Thursday, May 16, 2013

Kutukan Makam Mummy

RL Stine: 
Kutukan Makam Mummy 
(Goosebumps #5) 

1

Aku melihat Piramida Besar itu dan menjadi haus.
Mungkin ini semua karena pasir. Begitu kering dan kuning, tampaknya akan mengembang selamanya. Itu bahkan membuat langit tampat kering.
Aku menyodok ibuku yang ada di samping. "Bu, aku benar-benar haus."
"Jangan sekarang," katanya. Satu tangannya ke dahinya, melindungi matanya dari sinar matahari yang terang saat ia menatap piramida besar itu. 
Jangan sekarang? 
Apa maksudnya "jangan sekarang" ? Aku haus. Sekarang! 
Seseorang menabrakku dari belakang dan meminta maaf dalam suatu bahasa asing. Aku tak pernah bermimpi bahwa saat aku melihat Piramida Besar itu akan ada begitu banyak turis lainnya. Kukira setengah orang di dunia ini memutuskan untuk menghabiskan liburan Natal mereka di Mesir tahun ini.
"Tapi, Bu -" kataku. Aku tak bermaksud mengeluh. Hanya saja tenggorokanku begitu kering. "Aku benar-benar haus."
"Kami tak akan memberimu minum sekarang," jawabnya, menatap piramida itu. "Berhentilah bertindak sepertinya kau (anak) empat tahun. Kau sudah dua belas tahun. Ingat?" 
"(Anak) umur dua belas tahun juga haus," gumamku. "Pasir-pasir di udara ini, itu membuatku tercekik." 
"Lihatlah piramida itu," katanya, terdengar sedikit kesal. "Itulah sebabnya kita datang ke sini. Kita tak datang ke sini untuk minum.." 
"Tapi aku tercekikk!" teriakku, terengah-engah dan memegang leherku. 
Baiklah, jadi aku tak tercekik. Aku melebih-lebihkan sedikit, hanya berusaha untuk mendapatkan perhatiannya. Tapi ia menarik pinggiran topi jeraminya ke bawah dan terus menatap ke arah piramida itu, yang berkilauan dalam panas. 
Aku putuskan untuk mencoba ayahku. Seperti biasa, ia mempelajari beberapa buku panduan yang selalu dibawanya kemana-mana. Aku tak berpikir ia bahkan masih belum melihat piramida. Dia selalu melewatkan semuanya karena ia selalu terkubur dalam buku panduan. 
"Yah, aku benar-benar haus," kataku, sambil berbisik, seolah-olah tenggorokanku tegang agar bisa menyampaikan pesanku. 
"Wow. Apa kau tahu seberapa luas piramida itu?" tanyanya, menatap gambar piramida dalam bukunya. 
"Aku haus, Yah." 
"Luasnya tiga belas hektar, Gabe," katanya, benar-benar bersemangat. "Apa kau tahu piramida itu terbuat dari apa?" 
Aku ingin mengatakan Silly Putty.
(arti asli Siily Putty adalah dempul bodoh ? Bisa juga berarti mainan dari polymer yanga dapat memantul tapi pecah jika terlalu keras dan dapat mengalir seperti cairan).
Dia selalu mengujiku. Setiap kali kami melakukan perjalanan, dia selalu menanyaiku dengan sejuta pertanyaan seperti itu. Kurasa aku tak pernah menjawab dengan benar. 
"Semacam bebatuan?" jawabku. 
"Itu benar." Dia tersenyum padaku, lalu berbalik kembali ke bukunya. "Ini terbuat dari batu kapur. Balok-balok batu kapur. Dikatakan di sini bahwa beberapa balok beratnya sampai seribu ton." 
"Wah," kataku. "Itu lebih dari Anda dan Ibu yang ditempatkan bersama-sama!" 
Dia memalingkan matanya dari buku itu dan mengerutkan kening. "Tak lucu, Gabe." 
"Cuma bercanda," kataku. Ayah sedikit sensitif tentang berat badannya, jadi aku mencoba untuk menggodanya tentang hal ini sesering yang aku bisa.
"Bagaimana menurutmu, (cara) orang-orang Mesir kuno memindahkan batu yang beratnya seribu ton?" tanyanya.
Waktu untuk kuis belum berakhir. 
Tebakku. "Di truk-truk?" 
Dia tertawa. "Truk-truk? Mereka belum punya roda." 
Aku melindungi mataku dan menatap piramida itu. Benar-benar besar, jauh lebih besar daripada yang terlihat dalam gambar. Dan lebih kering. 
Aku tak bisa membayangkan bagaimana mereka menarik batu-batu besar di pasir tanpa roda. 
"Aku tak tahu," aku mengaku. "Aku benar-benar haus." 
"Tak ada yang tahu bagaimana mereka melakukannya," kata Ayah. 
Jadi itu pertanyaan jebakan. 
"Yah, aku benar-benar perlu minum."
"Jangan sekarang," katanya. Ia memicingkan mata ke piramida itu. "Memberimu perasaan aneh, bukan?"
"Ini memberiku perasaan haus," kataku, berusaha untuk menjelaskan maksudku. 
"Tidak. Maksudku, itu memberiku perasaan aneh untuk berpikir bahwa nenek moyang kita - kau dan aku, Gabe - mungkin telah berjalan di sekitar piramida ini, atau bahkan membantu membangunnya. Ini memberiku semacam (perasaan) mengerikan. Bagaimana denganmu? " 
"Kurasa," kataku. Dia benar. Ini agak menarik. 
Kami orang Mesir, kau lihat. Maksudku, kakek nenekku datang dari Mesir. Mereka pindah ke Amerika Serikat sekitar tahun 1930. Ibu dan ayahku keduanya lahir di Michigan. Kami semua sangat senang melihat negara asal nenek moyang kami. 
"Aku ingin tahu apakah pamanmu Ben di dalam piramida itu sekarang," kata Dad, melindungi matanya dari sinar matahari dengan satu tangan. 
Paman Ben Hassad. Aku hampir lupa tentang pamanku, arkeolog terkenal. Paman Ben adalah salah satu alasan lain (mengapa) kami memutuskan untuk datang ke Mesir selama liburan. Alasan itu dan kenyataan bahwa ibu dan ayahku punya beberapa bisnis tang harus dikerjakan di Kairo dan Alexandria dan beberapa tempat lainnya. 
Ibu dan Ayah punya bisnis mereka sendiri. Mereka menjual peralatan pendingin. Ini biasanya tidak sangat menarik. Tetapi kadang-kadang mereka melakukan perjalanan ke tempat-tempat rapi, seperti Mesir, dan aku bisa pergi dengan mereka.
Aku memutar mataku ke piramida itu dan berpikir tentang pamanku. 
Paman Ben dan para pekerjanya sedang menggali di sekitar Piramida Besar itu, menjelajahi dan menemukan mumi-mumi yang baru, kurasa. Dia selalu tertarik akan tanah air nenek moyang kami. Dia telah tinggal di Mesir selama bertahun-tahun. Paman Ben adalah seorang ahli piramida dan mumi. Aku bahkan pernah melihat fotonya satu kali di National Geographic. 
"Kapan kita akan melihat Paman Ben?" tanyaku, sambil menarik lengan ayah. Aku sengaja menariknya terlalu keras, dan buku panduan itu jatuh dari tangannya. 
Aku membantunya mengambilnya. 
"Tidak hari ini," kata Ayah, menyeringai. Dia tak suka membungkuk untuk mengambil sesuatu. Perutnya akan jadi maju. "Ben akan bertemu kita di Kairo dalam beberapa hari." 
"Mengapa kita tak naik ke piramida itu dan melihat apakah dia ada di sana sekarang?" Tanyaku tak sabar. 
"Kita tak diizinkan," jawab Ayah. 
"Lihat - unta-unta!" Ibu menyodok bahuku dan menunjuk. 
Benar saja, beberapa orang telah tiba di atas unta. Salah satu unta tampaknya tiba-tiba terbatuk. Kukira dia haus juga. Orang-orang yang mengendarai unta-unta itu adalah para turis dan tampaknya mereka sangat tak nyaman. Mereka kelihatannya tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. 
"Apakah Anda tahu bagaimana caranya turun dari unta?" Aku bertanya pada ayahku. 
Dia menyipitkan mata di piramida, mempelajari bagian atasnya. "Tidak. Bagaimana?" 
"Kau tak turun dari unta," kataku. "Kau turun dari bebek." 
Aku tahu. Aku tahu. Ini lelucon yang sangat tua. Namun, ayahku dan aku tak pernah bosan. 
"Apakah kau melihat unta-unta itu?" tanya Ibu. 
"Aku tidak buta," jawabku. Haus selalu menempatkanku dalam suasana hati yang jelek. Selain itu, apa yang begitu menarik tentang unta? Mereka benar-benar tampak kotor, dan baunya seperti kaus kaki olahragaku setelah pertandingan basket. 
"Apa masalahmu?" Tanya Ibu, memainkan topi jeraminya. 
"Kubilang," kataku, tak bermaksud untuk terdengar sangat marah. "Aku haus." 
"Gabe, benar-benar." Dia melirik Ayah, kemudian kembali ke menatap piramida. 
"Yah, apakah Anda pikir Paman Ben dapat membawa kita dalam piramida?" Tanyaku antusias. "Itu benar-benar akan menjadi luar biasa." 
"Tidak, aku tak berpikir begitu," katanya. Dia menyelipkan buku panduannya ke ketiaknya sehingga ia bisa menaikkan teropong ke matanya. "Aku benar-benar tak berpikir begitu, Gabe. Aku tak berpikir itu diperbolehkan.." 
Aku tak bisa menyembunyikan kekecewaanku. Aku punya semua fantasi tentang pergi ke dalam piramida dengan pamanku, menemukan mumi dan harta benda kuno. Melawan orang-orang Mesir kuno yang hidup kembali untuk mempertahankan makam suci mereka, dan melarikan diri setelah pengejaran yang liar, seperti Indiana Jones. 
"Aku takut kau hanya akan menikmati piramida itu dari luar," kata Ayah, mengintip di atas pasir kuning, mencoba untuk memfokuskan teropong itu. 
"Aku sudah menikmati piramida itu," kataku muram. "Bisakah kita pergi minum sekarang?" 
Aku sedikit tahu bahwa dalam beberapa hari ini, Ibu dan Ayah akan pergi, dan aku akan jauh berada di dalam piramida yang kami lihat itu. Bukan hanya di dalamnya, tetapi terperangkap di dalamnya, disegel di dalamnya - mungkin selamanya. 



2 

Kami melaju dari al-Jizah kembali ke Kairo dalam mobil sewaan kecil lucu yang telah diambil ayah di bandara. Ini bukan perjalanan yang panjang, tapi kelihatannya lama untukku. Mobil itu hanya sedikit lebih besar daripada beberapa mobil remote controlku yang lama, dan kepalaku terbentur atap dengan setiap kali ada gundukan. 
Aku membawa Game Boyku bersamaku, tapi Ibu membuatku menyimpannya jadi aku bisa menonton sungai Nil di sepanjang jalan yang mengikutinya di pinggir sungai. Sungai itu sangat luas dan sangat cokelat. 
"Tak seorang pun di kelasmu yang melihat Sungai Nil di Natal ini," kata Ibu, angin panas itu meniup rambut cokelatnya melalui jendela mobil yang terbuka. 
"Bisakah aku bermain dengan Game Boyku sekarang?" tanyaku. 
Maksudku, ketika kau benar-benar turun ke sana, suatu sungai adalah sungai. 
Satu jam kemudian, kami kembali di Kairo dengan  jalan-jalan sempitnya yang ramai. Ayah salah belok dan mengantarkan kami ke dalam semacam pasar, dan kami terjebak di sebuah gang kecil di belakang kawanan kambing selama hampir setengah jam.
Aku tak mendapat minum sampai kami kembali ke hotel, dan pada saat itu, lidahku seukuran sosis dan menjuntai ke bawah ke lantai seperti Elvis. Dia adalah anjing cocker spaniel kami di rumah. 
Aku akan mengatakan satu hal yang menyenangkan tentang Mesir. Coca colanya seenak coca cola di rumah. Ini Coca cola Classic, juga, bukan jenis lainnya. Dan mereka memberi lebih banyak es, yang suka kurekahkan dengan gigiku. 
Kami memiliki kamar suite di hotel, dua tempat tidur dan semacam ruang tamu. Jika kau melihat ke luar jendela, kau bisa melihat gedung kaca  pencakar langit yang tinggi di seberang jalan, sama seperti  yang akan kau lihat di setiap kota.
Ada TV di ruang tamu, tapi semua orang berbicara bahasa Arab. Pertunjukannya juga bagaimanapun juga tak tampaknya terlalu menarik. Terutama kebanyakan berita. Satu-satunya saluran dalam bahasa Inggris adalah CNN. Tapi itu juga berita. 
Kami baru saja mulai berbicara tentang ke mana harus pergi untuk makan malam ketika telepon berdering. Ayah pergi ke kamar tidur untuk menjawabnya. Beberapa menit kemudian dia memanggil Ibu, dan aku bisa mendengar mereka berdua mendiskusikan sesuatu. 
Mereka berbicara sangat pelan, jadi kupikir itu ada hubungannya denganku dan mereka tak ingin aku mendengarnya. 
Seperti biasanya, aku benar. 
Mereka berdua keluar dari kamar tidur beberapa menit kemudian, tampaknya semacam khawatir. Pikiran pertamaku adalah nenekku telah menelepon untuk mengatakan bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi pada Elvis di rumah. 
"Apa ada yang salah?" tanyaku. "Siapa yang menelepon?" 
"Ayahmu dan aku harus pergi ke Alexandria. Segera," kata Ibu sambil duduk di sampingku di sofa. 
"Hah Alexandria??" Kami tak seharusnya pergi ke sana hingga akhir minggu. 
"Urusaan bisnis," kata Ayah. "Seorang pelanggan penting ingin bertemu dengan kami pertama kali besok pagi."
"Kami harus naik pesawat yang akan berangkat dalam satu jam," kata Ibu.
"Tapi aku tak ingin pergi," kataku pada mereka, melompat dari sofa. "Aku ingin tinggal di Kairo dan melihat Paman Ben. Aku ingin pergi ke piramida dengannya. Kalian telah berjanji!" 
Kami berdebat sebentar tentang hal itu. Mereka mencoba meyakinkanku bahwa ada banyak hal-hal menarik untuk dilihat di Alexandria, tapi aku tak mau menyerah. 
Akhirnya, Ibu punya ide. Dia pergi ke kamar tidur, dan aku mendengarnya menelepon seseorang. Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan senyum di wajahnya. "Aku berbicara dengan Paman Ben," katanya. 
"Wow! Apa mereka punya telepon di dalam piramida?" tanyaku. 
"Tidak, aku berbicara kepadanya di pondok kecil dimana dia tinggal di al-Jizah," jawabnya. "Dia bilang dia akan datang dan mengurusmu, jika kau inginkan. Sementara ayahmu dan aku di Alexandria.." 
"Ya?" Ini adalah permulaan yang kedengarannya luar biasa. Paman Ben adalah salah satu orang paling keren yang pernah kukenal. Kadang-kadang aku tak bisa percaya dia adalah saudara Ibu. 
"Itu pilihanmu, Gabe," katanya, sambil melirik ayahku. "Kau bisa datang dengan kami, atau kau bisa tinggal dengan Ben sampai kami kembali." 
Beberapa pilihan. 
Aku tak perlu berpikir tentang hal ini lebih dari seperdelapan belas detik. "Aku akan tinggal dengan Paman Ben!" Aku menyatakan. 
"Satu hal lagi," kata Ibu, menyeringai untuk suatu alasan. "Kau mungkin ingin untuk berpikir tentang hal ini." 
"Aku tak peduli apa itu," aku bersikeras. "Aku memilih Paman Ben."
"Sari juga liburan Natal," kata Ibu. "Dan dia juga tinggal dengannya." 
"Bah!" Teriakku , dan melemparkan diriku ke sofa dan mulai memukul-mukul alasnya dengan kedua tangan.
Sari putri Paman Ben yang sombong. Satu-satunya sepupuku. Umurnya sama denganku - dua belas - dan pikirnya dia begitu hebat. Dia pergi ke sekolah asrama di Amerika Serikat, sementara ayahnya bekerja di Mesir. 
Dia benar-benar cantik, dan dia tahu itu. Dan dia pintar. Dan terakhir kali aku melihatnya, dia seinci lebih tinggi dariku. 
Itulah Natal terakhir, kurasa. Dia pikir dia benar-benar istimewa karena dia bisa sampai ke level terakhir dari Super Mario Land. Tapi itu tak adil karena aku tak memiliki Super Nintendo, hanya Nintendo biasa. Jadi aku tak pernah berlatih. 
Kupikir itulah apa yang dia suka tentang aku, yang terbaik bahwa dia bisa mengalahkanku di pertandingan dan hal-hal lainnya. Setahuku Sari adalah orang yang paling suka bersaing. Dia harus menjadi yang pertama dan terbaik dalam segala hal. Jika setiap orang di sekitarnya terkena flu, ia harus menjadi orang pertama terkena! 
"Hentikan memukul sofa seperti itu," kata Ibu. Dia mencengkeram lenganku dan menarikku berdiri.
"Apakah itu berarti kau berubah pikiran? Kau ikut dengan kami?" tanya Ayah. 
Aku memikirkan hal itu. 
"Tidak, aku akan tinggal di sini bersama Paman Ben," aku memutuskan. 
"Dan kau tak akan berkelahi dengan Sari?" tanya Ibu. 
"Dia yang menantangku," kataku. 
"Ibumu dan aku harus cepat-cepat," kata Ayah. 
Mereka menghilang ke kamar tidur untuk berkemas. Aku menyalakan TV dan menyaksikan semacam acara permainan dalam bahasa Arab. Para pesertanya tertawa terus. Aku tak tahu mengapa. Aku tak tahu bahasa Arab sepatah kata pun. 
Setelah beberapa saat, Ayah dan Ibu keluar lagi, menyeret koper. 
"Yah tak akan sampai ke bandara tepat waktu," kata Ayah. 
"Aku telah bicara dengan Ben," kata Ibu padaku, menyisir rambut dengan tangannya. "Dia akan berada di sini dalam satu jam sampai satu setengah jam. Gabe, kau tak keberatan tinggal sendirian di sini untuk satu jam, bukan begitu?." 
"Hah?" 
Tak cukup sebagai jawaban, aku akui. Tapi pertanyaannya mengejutkanku. 
Maksudku, tak pernah terpikir olehku bahwa orang tuaku sendiri akan meninggalkanku sendirian di sebuah hotel besar di satu kota yang aneh di mana aku bahkan tak tahu bahasanya. Maksudku, bagaimana mereka bisa melakukan itu padaku? 
"Tak masalah," kataku. "Aku akan baik-baik saja. Aku cukup menonton TV sampai dia datang." 
"Ben sudah dalam perjalanan," kata Ibu. "Dia dan Sari sebentar lagi akan berada di sini. Dan aku menelepon ke manajer hotel. Dia mengatakan bhwa dia akan menyuruh seseorang melihatmu dari waktu ke waktu." 
"Di mana petugas hotel?" Tanya Ayah dengan gugup mondar-mandir ke pintu dan kembali lagi. "Aku memanggilnya sepuluh menit yang lalu." 
"Cukup tinggal di sini dan tunggu Paman Ben, oke?" Ibu berkata padaku, berjalan di belakang sofa, sambil membungkuk, dan meremas telingaku. Untuk suatu alasan, dia pikir aku menyukai itu. "Jangan pergi keluar atau apa pun. Tunggu dia di sini." Dia membungkuk dan mencium dahiku. 
"Aku tak akan bergerak," aku berjanji. "Aku akan tinggal di sini di sofaku. Aku tak akan pergi ke kamar mandi atau apa pun." 
"Tak bisakah kau serius?" Tanya Ibu, sambil menggeleng-geleng kepalanya.
Terdengar ketukan keras di pintu. Pelayan hotel itu, seorang pria bungkuk yang sangat tua  yang kelihatannya bahkan ia tak bisa mengangkat sebuah bantal bulu, telah tiba untuk mengambil tas. 
Ibu dan Ayah, tampak sangat cemas, memberiku pelukan dan perintah-perintah terakhir, dan mengatakan padaku sekali lagi untuk tinggal di kamar. Pintu ditutup setelah mereka pergi, dan suasana tiba-tiba sangat sepi. 
Sangat tenang. 
Aku menghidupkan TV untuk membuatnya sedikit ramai. Acara permainan itu telah selesai, dan sekarang seorang pria dalam setelan putih sedang membaca berita dalam bahasa Arab. 
"Aku tak takut," kataku keras-keras. Tapi aku punya semacam perasaan ketat di tenggorokanku. 
Aku berjalan ke jendela dan melihat keluar. Matahari hampir terbenam. Bayangan gedung pencakar langit miring di atas jalan dan ke hotel. 
Aku mengangkat gelas Coca colaku dan menyesapnya sekali. Sudah encer dan tawar. Perutku berbunyi.  Tiba-tiba kusadari bahwa aku lapar.
Layanan kamar, pikirku. 
Lalu aku memutuskan lebih baik aku tak melakukannya. Bagaimana jika aku memanggil dan mereka hanya berbicara bahasa Arab? 
Aku melirik jam. Tujuh lebih dua puluh. Aku harap Paman Ben tiba. 
Aku tak takut. Aku hanya berharap dia segera tiba.
Oke. Mungkin aku sedikit gugup. 
Aku berjalan mondar-mandir sebentar. Kucoba bermain Tetris pada Game Boy, tapi aku tak bisa berkonsentrasi, dan lampunya itu tidak sangat baik. 
Sari mungkin juara Tetris, pikirku getir. Di mana mereka? Apa yang membuat mereka begitu lama?
Aku mulai memiliki perasaan ngeri, pikiran yang menakutkan: Bagaimana jika mereka tak dapat menemukan hotel ini? Bagaimana jika mereka bingung dan pergi ke hotel yang salah? 
Bagaimana jika mereka tertimpa dalam suatu kecelakaan mobil yang mengerikan dan mati? Dan aku sendirian di Kairo selama berhari-hari?
Aku tahu. Itu pikiran bodoh. Tapi itu pikiran semacam itu kau miliki ketika kau sendirian di tempat asing, menunggu seseorang untuk datang. 
Aku melirik ke bawah dan menyadari bahwa aku telah mengambil keluar tangan mumi dari saku celana jeansku.
Tangan mumi itu kecil, seukuran tangan anak. Suatu tangan kecil yang dibungkus kain kasa cokelat tipis. Aku membelinya di bengkel lelang  beberapa tahun yang lalu, dan aku selalu membawanya kemanapun sebagai jimat keberuntungan. 
Anak yang menjualnya kepadaku menyebutnya sebagai "Summoner"(Si Pemanggil). Dia mengatakan benda itu digunakan untuk memanggil roh-roh jahat, atau yang lainnya. Aku tak peduli tentang itu. Aku hanya berpikir itu adalah tawaran yang luar biasa untuk dua dolar. Maksudku, benda apa yang bagus untuk ditemukan di bengkel lelang! Dan mungkin itu bahkan tak nyata. 
Aku melemparkannya dari tangan ke tangan saat aku mondar-mandir di sepanjang ruang tamu. TV itu mulai membuatku gugup, jadi aku mematikannya. 
Tapi sekarang kesunyian itu membuatku gugup.
Aku menamparkan tangan mumi itu ke telapak tanganku dan terus mondar-mandir. 
Di mana mereka? Mereka harusnya sudah berada di sini sekarang. 
Aku mulai berpikir bahwa aku telah membuat pilihan yang salah. Mungkin aku harusnya pergi ke Alexandria dengan Ibu dan Ayah. 
Lalu aku mendengar suara di pintu. Langkah-langkah kaki. 
Apa itu mereka? 
Aku berhenti di tengah ruang tamu dan mendengarkan, menatap melewati lorong depan yang sempit ke pintu. 
Cahaya dalam lorong itu itu redup, tetapi aku melihat pegangan pintu itu berputar. 
Itu aneh, pikirku. Paman Ben mestinya  mengetuk dulu - bukan begitu? 
Kenop pintu berputar. Pintu itu berderit mulai terbuka. 
"Hei -" teriakku, tapi kata itu tercekat di tenggorokanku. 
Paman Ben harusnya mengetuk. Dia tak akan hanya masuk sembarangan.
Perlahan-lahan, perlahan-lahan, pintu berderit membuka saat aku menatapnya, membeku di tengah-tengah ruangan, tak dapat berteriak.
Berdiri di ambang pintu suatu bentuk bayangan yang tinggi. 
Aku terkesiap saat sosok itu tiba-tiba bergerak ke dalam ruangan, dan aku melihatnya dengan jelas. Bahkan dalam cahaya redup, aku bisa melihat apa itu.
Satu mumi. 
Menatapku dengan mata hitam bundar melalui lubang di perban tebal yang kuno. 
Satu mumi. 
Mendorong dirinya dari dinding dan berjalan sempoyongan kaku ke arahku ke ruang tamu, lengannya terentang seolah-olah berusaha untuk meraihku.
Aku membuka mulutku untuk berteriak, tapi tak ada suara yang keluar. 




3 

Aku mundur selangkah, dan lalu selangkah lagi. Tanpa sadar, aku mengangkat tangan mumi kecilku di udara, seakan berusaha menangkis penyusup dengan itu. 
Saat mumi itu terhuyung-huyung ke dalam cahaya, aku menatap ke dalam mata gelap itu. 
Dan mengenalinya. 
"Paman Ben!" teriakku. 
Dengan marah, aku lemparkan tangan mumi itu padanya. Benda itu memukul dadanya yang dibalut perban dan terpantul. 
Ia roboh ke belakang dinding, tertawa dengan tawa kerasnya. 
Dan lalu aku melihat Sari menjulurkan kepala di ambang pintu. Dia juga tertawa. 
Mereka berdua berpikir itu lucu. Tapi hatiku berdebar begitu keras, kupikir akan meledak keluar dari dadaku. 
"Itu tak lucu!" teriakku dengan marah, mengepalkan tanganku di pinggangku. Aku menarik napas panjang, lalu bernapas lagi, mencoba untuk membuat napasku kembali normal. 
"Sudah kubilang dia akan takut," kata Sari, berjalan ke kamar, seringai besar kemenangan tampak di wajahnya. 
Paman Ben tertawa begitu keras, air matanya mengalir di wajahnya yang diperban. Dia seorang pria besar, tinggi dan kasar, dan tawanya mengguncang ruangan. "Kau tak sebegitu takut - kan, Gabe?" 
"Aku tahu itu kau," kataku, hatiku masih berdebar-debar seolah-olah suatu mainan terakhir seseorang yang rusak sangat berat. "Aku segera mengenalimu." 
"Kau tampak begitu ketakutan," desak Sari. 
"Aku tak ingin merusak lelucon," jawabku, bertanya-tanya apakah mereka bisa melihat betapa aku benar-benar takut. 
"Kau seharusnya melihat ekspresi wajahmu!" teriak Paman Ben dan mulai tertawa lagi. 
"Aku bilang Ayah ia tak seharusnya berbuat itu," kata Sari, menjatuhkan dirinya ke sofa. "Aku heran orang-orang hotel yang membiarkannya datang berpakaian seperti itu." 
Paman Ben membungkuk dan mengangkat tangan mumi yang telah kulemparkan padanya. "Kau menggunakannya untukku dan praktek leluconku, benar  kan Gabe?"
"Ya," kataku, menghindari matanya. 
Diam-diam, aku memarahi diriku sendiri karena tertipu kostum konyolnya itu. Aku selalu jadi korban lelucon bodohnya. Selalu. Dan, sekarang, ada Sari nyengir padaku dari sofa, mengetahui aku sangat takut sehingga aku dibilang pengecut.
Paman Ben menarik beberapa perban dari wajahnya. Dia melangkah dan menyerahkan tangan mumi kecil itu kembali padaku. 
"Dari mana kau mendapatkannya?" tanyanya. 
"Bengkel lelang," kataku. 
Aku mulai bertanya apakah itu asli, tapi dia mengelilingiku dalam pelukan beruang besar. Kasa itu terasa kasar dipipiku. 
"Senang bertemu denganmu, Gabe," katanya pelan. "Kau sudah tumbuh lebih tinggi." 
"Hampir setinggi aku," seru Sari setuju.
Paman Ben menunjuk padanya. "Bangun dan bantu  aku menarik ini."
"Aku agak suka caramu melihat dari dalamnya," kata Sari. 
"Ke sini," desak Paman Ben. 
Sari bangkit sambil menghela napas, melemparkan rambut lurus hitam di balik bahunya. Dia berjalan ke ayahnya dan mulai mencopoti perban. 
"Aku agak sedikit terbawa dengan hal mumi ini, Gabe," aku Paman Ben, menyandarkan lengannya di atas bahuku saat Sari meneruskan pekerjaannya. "Tapi itu hanya karena aku sangat bersemangat tentang apa yang terjadi di piramida." 
"Apa yang terjadi?" tanyaku penuh semangat. 
"Ayah menemukan sebuah ruang pemakaman yang baru sekali," sela Sari sebelum ayahnya sempat memberitahuku sendiri. "Dia menjelajahi bagian dari piramida yang belum ditemukan selama ribuan tahun." 
"Sungguh?" teriakku. "Itu luar biasa!"
Paman Ben terkekeh. "Tunggu sampai kau melihatnya." 
"Melihatnya?" Aku tak yakin apa maksudnya. "Maksud Anda, Anda akan membawaku ke piramida?" 
Suaraku begitu tinggi hingga hanya anjing yang bisa mendengarnya. Tapi aku tak peduli. Aku tak bisa mempercayai keberuntunganku. Aku akan benar-benar masuk ke dalam Piramida Besar, ke salah satu bagian yang belum ditemukan hingga sekarang. 
"Aku tak punya pilihan," kata Paman Ben datar. "Apa lagi yang akan kulakukan dengan kalian berdua?" 
"Apakah ada mumi di sana?" tanyaku. "Apakah kita akan melihat mumi yang asli?" 
"Apakah kau merindukan ibumu (your mummy)?" kata Sari, satu lagi ide lelucon bodohnya.
Aku mengabaikannya. "Apa ada harta karun di bawah sana Paman Ben? Peninggalan Mesir kuno? Apakah ada lukisan dinding?" 
"Kita bicarakan tentang hal itu saat makan malam," katanya, menarik perban terakhir. Dia mengenakan kaos olahraga kotak-kotak dan celana longgar di balik kain kasa. "Ayo. Aku kelaparan." 
"Ayo balapan ke bawah," kata Sari, dan mendorongku keluar dari jalan untuk memberikan dirinya awal yang baik untuk start keluar dari ruangan.
 
***

Kami makan di restoran hotel di lantai bawah. Ada lukisan pohon-pohon palem di dinding, dan pohon palem mini yang ditanam di pot-pot besar di seluruh restoran. Kipas angin besar di langit-langit kayu berputar perlahan-lahan di atas kepala. 
Kami bertiga duduk di tempat yang besar, Sari dan aku di seberang Paman Ben. Kami mempelajari menu yang panjang. Menu-menu itu dicetak dalam bahasa Arab dan Inggris. 
"Dengarkan ini, Gabe," kata Sari, suatu senyum kepuasan (tampak) di wajahnya. Dia mulai membaca kata-kata Arab dengan keras. 
Pamer sekali. 
Pelayan berseragam putih membawa sekeranjang roti datar berlubang-lubang dan semangkuk benda hijau untuk mencelupkan roti itu ke dalamnya. Aku memesan sandwich dan kentang goreng. Sari memesan hamburger. 
Lalu, saat kami memakan makan malam kami, Paman Ben menjelaskan sedikit lebih banyak tentang apa yang telah ditemukan di piramida. "Seperti yang mungkin kau tahu," mulainya, merobek segumpal roti datar, "Piramida itu dibangun di suatu waktu sekitar 2500 SM, pada masa pemerintahan Firaun Khufu." 
"Gesundheit (Salam sejahtera)," kata Sari. Lelucon bodoh lainnya.
(gesundheit = mendoakan kesehatan yang baik khususnya bagi orang yang bersin-pen)
Ayahnya tertawa. Aku menyeringai padanya. 
"Piramida adalah bangunan terbesar waktu itu," kata Paman Ben. "Apa kau tahu seberapa lebar dasar piramida itu?" 
Sari menggeleng. "Tidak. Seberapa lebar?" tanyanya dengan mulut penuh hamburger. 
"Aku tahu," kataku, sambil menyeringai. "Luasnya tiga belas hektar." 
"Hei - itu benar!" seru Paman Ben, jelas terkesan.
Sari melihatku sekilas, dengan pandangan terkejut. 
Ini satu untukku! Pikirku gembira, menjulurkan lidahku padanya. 
Dan satu lagi untuk buku panduan ayahku. 
"Piramida ini dibangun sebagai tempat pemakaman kerajaan," Paman Ben berlagak, ekspresi wajahnya berubah serius. Firaun membuatnya menjadi sangat besar sehingga ruang pemakaman bisa disembunyikan. Orang-orang Mesir khawatir tentang perampok-perampok makam. Mereka tahu orang-orang itu akan mencoba untuk membongkarnya, mengambil semua perhiasan berharga dan harta karun yang dikuburkan bersama pemiliknya. Jadi mereka membangun puluhan terowongan dan ruangan di dalamnya, suatu labirin yang  membingungkan untuk menghalangi perampok dari menemukan ruang penguburan yang sesungguhnya. " 
"Tolong ambilkan saus tomatnya," sela Sari. Aku memberinya saus tomat. 
"Sari telah mendengar semua ini sebelumnya," kata Paman Ben, mencelupkan roti berlubang ke dalam kuah yang gelap di piringnya. "Pokoknya, kami para arkeolog berpikir bahwa kami tak akan menemukan semua terowongan dan ruangan di dalam piramida ini, Tapi beberapa hari lalu, para pekerjaku dan aku menemukan satu terowongan yang tak ada di peta manapun. Satu terowongan, yang belum pernah diselidiki, belum pernah ditemukan. Dan kami pikir terowongan ini dapat membawa kami ke ruang pemakaman yang sebenarnya dari Khufu sendiri! "
"Luar biasa!" teriakku. "Sari dan aku akan berada di sana ketika Anda menemukannya?" 
Paman Ben terkekeh. "Aku tak tahu tentang itu, Gabe. Ini bisa perlu waktu bertahun-tahun untuk penjelajahan yang hati-hati. Tapi besok aku akan membawamu ke dalam terowongan.  Lalu kau bisa memberitahu teman-temanmu bahwa kau benar-benar di dalam piramida kuno Khufu." 
"Aku sudah berada di dalamnya," Sari menyombongkan (diri). Matanya berpaling padaku. "Tempat itu sangat gelap. Kau mungkin akan merasa ketakutan." 
"Tidak, aku tak akan," desakku. "Tidak mungkin." 

***

Kami bertiga menghabiskan malam itu di kamar hotel orangtuaku. Aku perlu waktu beberapa jam untuk bisa tidur. Kukira aku sangat senang akan pergi ke piramida. Aku terus membayangkan bahwa kami menemukan mumi, peti besar perhiasan kuno dan harta karun.
Paman Ben membangunkan kami pagi-pagi di pagi berikutnya, dan kami berkendaraan ke piramida di luar al-Jizah. Udara sudah panas dan lengket. Matahari tampak menggantung rendah di atas padang pasir seperti sebuah balon oranye. 
"Di sana!" Sari menyatakan, menunjuk ke luar jendela. Dan aku melihat Piramida Besar menjulang tinggi dari pasir kuning seperti semacam fatamorgana. 
Paman Ben menunjukkan izin khusus pada penjaga berseragam biru, dan kami mengikuti jalan khusus yang sempit melengkung melalui pasir di belakang piramida. Kami parkir di samping mobil-mobil dan van-van lainnya dalam bayangan abu-abu kebiruan piramida. 
Saat aku melangkah keluar dari mobil, dadaku berdebar-debar gembira. Aku menatap, batu-batu besar tua dari Piramida Besar. 
Usianya lebih dari empat ribu tahun, pikirku. Aku akan masuk ke dalam sesuatu yang dibangun empat ribu tahun yang lalu! 
"Sepatumu tak terikat," kata Sari sambil menunjuk. 
Dia benar-benar tahu bagaimana caranya membawa seseorang kembali lagi ke bumi. 
Aku membungkuk di pasir untuk mengikat sepatuku. Untuk suatu alasan, yang sebelah kiri selalu lepas ikatannya, bahkan ketika aku menyimpulkannya dua kali. 
"Para pekerjaku sudah di dalam," kata Paman Ben pada kami. "Sekarang, tetap dekat bersama-sama, oke? Jangan berkeliaran. Terowongan-terowongan ini benar-benar seperti labirin. Sangat mudah untuk tersesat."
"Tak masalah," kataku, suaraku gemetar mengungkapkan betapa gugup dan bersemangatnya aku. 
"Jangan khawatir. Aku akan terus mengawasi Gabe, Ayah," kata Sari. 
Dia hanya dua bulan lebih tua dariku. Mengapa dia harus bertindak seperti dia pengasuhku? 
Paman Ben menyerahkan pada kami berdua senter. "Jepitkan itu ke celana kalian saat kita masuk ke dalam," perintahnya. Dia menatapku. "Kau tak percaya pada kutukan kan? Kau tahu  semacam orang Mesir kuno." 
Aku tak tahu bagaimana menjawab, jadi aku menggeleng. 
"Bagus," jawab Paman Ben, menyeringai. "Karena salah satu pekerjaku mengatakan kita telah melanggar dekrit (ketetapan) kuno dengan memasuki terowongan baru ini, dan kita telah mengaktifkan beberapa kutukan." 
"Kami tak takut," kata Sari, memberinya dorongan main-main menuju pintu masuk. "Pergilah, Yah." 
Dan beberapa detik kemudian, kami melangkah ke dalam lubang persegi kecil potongan batu. Membungkuk rendah, aku mengikuti mereka melalui satu terowongan sempit yang tampaknya miring turun secara bertahap. 
Paman Ben memimpin jalan, menyinari tanah dengan senter halogen terang. Lantai piramida terasa lembut dan berpasir. Udaranya dingin dan lembab.
"Dinding granit," kata Paman Ben, berhenti untuk menggosok dengan satu tangannya di sepanjang langit-langit rendah. "Semua terowongan terbuat dari batu kapur." 
Suhu tiba-tiba turun. Udara terasa bahkan lebih lembab. Aku tiba-tiba menyadari kenapa Paman Ben meminta kami memakai kaus. 
"Kalau kau takut, kita bisa kembali," kata Sari. 
"Aku baik-baik saja," jawabku cepat. 
Terowongan berakhir tiba-tiba. Satu dinding kuning pucat berdiri di depan kami. Senter Paman Ben melesat di atas sebuah lubang kecil yang gelap di lantai. 
"Kita pergi ke bawah," kata Ben, mengerang saat ia berlutut. Dia berbalik padaku. "Karena takut tak ada tangga menuju terowongan baru itu para pekerjaku memasang tangga tali. Kalian jangan terburu-buru di atasnya, perlahan-lahan, satu anak tangga pada satu waktu, dan kalian akan baik-baik saja." 
"Tak masalah," kataku. Tapi suaraku pecah. 
"Jangan lihat ke bawah," saran Sari. "Ini mungkin akan membuatmu pusing, dan kau akan jatuh." 
"Terima kasih atas dorongannya," kataku. Aku memaksakan jalanku  melewatinya. "Aku akan turun dulu," kataku. Aku sudah lelah akan aktingnya yang begitu sombong. Aku putuskan untuk menunjukkannya, siapa yang berani dan siapa yang tidak. 
"Tidak. Biarkan aku pergi dulu," kata Paman Ben, mengangkat tangan untuk menghentikanku. "Lalu aku akan menyorotkan sinar ke atas sampai di tangga dan membantu kalian turun."
Sambil mengerang lain, ia menggerakkan dirinya ke dalam lubang. Dia begitu besar, dan ia hampir tak pas. 
Perlahan-lahan, ia mulai turun menuruni tangga tali. 
Sari dan aku membungkuk di atas lubang dan mengintip ke bawah, mengamatinya turun. Tangga tali itu sangat tidak stabil. Berayun bolak-balik karena berat badannya saat ia perlahan-lahan, hati-hati, berjalan ke bawah. 
"Jauh sekali di bawah," kataku pelan.
Sari tak menjawab. Dalam cahaya remang-remang, aku bisa melihat ekspresi kekhawatirannya. Dia menggigit bibir bawahnya saat ayahnya tiba di lantai terowongan. 
Dia gugup juga. 
Itu membuatku sangat gembira. 
"Oke, aku turun. Kau berikutnya, Gabe," panggil Paman Ben kepadaku. 
Aku berbalik dan mengayunkan kakiku ke tangga tali. Aku menyeringai pada Sari. "Lihat ya." 
Aku menurunkan tanganku ke sisi tangga tali - dan saat aku meluncur turun, aku berteriak. 
"Aduh!" 
Tali itu tak mulus. Tali itu kasar.  Tali itu menusuk tanganku. 
Tikaman tajam karena nyeri membuatku mengangkat tanganku. 
Dan bahkan sebelum aku menyadari apa yang terjadi, aku mulai jatuh. 



4 

Dua tangan turun meraihku. Meluncur melalui udara dan menyambar pergelangan tanganku. 
"Pegangi!" teriak Sari. 
Dia telah memperlambat kejatuhanku hingga cukup memungkinkanku untuk meraih kembali sisi-sisi tangga tali. 
"Oh, wow!" Aku berhasil berbicara. Itu adalah yang terbaik yang bisa kulakukan. Aku memegang tali untuk kehidupan yang berharga, menunggu jantungku berhenti berdebar-debar. Aku memejamkan mata dan tak bergerak. Aku meremas tali begitu keras, tanganku sakit. 
"Hidupmu selamat," teriak Sari turun kepadaku, bersandar ke lubang, wajahnya beberapa inci dari tambang.
Aku membuka mata dan menatap ke arahnya. 
"Trim's," ucapku penuh syukur. 
"Tak masalah," jawab dia dan tertawa keras, tertawa dari lega, kurasa. 
Mengapa aku tak bisa menyelamatkan hidupnya? Aku bertanya pada diriku dengan marah. Mengapa aku tak dapat pernah menjadi pahlawan besar? 
"Apa yang terjadi, Gabe?" panggil Paman Ben dari lantai terowongan di bawah. Suaranya menggelegar menggema keras melalui ruangan. Lingkaran luas cahaya dari senter menari-nari di dinding granit. 
"Tali-tali ini menusuk tanganku," aku menjelaskan. "Aku tak berharap -" 
"Kau jangan buru-buru," katanya sabar. "Satu anak tangga pada satu waktu, ingat?" 
"Turunkan tanganmu. Jangan  menggesernya," saran Sari, wajahnya menyembul melalui lubang di atasku. 
"Oke, oke," kataku, mulai bernapas normal. 
Aku menarik napas dalam-dalam dan menahannya. Kemudian, perlahan-lahan, berhati-hati, aku berjalan menuruni tangga tali yang panjang. 
Beberapa saat kemudian, kami bertiga berdiri di lantai terowongan, memegang senter kami yang menyala, mata kami mengikuti lingkaran cahaya. "Ke arah sini," kata Paman Ben pelan, dan ia pergi ke arah kanan, berjalan perlahan-lahan, membungkuk karena langit-langit yang rendah. 
Sepatu kami berderak di lantai berpasir. Aku melihat terowongan lain yang menuju ke kanan, kemudian terowongan lain di sebelah kiri. 
"Kita menghirup udara yang berusia empat ribu tahun," kata Ben, menjaga senternya terarah ke lantai di depannya. 
"Baunya seperti ini," bisikku pada Sari. Dia tertawa. 
Udara benar-benar berbau tua. Semacam berat dan pengap. Seperti loteng seseorang. 
Terowongan itu sedikit melebar karena melengkung ke kanan. 
"Kita akan lebih masuk ke dalam bumi," kata Paman Ben. "Apakah ini terasa seperti kalian menuruni bukit?" 
Sari dan aku sama-sama bergumam bahwa ini seperti hal itu. 
"Ayah dan aku menjelajahi salah satu sisi terowongan kemarin," kata Sari padaku. "Kami menemukan kotak mumi di dalam suatu ruangan kecil. Salah satu yang indah dalam kondisi sempurna.." 
"Apa ada mumi di dalamnya?" tanyaku penuh semangat. Aku sangat ingin melihat mumi. Museum yang ada di rumah hanya punya satu. Aku telah  menatapnya dan mempelajari itu semua hidupku. 
"Tidak itu kosong," jawab Sari. 
"Mengapa mumi tak memiliki hobi?" tanya Paman Ben, berhenti tiba-tiba. 
"Aku tak tahu," jawabku. 
"Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya!" seru Paman Ben. Dia tertawa mendengar leluconnya sendiri. Sari dan aku hanya bisa mengeluarkan senyuman lemah. 
"Jangan membesarkan hatinya," kata Sari padaku, cukup keras untuk ayahnya untuk mendengar. "Dia tahu satu juta lelucon mumi, dan mereka semua sama buruknya." 
"Tunggu. Hanya sebentar," kataku. Aku membungkuk untuk mengikat sepatuku, yang telah terlepas lagi. 
Terowongan itu melengkung, kemudian bercabang menjadi dua terowongan. Paman Ben memimpin kita melalui satu terowongan di sebelah kiri, yang begitu sempit hingga kami harus merapatkan (tubuh kami) melaluinya, kami berjalan ke samping, kepala membungkuk, sampai terowongan itu melebar ke dalam satu ruangan besar berlangit-langit tinggi.
Aku berdiri tegak dan meregang. Rasanya begitu enak tak meringkuk. Aku menatap sekeliling ruang besar itu. 
Beberapa orang mulai terlihat di dinding yang jauh, bekerja dengan alat penggali. Lampu sorot terang telah digantung di atas mereka di dinding, dekat pada suatu generator portabel.
Paman Ben membawa kami kepada mereka dan memperkenalkan kami. Ada empat pekerja, dua pria dan dua wanita. 
Seorang pria lain berdiri di samping, dengan papan tulis di tangannya. Dia orang Mesir, berpakaian serba putih kecuali syal merah di lehernya. Dia berambut hitam lurus, licin bawah dan diikat seperti ekor kuda di belakang kepala. Ia menatap Sari dan aku, tapi tak datang. Tampaknya dia mempelajari kami. 
"Ahmed, kau telah bertemu dengan putriku kemarin. Ini adalah Gabe, keponakanku," seru Paman Ben padanya. 
Ahmed mengangguk, tapi tak tersenyum atau mengatakan apa-apa.
"Ahmed dari universitas," kata Paman Ben kepadaku dengan suara pelan. "Dia meminta izin untuk mengamati kami, dan aku bilang oke. Dia sangat pendiam. Tapi jangan membuatnya memulai tentang kutukan kuno. Dialah yang selalu memperingatkanku bahwa aku dalam bahaya mematikan." 
Ahmed mengangguk, tapi tak menjawab. Dia menatapku untuk waktu yang lama. 
Pria aneh, pikirku. 
Aku bertanya-tanya apakah ia akan memberitahuku tentang kutukan kuno. Aku suka cerita tentang kutukan kuno.
Paman Ben berpaling pada para pekerjanya. "Jadi? Ada kemajuan hari ini?" dia bertanya. 
"Kami pikir kita sudah semakin benar-benar dekat," seorang pria muda berambut merah mengenakan celana jins pudar dan kemeja kerja tebal berwarna biru menjawab. Dan kemudian ia menambahkan, "Hanya firasat."
Paman Ben mengerutkan kening. "Terima kasih, Quasimodo," katanya. 
Para pekerja semuanya tertawa. Kurasa mereka menyukai lelucon Paman Ben. 
"Quasimodo adalah si Bungkuk dari Notre Dame," jelas Sari kepadaku dengan nada sombongnya. 
(Quasimodo salah satu tokoh dalam buku karangan Victor Hugo: The Hunchback of Notre Dame-pen)
"Aku tahu, aku tahu," jawabku kesal. "Aku mengerti." 
"Kita bisa saja menuju ke arah yang salah sama sekali," kata Paman Ben kepada para pekerjanya, menggaruk bagian botak di bagian belakang kepalanya. "Terowongan itu mungkin berada di sana." Dia menunjuk ke dinding di sebelah kanan. 
"Tidak, kupikir kita sudah dekat, Ben," seorang wanita muda, wajahnya kotor dengan debu, kata. "Datanglah ke sini aku ingin menunjukkan sesuatu." 
Dia membawanya ke tumpukan batu besar dan reruntuhan. Dia menyorotkan lampunya ke tempat di mana dia menunjuk. Lalu paman Ben membungkuk lebih dekat untuk memeriksa apa yang wanita itu tunjukkan kepadanya. 
"Ini sangat menarik, Christy," kata Paman Ben, menggosok dagunya. Mereka terlibat ke dalam diskusi yang panjang.
Setelah beberapa saat, tiga pekerja lainnya memasuki ruangan, membawa sekop dan pencungkil-pencungkil. Salah satunya membawa beberapa macam peralatan elektronik dalam kotak logam datar. Ini terlihat sedikit mirip seperti komputer laptop. 
Aku ingin bertanya pada Paman Ben apa itu, tapi ia masih di sudut, yang terlibat dalam diskusi dengan pekerja bernama Christy. 
Sari dan aku berjalan kembali ke arah pintu masuk terowongan. 
"Kupikir dia sudah lupa tentang kita," kata Sari cemberut. 
Aku setuju, menyorotkan senterku ke atas sampai di langit-langit tinggi yang retak. 
"Begitu dia ke sini dengan para pekerjanya, ia lupa segalanya kecuali pekerjaannya," katanya, mendesah. 
"Aku tak percaya kita benar-benar di dalam piramida!" Aku berseru. 
Sari tertawa. Dia menendang lantai dengan satu sepatu. "Lihat - kotoran kuno," katanya, 
"Ya." Aku juga menendang beberapa tanah berpasir. "Aku ingin tahu siapa dulu yang berjalan di sini. Mungkin seorang pendeta Mesir. Mungkin seorang firaun (raja). Mereka mungkin telah berdiri di sini di tempat ini." 
"Ayo kita pergi menjelajah," kata Sari tiba-tiba. 
"Hah?" 
Matanya yang hitam bersinar-sinar, dan ia terlihat benar-benar jahat di wajahnya. "Ayo kita pergi, Gabey -. Mari kita periksa beberapa terowongan atau sesuatu (yang lain)." 
"Jangan panggil aku Gabey," kataku. "Ayolah, Sari, kau tahu aku benci itu."
"Maaf," dia cekikikan meminta maaf. "Kau ikut?" 
"Kita tak bisa," aku bersikeras, menonton Paman Ben. Dia sepertinya sedang beradu pendapat dengan pekerja membawa benda yang tampak seperti laptop. "Ayahmu mengatakan kita harus tetap bersama-sama. Dia mengatakan -." 
"Dia akan sibuk di sini selama berjam-jam," sela Shari, melirik ke arah ayahnya. "Dia bahkan tak akan melihat kalau kita pergi. Sungguh.." 
"Tapi, Sari -" Aku mulai. 
"Selain itu," lanjutnya, meletakkan tangannya di bahuku dan mendorongku mundur ke arah pintu ruangan, "dia tak ingin kita berkeliaran di sekitarnya. Kita hanya akan di jalanan." 
"Sari -" 
"Aku pergi menjelajah kemarin," katanya, mendorongku dengan kedua tangan. "Kita tak akan pergi jauh. Kau tak akan tersesat. Semua terowongan mengarah kembali ke ruangan besar. Sungguh." 
"Aku hanya tak berpikir kita harus," kataku, mataku kepada Paman Ben. Dia turun di atas tangan dan lututnya sekarang, menggali dinding dengan beberapa macam pencungkil. 
"Lepaskan aku," kataku. "Sungguh, aku -." 
Dan kemudian dia mengatakan apa yang aku tahu akan dikatakannya. Apa yang selalu dikatakannya saat dia ingin mendapatkan keinginannya. 
"Apakah kau pengecut (ayam)?" 
"Tidak," aku bersikeras. "Kau tahu ayahmu berkata -" 
"Pengecut? Pengecut? Pengecut?" Dia mulai berkotek-kotek seperti ayam. Benar-benar menjengkelkan. 
"Hentikan, Sari." Aku coba untuk terdengar keras dan mengancam. 
"Apakah kau pengecut, Gabey?" ulangnya, nyengir padaku seolah-olah ia baru saja memenangkan beberapa kemenangan besar. "Hah, Gabey?" 
"Jangan panggil aku dengan itu!" Aku bersikeras. 
Dia hanya menatapku. 
Aku membuat suatu wajah jijik. "Oke, oke. Ayo kita pergi menjelajah.," Kataku. 
Maksudku, apa lagi yang bisa kukatakan? 
"Tapi tak jauh," tambahku. 
"Jangan khawatir," katanya, sambil menyeringai. "Kita tak akan tersesat aku hanya akan menunjukkan beberapa terowongan yang kulihat kemarin. Salah satunya ada gambar binatang aneh yang diukir di dindingnya. Kupikir itu semacam kucing. Aku tak yakin . " 
"Sungguh?" teriakku, langsung bersemangat. "Aku pernah melihat gambar-gambar ukiran relief, tapi aku tak pernah -" 
"Itu mungkin kucing," kata Sari. "Atau mungkin orang dengan kepala hewan. Itu benar-benar aneh." 
"Dimana itu?" tanyaku. 
"Ikuti aku." 
Kami berdua memandang sekilas kembali ke Paman Ben, yang turun pada tangan dan lututnya, menggali jauh pada dinding batu. 
Lalu aku mengikuti Sari keluar dari ruangan. 
Kami menekankan (tubuh kami) melalui terowongan sempit, lalu berbalik dan mengikuti satu terowongan sedikit lebih lebar ke kanan. Aku ragu-ragu, beberapa langkah di belakangnya. "Apakah kau yakin bisa kembali?" tanyaku, menjaga suaraku rendah sehingga dia tak bisa menuduhku terdengar ketakutan. 
"Tak masalah," jawabnya. "Terus jaga sinar sentermu ke lantai. Ada ruangan kecil di ujung lain dari terowongan yang agak rapi." 
Kami mengikuti terowongan yang melengkung itu ke kanan. Terowongan itu bercabang menjadi dua lubang rendah, dan Sari mengambil satu yang ke kiri. 
Udara bertambah sedikit lebih hangat. Baunya apak, seolah-olah ada orang yang telah merokok di sana. 
Terowongan ini lebih luas daripada yang lain. Sari berjalan lebih cepat sekarang, semakin jauh di depanku. "Hei - tunggu dulu!" Teriakku. 
Aku menunduk untuk melihat bahwa sepatuku tak terikat lagi. Mengeluarkan erangan jengkel yang keras, aku membungkuk untuk mengikatnya kembali. 
"Hei, Sari, tunggu dulu!" 
Dia tampaknya tak mendengarku. 
Aku bisa melihat cahaya di kejauhan, semakin redup dalam terowongan. 
Lalu tiba-tiba menghilang. 
Apakah senternya padam? 
Tidak. Terowongan itu mungkin melengkung, aku memutuskan. Dia cuma keluar dari pandanganku. 
"Hei, Sari!" panggilku. "Tunggulah! Tunggulah!" 
Aku menatap ke depan ke dalam terowongan gelap itu. 
"Sari?" 
Mengapa dia tak menjawabku? 





"Sari!" 
Suaraku bergema melalui terowongan panjang melengkung. 
Tak ada jawaban. 
Aku memanggil lagi, dan mendengarkan suaraku memudar saat gema mengulangi namanya lagi dan lagi. 
Awalnya aku marah. 
Aku tahu apa yang Sari lakukan. 
Dia sengaja tak menjawab, sengaja mencoba menakut-nakutiku. 
Dia harus membuktikan bahwa dia adalah orang pemberani, dan aku adalah kucing penakut. 
Aku tiba-tiba teringat waktu lain, beberapa tahun sebelumnya. Sari dan Paman Ben datang ke rumahku untuk berkunjung. Kupikir Sari dan aku berumur tujuh atau delapan tahun. 
Kami pergi keluar untuk bermain. Hari itu mendung, terancam hujan. Sari punya lompat tali dan memamerkannya, seperti biasa, menunjukkan padaku betapa baiknya dia dalam hal itu. Kemudian, tentu saja, ketika dia membiarkanku mencobanya, aku tersandung dan jatuh, dan dia tertawa seperti orang gila. 
Aku memutuskan untuk membalasnya dengan membawanya ke rumah tua yang kosong itu beberapa blok dari jalan. Semua anak-anak di lingkungan itu percaya rumah itu berhantu. Ini adalah tempat yang sangat bagus untuk menyelinap masuk dan menjelajah, meskipun orang tua kami selalu memperingatkan kami untuk menjauh dari rumah itu karena berantakan dan berbahaya. 
Jadi aku memimpin Sari ke rumah iti dan mengatakan rumah itu berhantu. Dan kami menyelinap masuk melalui jendela ruang bawah tanah yang rusak. 
Saat itu (keadaan di) luar lebih gelap, dan mulai hujan. Sempurna. Aku tahu Sari benar-benar takut sendirian di rumah tua yang menyeramkan itu. Aku, tentu saja, tak takut sama sekali karena aku pernah di sana sebelumnya. 
Yah, kami mulai menjelajah, dengan pimpinanku. Dan entah bagaimana kami terpisah. Dan saat itu di luar mulai bergemuruh dan kilat. Hujan deras masuk melalui jendela pecah. 
Aku putuskan mungkin kami harus pulang. Jadi aku memanggil Sari. Tak ada jawaban. 
Kupanggil lagi. Masih tak ada jawaban.
Lalu aku mendengar dentuman keras.
Sambil memanggil namanya, aku mulai berlari dari kamar ke kamar. Aku ketakutan setengah mati. Aku yakin sesuatu yang mengerikan telah terjadi.
Aku berlari melalui setiap ruang dalam rumah, semakin takut. Aku tak bisa menemukannya. Aku berteriak dan berteriak, tapi ia tak menjawab. 
Aku sangat takut, aku mulai menangis. Lalu aku benar-benar panik, dan aku berlari keluar rumah dan masuk ke curahan hujan. 
Aku berlari melalui guntur dan kilat, berteriak-teriak sepanjang jalan pulang. Saat aku pulang, aku basah kuyup dan terus. 
Aku berlari ke dapur, terisak-isak dan menangis bahwa aku kehilangan Sari di rumah hantu. 
Dan disanalah dia. Duduk di meja dapur. Nyaman dan kering. Makan sepotong besar kue cokelat. Satu senyum kepuasan tampak di wajahnya.
Dan sekarang, mengintip ke dalam kegelapan piramida, aku tahu Sari melakukan hal yang sama kepada. 
Mencoba untuk menakut-nakutiku. 
Mencoba untuk membuatku terlihat buruk. 
Atau dia? 
Saat aku berjalan melewati terowongan, rendah sempit, menjaga cahaya tertuju lurus ke depan, aku tak bisa menahannya. Kemarahanku dengan cepat berubah menjadi kekhawatiran, dan pertanyaan-pertanyaaan yang mengganggu berputar di benakku. 
Bagaimana jika dia tak bermaksud memainkan tipu muslihat padaku? 
Bagaimana jika sesuatu yang buruk telah terjadi padanya? 
Bagaimana jika dia salah langkah dan jatuh ke dalam lubang? 
Atau telah mendapatkan dirinya terperangkap di sebuah terowongan yang tersembunyi? 
Atau. . . Aku tak tahu apa. 
Aku tak bisa berpikir jernih. 
Sepatuku berdebam keras di lantai berpasir saat aku mulai setengah berjalan setengah berlari melalui terowongan berliku. 
"Sari?" panggilku dengan panik sekarang, tak peduli apakah aku terdengar takut atau tidak. 
Di mana dia? 
Dia tak terlalu jauh di depanku. Aku setidaknya harus mampu melihat cahaya dari senter, pikirku. 
"Sari?" 
Tak ada tempat baginya untuk bersembunyi di ruang sempit itu. Apa aku mengikuti terowongan yang salah? 
Tidak. 
Aku telah berada di terowongan yang sama sepanjang jalan. Terowongan yang sama di mana aku telah menyaksikannya menghilang masuk 
Jangan katakan hilang, aku memarahi diriku sendiri. Jangan bahkan berpikir kata itu. 
Tiba-tiba lorong sempit itu berakhir. Sebuah lubang kecil menuju ke suatu ruangan kecil persegi. Aku menyorotkan senter dengan cepat dari satu sisi ke sisi lainnya. 
"Sari?" 
Tak ada tanda-tanda keberadaannya.
Dinding-dindingnya yang kosong. Udara hangat dan apek. Aku pindahkan cahaya senter dengan cepat di seluruh lantai, mencari jejak kaki Sari itu. Lantainya keras, kurang berpasir di sini. Tak ada jejak kaki. 
"Oh!" 
Aku menjerit pelan saat cahaya senterku berakhir pada benda di dinding yang jauh. Hatiku berdebar, dengan bersemangat aku melangkah lebih dekat sampai aku hanya beberapa meter dari itu. 
Itu adalah peti mumi. 
Satu peti besar mumi dari batu, setidaknya delapan meter. 
Peti itu persegi panjang, dengan sudut-sudut yang melengkung. Tutupnya diukir. Aku mendekat dan mengarahkan cahaya. 
Ya. 
Satu wajah manusia terukir pada tutupnya. Wajah seorang wanita. Ini tampak seperti topeng kematian, semacam yang pernah kami pelajari di sekolah. Topeng itu dengan mata terbelalak menatap langit-langit. 
"Wow!" Aku berteriak keras-keras. Satu peti mumi yang asli. 
Ukiran wajah di tutupnya mestinya telah dicat cerah pada satu waktu. Tapi warnanya telah memudar selama berabad-abad. Sekarang wajah itu kelabu, pucat seperti kematian. 
Menatap bagian atas peti ini, halus dan sempurna, aku bertanya-tanya apakah Paman Ben sudah melihatnya. Atau aku telah membuat penemuanku sendiri. 
Mengapa semua itu ada dengan sendirinya dalam kamar kecil ini? Aku bertanya-tanya. 
Dan apa itu yang tersimpan di dalamnya? 
Aku membangkitkan keberanianku untuk menggerakkan tanganku ke atas tutup batu yang halus itu ketika aku mendengar suara berderit. 
Dan melihat tutup itu mulai terangkat.
"Oh!" teriakan kecil keluar dari bibirku.
Pada awalnya kupikir aku hanya membayangkan hal itu. Aku tak bergerak sedikit pun. Aku menjaga cahaya senter terarah ke tutupnya. 
Tutupnya terangkat sedikit lagi. 
Dan aku mendengar suara mendesis datang dari dalam peti mati besar itu, seperti udara yang keluar dari teko kopi baru saat pertama kali kau membukanya. 
Dengan mengeluarkan teriakan pelan lainnya, aku mundur selangkah lagi. 
Tutup itu terangkat beberapa inci lagi.
Aku mundur selangkah lagi. 
Dan menjatuhkan senter. 
Aku mengambilnya dengan tangan gemetar dan menyoroti lagi peti mumi itu. 
Tutup itu sekarang telah terbuka hampir satu kaki. 
Aku menarik napas dari udara dalam-dalam dan menahannya. 
Aku ingin lari, tapi rasa takutku membuatku membeku di tempat. 
Aku ingin berteriak, tapi aku tahu aku tak akan mampu mengeluarkan suara.
Tutup itu berderit dan membuka seinci lagi. 
Seinci lagi. 
Aku merendahkan senter ke lubang itu, cahayanya bergetar dengan tanganku.
Dari kedalaman yang gelap dari peti kuno itu, aku melihat dua mata menatap ke arahku. 



6 

Aku terkesiap diam. 
Aku membeku. 
Aku merasakan hawa udara dingin zigzag (berliku-liku) ke punggungku. 
Tutup itu perlahan-lahan terbuka seinci lagi. 
Mata itu menatap ke arahku. Mata yang dingin.  Mata yang jahat. 
Mata yang kuno. 
Mulutku ternganga. Dan bahkan sebelum aku menyadarinya, aku mulai menjerit. 
Teriakan di bagian atas paru-paruku. 
Saat aku berteriak, aku tak bisa berpaling, tak mampu berlari, tak bisa bergerak, tutup itu bergeser terbuka seluruhnya. 
Perlahan-lahan, seolah-olah dalam mimpi, satu sosok gelap bangkit sendiri dari dalam peti mumi itu dan keluar. 
"Sari!" 
Suatu senyum lebar melintas di wajahnya. Matanya bersinar gembira.
"Sari - itu tak lucu!" Aku berhasil berteriak dengan suara bernada tinggi yang memantul ke dinding batu. 
Tapi sekarang dia tertawa terlalu keras untuk mendengarku. 
Tawa keras, mengejek. 
Aku begitu marah, dengan kalut aku mencari sesuatu untuk kulemparkan padanya. Tapi ada tak apa-apa, bahkan tak ada sebutir kerikil pun di lantai. 
Menatapnya, dadaku masih sesak karena ketakutanku, aku benar-benar membencinya setelah itu. Dia telah membuatku benar-benar bodoh. Aku telah berteriak seperti bayi. 
Aku tahu ia tak akan membiarkan hidupku beruntung. 
Tak pernah. 
"Wajahmu!" serunya ketika akhirnya dia berhenti tertawa. "Kuharap aku punya kamera." 
Aku terlalu marah untuk menjawab. Aku hanya menggeram padanya. 
Aku menarik tangan mumi kecil dari saku belakangku dan mulai menggulungnya di dalam tanganku. Aku selalu bermain-main dengan tangan itu saat aku marah. Ini biasanya membantu menenangkanku.
Tapi sekarang aku merasa seolah-olah aku tak akan pernah tenang. 
"Aku bilang padamu bahwa kemarin aku telah menemukan satu peti mumi yang kosong," katanya, menyikat rambut ke belakang wajahnya. "Apa kau tak ingat?" 
Aku menggeram lagi. 
Aku merasa seperti benar-benar bodoh. 
Pertama aku tertipu kostum mumi bodoh ayahnya. Dan sekarang ini. 
Diam-diam aku bersumpah pada diriku sendiri akan membayarnya kembali. Meskipun itu adalah hal terakhir yang aku lakukan. 
Dia masih tertawa tentang lelucon besarnya. "Ekspresi wajahmu," katanya lagi, sambil menggeleng kepalanya. Menggosok-gosoknya. 
"Kau juga tak akan suka kalau aku menakut-nakutimu," gumamku marah.
"Kau tak akan bisa menakut-nakutiku," jawabnya. "Aku tak akan begitu mudah ketakutan." 
"Hah!" 
Itu jawaban terbaik yang bisa kupikirkan. Aku tahu tak terlalu pintar. Tapi aku terlalu marah untuk menjadi pintar. 
Aku membayangkan diriku mengangkat Sari dan melemparkannya kembali ke dalam peti mumi, merobohkan tutupnya, dan menguncinya - ketika aku mendengar langkah-langkah kaki mendekat di dalam terowongan. 
Melirik Sari, aku melihat ekspresi wajahnya berubah. Dia juga mendengarnya. 
Beberapa detik kemudian, Paman Ben menghambur masuk ke ruangan kecil itu. Aku bisa melihat langsung, bahkan dalam cahaya redup, bahwa ia benar-benar marah. 
"Kupikir aku bisa mempercayai kalian berdua," katanya, berbicara dengan gigi terkatup. 
"Ayah -" Sari mulai. 
Tapi ia memotongnya tajam. "Aku mempercayaimu untuk tak berkeliaran tanpa memberitahuku. Apa kau tahu bagaimana mudahnya untuk tersesat di tempat ini? Tersesat selamanya?" 
"Ayah," Sari mulai lagi. "Aku hanya menunjukkan Gabe ruangan ini yang kutemukan kemarin. Kami akan segera kembali. Sungguh." 
"Ada ratusan terowongan," kata Paman Ben panas, mengabaikan penjelasan Sari itu. "Mungkin ribuan .Banyak dari terowongan-terowongan itu belum pernah dijelajahi. Tak seorang pun pernah berada di bagian piramida ini. Kita tak tahu bahaya apa yang ada di sana. Kalian berdua tak bisa berkeliaran begitu saja sendirian. Apa kalian tahu bagaimana paniknya aku ketika aku berbalik dan kalian sudah tak ada? " 
"Maaf," kata Sari dan aku sama-sama serempak. 
"Ayo pergi," kata Paman Ben, menunjuk ke pintu dengan senternya. "Kunjungan piramida kalian sudah berakhir untuk hari ini." 
Kami mengikutinya ke dalam terowongan. Aku merasa benar-benar buruk. Aku tak hanya terkena lelucon bodoh Sari, tapi aku telah membuat paman favoritku benar-benar marah.
Sari selalu membuatku kesulitan, pikirku pahit. Sejak kami masih anak kecil. 
Sekarang ia berjalan di depanku, bergandengan tangan dengan ayahnya, menceritakan sesuatu kepadanya, wajahnya dekat telinga. Tiba-tiba mereka berdua tertawa terbahak-bahak dan berbalik untuk menatapku. 
Aku bisa merasakan wajahku mulai panas. 
Aku tahu apa yang diceritakannya kepadanya. 
Dia bercerita tentang bersembunyi dalam peti mumi dan membuat aku menjerit ketakutan seperti bayi. Dan sekarang mereka berdua tertawa tentang betapa brengseknya aku. 
"Selamat Natal juga kepada kalian!"teriakku pahit. 
Dan itu membuat mereka tertawa bahkan lebih keras. 

***

Kami menghabiskan malam kembali di hotel di Kairo. Aku mengalahkan Sari dalam dua game Scrabble secara langsung, tapi itu tak membuatku merasa lebih baik. 
(Scrabble = permainan menyusun kata dari biji-biji huruf pada papan permainan berkotak-kotak, 15 baris 15 kolom-pen)
Dia terus mengeluh bahwa ia hanya dapat vokal saja, sehingga permainan itu tak adil. Akhirnya, aku menempatkan perlengkapan Scrabbleku kembali di kamarku, dan kami duduk dan menatap TV. 

***

Keesokan paginya, kami sarapan di dalam kamar. Aku memesan kue dadar, tetapi tak terasa seperti kue dadar manapun yang pernah kumakan. Kue itu alot dan kasar, seolah-olah terbuat dari kulit sapi atau sesuatu lainnya. 
"Apa yang kita lakukan hari ini?" tanya Sari kepada Paman Ben, yang masih menguap dan meregang setelah dua cangkir kopi hitam. 
"Aku ada janji di Museum Kairo," katanya kepada kami, melirik arlojinya. "Ini hanya beberapa blok jauhnya Kupikir kalian mungkin ingin berkeliling museum sementara aku mengadakan pertemuanku.." 
"Ooh, betapa menggairahkan dan mengerikan," kata Sari sinis. Dia menghirup sesendok lagi Frosted Flakes. 
(Frosted Flake = sereal untuk sarapan yang diproduksi perusahaan Kellog berkomposisi dari gula dan jagung. Maskotnya adalah macan bernama Tony)
Kotak Frosted Flakes kecil itu ada tulisan bahasa Arab di atasnya, dan Tony si Macan mengatakan sesuatu dalam bahasa Arab. Aku ingin menyimpannya dan membawanya pulang untuk menunjukkannya kepada teman-temanku. Tapi aku tahu Sari akan mengolok-olokku jika aku meminta kotak itu kepadanya, jadi aku tak melakukannya. 
"Museum ini memiliki koleksi mumi yang menarik, Gabe," kata Paman Ben kepadaku. Dia mencoba untuk menuangkan secangkir kopi ketiga, namun teko itu kosong. "Kau akan menyukainya." 
"Kecuali mereka keluar dari peti-peti mereka," kata Sari. 
Bodoh. Benar-benar bodoh. 
Aku menjulurkan lidahku padanya. Dia melemparkan Frosted Flake basah itu kepadaku menyeberangi meja. 
"Kapan ibu dan ayahku kembali?" tanyaku pada Paman Ben. Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku merindukan mereka. 
Dia mulai menjawab, tapi telepon berdering. Dia berjalan ke kamar tidur dan mengangkatnya. Itu adalah telepon hitam model kuno dengan putaran angka bukan tombol. Saat dia berbicara, wajahnya penuh dengan keprihatinan. 
"Perubahan rencana," katanya beberapa detik kemudian, menggantung gagang telepon dan kembali ke ruang tamu. 
"Ada apa, Ayah?" tanya Sari, mendorong mangkuk sereal pergi. 
"Ini sangat aneh," jawabnya, menggaruk belakang kepalanya. "Dua pekerjaku jatuh sakit semalam. Semacam penyakit misterius." Ekspresinya jadi berpikir, khawatir. "Mereka membawa keduanya ke sebuah rumah sakit di Kairo." 
Dia mulai mengumpulkan dompet dan beberapa barang-barang lain. "Kupikir lebih baik aku segera ke sana," katanya. 
"Tapi bagaimana dengan Gabe dan aku?" tanya Sari, melirikku. 
"Aku hanya akan pergi satu jam atau lebih," jawab ayahnya. "Tinggallah di sini dalam ruangan, oke?" 
"Di dalam ruangan?" teriak Sari, membuatnya terdengar seperti hukuman. 
"Yah, baiklah. Kalian bisa pergi ke lobi, jika kalian ingin. Tapi jangan meninggalkan hotel." 
Beberapa menit kemudian, ia menarik jaket safari cokelatnya, memeriksa untuk terakhir kali untuk memastikan bahwa dompet dan kuncinya ada, dan bergegas keluar pintu. 
Sari dan aku saling menatap muram sat sama lainnya. 
"Apa yang ingin kau lakukan?" tanyaku, menusuk kue dadar dingin yang tak dimakan di piringku dengan garpu. 
Sari mengangkat bahu. "Apakah panas di sini?" 
Aku mengangguk. "Ya. Ini sekitar seratus dua puluh derajat." 
"Kita harus keluar dari sini," katanya, berdiri dan meregang. 
"Maksudmu turun ke lobi?" Tanyaku, masih menusuk kue dadar, menariknya menjadi potongan-potongan dengan garpu. 
"Tidak. Maksudku keluar dari sini," jawabnya. Dia berjalan ke cermin di pintu masuk dan mulai menyikat lurus, rambut hitam. 
"Tapi Paman Ben berkata -" aku mulai.
"Kita tak akan pergi jauh," katanya, dan kemudian cepat-cepat menambahkan, "jika kau takut." 
Aku menyeringai padanya. Aku tak berpikir dia melihatku. Dia sedang sibuk mengagumi dirinya di cermin. 
"Oke," kataku. "Kita bisa pergi ke museum. Ayahmu mengatakan itu hanya satu blok jauhnya." 
Aku bertekad untuk tak menjadi pengecut lagi. Jika dia tak ingin mematuhi ayahnya dan pergi keluar, tak apa-apa bagiku. Mulai sekarang, aku memutuskan, aku akan menjadi pria macho. Tak mengulangi (peristiwa) kemarin lagi. 
"Museum itu?" Dia menyeringai. "Yah... Oke," katanya, berbalik untuk menatapku. "Ingat kita sudah dua belas tahun. Tak seperti saat kita masih bayi. Kita bisa pergi keluar kalau kita mau." 
"Ya, kita bisa," kataku. "Aku akan menulis Paman Ben catatan dan mengatakan padanya di mana kita akan pergi, jika dia kembali sebelum kita." Aku pergi ke meja dan mengambil sebuah pena dan sebuah buku kecil dari kertas. 
"Jika kau takut, Gabey, kita bisa berjalan saja di sekitar blok ini," katanya dengan suara menggoda, menatapku, menunggu untuk melihat bagaimana reaksiku. 
"Tidak," kataku. "Kita akan ke museum Kecuali kau takut.." 
"Tidak," katanya, meniruku. 
"Dan jangan panggil aku Gabey," tambahku. 
"Gabey, Gabey, Gabey," gumamnya, hanya untuk mengganggu. 
Aku menulis catatan ke Paman Ben. Kemudian kami pergi ke lift turun ke lobi. Kami bertanya wanita muda yang ada di belakang meja di mana Museum Kairo. Dia berkata untuk berbelok ke kanan di luar hotel dan berjalan dua blok. 
Sari ragu-ragu saat kami melangkah keluar di bawah sinar matahari cerah. "Kau yakin kau siap untuk ini?" 
"Apa yang salah?" jawabku. 


Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com

7 

"Ayo kita pergi. Ke arah sini," kataku, melindungi mataku dari terangnya sinar matahari dengan tanganku. 
"Panas sekali," keluh Sari. 
Jalan itu penuh sesak dan berisik. Aku tak bisa mendengar apa-apa di atas suara klakson mobil. 
Sopir-sopir di sini bersandar pada klakson di menit mereka memulai mobilnya, dan mereka tak berhenti membunyikan klakson sampai mereka tiba di tujuannya. 
Sari dan aku tetap dekat bersama-sama, kami berjalan melalui kerumunan orang di trotoar. Semua macam orang lewat. 
Ada orang-orang di setelan bisnis gaya Amerika berjalan berdampingan dengan pria yang tampak mengenakan piyama longgar putih. 
Kami melihat wanita-wanita yang akan terlihat tepat di rumah pada setiap jalan di Amerika, memakai pembalut kaki  berwarna-warni, rok bergaya dan celana panjang. Wanita-wanita bercelana jeans. Diikuti oleh wanita-wanita bergaun hitam panjang yang melambai-lambai, wajah mereka tertutup oleh kerudung hitam yang tebal. 
"Pastinya ini tak terlihat seperti pulang ke rumah!" seruku, berteriak di atas bunyi klakson mobil. 
Aku begitu terpesona oleh semua hal yang tampak menarik, melihat orang-orang yang berkerumun di trotoar sempit sehingga aku lupa untuk melihat gedung-gedung. Sebelum aku tahu itu, kami telah berdiri di depan museum, satu bangunan batu tinggi yang menjulang di atas jalan di belakang menara beranak tangga landai (miring). 
Kami menaiki tangga dan memasuki pintu putar museum. 
"Wow, begitu sunyi di sini!" Aku berseru, berbisik. Menyenangkan untuk menjauh dari klakson-klakson yang berbunyi, trotoar yang penuh sesak, dan orang-orang yang berteriak. 
"Kau pikir apa sebabnya mereka membunyikan klakson begitu sering?" tanya Sari, memegang telinganya. 
"Kukira itu cuma kebiasaan," jawabku.
Kami berhenti dan memandang berkeliling. 
Kami berdiri di tengah-tengah lobi terbuka yang sangat besar. Tangga marmer tinggi berdiri di ujung kiri dan ujung kanan. Tiang putih kembar berbingkai satu pintu lebar yang membawa langsung kembali. Satu lukisan besar di dinding ke kanan menunjukkan pemandangan piramida dan Sungai Nil dari udara. Kami berdiri di tengah-tengah lantai, mengagumi lukisan itu untuk sementara waktu. Kemudian kami berjalan ke dinding belakang dan bertanya pada seorang wanita di meja informasi untuk ruang mumi. Dia tersenyum manis sekilas pada kami dan mengatakan kepada kami dalam bahasa Inggris yang sempurna untuk ke tangga sebelah kanan. 
Sepatu kami berdebam keras di lantai marmer yang mengkilap. Tangga itu kelihatannya akan naik selamanya. 
"Ini seperti mendaki gunung," keluhku, setengah jalan. 
"Ayo balapan ke atas," kata Sari, menyeringai, dan pergi sebelum aku sempat menjawab. 
Tentu saja ia mengalahkanku sekitar sepuluh langkah. 
Aku menunggunya memanggilku "orang yang lamban" atau "wajah siput" atau lainnya. Tapi dia sudah berpaling untuk melihat apa yang ada di depan kami. 
Suatu ruangan gelap berlangit-langit tinggi tampak untuk meregangkan selamanya. Satu peti kaca berdiri di tengah jalan masuk. Di dalamnya ada konstruksi rinci dari kayu dan tanah liat. 
Aku mendekat agar bisa melihat dengan baik. Konstruksi itu menunjukkan ribuan pekerja menyeret balok-balok besar batu kapur di pasir menuju sebuah piramida yang baru dibangun sebagian. 
Di ruang belakang pameran aku bisa melihat patung-patung batu besar, peti mumi besar, pameran dari kaca dan tembikar, dan peti demi peti artefak dan peninggalan. 
"Kurasa inilah tempatnya!" Aku berseru gembira, bergegas ke peti pertama ditampilkan. 
"Ooh, apa itu ? Semacam anjing raksasa?" tanya Sari, menunjuk ke patung besar di dinding. 
Makhluk itu tampaknya memiliki kepala anjing yang galak dan tubuh singa. Matanya menatap lurus ke depan, dan tampaknya siap menerkam siapa saja yang datang mendekatinya. 
"Mereka menempatkan makhluk-makhluk seperti itu di depan makam," kataku pada Sari. "Kau tahu. Untuk melindungi tempat itu. Menakut-nakuti perampok kuburan." 
"Seperti anjing penjaga," kata Sari, melangkah ke dekat patung kuno itu.
"Hei - ada mumi dalam peti ini!" seruku, bersandar di atas peti mati batu kuno. "Lihat!" 
Masih menatap kembali pada patung besar, Sari berjalan ke sampingku. "Ya. Ini adalah mumi, oke," katanya, tak terkesan. Kurasa dia melihat mereka lebih banyak dariku. 
"Mumi ini sangat kecil," kataku, menatap kain pembungkus yang menguning begitu erat di sekitar kepala dan tubuh kurus. 
"Nenek moyang kita cebol," jawab Sari. "Pikirkanlah itu pria atau wanita?" 
Aku melirik plat logam di sisi peti mati. "Dikatakan ia seorang pria." 
"Kurasa mereka tak bekerja di hari-hari ini," katanya dan tertawa mendengar komentarnya sendiri. 
"Mereka melakukan satu pekerjaan membungkus yang bagus," kataku, memeriksa dengan hati-hati bungkusan jari-jari pada tangan, yang disilangkan di atas dada mumi. "Aku jadi mumi pada Hallowen sebelum (Hallowen) terakhir, dan kostumku benar-benar tak bisa lepas setelah sepuluh menit!" kata Sari. 
"Apakah kau tahu bagaimana mereka membuat mumi?" tanyaku sambil bergerak di sekitarnya untuk melihatnya dari sisi lain. "Apakah kau tahu hal pertama yang mereka lakukan? Mereka mengeluarkan otaknya." 
"Yuck. Hentikan," katanya, menjulurkan lidah dan membuat wajah jijik. 
"Tidakkah kau tahu tentang ini?" tanyaku, aku sangat senang punya beberapa informasi benar-benar mengerikan dan dia tidak. 
"Tolong - cukup," katanya, sambil mengangkat satu tangan seolah-olah untuk menangkisku. 
"Tidak, ini menarik," aku bersikeras. "Otak itu harus dikeluarkan terlebih dahulu. Mereka punya alat khusus. Alat itu seperti pengait panjang kurus. Mereka akan mendorongnya ke atas hidung mayat itu sampai mencapai otak dan kemudian menggoyang-goyangkannya maju mundurdan bolak-balik, sampai otak itu menjadi bubur. " 
"Hentikan!" Sari memohon, menutupi telinganya. 
"Kemudian mereka mengambil sendok panjang," aku melanjutkan dengan gembira, "dan menyendok otak itu keluar sedikit pada satu waktu." 
Aku membuat gerakan menyendok dengan tanganku. "Sendok, sendok. Mereka menyendok otak keluar melalui hidung. Atau kadang-kadang mereka memekarkan bola mata dan menyendok otak keluar melalui rongga bola mata."
"Gabe - Aku serius!" teriak Sari. Dia benar-benar tampak sepertinya  kesakitan. Dia pucat! 
Aku menyukainya. 
Aku tak pernah tahu bahwa Sari punya tulang mual dalam tubuhnya. Tapi aku benar-benar membuatnya sakit. 
Luar biasa! Pikirku. 
Aku pastinya harus ingat teknik ini. 
"Ini semua benar," kataku, tak mampu menahan senyum yang lebar. 
"Tutup mulutmu," gumamnya. 
"Tentu saja kadang-kadang mereka tak menarik otak keluar dari hidung. Kadang-kadang mereka cukup mengiris kepalanya. Lalu mereka menguras otaknya keluar melalui leher dan menempatkan kepalanya ke belakang pada tubuh. Kukira mereka cukup membalutnya kembali. " 
"Gabe -" 
Aku menatapnya sepanjang waktu, memeriksa reaksinya. Dia tampak lebih sakit dan lebih sakit. Napasnya benar-benar berat. Dadanya sesak. Kupikir dia benar-benar akan kehilangan sarapannya. 
Jika ia melakukannya, aku takkan pernah membiarkannya melupakannya.
"Itu benar-benar kotor," katanya. Suaranya terdengar lucu, seperti itu datang dari bawah laut atau (tempat) lainnya.
"Tapi itu benar," kataku. "Bukankah ayahmu pernah bercerita tentang bagaimana cara mereka membuat mumi?" 
Dia menggelengkan kepalanya. "Dia tahu aku tak suka -" 
"Dan kau tahu apa yang mereka lakukan dengan ususnya?" tanyaku, menikmati keterkejutan di wajahnya. "Mereka menempatkannya dalam stoples dan -" 
Aku tiba-tiba menyadari pandangan kaget Sari bukanlah untukku. 
Dia sebenarnya menatap ke atas bahuku. 
"Hah?" Aku berbalik dan melihat mengapa ia tiba-tiba tampak begitu terkejut. 
Seorang pria telah memasuki ruangan itu dan berdiri persis di depan peti pertama dipamerkan. Aku butuh beberapa detik untuk mengenalinya. 
Itu adalah Ahmed,  orang Mesir aneh yang pendiam dengan (rambut) ekor kuda hitamnya yang telah menyambut kami dengan cara yang sedemikian tak bersahabat di dalam piramida. Dia berpakaian sama, celana panjang putih longgar dan kemeja dengan syal merah di lehernya. Dan ekspresi wajahnya  tak ramah. Bahkan marah. 
Sari dan aku sama-sama mundur dari peti mumi, dan Ahmed, matanya melirik satu dari kami kepada yang lain, melangkah ke arah kami. 
"Gabe, dia datang pada kita!" Sari berbisik. Dia meraih lenganku. Tangannya sedingin es. 
"Ayo keluar dari sini!" teriak Shari. 
Aku ragu-ragu. Bukankah seharusnya kami berhenti dan menyapanya dulu?
Tapi sesuatu tentang pandangan tekad keras di wajah Ahmed mengatakan kepadaku bahwa Sari benar. 
Kami berbalik dan mulai berjalan sangat cepat menjauh darinya ke ruang yang luas, Sari beberapa langkah di depanku. 
Aku berbalik dan melihat bahwa Ahmed berlari kecil setelah kami. 
Dia meneriakkan sesuatu kepada kami, suaranya marah, mengancam. Aku tak bisa bersuara. 
"Lari!" teriak Sari. 
Dan sekarang kami berdua berlari dengan kecepatan penuh,  sepatu kami bersuara keras di lantai marmer yang mengkilat. 
Kami berlari di sekitar suatu peti pameran kaca besar yang berisi tiga peti mumi yang berdiri. Lalu kami berlari lurus ke bawah lorong yang lebar antara patung dan rak-rak berisi tembikar-tembikar kuno dan barang-barang peninggalan piramida. 
Di belakang kami, aku bisa mendengar Ahmed berteriak dengan marah, "Kembali!  Kembali!" 
Dia terdengar benar-benar marah. 
Sepatunya berkeletak-keletak di lantai saat ia berlari, suaranya bergema di dalam ruangan museum besar yang kosong. 
"Dia mendekati kita!" teriakku pada Sari, yang masih beberapa langkah di depan. 
"Mestinya ada satu jalan keluar dari sini!" jawabnya terengah-engah. 
Tapi segera kulihat tak ada jalan keluar. Kami hampir sampai ke dinding belakang. Kami melewati Sphinx (patung berkepala manusia) raksasa, lalu berhenti. 
Tak ada tempat untuk pergi. 
Tak ada pintu. Tak ada pintu keluar. 
Satu dinding granit yang tebal. 
Kami berdua berbalik dan melihat mata Ahmed melebar penuh kemenangan. 
Dia membuat kami terpojok. 



8 

Ahmed berhenti beberapa meter di depan kami. Dia terengah-engah seperti anjing, megap-megap, dan memegangi pinggangnya. Dia menatap kami dengan marah. 
Sari melirik ke arahku. Dia tampak pucat, benar-benar ketakutan. Punggung kami berdua menempel dinding. 
Aku menelan ludah. Tenggorokanku terasa kencang dan kering. 
Apa yang akan ia lakukan pada kami?
"Kenapa kalian lari?" Ahmed akhirnya berhasil berkata, masih memegangi pinggangnya seolah-olah kram. "Kenapa?" 
Kami tak menjawab. Kami berdua balas menatapnya, menunggu untuk melihat apa yang akan ia lakukan. 
"Aku datang dengan pesan dari ayahmu," katanya kepada Sari, terengah-engah. Dia mengangkat syal merah dari leher dan mengusap keningnya yang berkeringat dengannya. "Kenapa kalian lari?" 
"Sebuah pesan?" Sari tergagap. 
"Ya," kata Ahmed. "Kau kenal aku. Kita kemarin bertemu lagi. Aku tak mengerti mengapa kalian berlari." 
"Maafkan aku," kata Sari cepat, sambil memandangku sekilas dengan rasa bersalah. 
"Kami tak berpikir jernih," kataku. "Sari membuatku takut, dan aku mengikutinya." 
"Gabe menceritakan semua hal yang menakutkan," katanya, mendorongku dengan keras di pinggang dengan sikunya. "Itu salahnya. Dia menakut-nakutiku dengan semua hal tentang mumi. Jadi, ketika aku melihat Anda, aku tak berpikir jernih, dan..." 
Kami berdua mengoceh. Kami berdua merasa sangat lega bahwa ia tak mengejar kami - dan sangat malu bahwa kami telah melarikan diri darinya. 
"Ayahmu mengirimku untuk menjemput kalian," kata Ahmed, matanya yang gelap terarah padaku. "Tak kupikir aku harus mengejar kalian melalui seluruh museum." 
"Maaf," kataku dan Sari bersamaan.. 
Aku merasa seperti orang tolol. Aku yakin Sari juga begitu. 
"Ayah kembali ke hotel dan melihat catatan Gabe?" tanya Sari, meluruskan rambut dengan tangannya saat dia menjauh dari dinding. 
"Ya." Ahmed mengangguk. 
"Dia pulang dari rumah sakit cepat sekali," kata Sari, melirik jam tangannya. 
"Ya," jawab Ahmed lagi. "Ayo. Aku akan membawa kalian kembali ke hotel. Dia menunggu kalian di sana." 
Kami mengikutinya dalam keheningan, Sari dan aku berjalan berdampingan beberapa langkah di belakangnya. 
Saat kami berjalan menuruni tangga panjang, kami saling melirik malu-malu satu sama lain. Kami berdua merasa sangat tolol karena telah melarikan diri seperti itu. 
Beberapa saat kemudian, kami kembali di trotoar yang ramai berisik, satu bunyi klakson mobil lewat tanpa henti, semua bergerak maju dan berhenti, sopir-sopir yang tetap di jendela-jendela mobil, berteriak dan mengacungkan tinju mereka. 
Ahmed memeriksa untuk memastikan kami bersamanya, lalu berbelok ke kanan dan mulai memimpin betjalan melewati kerumunan. Matahari sekarang naik tinggi di atas bangunan. Udara panas dan lembab. 
"Hei, tunggu -" panggilku. 
Ahmed kembali, namun terus berjalan.
"Kita salah jalan," seruku padanya, berteriak melebihi teriakan seorang penjual jalanan di belakang gerobak sayuran. "Hotelnya di belakang jalan itu." Aku menunjuk. 
Ahmed menggeleng. "Mobilku ada di sana." 
"Kita kembali ke hotel naik mobil?" tanya Sari, suaranya tampak terkejut.
"Itu hanya dua blok," kataku pada Ahmed. "Sari dan aku bisa berjalan kembali sendiri jika Anda inginkan. Anda tak benar-benar harus mengantar kami." 
"Tak masalah," jawab Ahmed, dan dia meletakkan tangannya dengan kuat, satu di bahuku, yang satu lagi di Sari, dan terus membimbing kami ke mobilnya. 
Kami menyeberangi jalan dan terus berjalan. Trotoar bahkan jadi lebih ramai. Seorang pria mengayunkan sebuah tas kulit tanpa sengaja mengenai bahuku. Aku berteriak kesakitan. 
Sari tertawa. 
"Kau punya selera humor yang bagus," gumamku sinis. 
"Aku tahu," jawabnya. 
"Kalau kita berjalan, kita sudah sampai di hotel," kataku. 
Ahmed pasti mendengar, karena dia berkata, "Mobilku di blok berikutnya."
Kami berjalan cepat melalui orang banyak. Beberapa saat kemudian, Ahmed berhenti di suatu mobil stationwagon kecil empat pintu. Mobil itu tertutup debu, dan spatbor di sisi pengemudi telah merekah. 
Dia membuka pintu belakang, Sari dan aku berjejalan masuk. 
"Aduh," keluhku. Kursi kulit itu terbakar panas. 
"Setirnya juga panas," kata Ahmed, naik dan memasang sabuk pengaman. Dia menyentuh roda kemudi beberapa kali dengan kedua tangan, berusaha untuk menjadikannya hangat. "Mereka harusnya menciptakan sebuah mobil yang tetap dingin saat diparkir." 
Mesin dihidupkan pada percobaan kedua, dan dia keluar dari trotoar dan ke garis lalu lintas. 
Dengan segera, ia mulai mengklakson mobil di depan kami. Kami bergerak perlahan, berhenti setiap beberapa detik, melewati jalan yang sempit. 
"Aku heran mengapa Ayah tak datang menjemput kami," kata Sari kepadaku, matanya tertuju pada orang banyak lewat jendela mobil yang berdebu. 
"Dia berkata bahwa dia akan menunggu kalian di hotel," jawab Ahmed dari kursi depan. 
Dia tiba-tiba berbelok tajam ke jalan raya yang lebih luas dan mulai menambah kecepatan. 
Aku butuh waktu lama untuk menyadari bahwa kami sedang menuju ke arah yang salah - jauh dari hotel kami. "Eh... Ahmed. Aku. Pikir hotelnya di belakang jalan itu,." Kataku, menunjuk ke arah jendela belakang. 
"Aku percaya kau keliru," jawabnya pelan, menatap lurus ke depan melalui kaca depan. "Kita akan ke sana segera." 
"Tidak. Sungguh," aku bersikeras. 
Satu hal tentang diriku adalah aku memiliki perasaan yang benar-benar baik tentang arah. Ibu dan Ayah selalu mengatakan bahwa mereka tak perlu peta saat aku ada. Aku hampir selalu tahu kapan aku menuju jalan yang salah. 
Sari berbalik melirikku, ekspresi gelisah mulai mengencang di wajahnya. 
"Tenanglah dan nikmati perjalanan," kata Ahmed, menatapku melalui kaca spion. "Apa kalian memasang sabuk pengaman? Lebih baik kalian melakukannya sekarang." 
Ada satu senyum di wajahnya, tapi suaranya dingin. Kata-katanya terdengar seperti ancaman. 
"Ahmed, kita sudah terlalu jauh," aku bersikeras, mulai merasa benar-benar takut. 
Di luar jendela, bangunan-banunan  lebih rendah, lebih kumuh. Kami tampaknya menjauh dari pusat kota. 
"Tetap tenanglah," jawabnya, mulai tak sabar. "Aku tahu di mana aku pergi." 
Sari dan aku bertukar pandang. Dia tampak sekhawatir aku. Kami berdua menyadari bahwa Ahmed berbohong kepada kami. Dia tak membawa kami ke hotel. Dia membawa kami ke luar kota. 
Kami sedang diculik. 



9 

Melihat mata Ahmed memperhatikanku di kaca spion, aku bermain-main dengan sabuk pengaman, berpura-pura untuk memasangnya. Saat aku melakukan ini, aku membungkuk dekat Sari dan berbisik di telinganya, "Lain kali saat dia berhenti." 
Pada awalnya ia tak mengerti maksudku. Tapi kemudian aku melihat bahwa ia mengerti. 
Kami berdua duduk tegang, mata pada pegangan pintu, menunggu dalam keheningan. 
"Ayahmu orang yang sangat cerdas," kata Ahmed, menatap Sari di cermin. 
"Aku tahu," jawab Sari dengan suara kecil. 
Lalu lintas melambat, lalu berhenti. 
"Sekarang!" teriakku. 
Kami berdua meraih pegangan pintu. 
Aku mendorong pintu terbuka dan diriku lari dengan cepat keluar dari mobil.
Klakson-klakson berbunyi di depan dan di belakangku. Aku bisa mendengar teriakan terkejut Ahmed. 
Membiarkan pintu mobil terbuka, aku berpaling untuk melihat Sari yang ada ke jalan juga. Dia menoleh padaku saat membanting menutup pintu, matanya melebar ketakutan. 
Tanpa sepatah kata pun, kami mulai berlari. 
Klakson-klakson mobil tampak semakin keras saat kami menuju ke sisi jalan yang sempit. Kami berjalan berdampingan, mengikuti jalan batu bata sempit saat jalan itu membelok di antara dua barisan bangunan-bangunan semen putih yang tinggi. 
Aku merasa seperti tikus dalam labirin, pikirku. 
Jalanan menjadi lebih sempit. Kemudian menjadi kosong ke bundaran lebar yang diisi kios-kios buah dan sayuran  suatu pasar kecil. 
"Apakah dia mengikuti kita?" teriak Sari, sekarang beberapa langkah di belakangku. 
Aku berbalik dan mencarinya, mataku bergerak cepat kekerumunan kecil orang yang ada pasar. 
Aku melihat beberapa orang berjubah putih. Dua wanita memasuki pasar, berpakaian hitam-hitam, membawa satu keranjang yang dipenuhi timbunan pisang yang tinggi. Seorang anak yang bersepeda yang membanting setir agar berjalan terus ke mereka. 
"Aku tak melihatnya," teriakku ke Sari.
Tapi kami terus berlari hanya untuk memastikan. 
Aku belum pernah setakut ini dalam hidupku. 
Tolong, tolong, aku memohon diam-diam, jangan biarkan dia akan mengikuti kami. Jangan biarkan dia menangkap kami! 
Berputar ke simpang kami menemukan diri kami berada di jalan raya lebar yang sibuk. Sebuah truk lewat terpantul-pantul menarik trailer yang dipenuhi dengan kuda-kuda. Trotoar penuh sesak dengan orang-orang yang belanja dan para pebisnis. 
Sari dan aku memaksakan jalan kami melalui mereka, mencoba untuk menghilangkan diri kami dalam kerumunan. 
Akhirnya, kami sampai di tempat perhentian di dekat pintu masuk dari bangunan yang tampaknya seperti sebuah toko swalayan besar. Terengah-engah, aku mengistirahatkan tangan pada lututku, mencondongkan tubuh ke depan, dan mencoba untuk menarik napas. 
"Kita sudah kehilangan dia," kata Sari, menatap kembali ke arah dari mana kita datang. 
"Ya. Kita baik-baik saja,." Kataku gembira. Aku tersenyum padanya, tapi dia tak membalas senyuman itu. 
Wajahnya dipenuhi rasa takut. Matanya terus menatap ke arah kerumunan. Satu tangan menarik gugup pada helai rambutnya. 
"Kita baik-baik saja," ulangku. "Kita berhasil lolos." 
"Hanya ada satu masalah," katanya pelan, matanya masih pada kerumunan ramai di depan kami di seberang trotoar. 
"Hah? Masalah?" 
"Sekarang kita tersesat," jawabnya, akhirnya berbalik menghadap ke arahku. "Kita tersesat, Gabe. Kita tak tahu di mana kita berada." 
Tiba-tiba aku punya perasaan berat di perutku. Aku mulai akan mengeluarkan teriakan ketakutan. 
Tapi aku memaksa diri untuk menahannya. 
Aku memaksa diriku untuk berpura-pura bahwa aku tak takut. 
Sari selalu menjadi orang yang pemberani, pemenang dan jagoan. Dan aku selalu pengecut. Tapi sekarang aku bisa melihat bahwa ia benar-benar takut. Ini adalah kesempatanku untuk menjadi orang keren, kesempatanku untuk menunjukkan kepadanya siapa yang benar-benar jagoan itu. 
"Tak masalah," kataku, menatap kaca bangunan beton yang tinggi. "Yah cukuplah bertanya pada seseorang untuk menunjukkan kita arah ke hotel." 
"Tapi tak ada yang berbicara bahasa Inggris!" teriaknya, terdengar seakan ia hendak menangis. 
"Eh... Tak ada masalah," kataku, sedikit kurang riang. "Aku yakin seseorang..."
"Kita tersesat ," ulangnya sedih, menggelengkan kepala. "Benar-benar tersesat." 
Dan kemudian aku melihat jawaban untuk masalah kami parkir di pinggir jalan. Taksi, sebuah taksi kosong. 
"Ayo," kataku, menarik lengannya. Aku menariknya ke taksi. Sopirnya seorang pria kurus muda dengan kumis hitam yang lebar dan rambut hitam berserabut keluar dari topi abu-abu kecil, berbalik terkejut saat Sari dan aku naik ke kursi belakang. 
"The Cairo Center Hotel," kataku, sambil menenangkan Sari. 
Sopir itu menatap kosong ke arahku, seolah-olah dia tak mengerti. 
"Tolong bawa kami ke The Cairo Center Hotel," ulangku pelan dan jelas. 
Dan kemudian ia menggoyangkan kepalanya ke belakang, membuka mulutnya, dan mulai tertawa. 




10 

Sopir itu tertawa sampai air mata  terbentuk di sudut-sudut matanya. 
Sari meraih lenganku. "Dia bekerja untuk Ahmed," bisiknya, meremas pergelangan tanganku. "Kita berjalan tepat memasuki jebakan!" 
"Hah?" Aku merasakan tikaman ketakutan di dadaku. 
Aku tak berpikir dia benar. 
Dia tak mungkin benar! 
Tapi aku tak tahu berpikir apa lagi. 
Aku meraih pegangan pintu dan mulai melompat keluar dari taksi. Tapi sopir mengangkat tangan, memberi isyarat bagiku untuk berhenti. 
"Gabe - pergi!" Sari mendorongku dengan keras dari belakang. 
"Cairo Center Hotel?" tanya si sopir tiba-tiba, menyeka air matanya dengan jarinya. Lalu ia menunjuk ke kaca depan. "Cairo Center Hotel?" 
Sari dan aku sama-sama mengikuti jarinya. 
Di sana ada hotel. Tepat di seberang jalan. 
Dia mulai tertawa lagi, menggelengkan kepala. 
"Terima kasih," teriakku dan keluar. 
Sari bergegas keluar di belakangku, satu senyum lega yang lebar tampak di wajahnya. 
"Aku tak berpikir itu lucu," kataku. "Para sopir taksi punya selera humor yang aneh." 
Aku berbalik. Sopir itu masih menatap kita dengan senyum lebar di wajahnya.
"Ayolah," desaknya, menarik-narik lenganku. "Kita harus memberitahu Ayah tentang Ahmed." 
Tetapi kami terkejut, kamar hotel kami kosong. Catatanku masih di meja tempat aku meninggalkannya. Tak  dipindahkan atau disentuh. 
"Dia tak pernah kembali ke sini," kata Sari, mengambil catatanku dan meremasnya menjadi bola di tangannya. "Ahmed berbohong - tentang segala hal." 
Aku menjatuhkan diri di sofa sambil mendesah keras. "Aku ingin tahu apa yang terjadi," kataku sedih. "Aku tak mengerti ini." 
Sari dan aku sama-sama menjerit saat pintu kamar terbuka. 
"Ayah!" teriak Sari, berlari memeluknya. 
Aku sungguh-sungguh lega itu Paman Ben, dan bukan Ahmed. 
"Yah, ada yang aneh -" Sari mulai. 
Paman Ben melingkarkan lengannya ke bahunya. Saat ia membimbing menyeberangi ruangan menuju sofa, aku bisa melihat ekspresi kebingungan yang sungguh-sungguh di wajahnya.
"Ya, ini aneh," gumamnya, sambil menggeleng. "Kedua pekerjaku...." 
"Hah? Apa mereka baik-baik?" tanya Sari. 
"Tidak. Tak benar-benar baik," jawab Paman Ben, menjatuhkan dirinya  ke lengan kursi, menatap keras tetapi tak benar-benar berfokus padaku. "Mereka berdua... dalam keadaan shock. Aku rasa itulah bagaimana caranya untuk menggambarkannya." 
"Mereka kecelakaan? Dalam piramida?" tanyaku. 
Paman Ben menggaruk bagian botak di bagian belakang kepalanya. "Aku benar-benar tak tahu. Mereka tak bisa bicara. Mereka berdua... diam. Kupikir sesuatu -...... Atau seseorang -... Membuat mereka takut. Menakuti mereka sampai tak bisa bicara. Para dokter benar-benar bingung. Mereka mengatakan bahwa -" 
"Ayah, Ahmed mencoba menculik kami!" sela Sari, meremas tangan atahnya.
"Apa Ahmed??" Dia menyipitkan mata,  dahinya berkerut kebingungan. "Apa maksudmu?" 
"Ahmed. Pria di piramida. Orang yang memakai pakaian putih dengan syal merah dan selalu membawa papan tulis," jelas Sari. 
"Dia mengatakan kepada kami bahwa Anda mengirimnya untuk menjemput kami," kataku. "Dia datang ke museum -" 
"Museum?" Paman Ben berdiri "Apa yang kalian lakukan di museum, kupikir aku bilang pada kalian-" 
"Kami harus keluar dari sini," kata Sari, meletakkan tangan di bahu ayahnya, mencoba menenangkannya. "Gabe ingin melihat mumi, jadi kami pergi ke museum. Tapi Ahmed datang dan membawa kami ke mobilnya. Dia berkata bahwa dia membawa kami padamu ke hotel." 
"Tapi dia mengemudi je jalan yang keliru," aku melanjutkan cerita. "Jadi kami melompat keluar dan lari." 
"Ahmed?" Paman Ben terus mengulang-ulang nama itu, seolah-olah dia tak dapat percaya. "Dia datang kepadaku dengan mandat (surat kepercayaan) dan referensi yang sangat baik," katanya. "Dia kriptografer (ahli membaca sandi, tulisan atau angka rahasia). Ia meneliti orang Mesir kuno. Dia terutama tertarik dengan tulisan-tulisan di dinding dan simbol-simbol yang kita temukan." 
"Jadi mengapa dia menjemput kami?" tanyaku. 
"Di mana dia akan membawa kami?" tanya Sari. 
"Aku tak tahu," kata Paman Ben. "Tapi pastinya aku bermaksud untuk mencari tahu.  Dia memeluk Sari. "Misteri apa ini, "lanjutnya." Kalian berdua baik-baik saja? " 
"Ya. Kami baik-baik saja," Jawabku. 
"Aku harus pergi ke piramida," katanya, melepaskan Sari dan berjalan ke jendela. "Aku meliburkan pekerjaku. Tapi aku harus ke bagian bawah itu."
Awan bergulung-gulung (menutupi)matahari. Ruangan tiba-tiba semakin gelap. 
"Aku akan memesan beberapa layanan kamar untuk kalian," kata Paman Ben, dengan ekspresi berpikir di wajahnya. "Apakah kalian berdua baik-baik saja di sini sampai aku kembali malam ini?" 
"Tidak!" teriak Sari. "Kau tak bisa meninggalkan kami di sini!" 
"Mengapa kami tak bisa ikut bersama Anda?" tanyaku. 
"Ya! Kami ikut denganmu!" seru Sari sebelum Paman Ben kesempatan untuk menjawab. 
Dia menggelengkan kepalanya. "Terlalu berbahaya," katanya, matanya menyipit saat ia melirik ke arahku pertama, kemudian di Sari. "Sampai aku bisa mengetahui apa yang terjadi kepada dua pekerjaku di sana -" 
"Tapi, Ayah, bagaimana jika Ahmed datang kembali?" teriak Sari, terdengar benar-benar ketakutan. "Bagaimana kalau dia datang ke sini?" 
Paman Ben cemberut. "Ahmed," gumamnya. "Ahmed." 
"Kau tak bisa meninggalkan kami di sini!" ulang Sari. 
Paman Ben menatap keluar jendela di langit yang mulai gelap. "Kurasa kau benar," katanya akhirnya. "Kukira aku harus membawa kalian bersamaku." 
"Ya!" Sari dan aku sama-sama berseru lega. 
"Tapi kalian harus berjanji untuk tetap berdekatan," kata Paman Ben tegas, menunjukkan jari pada Sari. "Aku bersungguh-sungguh. Tak keluyuran. Tak ada lelucon." 
Aku menyadari bahwa aku melihat sisi baru dari pamanku. Meskipun ia adalah seorang ilmuwan terkenal, ia hampir selalu menjadi pelawak riang keluarga.
Tapi sekarang dia khawatir. 
Benar-benar khawatir. 
Tak ada lelucon lagi sampai misteri menakutkan ini terpecahkan. 
Kami makan sandwich di restoran hotel lantai bawah, lalu berkendaraan melewati padang pasir ke piramida. 
Awan tebal bergulung-gulung di matahari saat kami melaju, membuat bayangan-bayangan di atas pasir, mewarnai gurun gelap berkilauan dalam nuansa biru dan abu-abu. 
Tidak begitu lama, piramida besar itu tampak menjulang di cakrawala semakin besar saat kami mendekati di jalan raya yang hampir kosong. 
Aku ingat saat pertama kali aku melihatnya, hanya beberapa hari sebelum. Seperti satu pemandangan yang menakjubkan. 
Tapi sekarang, melihat melalui kaca depan mobil, aku hanya merasakan ketakutan. 
Paman Ben memarkir mobil di dekat pintu masuk yang rendah yang ia temukan di belakang piramida. Saat kami melangkah keluar, angin menerpa tanah, melemparkan pasir ke atas, berputar-putar di sekitar kaki kami. 
Paman Ben mengangkat tangan untuk menghentikan kami di pintu masuk terowongan. 
"Ini," katanya. Dia merogoh ransel perlengkapan dan mengeluarkan peralatan untukku dan Sari. "Jepitkan ini." 
Dia menyerahkan pada kami masing-masing sebuah penyeranta (pager). "Cukup tekan tombol ini, dan akan berbunyi padaku," katanya, membantuku mengaitkan punyaku ke sabuk celana jeansku. "Ini seperti sebuah alat pelacak. Jika kalian menekan tombol, ia akan mengirimkan sinyal elektronik ke unit kupakai. Lalu aku dapat melacak kalian ke bawah dengan mengikuti tingkat suaranya. Tentu saja, aku tak mengharapkan kalian untuk menggunakannya karena kuharap kalian untuk tetap dekat denganku. " 
Dia memberi kami senter. "Hati-hati," perintahnya. "Tetap arahkan senter di bawah kaki kalian, beberapa meter di depan kalian di lantai." 
"Kami tahu, Yah," kata Sari. "Kami telah melakukan ini sebelumnya, ingat?" 
"Ikuti saja perintah," katanya tajam, dan berbalik ke lubang piramida yang gelap. 
Aku berhenti di pintu masuk dan menarik tangan mumi kecilku, hanya untuk memastikan aku membawanya.
"Apa yang kau lakukan dengan itu?" tanya Sari, menyeringai. 
"Jimat keberuntunganku," kataku, memasukkannya kembali ke dalam sakuku. 
Dia mengerang dan dengan main-main mendorongku ke pintu masuk piramida.
Beberapa menit kemudian, kami sekali lagi berjalan hati-hati menuruni tangga tali panjang dan ke dalam terowongan sempit pertama. 
Paman Ben memimpin jalan, lingkaran cahaya yang lebar dari senter menyapu bolak-balik melintasi terowongan di depannya. Sari beberapa langkah di belakangnya, dan aku berjalan beberapa langkah di belakang Sari. 
Terowongan tampak sempit dan lebih rendah saat ini. Kukira itu hanya suasana hatiku. 
Mencengkeram erat senter, menjaga cahayanya tertuju ke bawah, aku menurunkan kepalaku menjaganya dari benturan langit-langit rendah yang melengkung. 
Terowongan itu berbelok ke kiri, kemudian miring menurun dan terpisah menjadi dua jalur. Kami mengikuti terowongan yang ke kanan. Satu-satunya suara adalah sepatu kami yang bergesekan dengan lantai berpasir kering. 
Paman Ben terbatuk. 
Sari mengatakan sesuatu. Aku tak bisa mendengar apa itu. 
Aku harus berhenti untuk menyorotkan senterku pada sekelompok laba-laba di langit-langit, dan mereka berdua berjalan beberapa kaki di depanku. 
Mengikuti senterku saat bergerak di lantai, aku melihat sepatuku jadi tak terikat lagi. 
"Oh, - tidak lagi" 
Aku membungkuk untuk mengikatnya, mengatur senter di atas tanah di sampingku. "Hei - tunggu dulu!" teriakku. 
Tapi mereka mulai berdebat tentang sesuatu, dan aku tak berpikir mereka mendengarku. Aku bisa mendengar suara mereka menggema lantang turun dengan panjang di terowongan yang berlikiu-liku, tapi aku tak bisa mengerti kata-kata mereka. 
Aku buru-buru menyimpulkan ganda tali sepatu, menyambar senter, dan berdiri. "Hei, tunggu dulu!" teriakku cemas. 
Ke mana mereka pergi? 
Aku menyadari bahwa aku tak bisa mendengar suara mereka lagi. 
Hal ini tak dapat terjadi padaku lagi! Pikirku. 
"Hei!" Aku berteriak, menangkupkan tangan ke mulutku. Suaraku bergema di terowongan. 
Tapi tak ada suara jawaban. 
"Tunggu!" 
Khas, pikirku. 
Begitu mereka terlibat dalam perdebatan, mereka melupakan aku. 
Aku menyadari bahwa aku lebih marah daripada takut. Paman Ben telah membuat kesepakatan besar pada kami untuk tetap berdekatan. Dan kemudian dia berjalan pergi dan meninggalkanku sendirian di terowongan. 
"Hei, kalian di mana?" Aku berteriak. 
Tak ada jawaban. 



11 

Menyorotkan senter ke arah depanku di lantai, aku menundukkan kepala dan mulai berlari, mengikuti terowongan yang saat itu melengkung tajam ke kanan. 
Lantai mulai melandai ke atas. Udara menjadi panas dan berbau pengap. Aku menemukan diriku terengah-engah. 
"Paman Ben!" panggilku. "Sari!" 
Mereka harusnya berada di sekitar tikungan berikutnya dalam terowongan, aku berkata pada diriku sendiri. Tak butuh waktu lama bahwa lama untuk mengikat tali sepatuku. Mereka tak dapat begitu jauh ke depan. 
Mendengar suatu suara, aku berhenti.
Dan mendengarkan. 
Sekarang sunyi. 
Apa aku mulai mendengar benda-benda? 
Tiba-tiba terlintas (di pikiranku). Apa ini berarti lelucon yang lain? Apakah Sari dan Paman Ben bersembunyi, menunggu untuk melihat apa yang akan kulakukan? 
Apakah ini trik bodoh lain dari mereka untuk menakut-nakutiku? 
Itu bisa jadi. Paman Ben, aku tahu, tak pernah bisa menolak lelucon praktis. Dia tertawa seperti hyena (hewan semacam singa) ketika Sari berkata kepadanya bagaimana dia bersembunyi dalam peti mumi dan menakut-nakuti sepuluh tahun dari hidupku. 
Apa mereka berdua sekarang bersembunyi di peti mumi,  menungguku tersandung? 
Jantungku berdegup di dadaku. Meskipun terowongan kuno itu panas, aku merasa dingin. 
Tidak, aku memutuskan. Ini bukan lelucon praktis. 
Paman Ben terlalu serius hari ini, terlalu khawatir tentang (sesuatu) yang melanda pekerjanya. Terlalu khawatir tentang apa yang kita akan ceritakan tentang Ahmed. Dia tidak dalam suasana untuk lelucon praktis.
Aku mulai berjalan melalui terowongan lagi. Saat aku berlari, tanganku menyenggol pager di pinggangku. 
Haruskah aku menekannya? 
Tidak, aku memutuskan. 
Itu hanya akan memberi Sari bahan tertawaan yang bagus. Dia akan bersemangat untuk memberitahu semua orang betapa aku sudah mulai menekan tombol untuk mencari bantuan setelah dalam piramida dalam dua menit! 
Aku berbelok ke tikungan. Dinding-dinding terowongan sepertinya menutupiku saat terowongan menyempit. 
"Sari? Paman Ben?" 
Tak ada gema. Mungkin terowongan itu terlalu sempit untuk gema. 
Lantai jadi lebih keras, kurang berpasir. Dalam cahaya kuning yang redup, aku bisa melihat bahwa dinding-dinding granit itu berbaris dengan gerigi-gerigi yang retak. Dinding-dinding itu tampak seperti petir gelap turun dari langit-langit. 
"Hei -? Di mana yang kalian" teriakku.
Aku berhenti ketika terowongan bercabang dalam dua arah. 
Aku tiba-tiba menyadari betapa takutnya aku. 
Kemana mereka menghilang? Mereka harusnya sekarang menyadari bahwa aku tak bersama mereka. 
Aku menatap dua lubang itu, menyorotkan senterku ke terowongan yang satu, lalu yang lain. 
Yang mana yang mereka masuki? 
Yang mana? 
Hatiku berdebar, aku berlari ke dalam terowongan di sebelah kiri dan meneriakkan nama mereka. 
Tak ada jawaban. 
Aku mundur dengan cepat, cahaya senterku melesat liar di lantai, dan melangkah ke dalam terowongan yang kanan. 
Terowongan ini lebih luas dan lebih tinggi. Sedikit demi sedikit menikung ke kanan. 
Sebuah labirin terowongan. Begitulah caranya Paman Ben menggambarkan piramida. Mungkin ribuan terowongan, katanya padaku. 
Ribuan. 
Terus bergerak, aku menyemangati diriku sendiri. 
Terus bergerak, Gabe. 
Mereka tepat di depan. Mereka harus!
Aku mengambil beberapa langkah dan kemudian memanggil mereka. 
Aku mendengar sesuatu. 
Suara-suara? 
Aku berhenti. Sekarang begitu hening. Begitu hening, aku bisa mendengar jantungku berdebar di dadaku. 
Suara itu lagi. 
Aku berusaha keras mendengarkan, menahan napas. 
Itu suara gemeretak. Suatu kekacauan pelan. Bukan suara manusia. Mungkin serangga. Atau tikus. 
"Paman Ben? Sari?" 
Sunyi. 
Aku mengambil beberapa langkah ke dalam terowongan. Kemudian beberapa langkah lagi. 
Kuputuskan lebih baik aku melupakan kebanggaanku dan menekan tombol.
Jadi bagaimana jika Sari menggodaku tentang hal ini? 
Aku terlalu takut untuk peduli. 
Jika aku menekannya, mereka akan di sana untuk menemukanku dalam beberapa detik. 
Tapi saat aku menggapai ke pinggangku untuk menekan pager, aku dikejutkan oleh suara keras. 
Bunyi gemeretak serangga itu menjadi bunyi deritan pelan. 
Aku berhenti untuk mendengarkan, rasa takut naik ke tenggorokanku. 
Deritan pelan semakin keras. 
Kedengarannya seperti seseorang memecah saltine (biskuit tipis garing yang ditaburi garam) menjadi dua. 
Hanya lebih keras. Lebih keras. 
Lebih keras. 
Tepat di bawah kakiku. 
Aku memalingkan mataku ke lantai. 
Aku menyorotkan senter di sepatuku.
Cukup lama bagiku untuk menyadari apa yang terjadi. 
Lantai terowongan kuno itu retak terpisah di bawahku. 
Retakan itu semakin keras, sepertinya datang dari segala arah, mengelilingiku. 
Pada saat aku menyadari apa yang terjadi, sudah terlambat. 
Aku merasa seolah-olah aku sedang ditarik ke bawah, tenggelam oleh kekuatan yang kuat. 
Lantai di bawahku ambruk dan aku jatuh. 
Jatuh ke bawah, ke bawah, ke bawah sebuah lubang hitam tak berujung. 
Aku membuka mulut untuk berteriak, tapi tak ada suara yang keluar. 
Tanganku mencari-cari dan meraih-raih - tak ada apa-apa! 
Aku memejamkan mata dan jatuh. 
Ke bawah, ke dalam pusaran kegelapan. 



12 

Aku mendengar dentang senter di lantai. 
Lalu aku terbentur. Keras. 
Aku mendarat di pinggangku. Rasa nyeri menyerang menembus tubuhku, dan aku melihat sesuatu berwarna merah. Satu kilatan merah terang yang semakin terang dan terang sampai aku harus menutup mataku. Kupikir kekuatan benturan itu merobohkankanku untuk sementara waktu. 
Ketika aku membuka mata, segalanya tampak kabur, abu-abu kuning. Pinggangku sakit. Siku kananku berdenyut dengan rasa sakit. 
Aku mencoba sikuku. Tampaknya baik-baik saja untuk bergerak. 
Aku duduk. Kabut perlahan-lahan mulai terkuak, seperti tirai yang perlahan-lahan naik. 
Dimana aku? 
Bau asam menyerbu lubang hidungku. Bau busuk. Bau debu kuno. Bau kematian. 
Senter itu mendarat di sampingku di lantai beton. Aku mengikuti sorotan cahaya senter ke arah dinding. 
Dan tersentak. 
Lampu itu berhenti di tangan. 
Sebuah tangan manusia. 
Atau apa itu? 
Tangan itu melekat pada satu lengan. Lengan itu tergantung kaku dari satu badan yang tegak. 
Tanganku gemetar, aku menyambar senter dan mencoba memantapkan nyalanya pada sosok tubuh itu.
Itu adalah mumi, aku menyadarinya. Berdiri di atas kaki di dekat dinding yang jauh. 
Tanpa mata, tanpa mulut, wajah diperban itu tampak menatap kembali ke arahku, keras dan siap sedia, seolah menungguku untuk membuat langkah pertama. 



13 

Satu mumi? 
Cahaya melesat ke wajah yang tak lengkap itu. Aku tak bisa memantapkan tanganku. Seluruh tubuhku gemetar. 
Membeku di tempat, tak mampu bergerak dari lantai yang keras, aku ternganga melihat sosok menakutkan itu. Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku terengah-engah keras. 
Mencoba untuk menenangkan diri, aku menarik napas dalam-dalam dari udara yang tengik, dan menahannya. 
Mumi buta itu menatap ke arahku. 
Ia berdiri kaku, lengannya menggantung di pinggangnya. 
Mengapa ia berdiri di sana seperti itu? Aku bertanya-tanya, mengambil napas dalam-dalam. 
Bangsa Mesir kuno tak akan meninggalkan mumi mereka berdiri menjadi perhatian. 
Menyadari bahwa mumi itu tak bergerak maju untuk menyerangku, aku mulai merasa sedikit lebih tenang.
"Tenang, Gabe. Tenang," kataku keras-keras, berusaha memantapkan posisi senter yang kucengkeram begitu erat di tanganku. 
Aku terbatuk. Udaranya begitu busuk. Begitu tua. 
Sambil mengerang karena rasa sakit di pinggangku, aku bangkit dan mulai dengan cepat menyorotkan senter kesana kemari di depan mumi diam tak berwajah itu. 
Aku berada di sebuah ruangan besar berlangit-langit tinggi. Jauh lebih besar daripada ruangan dimana para pekerja Paman Ben menggali
Dan lebih berantakan. 
"Wow." Aku menjerit pelan saat cahaya pucat dari lampu senter menampakkan suatu pemandangan yang menakjubkan. Sosok-sosok tubuh yang gelap diperban semuanya berdiri di sekelilingku.
Ruangan besar itu penuh dengan mumi! 
Dalam cahaya yang tak stabil, bayangan-bayangan mereka tampaknya berusaha mencapai ke arahku. 
Dengan ngeri, aku mundur selangkah. Aku menggerakkan senter perlahan-lahan atas pemandangan aneh yang mengerikan itu. 
Nyala senter melalui bayangan-bayangan itu, menampakkan lengan-lengan yang diperban, tubuh-tubuh, kaki-kaki, wajah yang tertutup. 
Ada begitu banyak mumi. 
Ada mumi-mumi yang bersandar di dinding. Mumi-mumi yang berbaring di lempengan batu, lengan-lengan mereka disilangkan di atas dadanya. Mumi-mumi yang bersandar dengan sudut yang aneh, berjongkok rendah atau berdiri tegak, lengan mereka lurus ke depan mereka seperti monster Frankenstein. 
Di salah satu dinding berdiri sederetan peti mumi, tutup-tutupnya disangga terbuka. Aku berbalik, mengikuti pancaran cahaya senterku. Aku menyadari bahwa jatuhku telah menurunkan aku ke tengah ruangan.
Di belakangku, aku bisa melihat suatu pameran peralatan yang menakjubkan. Alat-alat aneh seperti bergarpu, yang belum pernah kulihat sebelumnya. Tumpukan tinggi kain. Pot-pot dan guci-guci raksasa dari tanah liat. 
Tenang, Gabe. Tenang. 
Wah. Bernapaslah perlahan. 
Dengan enggan aku melangkah mendekat, mencoba memantapkan senter. 
Beberapa langkah lagi. 
Aku berjalan ke salah satu tumpukan kain yang tinggi itu. Lebih mirip linen. Bahan utama yang digunakan untuk membuat mumi. 
Mengumpulkan keberanianku, aku memeriksa beberapa peralatan itu. Tak menyentuh apapun. Hanya memandanginya dalam kelap-kelip cahaya senter. 
Alat pembuat mumi.  Alat kuno pembuat mumi. 
Aku melangkah pergi. Berbalik menuju kerumunan sosok-sosok tubuh tak bergerak. 
Cahaya senterku melintasi ruangan dan sampai ke suatu wilayah lantai persegi yang gelap. Dengan penasaran, aku mendekat, melangkah di sekitar mumi kembar, yang berbaring di punggung mereka, lengan-lengan mereka menyilang di dada mereka. 
Wah. Tenang, Gabe. 
Sepatuku berbunyi berisik di sepanjang lantai saat aku berjalan dengan ragu-ragu di ruangan yang luas itu. 
Persegi empat yang gelap di lantai itu hampir seukuran kolam renang. Aku membungkuk di tepinya untuk memeriksanya lebih dekat. 
Permukaannya lunak dan lengket. Seperti getah. 
Apakah ini sebuah lubang getah kuno? Apakah getah ini yang digunakan dalam pembuatan mumi-mumi yang berdiri begitu mengancam di sekililing ruangan? 
Aku tiba-tiba kedinginan yang memuatku membeku di tempat. 
Bagaimana mungkin lubang getah ini  tetap lunak setelah empat ribu tahun?
Mengapa segala sesuatu di ruangan ini - alat-alat, mumi-muni, kain-kain linen - diawetkan begitu baik? 
Dan mengapa mumi-mumi ini - setidaknya dua lusin dari mereka - dibiarkan keluar seperti ini, tersebar di sekitar ruangan dengan posisi aneh seperti itu? 
Aku menyadari bahwa aku telah membuat penemuan luar biasa di sini. Dengan jatuh melalui lantai, aku telah menemukan sebuah ruangan tersembunyi, ruang di mana mumi-mumi itu dibuat. Aku telah menemukan semua alat-alat dan semua bahan yang digunakan untuk membuat mumi empat ribu tahun yang lalu. 
Sekali lagi, bau asam menyerbu hidungku. Aku menahan napasku untuk menjaga diri agar tak tersedak. Ini adalah bau tubuh berusia empat ribu tahun, aku menyadarinya. Bau yang ditahan ruangan kuno tersembunyi ini - sampai sekarang. 
Menatap bayangan sosok-sosok tubuh yang diperban yang menatapku kembali menatapku dengan wajah tak lengkap yang mengerikan, aku meraih pager. 
Paman Ben, kau harus cepat datang, pikirku. 
Aku tak ingin sendirian di sini lagi lebih lama lagi. 
Kau harus datang ke sini sekarang! 
Aku menarik pager itu dari sabukku dan mendekatkannya ke cahaya. 
Aku sadar yang harus kulakukan adalah menekan tombol, Paman Ben dan Sari akan datang berlari. 
Mencengkeram erat kotak kecil di tanganku, aku menggerakkan tanganku ke tombol - dan berteriak panik. 
Pager itu hancur. Rusak. Remuk.
Tombolnya bahkan tak bisa ditekan. 
Aku pasti mendarat di atasnya saat aku jatuh. 
Tak ada gunanya. 
Aku sendirian di sini. 
Sendirian dengan mumi-mumi kuno, menatapku dengan wajah tak lengkap dengan diam melalui bayangan-bayangan gelap yang dalam. 



14 

Sendirian. 
Aku menatap dengan ngeri pager tak berguna itu. 
Senter itu bergetar di tanganku. 
Tiba-tiba, semuanya tampak bergerak kepadaku. Dinding-dinding. Langit-langit. Kegelapan. Mumi-mumi. 
"Hah?" 
Aku terhuyung mundur selangkah. Lalu selangkah lagi. 
Aku sadar bahwa aku mencengkeram senter begitu erat, tanganku terluka.
Cahaya senter bermain-main pada sosok-sosok tubuh berwajah tak lengkap itu.
Mereka tak bergerak. 
Tentu saja mereka tak bergerak. 
Aku mundur selangkah lagi. Bau busuk asam sepertinya semakin kuat, semakin tebal. Aku menahan napas, tapi bau itu di lubang hidungku, di mulutku. Aku bisa merasakannya, rasa busuk, aroma rasa kematian empat ribu tahun. 
Aku melemparkan pager tak berguna itu di lantai dan melangkah mundur lagi, menjaga mataku pada mumi-mumi yang berdiri itu. 
Apa yang akan kulakukan? 
Bau itu membuatku sakit. Aku harus keluar dari sini, harus memanggil Paman Ben. 
Melangkah lagi. 
"Tolong!" 
Aku mencoba berteriak, tapi suaraku terdengar lemah, teredam oleh udara, berat yang busuk. 
"Tolong.  Ada yang bisa mendengarku?!" Sedikit lebih keras. 
Menyelipkan lampu senter di bawah lenganku, aku melekukkan tanganku di sekitar mulutku untuk membentuk pengeras suara. 
"Ada yang bisa mendengarku?" Aku menjerit. 
Aku mendengarkan, putus asa untuk mendapat jawaban. 
Sunyi. 
Di mana Sari dan Paman Ben? Mengapa mereka tak bisa mendengarku? Mengapa mereka tak mencariku? 
"Tolong - Siapa pun - kumohon tolonglah!" 
Aku menjerit sekeras mungkin, memiringkan kepalaku sampai ke lubang di langit-langit, lubang tempatku jatuh. 
"Tak adakah orang yang mendengarku?" jeritku. 
Aku bisa merasakan kepanikan mencengkeram dadaku, membekukan kakiku. 
Kepanikan melandaku, gelombang demi gelombang melumpuhkanku. 
"Tolong aku! Siapa saja! Aku mohon!"
Aku mundur selangkah lagi. 
Dan sesuatu berderak di bawah sepatuku. 
Aku mengeluarkan jeritan bernada tinggi dan terhuyung ke depan. 
Apa pun itu telah merayap pergi. 
Aku mengembuskan napas keras, napas panjang lega. 
Dan kemudian aku merasa sesuatu yang menyenggol pergelangan kakiku.
Aku menjerit, dan senter terjatuh dari bawah lenganku. Berdentang berisik ke lantai. 
Lampu itu mati. 
Sekali lagi, sesuatu menggarukku diam-diam . 
Sesuatu yang keras. 
Aku mendengar suara mengais pelan di atas lantai. Sesuatu menggigit pergelangan kakiku. 
Aku menendang keras, namun hanya memukul udara. 
"Ohh, tolong!" 
Ada makhluk di sini. Banyak sekali. 
Tapi mereka itu apa? 
Sekali lagi, sesuatu menampar pergelangan kakiku, dan aku menendang dengan liar. 
Dengan panik, aku membungkuk, menyambar senter dalam kegelapan. 
Dan menyentuh sesuatu yang keras dan berduri. 
"Ohh, tidak!" 
Aku merengutkan tanganku dengan teriakan kaget. 
Dalam kegelapan, meraba-raba mencari senter, aku punya perasaan bahwa seluruh lantai jadi hidup. Lantainya bergerak bergelombang, menggulung dan melempar, menggelegak di bawahku. 
Akhirnya, aku menemukan senter. Aku meraihnya dengan tanganku yang gemetar, berdiri, dan berjuang untuk menghidupkannya kembali. 
Saat aku melangkah mundur, sesuatu tergelincir pada kakiku. 
Rasanya keras. Dan berduri. 
Aku mendengar suara ceklikan. Suara gemeretak. Makhluk-makhluk yang saling bertabrakan. 
Terengah-engah keras, dadaku naik-turun, seluruh tubuhku dicekam ketakutan, aku melompat, mencoba untuk menjauh saat aku menggerak-kan senter dengan gugup. 
Sesuatu berderak keras di bawah sepatuku. Aku menjauh, melompat di atas sesuatu yang berlari cepat melalui kakiku. 
Akhirnya, lampu senter menyala. 
Hatiku berdebar, aku menurunkan sinar cahaya kuning ke lantai. 
Dan melihat makhluk-makhluk bersuara gemeratak dan menggigit. 
Kalajengking-kalajengking! 
Aku tersandung ke sarang mereka yang menjijikkan. 
"Ohh - tolong!" 
Aku tak mengenali suara kecil ketakutanku saat aku berteriak. Aku bahkan tak sadar kalau aku telah berteriak. 
Cahaya melesat di atas makhluk-makhluk merayap itu, ekor-ekor mereka terangkat seolah-olah siap untuk menyerang, cakar-cakar mereka bergemeretak diam saat mereka bergerak. Bergerak pelan-pelan satu sama lain. Merayap melewati pergelangan kakiku. 
"Siapa pun - tolong!" 
Aku berjingkrak mundur saat sepasang cakar mencengkeram kaki celana jeansku - ke makhluk lain yang ekornya membentur bagian belakang sepatuku.
Berjuang untuk melepaskan diri dari makhluk-makhluk beracun itu, aku tersandung. 
"Jangan. kumohon - jangan!" 
Aku tak bisa menyelamatkan diriku sendiri. 
Aku mulai terjatuh. 
Tanganku terjulur, tapi tak ada bisa diraih. 
Aku akan terjun langsung ke tengah-tengah mereka. 
"Tidaaaak!" 
Aku menjerit panik saat aku menggulingkan maju. 
Dan merasakan dua tangan meraih bahuku dari belakang. 





15 

Satu mumi! Pikirku. 
Seluruh tubuhku mengejang ketakutan. 
Kalajengking-kalajengking itu menggeretak dan mengais-ngais di kakiku. 
Tangan-tangan yang kuat mencengkeram bahuku, menarikku dengan keras. 
Tangan-tangan kuno diperban. 
Aku tak bisa bernapas. Aku tak bisa berpikir. 
Akhirnya, aku berhasil berputar. 
"Sari!" teriakku. 
Dia menarikku satu sentakan lagi. Kami berdua tersandung mundur, cakar-cakar mengeretak ke arah kami. 
"Sari - bagaimana -?" 
Kami bergerak bersama-sama sekarang, kami berjalan menuju ke tengah ruang yang luas itu. 
Aman. Aman dari sarang kalajengking yang bergemertak menjijikkan. 
"Hidupnu selamat," bisiknya. "Yuck. Itu menjijikkan!" 
"Ceritakan padaku tentang itu," kataku pelan. Aku masih bisa merasakan makhluk mengerikan itu meluncur di sepanjang pergelangan kakiku, masih merasakan mereka merayap di antara kakiku, berderak di bawah sepatuku. 
Aku tak berpikir bahwa aku akan bisa melupakan suara berderak itu. 
"Apa yang kaulakukan di sini?" teriak Sari tak sabar, seakan memarahi anak-anak. "Ayah dan aku telah mencari ke mana-mana." 
Aku menariknya lebih menjauh dari kalajengking, ke tengah ruangan. "Bagaimana kau bisa ke sini?" teriakku, berjuang untuk menenangkan napasku, berjuang untuk menghentikan debaran hati di dadaku.
Dia menunjuk dengan senternya ke sebuah terowongan di sudut yang tak kulihat. "Aku sedang mencarimu. Ayah dan aku terpisah. Apa kau percaya? Dia berhenti untuk berbicara kepada seorang pekerja, dan aku tak menyadarinya. Saat aku berbalik, ia sudah tak ada. Lalu aku melihat cahaya bergerak-gerak di dalam sini. Kupikir itu adalah Ayah. " 
"Kau juga tersesat?" tanyaku sambil menyeka butiran keringat dingin dari dahiku dengan punggung tanganku. 
"Aku tak tersesat. Kau yang tersesat," ia bersikeras. "Bagaimana kau bisa melakukan itu, Gabe. Ayah dan aku benar-benar panik." 
"Mengapa kalian tak menungguku?" tuntutku marah. "Aku memanggil kalian.  Kalian menghilang begitu saja."
"Kami tak mendengarmu," jawabnya, sambil menggeleng. 
Aku benar-benar senang melihatnya. Tapi aku membenci caranya menatapku, seperti aku orang tolol tak punya harapan. "Aku kira kami terlibat dalam perdebatan. Kami pikir kau di belakang kami. Lalu saat kami berbalik, kau tak ada." Dia mendesah dan menggeleng. "Hari apa ini!" 
"Hari apa?" teriakku nyaring. "Hari apa?" 
"Gabe, mengapa kau melakukan itu?" tuntut. "Kau tahu kita seharusnya tetap dekat bersama-sama." 
"Hei - itu bukan salahku," aku bersikeras marah. 
"Ayah begitu marah," kata Sari, menyorotkan cahaya senter ke wajahku. 
Aku mengangkat lenganku untuk melindungi mataku. "Hentikan," bentakku. "Dia tak akan marah saat ia melihat apa yang telah kutemukan. Lihatlah." 
Aku menyorotkan senter ke satu mumi yang meringkuk dekat lubang getah, kemudian berpindah ke mumi lain, yang satu ini berbaring, kemudian ke deretan peti mumi di dinding. 
"Wow." Sari mengucapkan kata dengan diam-diam. Matanya terbelalak karena terkejut. 
"Ya. Wow," kataku, mulai merasa sedikit lebih dari biasanya. "Ruangan ini penuh dengan mumi. Dan ada semua jenis alat, kain dan segala yang dibutuhkan untuk membuat mumi. Ini semua dalam kondisi sempurna, seperti belum tersentuh dalam ribuan tahun." Aku tak bisa menyembunyikan kegembiraanku. "Dan aku menemukan itu semua," tambahku. 
"Ini mestinya (ruangan) di mana mereka mempersiapkan mumi untuk penguburan," kata Sari, matanya melirik dari satu mumi ke mumi lainnya. "Tapi kenapa beberapa dari mereka berdiri seperti itu?" 
Aku mengangkat bahu. "Aku tak tahu."
Dia berjalan ke atas mengagumi tumpukan kain linen yang terlipat rapi. "Wow ini. Menakjubkan, Gabe." 
"Luarbiasa!" Aku setuju. "Dan jika aku tak berhenti untuk mengikat sepatuku, aku tak akan pernah menemukannya."
"Kau akan menjadi terkenal," kata Sari, satu senyum terbentang di wajahnya. "Berterimakasihlah padaku karena menyelamatkan hidupmu." 
"Sari -" Aku mulai. 
Tapi dia telah pindah ke seberang ruangan dan mengagumi dari jarak dekat salah satu mumi yang berdiri tegak. "Tunggu sampai Ayah melihat semua ini," katanya, tiba-tiba terdengar bersemangat seperti aku. 
"Kita harus memanggilnya," kataku bersemangat. Aku menoleh ke belakang ke sarang kalajengking dan merasakan udara dinginnya ketakutan memperketat belakang leherku. 
"Orang-orang begitu kecil waktu itu," katanya, memegang senter dekat ke wajah mumi yang tertutup. "Lihat - Aku lebih tinggi dari yang satu ini." 
"Sari, gunakan pagermu," kataku tak sabar, berjalan mendekatinya. 
"Yuck. Ada serangga merangkak di wajah yang satu ini,." Katanya, melangkah mundur dan menurunkan cahaya. Dia membuat wajah jijik. "Menjijikkan." 
"Ayo. Gunakan pagermu.. Panggil Paman Ben," kataku. Aku meraih pager di pinggang, tapi ia menarik diri. 
"Oke, oke. Mengapa tak kau gunakan milikmu?" Dia menatapku curiga. "Kau lupa tentang itu, Gabe. Bukan begitu!" tuduhnya. 
"Tidak," jawabku tajam. "punyaku saat ketika aku jatuh ke tempat ini." 
Dia menyeringai dan menarik pager itu dari ikat pinggangnya. Aku menyorotkan senterku di atasnya saat ia menekan tombol. Dia menekan dua kali, hanya untuk memastikan, kemudian dijepitkan kembali ke celana jeansnya. 
Kami berdiri dengan tangan disilangkan, menunggu Paman Ben mengikuti sinyal radio dan menemukan kami. 
"Seharusnya ini tak butuh waktu lama," kata Sari, matanya ke sudut terowongan. "Dia tak jauh di belakangku." 
Benar saja, beberapa detik kemudian, kami mendengar suara seseorang mendekati dalam terowongan. 
"Paman Ben!" teriakku penuh semangat. "Lihat apa yang kutemukan!" 
Sari dan aku mulai berlari ke terowongan, lampu kami berkelok-kelok di atas pintu masuk yang rendah.
"Yah, kau tak akan percaya -" Sari mulai. 
Dia berhenti ketika sosok tubuh yang berhenti membungkuk keluar dari kegelapan dan berdiri tegak. 
Kami berdua ternganga ngeri, senter kami membuat wajah berkumisnya bersinar menakutkan. 
"Itu Ahmed!" teriak Sari, meraih lenganku. 



16 

Aku menelan ludah. 
Sari dan aku saling menatap. Aku melihat wajahnya tegang ketakutan. 
Ahmed. 
Dia telah mencoba untuk menculik kami. Dan sekarang dia mandapati kami sendirian di sini. 
Dia melangkah maju, obor pilihannya terangkat tinggi di satu tangan. Rambut hitamnya bersinar dalam lidah api yang berkelap-kelip. Matanya menyipit mengancam kami. 
"Ahmed, apa yang kau lakukan di sini?" kata Sari, menggenggam tanganku begitu keras, aku meringis. 
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya pelan, suaranya sedingin matanya. 
Memegang obor di depannya, ia melangkah ke dalam ruangan. Matanya berkeliling ruangan, seolah-olah memeriksa, memastikan bahwa tak ada yang dipindahkan. 
"Ayahku akan berada di sini dalam sedetik," kata Sari kepadanya. "Aku menyerantanya." 
"Aku telah mencoba untuk memperingatkan ayahmu," kata Ahmed, menatap keras pada Sari. Kelap-kelip oranye dari lampu obor membuatnya semakin terang, kemudian memudar menjadi bayangan.
"Memperingatkannya?" tanya Sari. 
"Tentang kutukan itu," kata Ahmed tanpa emosi. 
"Paman Ben menyebutkan beberapa macam kutukan padaku," kataku, sambil melirik cemas pada Sari. "Aku tak berpikir ia menganggap hal-hal semacam itu dengan serius." 
"Dia harus!" jawab Ahmed, meneriakkan kata-kata, matanya bersinar dengan kemarahan dalam cahaya obor. 
Sari dan aku balas menatapnya dalam keheningan. 
Dimana Paman Ben? Aku bertanya-tanya. 
Apa yang menahannya? 
Cepat, aku diam-diam memohon. Kumohon - cepatlah! 
"Kutukan harus dilaksanakan," kata Ahmed lagi, pelan hampir-hampir sedih. "Aku tak punya pilihan kalian telah melanggar ruangan pendeta wanita itu.." 
"Pendeta wanita?" Aku tergagap. 
Sari masih meremas lenganku. Aku menariknya menjauh. Shari menyilangkan tangannya dengan pasti di atas dadanya. 
"Ruangan ini milik Pendeta wanita Khala," kata Ahmed, menurunkan obor. "Ini adalah Kamar Persiapan suci dari Pendeta Khala, dan kalian telah melanggarnya." 
"Yah, kami tak tahu," bentak Sari. "Aku benar-benar tak melihat apa masalahnya, Ahmed." 
"Dia benar," kataku cepat. "Kami tak menyentuh apa-apa. Kami tak memindahkan apapun.  Aku tak berpikir -.." 
"Tutup mulutmu, goblok!" jerit Ahmed. Dia mengayunkan obor dengan marah seolah mencoba memukul kami. 
"Ahmed, ayahku akan berada di sini setiap saat," ulang Sari, suaranya gemetar. 
Kami berdua memutar mata kami ke terowongan. Gelap dan sunyi. 
Tak ada tanda Paman Ben. 
"Ayahmu orang yang pintar," kata Ahmed. "Sayang sekali ia tidak cukup cerdas untuk mengindahkan peringatanku." 
"Peringatan?" tanya Sari. 
Aku menyadari bahwa ia mengulur-ulur waktu, mencoba untuk tetap  membuat Ahmed berbicara sampai Paman Ben tiba. 
"Aku menakut-nakuti dua pekerja itu," aku Ahmed pada Sari. "Aku takut mereka menunjukkan pada ayahmu bahwa kutukan itu masih hidup, bahwa aku siap untuk melaksanakan keinginan Khala itu." 
"Bagaimana kau menakut-nakuti mereka?" Sari menuntut. 
Dia tersenyum. "Aku memberi mereka satu demonstrasi kecil. Aku menunjukkan pada mereka bagaimana rasanya jika direbus hidup-hidup." Lalu matanya beralih ke lubang getah. "Mereka tak menyukainya," tambahnya pelan. 
"Tapi, Ahmed -" Sari mulai. 
Dia memotongnya. "Ayahmu seharusnya tahu lebih baik daripada kembali ke sini. Dia harus percaya padaku. Dia seharusnya percaya pada kutukan Pendeta itu. Pendeta itu mengutuk semua orang yang melanggar ruangannya." 
"Tapi, ayolah, kau tak benar-benar percaya -" aku memulai. 
Dia mengangkat obor mengancam. "Itu ditetapkan oleh Pendeta Khala lebih dari empat ribu tahun yang lalu bahwa ini ruangan yang suci tak boleh dilanggar," teriaknya, memberi isyarat dengan obor, meninggalkan jejak cahaya oranye melawan kegelapan. "Sejak saat itu, dari generasi ke generasi, anak cucu Khala telah memastikan bahwa perintah Pendeta itu dipatuhi." 
"Tapi, Ahmed -" teriak Sari. 
"Sampai kepadaku," lanjutnya, mengabaikan, mengabaikan kami berdua, menatap langit-langit saat ia berbicara, seolah-olah berbicara langsung kepada Pendeta itu di langit. "Sampai kepadaku sebagai keturunan Khala untuk memastikan kutukan itu dilaksanakan." 
Aku menatap melewati Ahmed ke terowongan. Masih tak ada tanda-tanda dari Paman Ben. 
Apakah dia akan datang? Apakah pager Sari bekerja? 
Apa yang menahannya? 
"Aku mengajukan diri untuk bekerja untuk ayahmu untuk memastikan bahwa tempat suci Khala ini tak dilanggar," lanjut Ahmed, bayangan-bayangan berkelap-kelip di wajah mengancamnya. "Ketika dia tak mengindahkan peringatanku, aku harus mengambil tindakan. Aku menakut-nakuti kedua pekerja itu. Lalu aku berencana untuk membawa pergi kalian, untuk menyembunyikan kalian sampai ia setuju untuk menghentikan pekerjaannya." 
Dia menurunkan obor. Wajahnya dipenuhi dengan kesedihan. "Sekarang, aku tak punya pilihan. Aku harus melaksanakan tugas yang suciku. Aku harus menjaga janji kuno untuk Khala."
"Tapi apa artinya itu?" teriak Sari. Sinar obor oranye itu mengungkapkan ekspresi ketakutannya. 
"Apa artinya?" Ahmed diulang. Dia menunjuk dengan obor. "Lihatlah di sekeliling kalian." 
Kami berdua berbalik dan melirik cepat ke seluruh ruangan. Tapi kami tak mengerti. 
"Mumi-mumi itu," jelasnya. 
Kami masih tak mengerti. 
"Ada apa dengan mumi-mumi itu?" Aku berhasil bicara terbata-bata. 
"Mereka semua pelanggar ruangan Pendeta ini," ungkap Ahmed. Senyum tipis yang terbentuk di wajahnya hanya bisa digambarkan sebagai senyum bangga. 
"Maksudmu - mereka bukan dari Mesir kuno?" teriak Sari, mengangkat tangannya dengan ngeri ke wajahnya.
"Sebagian dari mereka," jawab Ahmed, masih tersenyum, senyum menakutkan, senyum dingin. "Beberapa dari mereka penyusup kuno. Beberapa dari mereka baru-baru ini. Tapi mereka semua memiliki satu kesamaan. Mereka semua menjadi korban kutukan itu. Dan mereka semua dijadikan mumi hidup-hidup? " 
"Tidak!" Aku menjerit tanpa sadar. 
Ahmed mengabaikan ledakan ketakutanku. 
"Aku melakukan yang satu itu sendirian," katanya, menunjuk ke sebuah mumi yang berdiri kaku saat memperhatikan di tepi lubang getah.
"Oh, betapa mengerikan!" teriak Sari, suaranya gemetar. 
Aku menatap penuh harap pada lubang terowongan belakang Ahmed. Tapi masih belum ada tanda-tanda Paman Ben. 
"Hari ini, aku harus bekerja lagi," Ahmad mengumumkan. Hari ini akan ada mumi yang baru. Piala baru untuk Khala. " 
"Kau tak bisa melakukan itu!" jerit Sari menjerit. 
Aku meraih tangannya. 
Untuk ketakutanku, aku sekarang benar-benar mengerti. Aku mengerti mengapa beberapa mumi itu masih dalam kondisi baik. 
Mereka baru. 
Semua alat-alat itu, getah, linen - telah digunakan oleh keturunan Khala, keturunan seperti Ahmed. Sejak jaman Khala, siapa saja yang telah memasuki ruangan itu - ruangan dimana kami sekarang berdiri - telah dijadikan mumi. 
Hidup-hidup. 
Dan sekarang Sari dan aku juga akan menjadi mumi. 
"Ahmed, kau tak bisa!" teriak Sari. Dia melepaskan tanganku dan mengepalkan tinjunya dengan marah di pinggangnya. 
"Ini adalah kehendak Khala," jawabnya pelan, matanya yang gelap bersinar dalam cahaya obor. 
Aku melihat sebuah belati berbilah panjang muncul di tangannya yang bebas. Pisau itu menangkap cahaya dari obor. 
Sari dan aku sama-sama mundur selangkah, Ahmad mulai bergerak ke arah kami dengan cepat, langkah-langkah pasti. 



17 

Saat Ahmed mendekat, Sari dan aku mundur bersembunyi ke tengah ruangan. 
Lari, pikirku. 
Kita bisa lari darinya. 
Mataku dengan panik mencari tempat agar kami bisa melarikan diri melaluinya. 
Tapi tak ada jalan keluar. 
Terowongan di sudut tampak lubangnya  saja. Dan kami  harus lari tepat melewati Ahmed untuk sampai ke sana. 
Sari, aku lihat, dengan panik menekan pager di pinggangnya. Dia melirik ke arahku, wajahnya tegang ketakutan. 
"Yowwww!" 
Aku menjerit saat aku tiba-tiba mundur ke seseorang. 
Aku berbalik dan menatap ke wajah mumi yang diperban. 
Dengan terkesiap keras, aku meluncur menjauhinya. 
"Ayo kita lari ke terowongan," bisikku pada Sari, tenggorokanku begitu kering dan ketat, aku nyaris tak bisa mendengar sendiri (suaraku). "Dia tak bisa menangkap kita berdua." 
Sari menatap ke arahku, bingung. Aku tak tahu apakah ia mendengarku atau tidak. 
"Jangan lari," kata Ahmed pelan, seolah-olah membaca pikiranku. "Tidak ada yang bisa melarikan diri dari kutukan Khala itu." 
"Dia - dia akan membunuh kita!" jerit Sari. 
"Kalian telah melanggar ruangan sucinya," kata Ahmed, menaikkan tinggi obor, memegang belati itu di pinggangnya. 
Dia melangkah lebih dekat. "Aku melihatmu kemarin naik ke sarkofagus (peti mati dari batu) suci. Aku melihat kalian berdua bermain-main di ruang suci Khala. Saat itulah aku tahu aku harus melaksanakan tugas suciku -..."
Sari dan aku sama-sama berteriak saat sesuatu yang turun dari langit-langit ruangan. 
Kami bertiga mendongak melihat tangga tali menggantung dari lubang dimana aku jatuh. Tali berayun berayun bolak-balik saat diturunkan hampir ke lantai. 
"Apakah kalian di sana aku? Aku akan turun!" teriak Paman Ben pada kami. 
"Paman Ben - jangan!" jeritku. 
Tapi dia sudah bergerak menuruni tangga tali, turun dengan cepat, tangga  itu bawah berat badannya. 
Ditengah, ia berhenti dan mebatap ke dalam ruangan. "Ada apa ini -?" teriaknya, matanya menjelajahi pemandangan yang menakjubkan. 
Dan kemudian ia melihat Ahmed. 
"Ahmed, apa yang kau lakukan di sini?" Teriak Paman Ben terkejut. Dia cepat-cepat menurunkan dirinya ke lantai, melompat menuruni tiga anak tangga terakhir. 
"Hanya melaksanakan keinginan Khala," kata Ahmed, wajahnya tanpa ekspresi sekarang, matanya menyipit mengantisipasi. 
"Khala? Pendeta itu?" Paman Ben wajahnya berkerut kebingungan. 
"Dia akan membunuh kita!" teriak Sari, bergegas ke ayahnya, melemparkan lengannya di pinggang ayahnya. "Yah - dia akan membunuh kita. Dan kemudian mengubah kita menjadi mumi!" 
Paman Ben mememegang Sari dan melihat dari balik bahunya menuduh di Ahmed. "Apakah itu benar?" 
"Ruangan ini telah dilanggar. Ini bukan salahku, Dokter, untuk melaksanakan kutukan." 
Paman Ben menaruh tangannya di bahu Sari yang gemetar dan dengan pelan dipindahkan ke samping. Lalu ia mulai berjalan perlahan-lahan, terus, menuju Ahmed. 
"Ahmed, mari kita keluar dari sini dan membicarakan hal ini," katanya, mengangkat tangan kanannya seolah-olah menawarkan persahabatan. 
Ahmed mundur selangkah, mengangkat obor sambil mengancam. "Kemauan Pendeta tak boleh diabaikan." 
"Ahmed, kau adalah ilmuwan, dan begitu juga aku," kata Paman Ben. 
Aku tak percaya betapa tenang suaranya. Aku bertanya-tanya apakah itu suatu akting. 
Pemandangan yang menegangkan. Kami benar-benar berada dalam bahaya yang mengerikan. 
Tapi aku merasa sedikit lebih tenang mengetahui bahwa pamanku di sini, tahu bahwa ia akan mampu menangani Ahmed dan membawa kita keluar dari sini - hidup-hidup. 
Aku melirik menenangkan Sari, yang sedang menatap tajam, menggigit bibir bawahnya dalam konsentrasi tegang saat ayahnya mendekati Ahmed. 
"Ahmed, letakkan obor itu," desak Paman Ben, tangannya memanjang. "Belatinya, juga. Kumohon. Mari kita bahas ini antar ilmuwan" 
"Apa yang dibahas?"tanya  Ahmed pelan, matanya ke arah Paman Ben mempelajari dengan seksama. "Kehendak Khala harus dilakukan, seperti yang telah ada selama empat ribu tahun. Itu tidak dapat didiskusikan." 
"Antara  sesama ilmuwan, " ulang Paman Ben, kembali menatap Ahmed seolah menantangnya. "Kutukan itu sudah kuno.  Khala  sudah melakukannya selama berabad-abad. Mungkin sudah waktunya untuk membiarkannya beristirahat. Turunkan senjatamu, Ahmed. Ayo kita bicarakan  hal ini. Antara sesama ilmuwan." 
Ini akan baik-baik saja, pikirku, menarik napas panjang lega. Semuanya akan baik-baik saja. Kami akan keluar dari sini. 
Tapi kemudian Ahmed pindah dengan kecepatan mengejutkan. 
Tanpa peringatan, tanpa perkataan, ia memundurkan lengan dan, mencengkeram pegangan obor dengan kedua tangan, mengayunkan sekeras-kerasnya ke kepala Paman Ben. 
Obor itu membuat suara keras saat mengenai sisi wajah Paman Ben. 
Api menari-nari sampai oranye. 
Satu pusaran berwarna cerah. 
Dan kemudian bayangan-bayangan. 
Paman Ben mengerang. Matanya melotot lebar terkejut. 
Dengan rasa sakit. 
Obor tak membakarnya. Tapi hembusannya itu merobohkannya. 
Dia merosot ke lututnya. Lalu matanya terpejam, dan dia jatuh lemas ke lantai.
Ahmed mengangkat obor tinggi, matanya bersinar gembira, dengan kemenangan. 
Dan aku tahu kami tertimpa malapetaka. 


18 

"Ayah!" 
Sari bergegas ke ayahnya dan berlutut di sisinya. 
Tapi Ahmed bergerak cepat, mengayunkan obor ke arahnya, siap memegang belati, memaksanya untuk mundur. 
Setetes darah tipis, bersinar gelap dalam cahaya api, mengalir di sisi wajah Paman Ben. Dia mengerang, tapi tak bergerak. 
Aku melirik cepat pada mumi-muni tersebar di seluruh ruangan. Sulit yang untuk percaya bahwa kita akan segera menjadi salah satu dari mereka. 
Aku berpikir untuk melompati Ahmed, mencoba untuk merobohkannya.. Kubayangkan meraih obor, mengayunkannya kepadanya, memaksanya ke dinding. Memaksanya untuk membiarkan kami lolos. 
Tapi pisau belati itu berpendar, seakan memperingatkan aku untuk tetap mundur. 
Aku hanya anak kecil, pikirku. 
Pikiran bahwa aku bisa mengalahkan seorang pria dewasa dengan pisau dan obor adalah gila. 
Gila. 
Semua pemandangan ini gila. Dan mengerikan. 
Aku tiba-tiba merasa sakit. Perutku menegang, dan rasa mual melandaku.
"Biarkan kami pergi -! Wow" teriak Sari pada Ahmed. 
Mengejutkan,  Ahmed  bereaksi dengan mengayunkan obor kembali dan membuatnya ke seberang ruangan. 
Obor itu mendarat dengan suara celepuk pelan di tengah lubang getah. Seketika, permukaan getah itu terbakar. Kobaran api menyebar, melompat ke arah langit-langit ruang, sampai seluruh lubang persegi itu terbakar. 
Saat aku menatap dengan takjub, getah itu menggelegak dan menggelembung di bawah kobaran api oranye dan merah yang menutupinya.
"Kita harus menunggunya mendidih," kata Ahmed dengan tenang, bayangan-bayangan tertangkap oleh api yang berkelap-kelip di wajah dan pakaiannya. 
Ruangan menjadi berkabut asap. Sari dan aku sama-sama mulai batuk. 
Ahmed membungkuk dan menaruh tangannya di bawah bahu Paman Ben. Dia mulai menyeretnya di lantai. 
"Biarkan saja dia!" teriak Sari, berlari dengan panik ke arah Ahmed. 
Aku melihat bahwa ia akan mencoba melawannya. 
Aku meraih bahunya dan menahannya.
Kami bukan tandingan Ahmed. Dia telah merobohkan Paman Ben hingga tak sadar. Tak ada yang tahu apa yang akan dilakukannya pada kami. 
Sambil memegangi Sari, aku menatap Ahmed. Apa yang rencananya sekarang? 
Tak butuh waktu lama untuk mencari tahu. 
Dengan kekuatan yang mengejutkan, ia menarik Paman Ben melewati lantai ke salah satu peti mumi yang terbuka ti dinding. Lalu ia mengangkatnya ke situ dan mendorongnya ke dalam peti ini. Bahkan tanpa sedikit pun mengeluarkan napas, Ahmed mendorong tutupnya menutup di atas pamanku yang pingsan. 
Lalu ia berpaling kepada kami. "Kalian berdua - ke mumi yang itu." Dia menunjuk ke sebuah peti mumi yang besar di atas alas tinggi di samping Paman Ben. Peti itu hampir setinggi aku, dan setidaknya panjangnya sepuluh kaki. Pasti telah dibangun untuk menahan seorang yang akan dijadikan mumi - dan semua barang miliknya. 
"Lepaskan kami!" Sari bersikeras. "Biarkan kami keluar dari sini. Kami tak akan memberitahu siapa pun apa yang terjadi. Sungguh!" 
"Silakan naik ke dalam peti ini," tegas Ahmed tak sabar. "Kita harus menunggu hingga getah itu siap." 
"Kami tak akan ke sana," kataku. 
Seluruh tubuhku gemetar. Aku bisa merasakan darah berdenyut di pelipisku. Aku bahkan tak menyadari aku mengatakan apa yang kukatakan. Aku sangat takut, aku bahkan tak bisa mendengar diriku sendiri. 
Aku melirik Sari. Dia berdiri menantang dengan tangan bersedekap erat di atas dadanya. Tapi meskipun dia bersikap berani, aku bisa melihat dagunya gemetar dan matanya mulai berlinang air mata. 
"Ke peti," ulang Ahmed, "tunggu nasib kalian. Khala tak akan terus menunggu. Kutukan kuno akan dilakukan atas namanya." 
"Tidak!" Aku berteriak marah. 
Aku berjinjit dan menatap ke peti mumi besar itu. Baunya sangat asam di sana, aku hampir terlempar. 
Peti ini terbuat dari kayu. Melengkung,  kotor dan dalamnya terkelupas. Dalam cahaya berkedip-kedip, aku yakin aku melihat puluhan serangga merayap di sana. 
"Ayo ke dalam peti itu sekarang!" tuntut Ahmed. 



19 

Sari naik ke sisi atas dan menurunkan dirinya ke peti mumi kuno itu. Dia selalu ingin menjadi yang pertama dalam segala hal. Tapi sekali ini adalah salah satu waktu dimana aku tak keberatan. 
Aku ragu-ragu, menyandarkan tanganku di atas kayu yang membusuk di sisi peti. Aku melirik ke peti berikutnya, peti dengan Paman Ben dalamnya. Peti itu dari batu berukir, dan tutup batu berat telah menutupinya, menyegelnya dengan kuat. 
Apa Paman Ben punya udara di sana? Aku bertanya-tanya, dicekam ketakutan. Apakah ia bisa bernapas? 
Dan, lalu,  aku berpikir muram, apa bedanya? Kami bertiga akan segera mati. Kami bertiga akan menjadi mumi, dikurung dalam ruangan tersembunyi ini selamanya. 
"Masuk - sekarang!" Ahmed memerintahkan, matanya yang gelap menyala kepadaku. 
"Aku - aku hanya anak kecil!" teriakku. Aku tak tahu darimana kata-kata itu dari. Aku sangat takut, aku benar-benar tak tahu apa yang kukatakan. 
Satu cibiran tak menyenangkan terbentuk di wajah Ahmed. "Banyak dari firaun  (raja Mesir) seumurmu saat mati," katanya. 
Aku ingin tetap membuatnya berbicara. Aku punya ide putus asa bahwa jika aku bisa membuat percakapan terjadi, aku bisa membawa kami keluar dari kekacauan ini. 
Tapi aku tak bisa memikirkan sesuatu untuk dikatakan. Otakku membeku. 
"Masuk," perintah Ahmed, bergerak ke arahku mengancam. 
Merasa benar-benar kalah, aku meluncurkan satu kakiku ke samping peti mati busuk itu, mengangkat diri, dan kemudian turun di samping Sari. 
Dia menundukkan kepalanya, dan matanya tertutup rapat. Kupikir dia sedang berdoa. Dia tak melirik, bahkan saat aku menyentuh bahunya. 
Tutup peti mulai meluncur di atas kami. Hal terakhir yang kulihat adalah nyala api merah melompat-lompat di atas lubang getah. Kemudian tutupnya menutupi kami ke dalam kegelapan penuh. 
"Gabe..." Sari bisik beberapa detik setelah tutupnya ditutup. "Aku takut."
Untuk beberapa alasan, pengakuannya membuatku tertawa terkekeh. Dia mengatakan itu dengan terkejut. Seolah-olah takut adalah pengalaman baru yang mengejutkan. 
"Aku terlalu takut untuk menjadi takut," bisikku kembali. 
Dia meraih tanganku dan meremasnya. Tangannya bahkan lebih dingin dan lebih basah dariku. 
"Dia gila," bisiknya. 
"Ya aku tahu,." Jawabku, masih memegang tangannya. 
"Kupikir ada serangga di sini," katanya dengan gemetar. "Aku bisa merasakan mereka merayap padaku." 
"Aku juga," kataku. Aku menyadari bahwa aku menggertakkan gigi. Aku selalu melakukan itu saat aku gugup. Dan sekarang aku lebih gugup daripada yang kupikir mungkin secara manusiawi. 
"Kasihan Ayah," kata Sari. 
Udara dalam peti mati itu sudah mulai terasa pengap dan panas. Aku mencoba mengabaikan bau asam menjijikkan, tetapi bau itu telah bergerak perlahan-lahan ke dalam lubang hidungku, dan aku bahkan bisa mencicipinya. Aku menahan napas agar tak tersedak. 
"Kita akan mati lemas di sini," kataku murung. 
"Dia akan membunuh kita sebelum kita bisa mati lemas," keluh Sari. "Aduh!" Aku bisa mendengar menampar  seekor serangga di lengannya. 
"Mungkin sesuatu akan terjadi," kataku. Cukup bodoh. Tapi aku tak bisa memikirkan harus berkata apa lagi. Aku tak bisa berpikir. Titik. 
"Semua yang terus kupikirkan adalah bagaimana ia akan merogoh otakku dan menariknya keluar melalui hidungku," keluh Sari. "Mengapa kau harus memberitahuku, Gabe?" 
Aku butuh waktu untuk menjawab. Lalu, aku hanya bisa berkata, "Maaf." Aku mulai membayangkan hal yang sama, dan gelombang mual lainnya melandaku. 
"Kita tak bisa hanya duduk di sini," kataku. "Kita harus melarikan diri." Aku mencoba mengabaikan bau tebal dan asam. 
"Hah? Bagaimana?" 
"Mari kita coba mendorong tutupnya," kataku. "Mungkin kalau kita dorong bersama-sama..." 
Aku menghitung sampai tiga dalam bisikan pelan, dan kami berdua meluruskan tangan kami ke bagian atas peti mati dan mendorongnya sekeras yang kami bisa. 
Tidak. Tutup itu tak akan bergeming. 
"Mungkin dia menguncinya atau menempatkan sesuatu yang berat di atasnya," saran Sari dengan desahan sedih. 
"Mungkin," jawabku, merasa seperti menderita. 
Kami duduk dalam keheningan untuk sementara waktu. Aku bisa mendengar napas Sari. Dia seperti terisak-isak saat dia bernapas. Aku sadar jantungku berpacu. Aku bisa merasakan pelipisku berdenyut. 
Aku membayangkan kait panjang yang akan Ahmed gunakan pada otak kami untuk menariknya keluar dari kepala kami. Aku mencoba untuk memaksa pikiran itu keluar dari pikiranku, tetapi tak mau hilang. 
Aku teringat satu mumi pada dua Halloweens lalu, dan bagaimana kostum itu terlepas di depan teman-temanku. 
Sedikit yang kuketahui kemudian bahwa aku akan segera memiliki kostum mumi yang tak akan pernah terlepas. 
Waktu pun berlalu. Aku tak tahu berapa lama. 
Aku menyadari bahwa aku telah duduk dengan menyilangkan kaki. Sekarang kakiku mulai kesemutan. Aku meluruskannya dan meregangkannya keluar. Peti mumi ini begitu besar, Sari dan aku berdua bisa menjatuhkannya jika kami inginkan. 
Tapi kita terlalu tegang dan takut untuk berbaring. 
Aku adalah yang pertama untuk mendengar suara garukan. Seperti sesuatu yang memanjat dengan cepat di dalam peti mumi. 
Pada awalnya kupikir itu Sari. Tapi dia meraih tanganku dengan tangannya yang dingin, dan aku sadar, ia tak bergerak dari di depanku. 
Kami berdua mendengar suara keras.
Sesuatu di dekat kami, sesuatu tepat di samping kami, menabrak sisi peti. 
Sebuah mumi? 
Apa ada mumi dalam peti ini dengan kami? 
Bergerak? 
Aku mendengar erangan pelan. 
Sari meremas tanganku begitu erat, sakit, dan aku menjerit tajam. 
Suara lain. Lebih dekat. 
"Gabe -" bisik Sari, suaranya kecil dan melengking. "Gabe - ada sesuatu di sini bersama kita!" 




20 

Ini bukan mumi, aku berkata pada diriku sendiri. 
Tidak bisa. 
Ini serangga. Seekor serangga yang sangat besar. Bergerak di lantai peti mati. 
Ini bukan mumi. Ini bukan mumi. 
Kata-kata itu berulang-ulang dalam pikiranku. 
Aku tak terlalu lama untuk memikirkan benda itu. Apa pun itu merayap mendekat. 
"Hei!" bisik sebuah suara. 
Sari dan aku sama-sama memjerit. 
"Di mana kalian?" 
Kami mengenali suara itu segera. 
"Paman Ben!" teriakku, menelan ludah, jantungku berdebar-debar. 
"Ayah!" Sari menerjang lebih melewatiku untuk mendapatkan ayahnya. 
"Tapi bagaimana?" Aku tergagap. "Bagaimana Anda bisa di sini?" 
"Mudah," jawabnya, meremas bahuku meyakinkan. 
"Ayah - aku tak percaya!" Sari meratap. Aku tak bisa melihat dalam kegelapan peti tertutup, tapi kupikir dia menangis. 
"Aku baik-baik saja. Aku baik-baik," ulangnya beberapa kali, mencoba menenangkannya. 
"Bagaimana kau bisa keluar dari peti itu dan ke dalam peti yang satu ini?" Aku bertanya, benar-benar bingung dan takjub. 
"Ada jalan keluar," kata Paman Ben. "Satu lubang kecil dengan jalan keluar. Orang-orang Mesir membangun pintu keluar tersembunyi dan melarikan diri dari dalam kebanyakan peti mumi mereka mumi. Untuk jiwa mayat itu agar bisa pergi." 
"Wow," kataku. Aku tak tahu harus berkata apa. 
"Ahmed begitu terjebak dalam omong kosong kutukan kuno itu, ia lupa tentang rincian kecil ini," kata Paman Ben, aku merasakan tangannya di bahuku lagi. "Ayolah, kalian berdua. Ikuti aku." 
"Tapi dia di luar sana -" aku mulai. 
"Tidak," jawab Paman Ben cepat. "Dia menyelinap pergi. Ketika aku turun dari petiku, aku mencarinya. Aku tak melihatnya di mana pun. Mungkin ia pergi ke tempat lain sementara dia menunggu getah itu untuk mendapatkan panas yang cukup. Atau mungkin dia memutuskan untuk cukup meninggalkan kita mati lemas dalam peti-peti mumi itu. " 
Aku merasa seekor serangga meluncur di kakiku. Aku menamparnya, kemudian mencoba untuk menariknya keluar dari dalam kaki celana jinsku. 
"Kita pergi keluar," kata Paman Ben. 
Aku mendengar dia mengerang saat ia berbalik dalam peti mati besar itu. Lalu aku bisa mendengarnya merangkak ke belakang. 
Aku melihat sebuah persegi panjang kecil bercahaya saat ia membuka pintu tersembunyi di belakang peti ini. Itu adalah lubang pelarian yang sangat kecil, hanya cukup besar bagi kami untuk melaluinya dengan menekan tubuh. 
Aku mengikuti Paman Ben dan Sari keluar dari peti ini, meluruskan diri untuk merangkak keluar melewati lubang kecil itu, kemudian menjatuhkan diriku ke posisi merangkak di lantai kamar. 
Butuh beberapa saat bagi mataku untuk menyesuaikan diri dengan (cahaya yang) terang. 
Api merah masih menari-nari di atas lubang getah yang menggelembung, bayangan-bayangan biru menakutkan tampak pada ke empat dinding ruangan. Mumi-mumi berdiri seperti sebelumnya, membeku di tempat di sekeliling ruangan, bayangan-bayangan berkelap-kelip pada wajah-wajah tak lengkap mereka. 
Saat matatu mulai terfokus, aku melihat bahwa Paman Ben terluka memar besar gelap di sisi kepalanya. Satu koyakan lebar dengan darah yang mengering mencoreng pipinya. 
"Ayo keluar dari sini sebelum Ahmed kembali," bisiknya, berdiri antara kita, satu tangan pada setiap bahu kami. 
Sari tampak pucat dan gemetar. Bibir bawahnya berdarah karena kunyahan padanya begitu keras. 
Paman Ben mulai menuju tangga tali di tengah ruangan, tapi kemudian berhenti. "Ini akan butuh waktu terlalu lama," katanya, berpikir keras. "Ayo. Ke terowongan. Cepat." 
Kami bertiga mulai berlari menuju terowongan di sudut (ruangan). Melihat ke bawah, kulihat bahwa tali sepatu bodohku terlepas lagi. Tapi tak mungkin bagiku untuk berhenti mengikatnya! 
Kami akan keluar dari sini! 
Beberapa detik sebelumnya, aku telah  kehilangan harapan. Tapi sekarang, di sini kami keluar dari peti mumi dan menuju kebebasan. 
Kami hanya beberapa meter di depan pintu masuk terowongan saat terowongan itu tiba-tiba dipenuhi dengan cahaya oranye. 
Kemudian, dari luar terowongan, Ahmed muncul, memegang obor baru di depannya, nyala api itu menunjukkan wajahnya yang tampak terkejut. 
"Tidak!" Sari dan aku berteriak serempak. 
Kami bertiga tergelincir berhenti tepat di depannya. 
"Kalian tak bisa kabur!"kata  Ahmed pelan, cepat mendapatkan kembali ketenangannya, ekspresinya kagetnya menegang menjadi kemarahan. "Kalian tak bisa lolos!" 
Dia mendorongkan obor ke arah Paman Ben, yang dipaksa untuk jatuh ke belakang, menjauh dari jangkauan api mendesis. Dia mendarat keras di sikunya dan berteriak kesakitan. 
Teriakannya menyebabkan senyum muram di bibirAhmed. "Kau telah membuat marah Khala," katanya, mengangkat obor di atas kepalanya dan meraih ujung sarung belati di pinggangnya. "Kau tak akan bergabung dengan pelanggar lain dari ruangan ini." 
Wah. Aku menarik napas lega. 
Ahmed telah berubah pikiran. Dia mempertimbangkan tak akan mengubah kita menjadi mumi. 
"Kalian bertiga akan mati di lubang getah," katanya. 
Sari dan aku bertukar pandang ngeri. Paman Ben kembali berdiri dan melingkarkan lengannya di sekeliling kami. "Ahmed, tidak bisakah kita berbicara tentang ini dengan tenang dan rasional sebagai ilmuwan?" tanyanya. 
"Ke lubang getah," perintah Ahmed, dengan marah menyodorkan obor menyala pada kami. 
"Ahmed - kumohon!" teriak Paman Ben dengan merengek dengan nada ketakutan yang tak pernah kudengar darinya sebelumnya. 
Ahmed mengabaikan permintaan putus asa Paman Ben. Mendorong obor di punggung kami dan memberi isyarat dengan belati berbilah panjang, ia memaksa kami untuk berjalan ke tepi lubang. 
Getah itu menggelegak ribut sekarang, membuat letupan jelek dan suara menghisap. Lidah api melintas puncaknya yang  rendah dan merah, 
Aku mencoba menariknya kembali. Baunya begitu buruk. Dan uapnya begitu panas, membuat wajahku (serasa) terbakar. 
"Satu demi satu, kalian akan melompat," kata Ahmed. 
Dia berdiri beberapa kaki di belakang kami saat kami menatap ke dalam getah yang menggelegak itu. "Jika kalian tak melompat, aku terpaksa mendorong kalian." 
"Ahmed -" Paman Ben memulai. Tapi Ahmed menyentuhkan obor ke punggung Paman Ben. 
"Telah datang giliranku," kata Ahmed khidmat. "Kehormatan untuk melakukan keinginan Khala itu." 
Uap getah itu begitu luar biasa, kupikir aku akan pingsan. Lubang itu mulai miring di depanku. Aku merasa sangat pusing. 
Aku memasukkan tanganku ke saku celana jeans, kurasa untuk menenangkan diriku sendiri. Dan tanganku berakhir pada sesuatu yang telah kulupakan. 
Summoner (Si Pemanggil). 
Tangan mumi yang kubawa ke mana-mana. 
Aku tak yakin mengapa - aku tak berpikir jernih sama sekali - tetapi aku menarik tangan mumi kecil itu. 
Aku berputar cepat. Dan aku menahan tangan mumi itu tinggi-tinggi.
Aku tak bisa benar-benar menjelaskan apa yang terjadi dalam pikiranku. Aku begitu takut, begitu penuh dengan rasa takut, aku telah berpikir seratus hal sekaligus. 
Mungkin kuberpikir tangan mumi itu akan mengalihkan perhatian Ahmed. 
Atau menarik baginya. 
Atau membingungkan dia. 
Atau membuatnya takut. 
Mungkin aku hanya mengulur-ulur waktu. 
Atau mungkin aku tanpa sadar mengingat legenda di balik tangan itu yang diceritakan anak di bengkel lelang padaku. 
Legenda mengapa tangan itu disebut Summoner. 
Bagaimana tangan itu digunakan untuk memanggil jiwa-jiwa dan roh-roh kuno. 
Atau mungkin aku tak berpikir apa-apa. 
Tapi aku berbalik dan mencengkeramnya dengan pergelangan tangan yang ramping, memegang tangan mumi itu tinggi-tinggi. 
Dan menunggu. 
Ahmed menatapnya. 
Tapi tak terjadi apa-apa. 



21 

Aku menunggu, berdiri di sana seperti Patung Liberty dengan tangan kecil itu terangkat tinggi di atas kepalaku. 
Tampaknya seolah-olah aku berdiri seperti itu selama berjam-jam. 
Sari dan Paman Ben menatap tangan itu.
Menurunkan obor beberapa inci, Ahmed memicingkan mata di tangan mumi. Kemudian matanya melebar, dan mulutnya ternganga kaget. 
Ia berteriak. Aku tak mengerti apa yang ia katakan. Kata-kata itu dalam bahasa yang belum pernah kudengar. Mungkin bahasa Mesir Kuno. 
Dia melangkah mundur, ekspresi terkejut dengan cepat digantikan oleh pandangan mata melebar ketakutan. 
"Tangan Pendeta itu!" teriaknya. 
Setidaknya, itulah yang kupikir dia jeritkan - karena aku tiba-tiba terganggu oleh apa yang terjadi di belakangnya. 
Sari menjerit pelan. 
Kami bertiga menatap melewati bahu Ahmed tak percaya. 
Satu mumi yang bersandar di dinding tampaknya condong ke depan. 
Mumi lain yang berbaring terlentang, perlahan-lahan duduk, berderit seperti bangkit sendiri. 
"Tidak!" teriakku, masih memegangi tangan mumi itu tinggi-tinggi. 
Sari dan Paman Ben ternganga dengan mata melebar saat ruang yang luas itu dipenuhi dengan gerakan. Saat mumi-mumi itu berderit dan mengerang hidup. 
Udara penuh dengan bau tengik debu kuno dari pembusukan. 
Dalam cahaya remang-remang, aku melihat satu mumi, lalu mumi lainnya, berdiri tegak, berdiri tinggi. Mereka mengulurkan tangan diperban mereka di atas kepala-kepala tak lengkap mereka. Perlahan-lahan. Menyakitkan.
Berjalan sempoyongan, bergerak kaku, mumi-mumi terhuyung-huyung ke depan. 
Aku menyaksikan, membeku dengan takjub, saat mereka keluar dari peti mumi, bangkit dari lantai, membungkuk ke depan, mengambil langkah lambat pertama mereka, langkah-langkah berat, otot-otot mereka mengerang, debu beterbangan dari mayat-mayat kering mereka. 
Mereka sudah mati, pikirku. 
Mereka semua. Mati. Mati selama bertahun-tahun. 
Tapi sekarang mereka bangkit, naik dari peti mati kuno mereka, berjuang dengan susah payah ke arah kami dengan kaki-kaki mati mereka yang berat. 
Kaki diperban mereka menggaruk lantai ruangan saat mereka berkumpul dalam kelompok. 
Garuk. Garuk. Garuk. 
Suatu suara seretan kaki yang aku tahu aku tak akan pernah melupakannya. 
Garuk. Garuk. 
Tentara berwajah tak lengkap itu mendekat. Lengan-lengan diperban terulur, mereka terhuyung-huyung ke arah kami, berderit dan mengerang. Mengerang lembut dengan kesakitan kunonya. 
Keterkejutan Ahmed tertangkap oleh wajah kami dan ia berputar-putar. 
Dia berteriak lagi dalam bahasa yang aneh saat ia melihat mumi-mumi maju kepada kami, menggesek begitu pelan, begitu tenang dan berhati-hati, melintasi lantai ruangan. 
Dan, kemudian, dengan teriakan marah, Ahmed mengangkat obor pada mumi yang memimpin. 
Obor itu menghantam dada mumi itu dan terpental ke lantai. Api meledak dari dada mumi itu, segera menyebar ke lengan dan ke bawah kaki. 
Tapi mumi itu terus maju, tak melambat, tak bereaksi sama sekali pada api yang dengan cepat melalapnya. 
Menganga denga  mulut terbuka ngeri, mengoceh seolah kata-katanya tak ada habisnya dalam bahasa misterius itu, Ahmed mencoba untuk lari. 
Tapi ia terlambat. 
Mumi terbakar itu menerjang ke arahnya. Sosok tubuh kuno itu menangkap tenggorokan Ahmed, mengangkatnya tinggi di atas bahunya yang berkobar-kobar. 
Ahmed mengucapkan jeritan tinggi bernada ngeri saat mumi lain terhuyung-huyung ke depan. Mengerang dan meratap melalui perban mereka menguning, mereka bergerak untuk membantu rekan yang terbakar. 
Mereka mengangkat Ahmed tinggi di atas kepala-kepala mereka yang mengerang. 
Dan kemudian menahannya di atas lubang getah yang terbakar. 
Menggeliat-geliat dan menendang-knendang, Ahmed mengeluarkan jeritan tajam saat mereka menahannya di atas getah yang mendidih, menggelegak, dan mengepul. 
Aku memejamkan mata. Panas dan asap getah itu berputar-putar di sekitarku. Aku merasa seolah-olah aku sedang ditelan, ditarik ke dalam kegelapan asap. 
Ketika aku membuka mata, aku melihat Ahmed melarikan diri ke terowongan, berlari sempoyongan gedebak gedebuk, menjerit-jerit ketakutan dengan mulut ternganga saat ia berlari. Mumi-mumi tetap di lubang itu, menikmati kemenangan mereka. 
Aku menyadari bahwa aku masih memegang tangan mumi di atas kepalaku. Aku menurunkannya perlahan-lahan, dan menatap Sari dan Paman Ben. Mereka berdiri di sampingku, wajah mereka penuh dengan kebingungan. Dan lega. 
"Mumi-mumi itu -" Aku berhasil mengucapkannya. 
"Lihat," kata Sari, menunjuk. 
Aku mengikuti arah tatapannya. Para mumi itu semuanya kembali pada tempatnya. Sebagian menyandar, sebagian lagi bersandar dengan sudut aneh, sebagian berbaring. 
Mereka berada di tempat persis di tempat mereka saat aku memasuki ruangan itu. 
"Hah?" Mataku sangat cepat mengitari seluruh ruangan. 
Apakah mereka semua bergerak? Apakah mereka bangkit sendiri, berdiri, dan terhuyung-huyung ke arah kami? Atau apakah kami membayangkan itu semua? 
Tidak. 
Kami tak bisa membayangkan itu. 
Ahmed telah pergi. Kami selamat. 
"Kita baik-baik saja," kata Paman Ben bersyukur, menaruh tangannya padaku dan  Sari. "Kita baik-baik saja. Kita baik-baik saja.." 
"Kita bisa pergi sekarang!" Sari menangis bahagia, memeluk ayahnya. Lalu ia berpaling ke arahku. "Kau menyelamatkan hidup kami," katanya. Dia serasa tercekik dengan kata-kata itu. Tapi dia mengucapkannya. 
Kemudian Paman Ben memalingkan pandangannya kepadaku dan benda itu masih kucengkeram erat di depanku. "Trim's untuk pertolongannya," kata Paman Ben. 

***

Kami makan malam besar di restoran saat kembali di Kairo. Ini adalah mujizat masing-masing dari kami makan dalam jumlah besar turun sejak kami semua berbicara bersamaan, berceloteh penuh semangat, menghidupkan kembali petualangan kami, mencoba untuk memahami semuanya. 
Aku memutar Summoner di sekitar meja. 
Paman Ben menyeringai padaku. "Aku tak tahu betapa istimewanya tangan mumi itu!" 
Dia mengambilnya dariku dan memeriksa dengan cermat. "Sebaiknya jangan bermain dengan itu," katanya serius. "Kita harus memperlakukan dengan hati-hati." Dia menggelengkan kepalanya. "Aku ilmuwan besar luar biasa!" ia berseru mencemooh. "Saat aku melihatnya, kupikir itu hanya mainan, barang tiruan. Tapi tangan ini mungkin penemuan terbesarku dari semuanya!." 
"Ini jimat keberuntunganku," kataku, memperlakukannya dengan lembut saat aku mengambilnya kembali. 
"Kau bisa mengatakan itu lagi!" Sari memberikan penghargaan. Hal terbaik yang pernah ia katakan kepadaku. 
Kembali di hotel, aku terkejut sendiri karena tertidur seketika. Kupikir aku akan terjaga sampai selama berjam-jam, memikirkan semua yang telah terjadi. Tapi kurasa semua kehebohan itu menghabiskan tenagaku. 

***

Keesokan paginya, Sari, Paman Ben, dan aku sarapan besar di kamar itu. Aku punya sepiring orak-arik telur dan semangkuk Frosted Flakes. Saat aku makan, aku bermain-main dengan tangan mumi kecil iti. 
Kami bertiga merasa baik, senang bahwa petualangan menakutkan kami telah berakhir. Kami saling bercanda, menggoda satu sama lain, banyak tertawa. 
Setelah aku menyelesaikan serealku, aku mengangkat tangan tinggi mumi kecil. "O, Summoner," teriak saya dengan suara dalam, "Aku memanggil roh-roh kuno. Ayo hiduplah. Ayo hiduplah kembali!" 
"Hentikan, Gabe," bentak Sari. Dia menyambar tangan itu, tapi aku mengayunkannya keluar dari jangkauannya. 
"Ini tak lucu," katanya. "Kau tak seharusnya bermain-main seperti itu."
"Apakah kau penakut?" tanyaku, menertawakannya. Aku bisa melihat bahwa ia benar-benar ketakutan, yang membuatku menikmati lelucon kecilku bahkan lebih. 
Menjaga tangan itu dari jangkauannya, aku mengangkat tangan itu tinggi-tinggi. "Aku memanggil kalian, roh-roh mati yang kuno," teriakku. "Datanglah padaku. Datanglah padaku sekarang!."
Dan ada ketukan keras di pintu. 
Kami bertiga terengah-engah. 
Paman Ben menjatuhkan gelas jusnya. Gelas itu berdentang di meja dan tumpah. 
Aku membeku dengan tangan kecil itu di udara. 
Ketukan keras lagi. 
Kami mendengar garukan di pintu. Suara kuno, jari-jari diperban berusaha (membuka) kunci. 
Sari dan aku bertukar pandang ngeri.
Aku perlahan-lahan menurunkan tangannya saat pintu terbuka. 
Dua sosok bayangan terhuyung-huyung ke dalam ruangan. 
"Ibu dan Ayah!"teriakku. 
Aku berani bertaruh mereka terkejut melihat betapa senangnya aku melihat mereka.


1 comment:

  1. nice infonya gan

    http://www.toyota.astra.co.id/corporate-information/news-promo/news/toyota-i-road-mobil-boris-elektronik-masa-depan/#news

    ReplyDelete