dia menyerahkan kamera kembali kepadanya, kalah. "Kau benar, Greg. Tak ada namanya. Tak ada kata apapun. Tak ada. Kamera bodoh," tambahnya dengan marah. 
"Wah. Tunggu," Kata Greg padanya. "Ini bukan kameraku, ingat aku tak membelinya.? Aku mengambilnya dari rumah Coffman." 
"Yah, ayo kita setidaknya mengetahui bagaimana cara membukanya dan melihat isinya," kata Shari. 
Pukulan Dolphin pertama muncul ke penjaga base kedua. Pukulan kedua memukul pada tiga ayunan lurus. Selusin penonton atau sedemikian berteriak memberi semangat pada tim mereka. 
Anak kecil yang telah menjatuhkan sodanya terus berteriak. Tiga anak-anak yang naik sepeda, melambaikan tangan pada teman-temannya di tim, tetapi tak berhenti untuk menonton. 
"Aku sudah mencoba dan mencoba, tapi aku tak bisa mencari cara untuk membukanya," aku Greg. 
"Berikan padaku," kata Shari dan meraih kamera itu darinya. "Harusnya ada tombol atau sesuatu. Harus ada beberapa cara untuk membukanya. Ini konyol." 
Ketika dia tak bisa menemukan tombol atau tuas apapun, ia mencoba menarik belakangnya sekali lagi, mencongkel dengan kuku-kuku jarinya. Lalu ia mencoba memutar lensa, tapi tak mau berputar. 
"Aku tak akan menyerah," katanya, mengertakkan gigi. "Aku tak akan. Kamera ini harus terbuka. Itu harus!" 
"Menyerahlah. Kau akan menghancurkannya," kata Greg, meraihnya. 
"Merusaknya. Bagaimana aku bisa merusaknya?" Shari menuntut. "Ini tak punya bagian-bagian yang bergerak. Tak ada!." 
"Ini tak mungkin," kata Greg. 
Dengan wajah jijik, Shari menyerahkan kamera padanya. "Oke, aku menyerah. Periksa sendiri, Greg.." 
Greg mengambil kamera itu, mulai mengangkatnya ke wajahnya, lalu berhenti. 
Mengeluarkan teriakan pelan terkejut, mulutnya ternganga dan matanya lurus ke depan terbuka lebar. Kaget, Shari berpaling untuk mengikuti tatapan terkejutnya. 
"Oh tidak!" 
Ada di tanah beberapa meter di luar garis base pertama, berbaring Bird. Dia telentang, lehernya tertekuk di sudut yang aneh dan tak wajar, matanya tertutup rapat. 

Edit by : zheraf.net
http://www.zheraf.net

13 

"Bird!" teriak Shari. 
Napas Greg tercekat di tenggorokan. Dia merasa seolah-olah dia tercekik. "Oh!" akhirnya ia berhasil berteriak dengan suara melengking serak. 
Bird tak bergerak. 
Shari dan Greg, berlari berdampingan dengan kecepatan penuh, mencapai Bird bersama-sama. 
"Bird?" Shari berlutut di sampingnya. "Bird?" 
Bird membuka satu mata. "Kena kau," katanya pelan. Setengah senyum aneh terbentuk di wajahnya, dan dia tertawa bernada tinggi terbahak-bahak. 
Butuh waktu bagi Shari dan Greg untuk bereaksi. Mereka berdua berdiri ternganga, terbelalak lebar di teman mereka yang tertawa. 
Kemudian, jantung Greg mulai melambat normal, ia meraih ke bawah, meraih Bird dengan kedua tangannya, dan menariknya bangkit dengan kasar. 
"Aku akan memegangnya saat kau memukulnya," Greg menawari (Shari), memegang Bird dari belakang. 
"Hei, tunggu -" protes Bird, meronta-ronta menggeliat keluar dari cengkeraman Greg. 
"Rencana yang bagus," kata Shari, menyeringai. 
"Aduh! Hei - lepaskan! Ayolah! Lepaskan!" protes Bird, berusaha sia-sia bergulat agar bebas. "Ayolah! Apa masalah kalian? Itu lelucon, teman-teman!" 
"Sangat lucu," kata Shari, memberikan pukulan main-main di bahu Bird. "Kau amat lucu, Bird." 
Bird akhirnya membebaskan dirinya dengan menarik keras dan menari menjauh dari mereka berdua. "Aku hanya ingin menunjukkan kalian semua untuk tahu bagaimana palsunya kamera cuci bodoh itu." 
"Tapi, Bird -" Greg memulai. 
"Hanya saja rusak, itu saja," kata Bird, menyikat beberapa helai rumput yang baru dipotong di celana seragamnya. "Kau pikir karena itu, ia menunjukkan Michael jatuh menuruni tangga, ada yang aneh dengan ini. Tapi itu bodoh.. Benar-benar bodoh." 
"Aku tahu itu," jawab Greg tajam. "Tapi bagaimana kau menjelaskannya?" 
"Sudah kubilang, man. Kamera itu rusak. Rusak. Itu saja." 
"Bird - ke sini!" satu suara memanggil, dan sarung tangan penangkap bola Bird datang terbang di kepalanya. Dia menangkapnya, melambai dengan satu seringai ke Shari dan Greg, dan berlari ke area lapangan bisbol bersama dengan anggota lain dari Dolphins. 
Membawa kamera erat di satu tangan, Gcreg memimpin jalan ke bangku-bangku stadion. Dia dan Shari duduk di ujung bangku Bagian bawah. 
Beberapa penonton sudah kehilangan minat pada permainan yang berlangsung dan telah pergi. Beberapa anak telah mengambil bola kasti dari lapangan dan bermain sendiri menangkap (bola) di belakang bangku penonton. Di seberang taman bermain, empat atau lima anak-anak mulai bermain sepak bola. 
"Bird sungguh konyol," kata Greg, matanya pada permainan. 
"Dia membuatku takut sampai mati," seru Shari. "Kupikir dia benar-benar terluka." 
"Badut," gumam Greg. 
Mereka menyaksikan permainan dalam keheningan selama beberapa saat. Ini tak terlalu menarik. Dolphins kalah 12-3 di babak ketiga. Tak satu pun dari para pemain yang (bermain) sangat baik. 
Greg tertawa saat pemukul Cardinal, seorang anak dari kelas mereka bernama Joe Garden, menghantam bola yang melayang keluar ke lapangan dan tepat di atas kepala Bird. 
"Itu bola ketiga yang terbang di atas kepalanya!" teriak Greg. 
"Mungkin dia akan hilang di matahari!" seru Shari, ikut tertawa. 
Mereka berdua menyaksikan kaki panjang bangau Bird (mengejar) setelah bola. Pada saat ia berhasil menangkapnya dan mengangkatkatnya ke arah lapangan, Joe Garden sudah berputar ke base dan mencetak (angka). 
Ada ejekan keras dari para penonton. 
Pemukul Kardinal selanjutnya melangkah ke tempat memukul. Beberapa anak lagi turun dari bangku, setelah cukup melihat. 
"Disini matahari sangat panas," kata Shari, melindungi matanya dengan satu tangan. "Dan aku punya banyak PR. Mau pergi?." 
"Aku hanya ingin melihat babak berikutnya," kata Greg, mengamati pemukul mengayun dan meleset. "Bird main di babak berikutnya. Aku ingin tinggal dan mengejeknya.." 
"Apa itu gunanya teman?" kata Shari sinis. 
Ini butuh waktu lama untuk Dolphins untuk menyelesaikan babak ketiga. The Cardinals telah memukul di seluruh urutan mereka. 
Kaos Greg basah dengan keringat waktu Bird datang ke tempat memukul di awal (babak) keempat. 
Meskipun Shari dan Greg mencemooh dengan nyaring, Bird berhasil memukul bola melewati shotstop (perhentian pendek di antara base ke 2 dan ke 3) untuk single (perhentian aman di base 1). 
" Pukulan yang mujur!" teriak Greg, menangkupkan tangannya seperti sebuah megafon. 
Bird pura-pura tak mendengarnya. Dia melemparkan helm pemukulnya (pada rekan timnya), menyesuaikan topinya, dan mengambil pimpinan singkat dari base pertama. 
Pemukul berikutnya mengayunkan pada lemparan pertama dan gagal. 
"Ayo pergi," desak Shari, menarik lengan Greg. "Ini terlalu panas. Aku mati kehausan.." 
"Ayo kita lihat apakah Bird -" 
Greg tak menyelesaikan kalimatnya. 
Pemukul memukul bola berikutnya dengan keras. Ini membuat suara keras saat meninggalkan (tongkat) pemukul. 
Selusin orang - pemain dan penonton - menjerit saat bola terbang melintasi lapangan, bergerak dengan garis yang tajam, dan memhantam ke sisi kepala Bird dengan suara lain. 
Greg menyaksikan dengan ngeri saat bola memantul dari Bird dan tergiring jauh ke tengah lapangan rumput. Mata Bird terbelalak tak percaya, kebingungan. 
Dia berdiri membeku di tempat pada garis base untuk waktu yang lama. 
Kemudian mengangkat kedua tangan dengan dramatis ke atas kepalanya, dan ia menjerit melengking, panjang dan keras, seperti ringkikan bernada tinggi dari kuda. 
Matanya bergulung di kepalanya. Dia berlutut. Mengeluarkan teriakan lain, kali ini lebih pelan. Lalu roboh, menggeletak ke punggungnya, lehernya berada di sudut yang tak wajar, matanya tertutup. 
Dia tak bergerak. 

14 

Dalam hitungan detik, kedua pelatih dan kedua tim itu buru-buru berlari ke pemain yang jatuh itu, berkerumun di atasnya, membentuk suatu lingkaran erat, hening di sekelilingnya. 
Sambil berteriak, "Bird Bird!" Shari melompat dari bangku dan mulai berlari ke lingkaran penonton dengan ngeri. 
Greg mulai mengikuti, tapi berhenti ketika ia melihat sosok yang akrab yang berlari (dengan kecepatan) penuh menyeberangi jalan, melambai kepadanya. 
"Terry!" teriak Greg. 
Mengapa saudaranya datang ke taman bermain? Mengapa dia tak di tempat kerjanya sehabis sekolah di Dairy Freeze? 
"Terry ? Apa yang terjadi?" teriak Greg. 
Terry berhenti, terengah-engah, keringat mengalir di dahinya merah yang terang. "Aku... Berlari... Di... Sepanjang... Jalan," ia berhasil mengucapkan. 
"Terry, apa yang salah?" Perasaan sakit pelan-pelan timbul dari perut Greg. 
Saat Terry mendekat, wajahnya berekspresi ketakutan yang sama seperti di foto dirinya yang diambil Greg. 
Ekspresi ketakutan yang sama. Dengan rumah yang sama di belakangnya di seberang jalan. 
Foto itu telah menjadi kenyataan. Sama seperti foto Bird tergeletak di tanah itu menjadi kenyataan. 
Tenggorokan Greg tiba-tiba terasa kering seperti kapas. Dia menyadari bahwa lututnya gemetar. 
"Terry, apa yang terjadi?" ia berhasil berteriak. 
"Ayah," kata Terry, meletakkan satu tangan beratnya di bahu Greg. 
"Hah, Ayah?" 
"Kau harus pulang, Greg. Ayah - Dia mengalami kecelakaan yang buruk." 
"Kecelakaan?" kepala Greg berputar. Kata-kata Terry tak masuk akal baginya. 
"Di mobil baru," jelas Terry, kembali meletakkan tangan beratnya di bahu Greg yang gemetar. "Mobil baru ini (rusak) total. Sepenuhnya (rusak) total.." 
"Oh," desah Greg, merasa lemah. 
Terry meremas bahunya. "Ayolah. Cepat." 
Memegang erat kamera di satu tangan, Greg mulai berlari mengejar kakaknya. 
Mencapai jalan, ia berbalik kembali ke taman bermain untuk melihat apa yang terjadi dengan Bird. 
Banyak orang masih berkerumun di sekitar Bird, menghalangi dirinya dari pandangan. 
Tapi - apa itu bayangan gelap di balik bangku? Greg bertanya-tanya. 
Seseorang - seseorang serba hitam - bersembunyi di belakang sana. 
Mengawasi Greg? 
"Ayo!" desak Terry. 
Greg menatap tajam bangku-bangku itu. Sosok gelap itu mundur keluar dari pandangan. 
"Ayolah, Greg!" 
"Aku datang!" teriak Greg, dan mengikuti saudaranya menuju rumah.

15 

Dinding-dinding rumah sakit itu berwarna hijau pucat. Seragam yang dikenakan oleh para perawat yang bergegas melewati koridor yang terang itu putih. Ubin lantai di bawah kaki Greg saat ia bergegas dengan saudaranya menuju kamar ayah mereka berwarna cokelat gelap dengan bintik oranye. 
Warna-warna. 
Semua yang bisa Greg lihat itu berwarna kabur, berbentuk tak jelas. 
Debam sepatu menimbulkan suara berisik di lantai yang keras. Dia hampir tak bisa mendengarnya di atas debaran hatinya. 
(Rusak) total. Mobil itu (rusak) total. 
Sama seperti di foto. 
Greg dan Terry berbelok di suatu sudut. Dinding-dinding di koridor ini kuning pucat. Pipi Terry merah. Dua dokter yang dilewati mengenakan pakaian bedah hijau limau. 
Warna-warna. Hanya warna-warna. 
Greg berkedip, mencoba untuk melihat lebih jelas. Tapi itu semua berlalu dengan terlalu cepat, terlalu tak nyata. Bahkan bau rumah sakit yang tajam, aroma unik dari alkohol, makanan basi, dan obat pembasmi kuman, tak bisa membuatnya jadi nyata baginya. 
Kemudian dua bersaudara itu memasuki kamar ayah mereka, dan semuanya menjadi nyata. 
Warna-warna itu memudar. Gambar itu menjadi tajam dan jelas. 
Ibu mereka melompat dari kursi lipat di samping tempat tidur. 
"Hai, anak-anak." 
Dia menggenggam segumpal kertas tisu di tangannya. Jelas bahwa ia telah menangis. Dia memaksakan senyum ketat di wajahnya, tapi matanya memerah, pucat dan pipinya bengkak. 
Berhenti persis di ambang pintu kamar kecil, Greg membalas sapaan ibunya dengan suara pelan, tercekik. Kemudian matanya, melihat dengan jelas sekarang, berpaling kepada ayahnya. 
Perban Mr Banks seperti mumi yang menutupi rambutnya. Satu tangannya di gips. Tangan lainnya tergeletak di sisinya dengan tabung terpasang tepat di bawah pergelangan tangan, meneteskan cairan gelap ke lengan. Seprai ditarik sampai ke dadanya. 
"Hei - bagaimana kabarmu, guys?" tanya ayah mereka. Suaranya terdengar tak jelas, seolah-olah datang dari jauh. 
"Yah -" Terry memulai. 
"Dia akan baik-baik saja," sela Mrs Banks, melihat pandangan ketakutan di wajah anak-anaknya. 
"Aku merasa baik," kata Mr.Banks grogi. 
"Kau tak terlihat begitu baik," kata Greg tanpa berpikir , melangkah dengan hati-hati ke tempat tidur. 
"Aku baik-baik saja. Sungguh," desah ayah mereka. "Beberapa patah tulang. Itu saja." Dia mendesah, lalu mengernyit dari rasa sakit. "Kurasa aku beruntung." 
"Kau sangat beruntung," kata Mrs.Banks cepat. 
Apa yang beruntung? Greg bertanya-tanya diam-diam pada dirinya sendiri. Dia tak bisa mengalihkan pandangannya dari tabung yang menusuk ke dalam lengan ayahnya. 
Sekali lagi, ia memikirkan jepretan foto dari mobil itu. Foto itu diatas kamarnya di rumah, terselip di dalam ruangan rahasia di ujung papan tempat tidurnya. 
Hasil foto itu menampilkan mobil yang (rusak) total. Sisi pengemudi ambruk masuk.
Haruskah ia memberitahu mereka tentang hal itu? 
Dia tak bisa memutuskan. 
Apakah mereka mempercayainya kalau dia memberitahu mereka? 
"Apamu yang patah, Yah?" tanya Terry, duduk di radiator di depan jendela, memasukkan tangannya ke saku celana jeansnya. 
"Ayahmu tangannya patah dan beberapa tulang rusuknya," jawab Mrs. Bank cepat. "Dan dia mengalami gegar otak ringan. Para dokter mengamatinya untuk luka dalam. Tapi, sejauh ini, masih baik." 
"Aku beruntung," ulang Mr Banks. Dia tersenyum pada Greg. 
"Ayah, aku harus memberitahumu tentang foto kuambil ini," kata Greg tiba-tiba, berbicara cepat, suaranya gemetar dengan gugup. "Aku mengambil foto dari mobil baru itu, dan -" 
"Mobil ini benar-benar hancur," sela Mrs Banks. Duduk di tepi kursi lipat, ia mengusap jari-jarinya, memutar-mutar cincin pernikahannya, sesuatu yang selalu ia lakukan saat ia gugup. 
"Aku senang kalian tak melihatnya." 
Suaranya tercekat di tenggorokannya. Kemudian ia menambahkan, "Ini merupakan keajaiban dia tak terluka lebih buruk." 
"Foto ini -" Greg mulai lagi. 
"Nanti," kata ibunya dengan kasar. "Oke?" Dia menatapnya dengan pandangan penuh arti. 
Greg merasa wajahnya menjadi panas. 
In hal penting, pikirnya. 
Lalu ia memutuskan mereka mungkin tak akan percaya padanya, bagaimanapun juga. Siapa yang akan percaya dengan cerita yang sepertinya gila? 
"Apakah kita bisa mendapatkan mobil baru lagi?" tanya Terry.. 
Mr Banks mengangguk hati-hati. "Aku harus menelepon perusahaan asuransi," katanya. 
"Aku akan menelepon mereka ketika aku pulang," kata Mrs. Banks. "Kau tak benar-benar memiliki tangan yang bebas." 
Semua orang tertawa pada saat itu, tertawa gugup. 
"Aku merasa agak mengantuk," kata Mr.Banks. Matanya setengah tertutup, suaranya teredam. 
"Ini obat penghilang rasa sakit yang dokter berikan padamu," Mrs Banks, mengatakan kepadanya. Dia mencondongkan tubuh ke depan dan menepuk tangannya. "Tidurlah. Aku akan kembali dalam beberapa jam." 
Dia berdiri, masih memainkan cincin kawinnya, dan memberi isyarat dengan kepalanya ke arah pintu. 
"Selamat tinggal , Yah," kata Greg dan Terry serempak. 
Ayah mereka menggumamkan balasan. Mereka mengikuti ibu mereka keluar pintu. 
"Apa yang terjadi!" tanya Terry ketika mereka berjalan melewati pangkalan perawat, kemudian menyusuri gang panjang berwarna kuning pucat. "Maksudku, kecelakaan itu." 
"Seorang pria berlari melalui lampu merah," kata Mrs.Banks, matanya yang memerah lurus ke depan. "Dia membajak ke kanan ke sisi mobil ayahmu. Remnya katanya tak bekerja." 
Dia menggelengkan kepalanya, air mata terbentuk di sudut matanya. 
"Aku tak tahu," katanya, mendesah. "Aku hanya tak tahu harus berkata apa. Syukurlah dia akan baik-baik saja." 
Mereka berbelok ke gang hijau, berjalan berdampingan. Beberapa orang menunggu dengan sabar di lift di ujung lorong. 
Sekali lagi, Greg menemukan dirinya berpikir tentang foto-foto yang diambilnya dengan kamera aneh itu. 
Pertama Michael. Lalu Terry. Kemudian Bird. Kemudian ayahnya. 
Keempat foto itu semuanya menunjukkan sesuatu yang mengerikan. Sesuatu yang mengerikan yang belum terjadi. 
Dan lalu keempat foto itu semuanya menjadi kenyataan. 
Greg merasa merinding saat pintu lift terbuka dan kerumunan kecil orang bergerak maju untuk menekan ke dalam. 
Apa itu benardari kamera itu? ia bertanya-tanya. 
Apa kamera itu menunjukkan masa depan? 
Atau apakah kamera itu benar-benar menyebabkan hal-hal buruk terjadi? 

16 

"Yeah, aku tahu itu, Bird baik-baik saja." Kata Greg ke dalam gagang telepon. "Aku bertemu dengannya kemarin, ingat ? Dia beruntung. Benar-benar beruntung. Dia tak mengalami gegar otak atau apa pun." 
Di ujung lain dari saluran kawat itu - di rumah sebelah - Shari setuju, kemudian mengulangi permintaannya. 
"Tidak, Shari aku benar-benar tak ingin," jawab Greg keras. 
"Bawa,"tuntut Shari. "Ini hari ulang tahunku." 
"Aku tak ingin membawa kamera itu. Itu bukan ide yang baik. Sungguh," kata Greg padanya. 
Itu adalah akhir pekan berikutnya. Sabtu sore. Greg sudah hampir keluar pintu, dalam perjalanan ke pesta ulang tahun Shari, ketika telepon berdering. 
"Hai, Greg. Mengapa kau tidak dalam perjalanan ke pestaku?" Shari menanyainya ketika ia berlari untuk mengangkat gagang telepon. 
"Karena aku di telepon denganmu," jawab Greg datar. 
"Yah, bawa kamera itu, oke?" 
Greg tak melihat kamera itu, tak dikeluarkan dari tempat persembunyiannya sejak kecelakaan ayahnya. 
"Aku tak ingin membawanya," dia bersikeras, meskipun Shari menuntut dengan nada tinggi. "Apakah kau tak mengerti, Shari. Aku tak ingin orang lain terluka.?" 
"Oh, Greg," kata Shari, berbicara dengannya seolah-olah dia tiga tahun. "Kau tak benar-benar percaya hal itu? Kau tak benar-benar percaya kamera yang dapat menyakiti orang." 
Greg terdiam sejenak. 
"Aku tak tahu apa yang kupercayai," katanya akhirnya. "Aku hanya tahu bahwa, pertama Michael, lalu, Bird -" 
Greg menelan ludah. "Dan aku bermimpi, Shari Kemarin malam." 
"Hah? Mimpi apa?" tanya Shari tak sabar. 
"Tentang kamera itu. Aku telah memotret seluruh keluargaku -... Ibu, Ayah, dan Terry. Mereka sedang memanggang. Di halaman belakang. Aku mengangkat kamera itu. Aku lalu berkata, 'Katakan Cheese, Katakan Cheese,...' berulangkali. Dan ketika kulihat melalui jendela bidik, mereka tersenyum kembali padaku - tapi mereka (menjadi) tulang belulang. Semuanya. Kulit mereka lenyap, dan -..... dan ... "
Suara Greg melemah. 
"Mimpi yang bodoh," kata Shari, tertawa. 
"Tapi itulah sebabnya aku tak ingin membawa kamera," desak Greg. "Kupikir -" 
"Bawa, Greg," sela Shari. "Ini bukan kameramu, kau tahu. Kita semua berempat di rumah Coffman. Ini milik kita berempat.. Bawa." 
"Tapi mengapa, Shari?" Greg menuntut. 
"Ini akan jadi suatu kebodohan, itu saja. Kamera itu akan mengambil foto aneh seperti itu.." 
"Itu pasti," gumam Greg. 
"Kami tak punya apa-apa lagi yang harus dilakukan untuk pestaku," kata Shari padanya. "Aku ingin menyewa video, tapi ibuku bilang kita harus pergi ke luar rumah. Dia tak ingin rumah berharganya kacau. Jadi kupikir kita bisa mengambil foto semua orang dengan kamera aneh itu. Kau tahu. Melihat hal-hal aneh apa yang keluar. " 
"Shari, aku benar-benar tak -" 
"Bawa," perintahnya. Dan menutup telepon. 
Greg berdiri untuk waktu yang lama menatap gagang telepon, berpikir keras, mencoba untuk memutuskan apa yang harus dilakukan. 
Lalu ia meletakkan gagang telepon dan dengan enggan naik menuju ke kamarnya. 
Dengan desahan keras, dia menarik kamera dari tempatnya bersembunyi di ujung tempat tidurnya. "Ini hari ulang Shari, setelah semua," katanya keras-keras pada dirinya sendiri. 
Tangannya gemetar saat ia mengangkatnya. Dia menyadari bahwa dia takut. 
Aku seharusnya tak melakukan hal ini, pikirnya, merasa jerat berat ketakutan di perutnya. 
Aku tahu aku tak boleh melakukan hal ini. 

17 

"Bagaimana kabarmu, Bird?" panggil Greg, berjalan melintasi teras batu pipih halaman belakang Shari. 
"Aku merasa baik-baik saja," kata Bird, memukul temannya dengan lima (jari) yang tinggi. "Satu-satunya masalah adalah, sejak bola yang memukulku," lanjut Bird, mengerutkan kening, "dari waktu ke waktu aku mulai � petok petok - berkotek seperti ayam!" Dia mengibaskan tangannya dan mulai mondar-mandir di halaman belakang, berkotek-kotek di bagian atas suaranya. 
"Hei, Bird - pergi berbaringlah bertelur!" teriak seseorang, dan semua orang tertawa. 
"Bird lagi," kata Michael, menggelengkan kepalanya. Dia memukul bahu Greg dengan ramah. Michael, rambut merahnya seperti biasa tak disisir, memakai celana jins pudar dan kemeja olahraga Hawaii (bermotif) bunga sekitar tiga kali ukurannya, terlalu besar untuknya. 
"Dari mana kau dapat baju itu?" tanya Greg, memegang lengan panjang Michael dengan bahu untuk mengaguminya. 
"Dalam sebuah kotak sereal," sela Bird, masih mengepakkan lengannya. 
"Nenekku memberikannya padaku," kata Michael, mengerutkan kening. 
"Dia membuatnya di rumah," sela Bird. Satu lelucon tak pernah cukup. 
"Tapi kenapa kau memakainya?" Greg bertanya. 
Michael mengangkat bahu. "Yang lainnya kotor." 
Bird membungkuk, mengambil gumpalan kecil kotoran dari rumput, dan mengoleskannya pada bagian belakang kemeja Michael. "Sekarang yang ini juga kotor," katanya. 
"Hei, kau -" Michael bereaksi pura-pura marah, menyambar Bird dan mendorongnya ke pagar. 
"Apakah kau membawanya?" 
Mendengar suara Shari, Greg berpaling ke arah rumah dan melihatnya berlari-lari kecil melintasi teras ke arahnya. Rambutnya yang hitam ditarik ke belakang dalam satu kepangan, dan terlalu besar, seperti sutra kuning yang turun diatas kaki panjang hitam yang elastis. 
"Apakah kau membawanya?" ulangnya dengan tak sabar. Sebuah gelang menarik yang diisi dengan perak-perak kecil yang mempesona - hadiah ulang tahun - berkerincing di pergelangan tangannya. 
"Ya." Greg dengan enggan mengangkat kamera. 
"Bagus," katanya. 
"Aku benar-benar tak mau -" Greg memulai. 
"Kau dapat mengambil fotoku yang pertama karena itu hari ulang tahunku," sela Shari. "Sini. Bagaimana dengan ini?" Dia menemukan pose yang canggih, bersandar ke pohon dengan tangan di belakang kepalanya. 
Greg dengan patuh mengangkat kamera. "Apa kau yakin kau ingin aku melakukan ini, Shari?" 
"Ya. Ayo.. Aku ingin mengambil foto semua orang." 
"Tapi mungkin akan keluar foto-foto aneh," protes Greg. 
"Aku tahu," jawab Shari tak sabar, menahan posenya. "Itu untuk bersenang-senang." 
"Tapi, Shari -" 
"Michael muntah di kemejanya," dia mendengar Bird memberitahu seseorang di dekat pagar. 
"Aku tidak!" jerit Michael. 
"Maksudmu itu terlihat alami!" tanya Bird. 
Greg bisa mendengar banyak tawa parau, semua itu dengan mengorbankan Michael. 
"Maukah kau memotret!" teriak Shari, berpegangan pada batang pohon yang kecil. 
Greg menunjuk lensa pada Shari dan menekan tombol. Kamera berputar, dan (kotak) persegi yang belum dicuci keluar . 
"Hei, apa hanya kami anak laki-laki yang diundang?" tanya Michael, melangkah ke Shari. 
"Ya. Hanya kalian bertiga,." Kata Shari. "Dan sembilan anak perempuan." 
"Oh, wow." wajah Michael berubah. 
"Berikutnya ambil foto Michael," kata Shari pada Greg. 
"Tidak akan!" jawab Michael dengan cepat, mengangkat tangannya seolah-olah untuk melindungi dirinya dan mundur. "Terakhir kali kau mengambil fotoku dengan kamera itu, aku jatuh dari tangga." 
Berusaha menjauh, Michael mundur tepat ke Nina Blake, salah satu teman Shari itu. Nina bereaksi dengan pekikan kaget, kemudian mendorongnya main-main, dan Michael terus mundur. 
"Michael, ayolah. Ini pestaku," panggil Shari. 
"Apa yang akan kita lakukan? Apakah ini?" tuntut Nina dari separuh jalan di seberang halaman. 
"Kupikir kita akan mengambil foto semua orang dan lalu bermain satu permainan atau yang lainnya," kata Shari pada Nina. 
"Satu permainan?" Bird menimpali "Maksudmu seperti Spin the Bottle (Memutar Botol)?" 
Beberapa anak tertawa. 
"Truth or Dare (kebenaran atau tantangan) !" saran Nina. 
"Ya. Truth or Dare!" kata beberapa gadis lain setuju. 
"Oh, tidak," Greg mengerang pelan untuk dirinya sendiri. Truth or Dare berarti banyak ciuman dan kecanggungan, pertunjukan yang memalukan. 
Sembilan perempuan dan hanya tiga anak laki-laki. 
Itu akan sangat memalukan. 
Bagaimana bisa Shari melakukan ini kepada kami? ia bertanya-tanya. 
"Nah, apakah sudah keluar?" tanya Shari, menyambar lengan Greg. "Coba kulihat." 
Greg begitu kesal harus bermain Truth or Dare, dia lupa tentang potret yang dicuci di tangannya. Dia mengangkatnya, dan mereka berdua memeriksanya. 
"Dimana aku?" tanya Shari heran. "Apa yang kau bidik? Kau tak mengenaiku!" 
"Hah?" Greg menatap foto itu. Ada pohon. Tapi tak Shari. "Aneh. Aku mengarahkannya tepat padamu. Aku mengarahkannya dengan hati-hati,!" Protesnya. 
"Yah, kau tak mengenaiku. Aku tidak dalam bidikan," jawab Shari jijik. 
"Tapi, Shari -" 
"Maksudku, ayolah - aku tak terlihat, Greg aku bukan vampir atau sesuatu yang lain. Aku bisa melihat bayangan diriku di cermin. Dan aku biasanya muncul di foto...." 
"Tapi, lihat -" Greg menatap tajam foto itu. "Ini pohon dimana kau bersandar. Kau bisa melihat batang pohon dengan jelas. Dan ada tempat di mana kau berdiri." 
"Tapi di mana aku?" desak Shari, menggemerincingkan gelangnya yang menarik dengan berisik. "Sudahlah." Dia meraih foto dari Greg dan melemparkannya di atas rumput. "Ambil satu lagi. Cepat." 
"Yah, oke Tapi -." Greg masih bingung memikirkan foto itu. Mengapa Shari tak muncul di dalamnya? Dia membungkuk, mengambil foto itu, dan memasukkannya ke dalam sakunya. 
"Berdirilah lebih dekat kali ini," perintah Shari. 
Greg pindah beberapa langkah lebih dekat, hati-hati memusatkan Shari dalam jendela bidik, dan menangkap gambar. Sebuah persegi film dengan cepat (bergerak) ke depan. 
Shari berjalan mendekat dan menarik gambar dari kamera. "Ini lebih baik berubah," katanya, menatap keras untuk kertas itu saat warnanya menjad gelap dan mulai mengambil bentuk. 
"Jika kau benar-benar ingin gambar dari setiap orang, kita harus mendapatkan kamera lain," kata Greg, matanya juga terkunci pada jepretan foto. 
"Hei - Aku tak percaya!" teriak Shari. 
Sekali lagi, ia tak terlihat. 
Pohon itu difoto dengan jelas, dalam fokus yang sempurna. Tapi Shari itu tak terlihat. 
"Kau benar. Kamera bodoh ini rusak," katanya sebal, menyerahkan foto itu ke Greg. "Lupakan saja." Dia berpaling dari Greg dan memanggil yang lain. "Hei, teman -teman, Truth or Dare!" 
Ada beberapa sorakan dan beberapa erangan. 
Shari memimpin mereka kembali ke hutan di belakang halaman belakang untuk bermain. "Lebih pribadi," jelasnya. Ada tanah terbuka melingkar tepat di balik pohon-pohon, tempat pribadi yang sempurna. 
Permainan ini sama memalukannya seperti yang Greg bayangkan. Di antara anak laki-laki, hanya Bird tampak menikmatinya. Bird menyukai hal bodoh seperti ini, pikir Greg, dengan iri. 
Untungnya, setelah lebih dari setengah jam, ia mendengar Mrs Walker, ibu Shari itu, memanggil dari rumah, memanggil mereka kembali untuk memotong kue ulang tahun. 
"Ah, sayang sekali," kata Greg sinis. "Pas saat pertandingan semakin membaik." 
"Bagaimanapun juga, kita harus keluar dari hutan," kata Bird, menyeringai. "Kemeja Michael membuat tupai takut." 
Tertawa dan berbicara tentang permainan itu, anak-anak berjalan mereka kembali ke teras dimana lilin-lilin merah muda dan putih kue ulang tahun, menyala semua, sudah menunggu di meja payung bundar. 
"Aku harus menjadi seorang ibu sangat buruk," canda Mrs Walker, "memungkinkan kalian semua untuk pergi ke hutan sendirian." 
Beberapa gadis-gadis tertawa. 
Pisau kue pisau di tangannya, Mrs Walker memandang berkeliling. "Di mana Shari?" 
Semua orang berpaling mata mereka untuk mencari halaman belakang. "Dia bersama kami di hutan," kata Nina Mrs Walker. "Hanya satu menit lalu." 
"Hei, Shari!" Bird yang disebut, menangkupkan tangan di depan mulut sebagai megafon. "Bumi memanggil Shari! Ini waktunya kue!" 
Tak ada jawaban. 
Tak ada tanda-tanda keberadaannya. 
"Apakah dia pergi ke dalam rumah?" tanya Greg. 
Mrs Walker menggeleng. "Tidak. Dia tak datang ke teras belakang rumah. Apakah dia masih di hutan?" 
"Aku akan pergi memeriksa," kata Bird padanya. Memanggil-manggil nama Shari, ia berlari ke tepi pepohonan di belakang halaman. Kemudian ia menghilang ke dalam pohon, masih memangil-manggil. 
Beberapa menit kemudian, Bird muncul, memberi tanda pada orang lain dengan mengangkat bahu. 
Tak ada tanda-tanda keberadaannya. 
Mereka memeriksa rumah. Halaman depan. Hutan lagi. 
Tapi Shari telah lenyap.

18 

Greg duduk di tempat teduh dengan punggung bersandar pada batang pohon, kamera itu di atas tanah di sisinya, dan menyaksikan para polisi berseragam biru. 
Mereka menutupi halaman belakang dan bisa dilihat membungkuk rendah saat mereka mendaki di sekitar hutan. Dia bisa mendengar suara-suara mereka, tapi tak bisa memahami apa yang mereka katakan. Wajah mereka benar-benar bingung. 
Semakin banyak polisi yang tiba, berwajah muram, resmi. 
Dan kemudian polisi-polisi, tak berseragam lebih gelap. 
Mrs Walker telah menelepon pulang suaminya dari permainan golf. Mereka duduk meringkuk bersama di kursi terpal di sudut teras. Mereka saling berbisik, mata mereka melesat menyeberangi halaman. Berpegangan tangan, mereka tampak pucat dan cemas. 
Semua orang telah pergi. 
Di teras, meja masih tetap teratur. Lilin-lilin ulang tahun telah terbakar semua ke bawah, lilin biru dan merah mencair dalam genangan air keras pada lapisan merah muda dan putih, kue yang tak tersentuh. 
"Tak ada tandanya," seorang polisi berpipi merah dengan kumis putih-pirang mengatakan keluarga Walkers. Ia melepas topinya dan menggaruk kepalanya, menampakkan rambut pirangnya yang pendek. 
"Apakah seseorang... Membawanya pergi?" tanya Mr Walker, masih memegang tangan istrinya. 
"Tak ada tanda-tanda perlawanan," kata polisi itu. "Tak ada tanda apa-apa, sungguh." 
Mrs Walker mendesah keras dan menundukkan kepala. "Aku tak mengerti." 
Ada keheningan yang panjang dan menyakitkan. 
"Kami akan terus mencari," kata polisi itu. "Saya yakin kita akan menemukan... Sesuatu." 
Dia berbalik dan berjalan menuju hutan. 
"Oh. Hai." Dia berhenti di depan Greg, menatap seolah-olah melihat dia untuk pertama kalinya. "Kau masih di sini, nak? Semua tamu lain sudah pulang." Dia mendorong rambutnya ke belakang dan meletakkan kembali topinya. 
"Ya, aku tahu," jawab Greg dengan sungguh-sungguh, mengangkat kamera ke pangkuannya. 
"Aku petugas Riddick," katanya. 
"Ya, aku tahu," jawab Greg pelan. 
"Kenapa kau tak pulang ke rumah setelah kami berbicara denganmu, seperti yang lain?" tanya Riddick. 
"Aku hanya kesal, kukira," kata Greg padanya. "Maksudku, Shari adalah teman baik, Anda tahu?" Ia berdehem, yang terasa kering dan ketat. "Lagipula, aku tinggal tepat di sana." Dia memberi isyarat dengan kepalanya ke rumahnya sebelah. 
"Nah, kau sebaiknya juga pulang, Nak," kata Riddick, memutar matanya ke hutan dengan dahi berkerut. "Pencarian ini bisa memakan waktu lama. Kami tak menemukan sesuatu di belakang sana.." 
"Aku tahu," jawab Greg, menggosok tangannya ke bagian belakang kamera. 
Dan aku tahu bahwa kamera ini adalah alasan hilangnya Shari, pikirnya, merasa sedih dan ketakutan. 
"Satu menit dia berada di sana. Di menit berikutnya dia tak ada," kata polisi itu, mengamati wajah Greg seolah mencari jawaban di sana. 
"Ya," jawab Greg. "Ini sangat aneh." 
Ini lebih aneh daripada yang orang tahu, pikir Greg. 
Kamera membuatnya tak terlihat. Kamera melakukannya. 
Pertama, dia menghilang dari foto. 
Lalu ia menghilang dalam kehidupan nyata. 
Kamera ini melakukannya padanya. Aku tak tahu bagaimana. Tetapi ini perbuatan kamera ini. 
"Apakah kau ada sesuatu yang mau kau beritahukan padaku?" tanya Riddick, tangan bertumpu pada pinggul, tangan kanannya tepat di atas sarung cokelat usang yang membawa pistol. "Apakah kau melihat sesuatu. Sesuatu yang mungkin memberi kita petunjuk, membantu kita (memberi jalan) keluar? Sesuatu yang kau tak ingat untuk memberitahuku sebelumnya?" 
Haruskah aku memberitahunya? Greg bertanya-tanya. 
Jika aku bercerita padanya tentang kamera, dia akan bertanya dari mana aku mendapatkannya. Dan aku harus mengatakan padanya bahwa aku mendapatkannya di rumah Coffman. Dan kita semua akan mendapat masalah karena melanggar di sana. 
Tapi - masalah terbesar. Shari hilang. Pergi. Lenyap. Itu jauh lebih penting. 
Aku harus memberitahunya, Greg memutuskan. 
Tapi kemudian dia ragu-ragu. Jika aku mengatakan kepadanya, dia tak akan percaya padaku. 
Jika aku mengatakan kepadanya, bagaimana hal itu akan membantu membawa Shari kembali? 
"Kau tampak sangat bermasalah," kata Riddick, berjongkok di sebelah Greg di tempat teduh. "Siapa nammu, lagi?" 
"Greg. Greg Bank." 
"Yah, kau tampak sangat bermasalah, Greg," ulang polisi lembut. "Mengapa tak kau katakan padaku apa yang mengganggumu. Mengapa tak kau katakan padaku apa yang ada di pikiranmu? Kupikir itu akan membuatmu merasa jauh lebih baik." 
Greg menghela napas panjang dan melirik ke teras. Mrs Walker menutupi wajahnya dengan tangan. Suaminya membungkuk di atasnya, mencoba untuk menenangkannya. 
"Yah..." Greg mulai. 
"Silakan, Nak," desak Riddick pelan. "Apakah Akau tahu di mana Shari ini?" 
"Kamera ini," sembur Greg keluar. Dia tiba-tiba bisa merasakan denyut darah terhadap pelipisnya. 
Dia mengambil napas dalam-dalam dan kemudian melanjutkan. "Anda lihat, kamera ini aneh." 
"Apa maksudmu?" Riddick bertanya pelan. 
Greg menghela napas dalam-dalam. "Aku mengambil foto itu. Sebelum Shari.. Ketika saya pertama kali tiba. Saya mengambil dua gambar. Dan dia tak terlihat. Pada kedua foto itu. Lihat?" 
Riddick memejamkan mata, lalu membukanya. "Tidak, aku tak mengerti." 
"Shari tak terlihat dalam foto. Segala sesuat yang lain ada di sana. Tapi ia tidak ada. Dia telah lenyap, lihatlah. Dan, kemudian, kemudian, ia benar-benar menghilang. Kamera ini-..... Itu memprediksikan masa depan, saya kira. Atau kamera itu membuat hal buruk terjadi. " Greg mengangkat kamera itu, mencoba menyerahkannya ke tangan ke polisi. 
Riddick tak berusaha untuk mengambilnya. Dia hanya menatap tajam Greg, menyipitkan mata, ekspresi wajahnya mengeras. 
Greg tiba-tiba merasakan tikaman ketakutan. 
Oh, tidak, pikirnya. Mengapa dia menatapku seperti itu? 
Apa yang dia lakukan? 

19 

Greg terus memegang kamera itu menjauh ke polisi. 
Tapi Riddick dengan cepat naik bangkit. "Kamera itu membuat hal buruk terjadi?" Matanya menatap tajam ke Greg. 
"Ya," kata Greg padanya. "Ini bukan kameraku, lihat. Dan setiap kali saya mengambil gambar -?" 
"Nak, itu cukup," kata Riddick lembut. Dia mengulurkan tangan dan meletakkan satu tangannya ke bahu Greg yang gemetar. "Saya pikir kau sangat kesal, Greg," katanya, suaranya hampir berbisik. "Saya tidak menyalahkanmu ini sangat mengecewakan untuk semua orang.." 
"Tapi itu benar -" Greg mulai bersikeras. 
"Aku akan meminta petugas yang di sana," kata Riddick, menunjuk, "untuk membawamu pulang sekarang. Dan aku akan menyuruh dia memberitahu orangtuamu bahwa kau telah melalui pengalaman yang sangat menakutkan.." 
Aku tahu ia tak akan percaya padaku, Greg berpikir dengan marah. 
Bagaimana aku bisa begitu bodoh? 
Sekarang dia mengira aku sejenis kasus kacang. 
Riddick memanggil polisi di samping rumah dekat pagar. 
"Tidak, tidak apa-apa," kata Greg, cepat menarik diri, menggendong kamera di tangannya. "Aku bisa pulang dengan baik." 
Riddick menatapnya curiga. "Kau yakin?" 
"Ya. Aku bisa berjalan sendiri." 
"Jika kau ada sesuatu untuk dikatakan padaku nanti," kata Riddick, menurunkan pandangannya ke kamera, "cukup memanggil di stasiun, oke?" 
"Oke," jawab Greg, berjalan perlahan menuju depan rumah. 
"Jangan khawatir, Greg. Kami akan melakukan yang terbaik," panggil Riddick setelahnya. "Kita akan menemukannya. Letakkan kamera menjauh dan cobalah untuk beristirahat, oke?" 
"Oke," gumam Greg. 
Dia bergegas melewati keluarga Walkers, yang masih meringkuk bersama di bawah payung di teras. 
Mengapa aku begitu bodoh? ia bertanya pada dirinya sendiri saat dia berjalan pulang. Mengapa aku berharap polisi percaya pada cerita aneh? 
Aku bahkan tak yakin aku percaya diriku sendiri. 
Beberapa menit kemudian, dia membuka layar pintu belakang dapurnya. "Ada orang di rumah?" 
Tak ada jawaban. 
Dia berjalan melalui lorong kembali menuju ruang tamu. "Ada orang di rumah?" 
Tak ada. 
Terry bekerja. Ibunya pasti telah mengunjungi ayahnya di rumah sakit. 
Greg merasa buruk. Dia benar-benar tak ingin sendirian sekarang. Dia benar-benar ingin memberitahu mereka tentang apa yang telah terjadi ke Shari. Dia benar-benar ingin berbicara dengan mereka. 
Masih membawa kamera itu, ia menaiki tangga ke kamarnya. 
Dia berhenti di ambang pintu, berkedip dua kali, lalu menjerit ngeri. 
Buku-bukunya tersebar di seluruh lantai. Selimut telah ditarik dari tempat tidurnya. Laci mejanya semua terbuka, isinya berserakan di sekitar ruangan. Lampu meja itu pada sisinya di lantai. Semua pakaiannya telah ditarik dari lemari pakaian dan lemari dinding dan dilemparkan ke mana-mana. 
Seseorang telah berada di kamar Greg - dan sudah membolak-balik seluruh isi kamar! 

20 

Siapa yang melakukan ini? tanya Greg pada dirinya sendiri, menatap ngeri kamarnya dirampok. 
Siapa yang dengan kasar membuat kamarku terpisah seperti ini? 
Dia menyadari bahwa dia tahu jawabannya. Dia tahu siapa yang akan melakukannya, yang telah melakukannya. 
Seseorang mencari kamera itu. 
Seseorang yang putus asa untuk mendapatkan kembali kamera itu. 
Spidey? 
Pria mengerikan yang berpakaian serba hitam yang tinggal di rumah Coffman. Apakah dia pemilik kamera itu? 
Ya, Greg tahu, Spidey yang melakukannya. 
Spidey telah melihat Greg, memata-matai Greg dari balik bangku di pertandingan Liga Kecil. 
Dia tahu bahwa Greg memiliki kameranya. Dan dia tahu di mana Greg tinggal. 
Pikiran itu adalah yang paling mengerikan . 
Dia tahu di mana Greg tinggal. 
Greg berpaling dari kekacauan di kamarnya, bersandar di dinding lorong, dan memejamkan mata. 
Dia membayangkan Spidey, sosok gelap bergerak pelan begitu menakutkan di atas kaki kurusnya. Dia membayangkannya di dalam rumah, rumah Greg. Di dalam kamar Greg. 
Dia ada di sini, pikir Greg. Dia mengais-ngais semua barang-barangku. Dia menghancurkan kamarku. 
Greg melangkah kembali ke kamarnya. Dia merasa semuanya campur aduk. Dia merasa ingin berteriak marah dan menangis mencari bantuan, semuanya sekaligus. 
Tapi dia sendirian. Tak ada seorang pun yang mendengarnya. Tak ada seorang pun untuk membantu dia. 
Bagaimana sekarang? ia bertanya-tanya. Bagaimana sekarang? 
Dengan tiba-tiba, bersandar di kusen pintu, menatap kamarnya yang kacau balau, ia tahu apa yang harus ia lakukan.

21 

"Hei, Bird, ini aku." 
Greg memegang gagang telepon di satu tangan dan menyeka keringat di dahinya dengan tangan yang lain. Dia tak pernah bekerja begitu keras - atau begitu cepat - dalam hidupnya. 
"Apakah mereka menemukan Shari?" tanya Bird penuh semangat. 
"Aku belum mendengar. Aku tak berpikir begitu," kata Greg, matanya mengamati kamarnya. Hampir kembali normal. 
Dia telah menempatkan semuanya kembali, dibersihkan dan diluruskan. Orang tuanya tak akan pernah menduganya. 
"Dengar, Bird, aku tak menelepon tentang itu," kata Greg, berbicara dengan cepat dalam telepon. "Panggilkan Michael untukku, oke? Temui aku di taman bermain. Di lapangan kasti." 
"Kapan? Sekarang??" tanya Bird, terdengar bingung. 
"Ya," kata Greg padanya. "Kita harus bertemu. Ini penting." 
"Ini hampir makan malam," protes Bird. "Aku tak tahu apakah orang tuaku -" 
"Ini penting," ulang Greg tak sabar. "Aku harus bertemu kalian. Oke?" 
"Yah... Mungkin aku bisa menyelinap keluar selama beberapa menit," kata Bird, merendahkan suaranya. Dan kemudian Greg mendengar dia berteriak kepada ibunya: "Tak ada seorang pun, Bu. Aku tak bicara pada siapa pun!" 
Wah, itu pikiran yang cepat! Greg berpikir sinis. Dia pembohong lebih buruk dari aku! 
Dan kemudian dia mendengar panggilan Bird ke ibunya: "Aku tahu aku telepon. Tapi aku tak berbicara dengan siapa pun. Ini hanya Greg." 
Terima kasih banyak, teman, Greg berpikir. 
"Aku harus pergi," kata Bird. 
"Ajak Michael, oke?" Greg mendesak. 
"Ya. Oke. Sampai ketemu." Dia menutup telepon. 
Greg meletakkan gagang telepon, lalu mendengarkan ibunya. Dibawah tenang. Dia masih belum ada di rumah. Dia tak tahu tentang Shari, Greg sadar. Dia tahu dia dan ayahnya akan sangat marah. 
Sangat kesal. 
Hampir kesal karena dia. 
Berpikir tentang temannya yang hilang, ia pergi ke jendela kamarnya dan melihat ke bawah pada pintu halaman berikutnya. Sekarang sepi. 
Semua polisi telah pergi. Orang tua Shari yang terguncang pasti sudah masuk ke dalam. 
Seekor tupai duduk di bawah naungan luas dari pohon besar, mati-matian menggerogoti biji pohon ek, biji ek lainnya di kakinya. 
Di sudut jendela, Greg bisa melihat kue ulang tahun, masih duduk sedih di meja kosong, tempat itu teratur semua, dekorasinya masih berdiri. 
Sebuah pesta ulang tahun untuk hantu. 
Greg bergidik. 
"Shari masih hidup," katanya lantang. "Mereka akan menemukannya. Dia masih hidup.." 
Dia tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. 
Memaksakan diri menjauh dari jendela, ia bergegas untuk menemui kedua temannya. 

22 

"Tidak akan," kata Bird panas, bersandar di bangku bangku. "Apa kau benar-benar pergi?" 
Sambil mengayunkan kamera itu dengan kabelnya, Greg berbalik berharap penuh pada Michael. Tapi Michael menghindari tatapan Greg. "Aku dengan Bird," katanya, matanya pada kamera itu. 
Sejak itu setelah makan malam, taman bermain itu hampir sunyi. Beberapa anak-anak kecil di atas ayunan di ujung lain. Dua anak kecil mengendarai sepeda mereka berputar dan mengelilingi lapangan sepak bola. 
"Kupikir mungkin kalian akan datang denganku," kata Greg, kecewa. Dia menendang serumpun rumput dengan sepatunya. "Aku harus mengembalikan benda ini," lanjutnya, menaikkan kamera itu. "Aku tahu itu yang harus kulakukan. Aku harus mengembalikannya ke tempat aku menemukannya.." 
"Tidak," ulang Bird, menggelengkan kepala. "Aku tak akan kembali ke rumah Coffman. Satu kali sudah cukup." 
"Ayam (pengecut)?" Greg bertanya dengan marah. 
"Ya," aku Bird dengan cepat. 
"Kau tak harus mengembalikannya," bantah Michael. Dia menarik dirinya ke sisi bangku-bangku, naik ke dek ketiga kursi, lalu menurunkan dirinya ke tanah. 
"Apa maksudmu?" tanya Greg tak sabar, menendang rumput. 
"Buang saja, Greg," desak Michael, membuat gerakan melempar dengan satu tangan. "Itu saja. Lemparkan ke tempat sampah di suatu tempat." 
"Ya. Atau tinggalkan saja di sini," saran Bird. Dia meraih kamera itu. "Berikan padaku. Aku akan menyembunyikannya di bawah kursi." 
"Kau tak mengerti," kata Greg, mengayunkan kamera di luar jangkauan Bird. "Membuangnya tak akan ada gunanya." 
"Mengapa tidak?" tanya Bird, membuat ayunan lain untuk (mengambil) kamera itu. 
"Spidey akan kembali untuk kamera itu," kata Greg dia panas. "Dia akan kembali ke kamarku mencarinya. Dia akan datang setelah aku. Aku tahu itu." 
"Tapi bagaimana kalau kita tertangkap saat mengembalikannya?" Tanya Michael. 
"Ya. Bagaimana jika Spidey yang di rumah Coffman, dan ia menangkap kita?" kata Bird. 
"Kau tak mengerti," teriak Greg. "Dia tahu di mana aku tinggal. Dia berada di rumahku. Dia berada di kamarku. Dia ingin kamera itu kembali, dan -.!!" 
"Sini. Berikan padaku,." Kata Bird. "Kita tak harus kembali ke rumah itu. Dia dapat menemukannya. Di sini." 
Dia meraih lagi untuk (mengambil) kamera itu. 
Greg memegang erat tali dan mencoba menariknya. 
Tapi Bird meraih sisi kamera itu. 
"Tidak!" Greg berteriak saat kamera itu berkilat. Dan berputar. 
Satu (kertas) persegi film meluncur keluar. 
"Tidak!" Greg berteriak pada Bird, ngeri, menatap persegi putih yang mulai berproses. "Kau mengambil fotoku!" 
Tangannya gemetar, ia menarik hasil jepretan dari kamera. 
Apa yang akan kamera itu tunjukkan?

23 

"Maaf," kata Bird. "Aku tak bermaksud untuk -" 
Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, satu suara memutuskannya dari belakang bangku penonton. "Hei - Bagaimana kalian sampai di sana?" 
Greg memandang hasil cetak itu dengan terkejut. Dua anak laki-laki yang tampak tangguh melangkah keluar dari bayang-bayang, ekspresi mereka keras, mata mereka (menatap) kamera itu. 
Dia mengenali mereka dengan segera - Joey Ferris dan Mickey Ward - dua anak kelas sembilan yang selalu keluar bersama-sama, selalu berlagak sombong di sekitarnya, bertingkah tangguh, memilih anak-anak yang lebih muda dari mereka. 
Mereka khususnya mengambil sepeda anak-anak , mengendarainya, dan membuangnya di suatu tempat. Ada desas-desus di sekitar sekolah bahwa Mickey pernah memukuli seorang anak begitu parah sehingga anak itu lumpuh seumur hidup. Tapi, Greg percaya Mickey membuat sendiri rumor itu dan menyebarkannya sendiri. 
Kedua anak laki-laki itu cukup besar untuk umur mereka. Tak ada seorangpun dari mereka yang sangat baik di sekolah. Dan bahkan meskipun mereka selalu mencuri sepeda dan skateboard, meneror anak-anak kecil, dan terlibat perkelahian, tak satu pun dari mereka pernah kelihatan untuk mendapat masalah yang serius. 
Joey memiliki rambut pirang pendek, diatur rapi lurus ke atas, dan mengenakan perhiasan bulat seperti intan di satu telinga. Mickey berwajah bulat merah penuh jerawat, rambut hitam nenjuntai ke bahunya, dan meremas-remas tusuk gigi di antara giginya. Kedua anak laki-laki memakai kaos Heavy Metal dan celana jeans. 
"Hei, aku harus pulang," kata Bird cepat, setengah meloncat dan setengah menari menjauh dari bangku penonton. 
"Aku juga," kata Michael, tak mampu untuk menutupi rasa takut yang tampak di wajahnya. 
Gregg menyelipkan hasil foto itu ke dalam saku celana jinsnya. 
"Hei, kau menemukan kameraku," kata Joey, meraih kamera itu dari tangan Greg. Mata abu-abu kecilnya terbakar pada Greg seakan mencari reaksi. "Trims, Bung." 
"Berikan kembali, Joey," kata Greg sambil mendesah. 
"Ya. Jangan ambil kamera itu," kata Mickey temannya, satu senyum tersebar di wajahnya yang bundar. "Ini milikku!" Dia bergulat (untuk mendapatkan) kamera menjauh dari Joey. 
"Berikan kembali," desak Greg marah, mengulurkan tangannya. Lalu ia memelankan nada suaranya. "Ayolah guys, kamera itu bukan milikku.." 
"Aku tahu itu bukan milikmu," kata Mickey, menyeringai. "Karena itu punyaku!" 
"Aku harus mengembalikannya kepada pemiliknya," kata Greg, berusaha untuk tak mengeluh, tetapi suaranya terdengar di tepian. 
"Bukan, kau bukan pemiliknya, Aku pemiliknya sekarang," desak Mickey. 
"Apakah kau belum pernah mendengar tentang penemu adalah pemelihara?" tanya Joey bersandar pada Greg mengancam. Dia enam inci lebih tinggi dari Greg, dan lebih berotot. 
"Hei, biarkan dia memiliki benda itu," bisik Michael di telinga Greg. "Kau ingin menyingkirkannya? Benar" 
"Tidak!" protes Greg. 
"Apa masalahmu, wajah bintik?" tanya Joey pada Michael, memandangi Michael naik dan turun. 
"Tak ada masalah," kata Michael lembut. 
"Hei - katakan cheese!" Mickey mengarahkan kamera pada Joey. 
"Jangan lakukan itu," sela Burung, melambaikan tangannya panik. 
"Mengapa tidak?" tuntut Joey. 
"Karena wajahmu akan mematahkan kamera," kata Bird, tertawa. 
"Kau benar-benar lucu," kata Joey sinis, menyipitkan matanya mengancam, mengeraskan wajahnya. "Kau ingin senyum bodoh itu jadi permanen?" Dia mengangkat sekepalan besar. 
"Aku tahu anak ini," kata Mickey pada Joey, menunjuk pada Bird. "Dia mengira dia barang panas." 
Kedua anak laki-laki itu menatap tajam Bird, mencoba untuk menakut-nakutinya. 
Bird menelan ludah. Dia mundur selangkah, menabrak bangku-bangku. "Tidak, aku tidak," katanya pelan. "Aku tak berpikir aku barang panas." 
"Dia terlihat seperti sesuatu yang kuinjak kemarin," kata Joey. 
Ia dan Mickey tertawa terbahak-bahak bernada tinggi, tawa hyena (hewan mirip anjing dari Afrika atau Asia selatan) dan saling menepuk satu sama lain. 
"Dengar, guys. Aku benar-benar butuh kamera itu kembali," kata Greg, mengulurkan tangan untuk mengambilnya. "Ini tidak bagus, toh itu rusak.. Dan itu bukan milikku." 
"Ya, itu benar. Ini rusak," tambah Michael, mengangguk-angguk. 
"Ya. Benar,." Kata Mickey sinis. "Kita lihat saja." Dia mengangkat kamera lagi dan mengarahkannya pada Joey. 
"Sungguh, guys. Aku butuh itu kembali,." Kata Greg putus asa. 
Jika mereka mengambil foto dengan kamera itu, Greg menyadarinya, mereka mungkin menemukan rahasianya. Foto itu akan menunjukkan masa depan, hanya menunjukkan hal-hal buruk terjadi kepada orang-orang. Kamera itu jahat. Mungkin bahkan menyebabkan kejahatan. 
"Katakan cheese," perintah Mickey pada Joey. 
"Cukup tekan benda bodoh itu!" jawab Joey dengan tak sabar. 
Tidak, pikir Greg. Aku tak bisa membiarkan ini terjadi. Aku harus mengembalikan kamera itu ke rumah Coffman, pada Spidey. 
Menuruti kata hatinya, Greg melompat maju. Dengan berteriak, ia menyambar kamera itu dari wajah Mickey. 
"Hei -" Mickey bereaksi terkejut. 
"Ayo kita pergi!" teriak Greg pada Bird dan Michael. 
Dan tanpa berkata lagi, ketiga sahabat itu berbalik dan mulai berlari melewati taman bermain yang sepi menuju rumah mereka. 
Jantungnya berdebar di dadanya, Greg mencengkeram erat kamera itu dan berlari secepat dia bisa, sepatunya membentur keras di atas rumput kering. 
Mereka akan menangkap kita, pikir Greg, nafasnya sekarang terengah-engah keras sekarang saat dia berlari ke jalan. Mereka akan menangkap kita dan memukul kita. Mereka akan mengambil kembali kamera itu. Kami daging mati. Daging mati. 
Greg dan teman-temannya tidak berbalik sampai mereka di seberang jalan. Dengan napas ribut, mereka menoleh ke belakang - dan berteriak kaget lega. 
Joey dan Mickey tak beranjak dari samping bangku. Mereka tak mengejar. Mereka bersandar di bangku-bangku, tertawa. 
"Kalian nanti akan kami tangkap, guys!" teriak Joey setelah mereka. 
"Ya. Nanti." Ulang Mickey. 
Mereka berdua tertawa lagi, seolah-olah mereka telah mengatakan sesuatu yang lucu. 
"Hampir saja," kata Michael, masih terengah-engah. 
"Mereka serius," kata Bird, tampak sangat susah. "Mereka nanti akan menangkap kita. Kita tinggal sejarah." 
"Omong kasar. Mereka cuma kebanyakan udara panas," desak Greg. 
"Oh, ya?" teriak Michael. "Lalu kenapa kita lari seperti itu?" 
"Karena kita terlambat untuk makan malam," canda Bird. "Sampai nanti, guys. Aku akan menangkapnya jika aku tak terburu-buru.." 
"Tapi kamera itu-" protes Greg, masih mencengkeram erat dengan satu tangan. 
"Sudah terlambat," kata Michael, dengan gugup menyapu tangan kebalakang pada rambut merahnya. 
"Ya Kita akan melakukannya besok atau lainnya." Bird setuju. 
"Lalu kalian akan ikut denganku?" tanya Greg penuh semangat. 
"Eh.. Aku harus pergi,." Kata Bird tanpa menjawab. 
"Aku juga," kata Michael dengan cepat, menghindari tatapan Greg. 
Mereka bertiga dari memalingkan mata mereka kembali ke taman bermain. Joey dan Mickey sudah lenyap. Mungkin pergi untuk meneror anak-anak lainnya. 
"Sampai nanti," kata Bird, menepuk bahu Greg sambil berjalan pergi. Ketiga sahabat itu berpisah, berlari ke arah yang berbeda melewati rumput dan jalanan masuk, menuju rumah. 
Greg telah berlari sepanjang jalan ke halaman depan sebelum ia teringat hasil foto yang ia masukkan ke dalam saku celana jinsnya. 
Dia berhenti di jalan masuk dan menariknya keluar. 
Matahari merendah di belakang garasi. Dia memegang hasil foto itu dekat ke wajahnya untuk melihat dengan jelas. 
"Oh, tidak!" teriaknya. "Aku tak percaya!"

24 

"Ini tak mungkin!" Greg berteriak keras, menganga dengan hasil foto di tangannya yang gemetar. 
Bagaimana Shari masuk ke foto? 
Foto ini diambil beberapa menit sebelumnya, di depan bangku-bangku di taman bermain. 
Tapi ada Shari, berdiri dekat di samping Greg. 
Tangannya gemetar, mulutnya ternganga tak percaya, Greg terbelalak menatap foto itu. 
Itu sangat jelas, sangat tajam. Mereka di sana di tempat bermain. Dia bisa melihat lapangan kasti di latar belakang. 
Dan di sanalah mereka, Greg dan Shari. 
Shari berdiri begitu jelas, begitu tajam - tepat di sampingnya. 
Dan mereka berdua menatap lurus ke depan, mata mereka nelebar, mulut mereka terbuka, ekspresi mereka membeku karena ketakutan ketika suatu bayangan besar menutupi mereka berdua. 
"Shari?" teriak Greg, menurunkan hasil foto dan matanya melesat atas halaman depan. "Apa kau di sini ? Bisakah kau mendengarku?" 
Dia mendengarkan. 
Sunyi. 
Dia mencoba lagi. 
"Shari? Apa kau di sini?" 
"Greg!" satu suara memanggil. 
Mengeluarkan teriakan kaget, Greg berbalik. "Hah?" 
"Greg!" ulang suara itu. Ia perlu waktu beberapa saat untuk menyadari bahwa itu adalah ibunya, memanggilnya dari pintu depan. 
"Oh, Hai Bu." Merasa bingung, ia menyelipkan hasil foto itu kembali ke saku celana jinsnya. 
"Ke mana saja kau?" tanya ibunya sambil berjalan ke pintu. "Aku mendengar tentang Shari. Aku begitu kesal. Aku tak tahu di mana kau berada." 
"Maaf, Bu," kata Greg, mencium pipinya. "Aku - aku harusnya meninggalkan catatan." 
Dia melangkah ke dalam rumah, merasa aneh dan bermacam-macam, sedih, bingung dan ketakutan, semuanya pada waktu yang sama. 

****

Dua hari kemudian, pada hari yang (bercuaca) tinggi, awan abu-abu, udara panas dan berkabut, Greg berjalan mondar-mandir di kamarnya setelah pulang sekolah. 
Rumah itu kosong kecuali untuk dirinya. Terry sudah pergi beberapa jam sebelum ke pekerjaannya setelah sekolah di Freeze Dairy. Mrs Bank pergi ke rumah sakit untuk menjemput ayah Greg, yang akhirnya pulang. 
Greg tahu ia harusnya senang ayahnya kembalinya. Tapi masih ada terlalu banyak hal mengganggunya, menarik-narik pikirannya. 
Menakutkannya. 
Untuk satu hal, Shari masih belum ditemukan. 
Polisi benar-benar bingung. Teori baru mereka adalah bahwa dia telah diculik. 
Panik (memikirkannya), orang tuanya dengan sedih menunggu telepon di rumah. Tapi tak ada penculik yang menuntut uang tebusan. 
Tak ada petunjuk apapun. 
Tak ada yang bisa dilakukannya kecuali menunggu. Dan harapan. 
Saat hari-hari berlalu, Greg merasa lebih dan lebih bersalah. Dia yakin Shari tak diculik. Dia tahu bahwa entah bagaimana, kamera itu telah membuatnya menghilang. 
Tapi ia tak bisa memberitahu orang lain apa yang diyakininya. 
Tak seorang pun akan percaya kepadanya. Setiap orang yang dia coba untuk menceritakan kisah itu akan berpikir dia gila. 
Kamera tak akan bisa jahat, setelah semuanya. 
Kamera tak bisa membuat orang jatuh dari tangga. Atau mencelakakan mobil mereka. 
Atau menghilangkan dari pandangan. 
Kamera hanya dapat merekam apa yang dilihat. 
Greg menatap keluar dari jendela kamarnya, menekankan dahinya kaca, memandang ke halaman belakang Shari itu. "Shari - di mana kau?" tanyanya dengan keras, menatap pohon tempat ia berpose. 
Kamera itu masih tersembunyi di dalam ruangan rahasia di ujung tempat tidurnya. Tak seorang pun dari Bird maupun Michael yang setuju untuk membantu Greg kembali ke rumah Coffman. 
Selain itu, Greg memutuskan untuk menahan kamera itu beberapa saat lagi, dalam kasus ini ia membutuhkannya sebagai barang bukti. 
Dalam hal ia memutuskan untuk menceritakan ketakutannya tentang hal itu kepada seseorang. 
Dalam kasus. . . 
Ketakutannya yang lain adalah Spidey akan kembali, kembali ke kamar Greg, kembali untuk (mengambil) kamera itu. 
Begitu banyak yang harus ditakutinya. 
Dia menjauhkan dirinya dari jendela. Dia telah menghabiskan begitu banyak waktu dalam beberapa hari terakhir menatap halaman belakang Shari yang kosong itu. 
Berpikir. Berpikir. 
Sambil mendesah, dia merogoh ujung ranjang dan menarik keluar dua hasil foto yang disembunyikannya di sana bersama dengan kamera itu. 
Kedua hasil foto itu diambil Sabtu lalu di pesta ulang tahun Shari itu. Memegang satu foto di masing-masing tangan, Greg menatap mereka, berharap ia bisa melihat sesuatu yang baru, sesuatu yang tak perhatikannya sebelumnya. 
Tetapi foto tak berubah. Foto itu masih menunjukkan pepohonnya, halaman belakangnya, kehijauan di bawah sinar matahari. Dan tak Shari. Tak ada satu pun di mana Shari telah berdiri. Seolah-olah lensa itu telah menembus tepat melalui dirinya. 
Menatap foto, Greg menjerit sedih. 
Kalau saja ia tak pernah pergi ke rumah Coffman. 
Kalau saja ia tiak pernah mencuri kamera. 
Kalau saja ia tak pernah mengambil foto-foto dengan kamera itu. 
Kalau saja. . . kalau saja. . . kalau saja. . . 
Sebelum ia menyadari apa yang dia lakukan, dia merobek dua hasil foto itu menjadi potongan-potongan kecil. 
Dadanya naik turun, terengah-engah keras, ia merobek foto itu dan membiarkan potongannya jatuh ke lantai. 
Ketika ia merobek keduanya menjadi pecahan-pecahan kertas kecil, ia menjatuhkan dirinya tertelungkup di tempat tidurnya dan memejamkan matanya, menunggu hatinya berhenti berdebar-debar, menunggu perasaan berat dari rasa bersalah dan ngeri hilang. 
Dua jam kemudian, telepon di samping tempat tidurnya berdering. 
Itu Shari. 

25 

"Shari - itu benar-benar kau?" Greg berteriak di telepon. 
"Ya. Ini aku!" Dia terdengar sama terkejutnya dengannya. 
"Tapi bagaimana? Maksudku -" Pikirannya berlomba. Dia tak tahu harus berkata apa. 
"Tebakanmu sebaik tebakanku," kata Shari padanya. Dan kemudian dia berkata, "Tunggu sebentar." 
Dan Greg mendengar langkah menjauhnya dari telepon untuk berbicara dengan ibunya. "Bu - Ibu sudah berhentilah menangis -. Ini benar-benar aku. Aku sudah pulang.." 
Beberapa detik kemudian, dia kembali di telepon. "Aku sudah di rumah selama dua jam, dan Ibu masih menangis dan menangis." 
"Aku juga merasa akan menangis," aku Greg. "Aku - aku tak bisa percaya ini. Shari, di mana kau?!" 
Jalur ini hening beberapa saat. 
"Aku tak tahu," Shari akhirnya menjawab. 
"Hah?" 
"Aku benar-benar tak tahu. Itu hanya sangat aneh, Greg. Satu menit, ada aku di pesta ulang tahunku. Menit berikutnya, aku berdiri di depan rumahku. Dan itu dua hari kemudian.. Tapi aku tak ingat pergi jauh. Atau sedang di tempat lain. Aku tak ingat apa-apa sama sekali. " 
"Kau tak ingat pergi ? Atau pulang?" tanya Greg. 
"Tidak. Tak ada," kata Shari, suaranya gemetar. 
"Shari, foto-foto yang ku ambil darimu - ingat? Dengan kamera aneh itu? Kau tak kelihatan di dalamnya ?" 
"Dan lalu aku menghilang," kata Shari, menyelesaikan pikiran Greg. 
"Shari, menurutmu -?" 
"Aku tak tahu," jawabnya cepat. "Aku -. Aku harus pergi sekarang. Polisi ada di sini. Mereka ingin menanyaiku. Apa yang akan kukatakan pada mereka. Mereka akan berpikir aku sudah hilang ingatan atau jadi gila atau sesuatu (yang lain)..?." 
"Aku - aku tak tahu," kata Greg, benar-benar bingung. "Kita harus bicara. Kamera itu -." 
"Aku tak bisa sekarang," katanya. "Mungkin besok. Oke?" Dia berteriak pada ibunya bahwa dia akan datang. "Sampai jumpa, Greg. Sampai ketemu." Dan kemudian dia menutup telepon. 
Greg meletakkan gagang telepon, tetapi duduk di tepi tempat tidurnya menatap telepon untuk waktu yang lama. 
Shari kembali. 
Dia sudah kembali sekitar dua jam. 
Dua jam. Dua jam. Dua jam. 
Lalu matanya beralih ke jam radio di samping telepon. 
Baru dua jam sebelumnya, ia telah merobek dua hasil foto Shari yang tak terlihat. 
Pikirannya berputar dengan ide-ide liar, ide-ide gila. 
Apakah ia membawa Shari kembali dengan merobek foto-foto itu? 
Apakah ini berarti bahwa kamera itu menyebabkan dia menghilang? Bahwa kamera itu menyebabkan semua hal mengerikan yang muncul dalam foto tersebut? 
Greg menatap telepon untuk waktu yang lama, berpikir keras. 
Dia tahu apa yang harus ia lakukan. Dia harus bicara ke Shari. Dan ia harus mengembalikan kamera itu. 

****

Dia bertemu Shari di tempat bermain sore berikutnya. Matahari melayang tinggi di langit yang tak berawan. Delapan atau sembilan anak-anak terlibat dalam keributan berisik dalam satu pertandingan sepak bola, berlari ke satu arah, lalu yang lain persis di luar lapangan bisbol. 
"Hei - kau terlihat seperti dirimu!" seru Greg saat Shari berlari-lari kecil datang ke tempatnya berdiri di samping bangku-bangku. Dia mencubit lengan Shari. "Ya. Ini kau, oke." 
Shari tak tersenyum. "Aku merasa baik-baik saja," katanya sambil menggosok-gosok lengannya. "Hanya bingung. Dan lelah. Polisi mengajukan pertanyaan-pertanyaan padaku selama berjam-jam Dan ketika akhirnya mereka pergi, orang tuaku mulai masuk." 
"Maaf," kata Greg pelan, menatap sepatunya. 
"Kupikir Ibu dan Ayahku percaya entah bagaimana itu salahku bahwa aku menghilang," kata Shari, mengistirahatkan punggungnya ke sisi bangku, menggelengkan kepala. 
"Ini salah kamera itu," gumam Greg. Dia mengangkat matanya ke Shari. "Kamera itu jahat." 
Shari mengangkat bahu. "Mungkin. Aku tak tahu harus berpikir apa. Aku benar-benar tak tahu." 
Greg menunjukkan Shari hasil foto itu, yang menunjukkan mereka berdua di taman bermain menatap dengan ngeri saat bayangan bergerak pelan ke atas mereka. 
"Begitu aneh," seru Shari, mempelajarinya dengan keras. 
"Aku ingin mengembalikan kamera itu ke rumah Coffman," kata Greg panas. "Aku bisa pulang dan mengambilnya sekarang. Maukah kau membantuku? Maukah kau ikut denganku?." 
Shari akan menjawab, tapi berhenti. 
Mereka berdua melihat bayangan gelap bergerak, meluncur ke arah mereka dengan cepat, diam-diam, di atas rumput. 
Dan kemudian mereka melihat pria itu berpakaian serba hitam, kakinya yang kurus itu naik turun dengan keras saat ia datang pada mereka. 
Spidey! 
Greg meraih tangan Shari itu, membeku ketakutan. 
Dia dan Shari terganga ngeri saat bayangan Spidey yang merayap bergerak pelan di atas mereka.

26 

Greg mengakui punya perasaan ngeri. Dia tahu hasil foto itu baru saja menjadi kenyataan. 
Saat sosok gelap Spidey bergerak menuju mereka seperti tarantula hitam, Greg menarik tangan Shari itu. "Lari!" teriaknya dengan suara melengking yang tak dikenalinya. 
Dia tak harus mengatakannya. Mereka berdua berlari sekarang, terengah-engah saat mereka berlari melintasi rerumputan ke jalanan. Sepatu mereka berdebam keras di tanah saat mereka mencapai trotoar dan terus berlari. 
Greg berbalik untuk melihat Spidey memperkecil jarak. "Dia mengejar!" ia berhasil berteriak ke Shari, yang beberapa langkah di depannya. 
Spidey, wajahnya masih tersembunyi dalam bayang-bayang topi kasti hitam, bergerak dengan kecepatan mengejutkan, kakinya yang panjang menendang tinggi saat ia mengejar mereka. 
"Dia akan menangkap kita!" teriak Greg, merasa seolah-olah dadanya hendak meledak. "Dia... Terlalu... Cepat!" 
Spidey bergerak lebih dekat, bayangannya merayap di atas rumput. 
Lebih dekat. 
Saat mobil itu membunyikan klakson, Greg menjerit. 
Dia dan Shari berhenti sebentar. 
Klakson berbunyi lagi. 
Greg berbalik dan melihat seorang pria muda yang dinealnya dalam sebuah hatchback kecil (mobil yang pintunya dibuka keatas). Itu Jerry Norman, yang tinggal di seberang jalan. 
Jerry menurunkan jendela mobilnya. "Apa orang ini mengejar kalian?" tanyanya penuh semangat. Tanpa menunggu jawaban, ia memundurkan mobil ke arah Spidey. "Tuan, aku akan menelepon polisi!" 
Spidey tak menjawab. Sebaliknya, ia berbalik dan melesat di seberang jalan. 
"Kuperingatkan Anda -" Jerry meneriakinya. 
Tapi Spidey sudah lenyap di balik pagar tinggi. 
"Anak-anak apa kalian baik-baik saja?" Desak tetangga Greg. 
"Ya. Baik," Greg berhasil menjawab, masih terengah-engah, dadanya naik-turun. 
"Kami baik-baik saja. Terima kasih, Jerry," kata Shari. 
"Aku telah melihat orang itu di sekitar lingkungan ini," kata pemuda itu, menatap melalui kaca depan di pagar tinggi. "Tak pernah terpikir kalau ia berbahaya. Anak-anak, kalian ingin aku menelepon polisi?." 
"Tak apa-apa," jawab Greg. 
Begitu aku memberikan kembali kameranya, dia akan berhenti mengejar kami, pikir Greg. 
"Yah, hati-hati - oke?" Jerry berkata. "Kalian butuh tumpangan ke rumah atau apa?" Dia mempelajari wajah-wajah mereka seolah-olah mencoba untuk menentukan bagaimana ketakutan dan kesal mereka. 
Baik Greg dan Shari menggelengkan kepala mereka. 
"Kami akan baik-baik saja," kata Greg. "Terima kasih." 
Jerry memperingatkan mereka sekali lagi untuk berhati-hati, kemudian melaju pergi, ban mobilnya berdecit saat ia berbelok. 
"Hampir saja," kata Shari, matanya pada pagar. "Mengapa Spidey mengejar kita?" 
"Dia mengira aku punya kamera itu. Dia menginginkannya kembali," kata Greg padanya. "Temui aku besok, oke. Di depan rumah Coffman? Bantu aku mengembalikannya?" 
Shari menatapnya tanpa menjawab, ekspresinya berpikir, waspada. 
"Kita akan berada dalam bahaya - kita semua - sampai kita mengembalikan kamera itu," desak Greg. 
"Oke," kata Shari tenang. "Besok." 

27 

Sesuatu bergerak cepat melalui rerumputan liar yang tinggi yang tak dipotong di halaman depan. 
"Apa itu?" teriak Shari, berbisik meskipun tidak ada orang lain di depan mata. "Itu terlalu besar untuk tupai." 
Dia berlama-lama di belakang Greg, yang berhenti untuk melihat ke rumah Coffman. "Mungkin itu racoon atau sesuatu yang lain," kata Greg padanya. Dia mencengkeram erat kamera itu di kedua tangannya. 
Saat itu pukul tiga lebih sedikit, sore berikutnya, hari yang berkabut dan mendung. Pegunungan awan gelap mengancam hujan yang bergulir di langit, membentang di belakang rumah, menuangkannya dalam bayangan. 
"Akan badai," kata Shari, tinggal dekat belakang Greg. "Ayo kita selesaikan ini dan pulang." 
"Ide bagus," kata Greg, sambil menatap langit yang berat. 
Guntur bergemuruh di kejauhan, meraung rendah. Pepohonan tua yang menghiasi halaman depan berbisik dan menggeleng-geleng. 
"Kita tak bisa lari begitu saja ke dalam," kata Greg, mengamati langit yang gelap. "Pertama kita harus pastikan Spidey tak ada." 
Mereka berjalan cepat melalui rerumputan tinggi dan rumput-rumput liar, mereka berhenti di jendela ruang tamu dan mengintip masuk. Guntur bergemuruh, rendah dan panjang, di kejauhan. Greg pikir ia melihat makhluk lain berlari tergesa-gesa melalui rerumputan liar di sekitar sudut rumah. 
"Terlalu gelap di sana. Aku tak bisa melihat apa-apa," keluh Shari. 
"Ayo kita periksa ruang bawah tanah," usul Greg. "Di situlah Spidey menghabiskan waktunya, ingat?" 
Langit jadi gelap hijau keabu-abuan menakutkan saat mereka berjalan ke belakang rumah dan berlutut untuk mengintip ke bawah melalui jendela ruang bawah tanah di permukaan tanah. 
Sambil memicingkan mata melalui kaca jendela yang berdebu mereka bisa melihat meja kayu lapis darurat yang dibuat Spidey, lemari pakaian di dinding, pintunya masih terbuka, pakaian tua berwarna-warni tertumpah keluar, kotak makanan beku yang kosong berserakan di lantai. 
"Tak ada tanda dari dia," bisik Greg, menggendong kamera itu di lengannya seolah-olah kamera itu mungkin mencoba melarikan diri darinya jika dia tidak memegangnya erat-erat. "Ayo kita bergerak." 
"Apa - apa kau yakin?" Shari tergagap. Dia ingin jadi berani. Tapi pemikiran bahwa ia telah menghilang selama dua hari - benar-benar lenyap, kemungkinan besar karena kamera itu - pemikiran menakutkan itu melekat dalam pikirannya. 
Michael dan Bird adalah ayam (pengecut), pikirnya. Tapi mungkin merekalah yang cerdas. 
Dia berharap ini berakhir. Semuanya berakhir. 
Beberapa detik kemudian, Greg dan Shari membuka pintu depan. Mereka melangkah ke dalam ruang depan yang gelap. Berhenti. 
Mendengarkan. 
Dan kemudian mereka berdua melompat saat mendengar suara keras, dentaman tiba-tiba tepat di belakang mereka.

28 

Sharilah yang pertama untuk mendapatkan kembali suaranya. "Ini hanya pintu!" teriaknya. "Angin -" 
Hembusan angin yang keras telah membuat pintu depan terbanting. 
"Ayo kita selesaikan ini," bisik Greg, sangat gemetar. 
"Kita tak seharusnya masuk ke rumah ini sejak pertama kali," bisik Shari saat mereka berjalan berjingkat-jingkat, langkah demi langkah berderit, menyusuri lorong gelap menuju tangga ruang bawah tanah. 
"Sudah agak terlambat untuk itu," jawab Greg tajam. 
Membuka pintu ke anak tangga ruang bawah tanah, ia berhenti lagi. "Suara keras apa itu yang terdengar di lantai atas ?" 
Raut muka Shari menegang ketakutan saat ia mendengarnya juga, suara ketukan, berulang yang hampir berirama. 
"Daun penutup jendela?" tebak Greg. 
"Ya," Shari dengan cepat setuju, bernapas lega. "Banyak dari daun �daun jendela itu yang longgar, ingat?" 
Seluruh rumah tampak mengerang. 
Guntur bergemuruh luar, lebih dekat sekarang. 
Mereka melangkah ke tangga, lalu menunggu mata mereka untuk menyesuaikan diri dengan kegelapan. 
"Tak bisakah kita tinggalkan kamera itu di sini, dan lari?" tanya Shari, lebih mirip permohonanan daripada pertanyaan. 
"Tidak, aku ingin mengembalikannya," desak Greg. 
"Tapi, Greg -" Shari menarik-narik lengan Greg saat ia mulai menuruni tangga. 
"Tidak!" Greg menarik diri dari genggamannya. "Dia berada di kamarku, Shari. Dia merobek segala sesuatu, mencari kamera itu. Aku ingin dia menemukannya di tempatnya! Jika dia tak menemukannya, dia akan kembali ke rumahku. Aku tahu dia akan! " 
"Oke, oke. Ayo kita cepat-cepat.." 
Lebih terang dalam ruang bawah tanah, cahaya abu-abu merembes turun dari jendela-jendela tingkat empat bawah tanah. Di luar, angin berputar-putar dan mendorong kaca-kaca jendela. Satu kilatan pucat petir membuat bayangan-bayangan berkedip di dinding ruang bawah tanah. Rumah tua itu mengerang seakan tak senang akan badai. 
"Apa itu ? Langkah kaki?" Shari berhenti separuh jalan di ruang bawah tanah dan mendengarkan. 
"Ini hanya rumah ini," Greg bersikeras. Tapi suaranya bergetar mengungkapkan bahwa ia sama takutnya seperti temannya, dan dia berhenti untuk mendengarkan juga. 
Duk. Duk. Duk. 
Daun jendela tinggi di atas mereka meneruskan irama pukulannya. 
"Di mana kau menemukan kamera itu, sih?" bisik Shari, mengikuti Greg ke dinding yang jauh di seberang tungku perapian besar dengan saluran jaring laba-laba yang tumbuh tinggi bagaikan dahan pohon yang pucat. 
"Di sini," kata Greg padanya. Dia melangkah ke meja kerja dan meraih catok yang terjepit di tepi. "Saat aku memutar catok itu, pintu terbuka. Beberapa macam rak tersembunyi. Disitulah kamera itu -.." 
Ia memutar gagang catok itu. 
Sekali lagi, pintu rak-rak rahasia itu muncul terbuka. 
"Bagus," bisiknya penuh semangat. Dia berkelebat. Shari tersenyum. 
Dia memasukkan kamera itu ke rak itu, menyelipkan tali pengikat untuk membawa di bawahnya. Lalu ia mendorong menutup pintu itu. "Kita keluar dari sini." 
Dia merasa jauh lebih baik. Jadi lega. Jadi jauh lebih ringan. 
Rumah itu mengerang dan berderit. Greg tak peduli. 
Kilatan petir lainnya, kali ini lebih terang, seperti kedipan kamera, mengirimkan bayangan yang berkelap-kelip di dinding. 
"Ayo," bisiknya. Tapi Shari sudah di depannya, berjalan dengan hati-hati di atas kotak makanan berserakan di mana-mana, bergegas menuju tangga. 
Mereka sudah berjalan menaiki setengah tangga, Greg satu langkah di belakang Shari, saat, di atas mereka, Spidey diam-diam melangkah tampil di atas tangga , menghalangi pelarian mereka. 

29 

Greg mengerjapkan mata dan menggelengkan kepala, seolah-olah ia bisa mengusir bayangan dari sosok muram yang menatap ke bawah ke arahnya. 
"Tidak!" teriak Shari, dan jatuh kebelakang melanggar Greg. 
Greg menyambar pagar, lupa bahwa pagar itu telah jatuh ke bawah karena berat badan Michael saat kunjungan pertama mereka yang tidak beruntung ke rumah itu. Untungnya, Shari kembali keseimbangan sebelum menjatuhkan mereka berdua menuruni tangga. 
Petir menyambar di belakang mereka, mengirimkan kilatan cahaya putih di tangga. Tapi sosok tak bergerak di tangga di atas mereka tetap terselubung dalam kegelapan. 
"Ayo kita pergi!" Greg akhirnya berhasil berteriak, dapat bersuara lagi. 
"Ya, Kami telah mengembalikan kamera Anda!" Shari menambahkan, terdengar melengking dan ketakutan. 
Spidey tak menjawab. Sebaliknya, ia melangkah ke arah mereka, ke anak tangga pertama. Dan kemudian ia menuruni anak tangga yang lain. 
Hampir tersandung lagi, Greg dan Shari mundur ke lantai ruang bawah tanah. 
Tangga kayu itu berderit memprotes saat sosok gelap itu melangkah perlahan, mantap, turun. Saat ia sampai di lantai ruang bawah tanah, sambaran petir berderak menebarkan cahaya biru di atasnya, dan Greg dan Shari melihat wajahnya untuk pertama kalinya. 
Dalam kilatan warna yang singkat sekali, mereka melihat bahwa ia sudah tua, lebih tua daripada yang mereka bayangkan. Matanya yang kecil dan bulat seperti kelereng gelap. Mulutnya itu kecil, juga berkerut meringis, menyeringai mengancam. 
"Kami telah mengembalikan kamera itu," kata Shari, menatap ketakutan saat Spidey perlahan-lahan mendekat. "Tidak bisakah kami pergi sekarang? Tolonglah?" 
"Coba kulihat," kata Spidey. Suaranya lebih muda daripada wajahnya, lebih hangat daripada matanya. "Ayo." 
Mereka ragu-ragu. Tapi dia tak memberi mereka pilihan. 
Mengantarkan mereka kembali melewati lantai yang berantakan ke meja kerja, dia membungkus tangan laba-labanya yang besar, di catok dan memutar pegangan. Pintu terbuka. Dia mengeluarkan kamera itu dan memegangnya dekat ke wajahnya untuk memeriksanya. 
"Kalian seharusnya tak mengambilnya," katanya kepada mereka, berbicara pelan, membalikkan kamera itu di tangannya. 
"Kami minta maaf," kata Shari cepat. 
"Bisakah kita pergi sekarang?" tanya Greg, berjalan pelan menuju tangga. 
"Ini bukan kamera biasa," kata Spidey, mengangkat mata kecilnya untuk mereka. 
"Kami tahu," kata Greg tanpa berpikir. "Foto-foto yang diambil. Foto-foto itu -." 
Mata Spidey terbelalak, ekspresinya marah. "Kalian mengambil foto dengan kamera itu?" 
"Hanya beberapa," kata Greg padanya, berharap dia menutup mulutnya. "Foto-foto itu tidak keluar. Sungguh.." 
"Kau tahu tentang kamera, lalu," kata Spidey, bergerak cepat ke tengah lantai. 
Apakah dia mencoba untuk menghalangi pelarian mereka? Greg bertanya-tanya. 
"Itu rusak atau sesuatu yang lainnya," kata Greg ragu-ragu, memasukkan tangannya ke saku celana jeans. 
"Ini tak rusak," Sosok tinggi, berkulit gelap berkata pelan. "Kamera ini jahat." Dia menunjuk ke arah meja kayu lapis rendah. "Duduklah di sana." 
Shari dan Greg saling pandang. Lalu, dengan enggan, mereka duduk di tepi papan, duduk kaku, gugup, mata mereka melesat ke tangga,ke arah melarikan diri. 
"Kamera ini jahat," ulang Spidey, berdiri atas mereka, memegang kamera itu dengan kedua tangannya. "Aku harusnya tahu. Aku membantu menciptakannya." 
"Kau seorang penemu?" tanya Greg, sambil melirik Shari, yang gugup menarik-narik sehelai rambut hitamnya. 
"Aku seorang ilmuwan," jawab Spidey. "Atau, harus kukatakan, aku dulu seorang ilmuwan. Namaku Frederick. Dr Fritz Frederick." Dia memindahkan kamera dari satu tangan ke tangan lain. "Rekan laboratoriumku menemukan kamera ini. Ini adalah kebanggaan dan kegembiraannya. Lebih dari itu, itu akan memberinya suatu keberuntungan. Apa yang harus kukatakan." Dia berhenti sejenak, suatu ekspresi penuh pemikiran tenggelam di wajahnya. 
"Apa yang terjadi padanya? Apakah dia mati?" tanya Shari, masih mengutak-atik sehelai rambutnya. 
Dr Fredericks mencibir. "Tidak. Lebih buruk. Aku mencuri penemuannya. Aku mencuri rencana dan kamera itu. Aku jahat, kalian lihat. Aku masih muda dan serakah. Jadi sangat rakus. Dan tidaklah sulit bagiku mencuri untuk membuat keberuntunganku." 
Dia berhenti, menatap mereka berdua seolah menunggu mereka untuk mengatakan sesuatu, untuk mengajukan pencelaan mereka kepadanya, mungkin. Tapi ketika Greg dan Shari tetap diam, menatapnya dari meja kayu lapis rendah, ia melanjutkan ceritanya. 
"Ketika aku mencuri kamera itu, secara mengejutkan aku tertangkap rekanku. Sayangnya, sejak saat itu, semua kejutan itu adalah milikku." Satu senyum aneh, sedih, terlintas di wajah tuanya. "Rekanku, kalian lihat, jauh lebih jahat daripadaku." 
Dr Fredericks terbatuk ke tangannya, lalu mulai berjalan mondar-mandir di depan Greg dan Shari saat ia berbicara, berbicara pelan, perlahan-lahan, seakan mengingat cerita itu untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. 
"Rekanku adalah seorang yang benar-benar jahat. Dia berkecimpung dalam seni kegelapan. Aku harus mengoreksi diriku sendiri. Dia tak hanya mencoba-coba. Dia cukup menguasai semuanya." 
Dia mengangkat kamera itu, melambaikan itu di atas kepalanya, kemudian menurunkannya. "Rekanku mengutuk kamera itu. Jika dia tak dapat keuntungan darinya, ia ingin memastikan bahwa aku tak akan pernah mendapatkannya, juga. Dan dia menaruh kutukan di atasnya." 
Ia melayangkan pandangannya pada Greg, bersandar di atasnya. "Apakah kalian tahu tentang beberapa orang-orang primitif yang takut kamera? Mereka takut kamera karena mereka percaya bahwa jika kamera itu mengambil foto mereka, kamera itu akan mencuri jiwa mereka." Dia menepuk-nepuk kamera itu. "Nah, kamera ini benar-benar mencuri jiwa." 
Menatap kamera itu, Greg bergidik. 
Kamera itu mencuri Shari pergi. 
Apakah kamera itu telah mencuri semua jiwa mereka? 
"Orang-orang telah meninggal karena kamera ini," kata Dr Frederick, mengucapkan napas, lambat sedih. "Orang-orang yang dekat denganku. Itulah caranya bagaimana aku belajar kutukan itu, mempelajari kejahatan kamera itu. Dan kemudian aku belajar sesuatu yang sama menakutkannya. Kamera itu tak dapat dihancurkan." 
Dia terbatuk, berdeham keras-keras, dan mulai mondar-mandir di depan mereka lagi. "Dan jadi aku bersumpah untuk menjaga rahasia kamera itu. Menjauhkannya dari orang-orang sehingga tak dapat melakukan kejahatan. Aku kehilangan pekerjaanku. Keluargaku. Aku kehilangan segalanya karena kamera itu. Tapi aku bertekad untuk menjaga kamera itu agar tidak bisa membahayakan. " 
Dia berhenti mondar-mandir dengan punggungnya ke arah mereka. Dia berdiri diam, bahu membungkuk, tenggelam dalam pikirannya. 
Greg segera bangkit dan memberi isyarat untuk Shari untuk melakukan hal yang sama. "Yah... Eh.. Saya kira. Ada baiknya kami mengembalikannya," katanya ragu-ragu. "Maaf kami telah menyebabkan begitu banyak masalah." 
"Ya, kami sangat menyesal," ulang Shari tulus. "Kurasa kamera itu kembali di tangan yang tepat." 
"Selamat tinggal," kata Greg, mulai menuju langkah. "Sudah larut, dan kami -" 
"Tidak!" teriak Dr Fredericks, mengejutkan mereka berdua. Dia bergerak cepat untuk memblokir jalan. "Aku khawatir kalian tak bisa pergi. Kalian tahu terlalu banyak.."

30 

"Aku tak dapat membiarkan kalian pergi," kata Dr Frederick, wajahnya berkedip dalam cahaya biru kilat. Dia menyilangkan tangannya yang kurus di depan kaus hitamnya. 
"Tapi kami tak akan memberitahu siapa pun," kata Greg, suaranya naik sampai kata-katanya menjadi permohonan. "Sungguh." 
"Rahasia Anda aman ditangan kami," desak Shari, mata ketakutan tertuju pada Greg. 
Dr Fredericks menatap mereka mengancam, tapi tak menjawab. 
"Kau bisa mempercayai kami," kata Greg, suaranya bergetar. Dia melemparkan pandangan ketakutan pada Shari. 
"Selain itu," kata Shari, "bahkan jika kami memberitahu setiap orang, siapa yang akan mempercayai kami?" 
"Cukup bicaranya," bentak Dr Frederick. "Ini tak akan memberi kalian kebaikan apapun. Aku telah bekerja terlalu lama dan terlalu keras untuk menjaga rahasia kamera ini." 
Satu desakan angin kembali mendorong jendela-jendela, mengirimkan satu lolongan rendah. Angin membawa suara gemuruh drum hujan. Langit yang melalui jendela ruang bawah tanah hitam seperti malam hari. 
"Anda - tak bisa terus menahan kami di sini selamanya!" teriak Shari, tak mampu menahan kengerian yang tumbuh dari suaranya. 
Sekarang hujan memukul-mukul jendela, hujan yang tetap. 
Dr Fredericks menegakkan dirinya, sepertinya tumbuh lebih tinggi. Matanya kecilnya membara pada Shari. "Maafkan aku," katanya, suaranya (jadi) bisikan penyesalan. "Maaf. Tapi aku tak punya pilihan.." 
Dia mengambil langkah lain terhadap mereka. 
Greg dan Shari saling pandang ketakutan. Dari tempat mereka berdiri, di depan meja kayu lapis yang rendah di tengah ruang bawah tanah, anak-anak tangga tampaknya seratus mil jauhnya. 
"A-apa yang akan Anda lakukan?" teriak Greg, teriakannya melebihi ledakan guntur yang mengguncang jendela ruang bawah tanah. 
"Tolong -!" Shari memohon. "Jangan -!" 
Dr Fredericks bergerak maju dengan kecepatan yang mengejutkan. Memegang kamera di satu tangan, ia meraih bahu Greg dengan yang tangannya yang lain. 
"Tidak!" Greg menjerit. "Lepaskan!" 
"Lepaskan dia!" jerit Shari. 
Dia tiba-tiba menyadari bahwa kedua tangan Dr Frederick dipergunakan. 
Ini mungkin satu-satunya kesempatanku, pikir Shari. 
Dia menarik napas dalam-dalam dan menerjang maju. 
Mata Dr Fredericks melotot, dan dia berteriak kaget saat Shari merebut kamera itu dengan kedua tangannya dan menarik kamera itu menjauh darinya. Dia dengan panik membuat satu sambaran untuk mengambil kamera itu, dan Greg sepenuhnya bebas. 
Sebelum pria putus asa itu bisa mengambil langkah lain, Shari mengangkat kamera itu dengan mata dan lensa menunjuk ke arahnya. 
"Tolong - jangan! Jangan tekan tombol itu!" teriak orang tua itu. 
Dia melesat maju, matanya liar, dan meraih kamera itu dengan kedua tangan. 
Greg menatap ngeri saat Shari dan Dr Fredericks bergulat, keduanya memegang kamera itu, masing-masing berusaha mati-matian untuk merebut menjauhkannya dari yang lain. 
Sret! 
Ledakan cahaya terang mengejutkan mereka semua. 
Shari menyambar kamera itu. "Lari!" jeritnya. 

31 

Ruang bawah tanah itu menjadi berputar kabur abu-abu dan hitam ketika Greg melesat sendiri menuju tangga. 
Dia dan Shari berlari berdampingan, tergelincir di atas kotak makanan, melompati kaleng dan botol kosong. 
Hujan guntur kembali ke jendela. Angin melolong, mendorong kaca-kaca itu. Mereka bisa mendengar jeritan sedih Dr Frederick di belakang mereka. 
"Apakah kamera itu mengambil foto kita atau dia?" tanya Shari. 
"Aku tak tahu. Ayo cepat!" jerir Greg. 
Orang tua itu melolong seperti binatang yang terluka, jeritannya bersaing dengan hujan dan angin yang mendorong jendela. 
Anak-anak tangga itu tak terlalu jauh. Tapi tampaknya butuh (waktu) selamanya untuk menjangkaunya. 
Selamanya. 
Selamanya, Greg berpikir. Dr Fredericks ingin menahan Shari dan dia di sana selamanya. 
Terengah-engah keras, mereka berdua mencapai anak tangga yang gelap. Satu sambaran petir yang memekakkan telinga membuat mereka berhenti dan berbalik. 
"Hah?" teriak Greg nyaring. 
Terkejut, Dr Frederick tak mengejar mereka. 
Dan jeritan sedih itu telah berhenti. 
Ruang bawah tanah itu sunyi. 
"Apa yang terjadi?" teriak Shari terengah-engah. 
Menyipitkan mata kembali ke kegelapan, Greg butuh waktu untuk menyadari bahwa bentuk, gelap kusut berbaring di lantai di depan meja kerja adalah Dr Frederick. 
"Apa yang terjadi?" teriak Shari, dadanya naik-turun saat ia berusaha menarik napas. Masih memegang erat tali kamera itu, ia ternganga karena terkejut tubuh pria tua itu, masih telentang pada lantai. 
"Aku tak tahu," jawab Greg berbisik terengah-engah. 
Dengan enggan, Greg mulai kembali ke Dr Frederick. Mengikuti dekat di belakang, Shari menjerit pelan ngeri ketika dia dengan jelas melihat wajah manusia yang jatuh. 
Mata melotot, mulut terbuka seperti (huruf) O ngeri, wajah itu menatap mereka. Beku. Mati. 
Dr Fredericks sudah mati. 
"Apa yang - terjadi!" Shari akhirnya berhasil berkata, menelan ludah, memaksakan dirinya untuk berpaling dari wajah mengerikan menderita. 
"Kupikir dia mati ketakutan," jawab Greg, meremas bahu Shari dan bahkan ia tak menyadarinya. 
"Hah? Ketakutan?" 
"Dia tahu lebih baik dari siapa pun apa yang kamera itu bisa lakukan," kata Greg. "Ketika kau memfotonya, kupikir... Kupikir itu membuatnya takut hingga mati!" 
"Aku hanya ingin dia melepas penjagaannya," teriak Shari. "Aku hanya ingin kita diberi kesempatan untuk melarikan diri. Aku tak berpikir -." 
"Foto itu," sela Greg. "Ayo kita lihat foto itu." 
Shari mengangkat kamera itu. Foto itu masih setengahnya di dalam kamera. Greg menariknya keluar dengan tangan gemetar. Dia mengangkatnya sehingga mereka berdua bisa melihatnya. 
"Wow," seru Grg tenang. "Wow." 
Foto itu memperlihatkan Dr Frederick terbaring di lantai, matanya melotot, mulutnya membeku terbuka ngeri. 
Ketakutan Dr Fredericks , Greg menyadari - ketakutan yang telah membunuhnya - ada di sana, membeku pada film, beku di wajahnya. 
Kamera itu meminta korban lain. Kali ini, selamanya. 
"Apa yang kita lakukan sekarang?" Shari bertanya, menatap sosok tergeletak itu di kaki mereka. 
"Pertama, aku menempatkan kamera ini kembali," kata Greg, mengambil kamera itu darinya dan memasukkannya kembali di raknya. Ia memutar gagang catok, dan pintu ke ruangan rahasia itu tertutup. 
Greg menghela napas lega. Menyembunyikan kamera mengerikan itu jauh membuatnya merasa jauh lebih baik. 
"Sekarang, ayo kita pulang dan menelepon polisi," katanya. 

***

Dua hari kemudian, di hari yang sejuk cerah dengan angin sepoi-sepoi gemerisik pohon-pohon, empat sahabat itu berhenti di pinggir jalan, bersandar pada sepeda mereka, dan menatap rumah Coffman. Bahkan dalam terang sinar matahari, pohon-pohon tua yang mengelilingi rumah itu menutupinya dalam bayangan. 
"Jadi kau tak memberitahu polisi tentang kamera itu?" tanya Bird, menatap jendela, depan yang kosong dan gelap . 
"Tidak. Mereka tak akan percaya," kata Greg padanya. "Selain itu, kamera itu harus tetap dikurung selamanya! Selamanya!. Aku berharap tak ada yang pernah tahu tentang hal itu." 
"Kami mengatakan kepada polisi kami berlari ke dalam rumah itu untuk menghindari hujan," tambah Shari. "Dan kami mengatakan kami mulai menjelajahi sambil kami menunggu badai berhembus diatas. Dan kami menemukan tubuh itu di ruang bawah tanah.." 
"Apa Spidey mati?" tanya Michael, menatap rumah. 
"Polisi bilang itu gagal jantung," kata Greg padanya. "Tapi kita tahu yang sebenarnya." 
"Wow. Aku tak percaya satu kamera tua itu bisa melakukan begitu banyak kejahatan," kata Bird. 
"Aku percaya," kata Greg tenang. 
"Ayo keluar dari sini," desak Michael. Dia mengangkat sepatunya ke pedal dan mulai menggelinding. "Tempat ini benar-benar mengerikan." 
Tiga anak lainnya mengikuti, mengayuh pergi berpikir dalam. 
Mereka telah berbelok dan menuju blok berikutnya ketika dua sosok muncul dari pintu belakang rumah Coffman. Joey Ferris dan Mickey Ward melangkahi rumput liar yang memenuhi ke jalur mobil. 
"Anak-anak bodoh itu tidak terlalu cerdik," kata Joey temannya. "Mereka bahkan tak pernah melihat kami hari yang lain. Tak pernah melihat bahwa kami mengawasi mereka melalui jendela ruang bawah tanah.." 
Mickey tertawa. "Ya Mereka. Brengsek." 
"Mereka tak bisa menyembunyikan kamera ini dari kami. Tak mungkin, man," kata Joey. Dia mengangkat kamera dan memeriksanya. 
"Ambil fotoku," tuntut Mickey. "Ayo, kita mencobanya.." 
"Ya. Oke.. Joey mengangkat jendela bidik untuk matanya. "Katakanlah Cheese." 
Satu klik. Satu kilatan. Suatu suara mendesing. 
Joey menarik hasil foto itu dari kamera, dan kedua anak laki-laki itu dengan antusias berkerumun di sekitarnya, menunggu untuk melihat (foto) apa yang dicetak.

No comments:

Post a Comment