Thursday, May 16, 2013

Selamat Datang di Camp Nightmare

R. L. Stine: 
Selamat Datang di Camp Nightmare 
(Goosebumps # 9) 
  
 
1

AKU menatap ke luar jendela yang berdebu ketika bus yang membawa rombongan kami terlonjak di jalan yang sempit dan berkelok. Di kejauhan aku bisa melihat bukit-bukit merah yang landai di bawah langit kuning cerah.
Pohon-pohon putih yang gundul berjejer di pinggir jalan seperti pagar kayu. Kami benar-benar berada di alam terbuka. Sudah hampir setengah jam ini kami tidak melewati rumah atau pertanian. 
Kursi bus terbuat dari bahan plastik biru keras. Kalau bus melintas di atas tonjolan, kami semua terlonjak dari kursi. Semua tertawa dan berteriak-teriak. Sopir bus terus saja memarahi kami, ia berteriak-teriak menyuruh kami diam. 
Anak-anak yang akan berkemah berjumlah dua puluh dua orang. Aku duduk di barisan belakang, jadi aku bisa menghitung mereka semua. 
Delapan belas anak laki-laki dan cuma empat anak perempuan. Kurasa semua anak laki-laki akan berkemah di Camp Nightmoon, tempat aku berkemah juga. Anak-anak perempuan di perkemahan anak perempuan di dekat situ.
Anak-anak perempuan duduk berkumpul di barisan depan dan berbicara pelan. Sesekali mereka melirik ke belakang untuk melihat  anak laki-laki. 
Anak laki-laki jauh lebih ribut daripada anak perempuan, bercanda, tertawa, berteriak. Perjalanan ini memakan waktu lama, tapi kami menikmatinya. 
Anak laki-laki di sebelahku bernama Mike. Ia duduk di dekat jendela. 
Mike agak mirip anjing bulldog. Ia sedikit gempal, wajahnya bulat, tangan dan kakinya gemuk. Kepalanya berambut hitam pendek dan kaku, dan sering ia garuk-garuk. Ia mengenakan celana pendek cokelat longgar dan kaus hijau tanpa lengan. 
Selama perjalanan ini kami selalu duduk bersebelahan, tapi Mike tidak banyak bicara. Kurasa ia pemalu, atau mungkin sangat gugup. 
Katanya baru sekali ini ia berkemah. 
Ini juga perkemahan pertamaku. Dan harus kuakui, ketika bus membawaku makin jauh dari rumah, aku sudah mulai merindukan orangtuaku. 
Umurku sudah dua belas tahun, tapi aku belum pernah pergi jauh dari rumah. Meskipun perjalanan naik bus ini menyenangkan, aku tetap merasa sedih. Dan kurasa Mike juga merasa begitu. 
Mike menempelkan wajahnya yang tembam ke kaca jendela dan menatap bukit-bukit merah yang berbaris di kejauhan. 
"Kau baik-baik saja, Mike?" tanyaku. 
"Yeah. Tentu, Billy," jawabnya cepat tanpa menatapku. 
Aku teringat Mom dan Dad-ku. Di terminal bus tadi mereka kelihatan sangat serius. Kurasa mereka juga merasa gugup memikirkan aku pergi berkemah untuk pertama kalinya. 
"Kami akan menulis surat setiap hari," kata Dad. "Baik-baik, ya," kata Mom sambil memeluk aku lebih erat dari biasanya. 
Aneh sekali Mom ini. Mengapa ia tidak mengatakan "Selamat bersenang-senang"? Mengapa ia mengatakan "Baik-baik, ya"? 
Yah, aku memang agak pencemas. 
Sejauh ini anak laki-laki lain yang kukenal cuma dua anak laki-laki yang duduk di depan kami. Yang satu namanya Colin. Rambutnya cokelat panjang sampai menyentuh kerah bajunya, dan ia mengenakan kacamata berlapis perak sehingga matanya tidak terlihat. Kelakuannya agak sok, ia mengenakan bandana merah di kepalanya. Ia terus-terusan membuka dan memasang lagi bandananya itu. 
Yang duduk di sebelahnya, di dekat gang, adalah anak yang bertubuh besar dan bersuara keras, namanya Jay. Jay banyak berbicara tentang olah raga dan terus menyombongkan diri bahwa ia atlet hebat. Ia suka memamerkan lengannya yang besar dan berotot, terutama kalau ada anak perempuan sedang berbalik melihat kami. 
Jay sering mengganggu Colin dan bergulat dengannya, memegang kepala Colin dan mengacak-acak bandananya. Kau tahu, kan. Cuma bercanda. 
Rambut Jay merah berantakan, seperti tidak pernah disisir. Matanya besar dan berwarna biru. Ia tidak pernah berhenti tersenyum dan selalu bermain-main. Sepanjang perjalanan ia menceritakan lelucon-lelucon kasar dan berteriak-teriak pada anak-anak perempuan.
"Hei�siapa namamu?" teriak Jay pada anak perempuan berambut pirang yang duduk di depan, di dekat jendela. 
Anak perempuan itu tidak memedulikannya. Namun ketika Jay meneriakkan pertanyaannya untuk keempat kalinya, anak itu berbalik, matanya yang hijau berkilat-kilat. "Dawn," jawabnya. Lalu ia menunjuk anak perempuan berambut merah di sebelahnya. "Dan ini temanku, Dori." 
"Hei�hebat sekali! Namaku Dawn juga!" kata Jay bercanda. 
Anak laki-laki banyak yang tertawa, tapi Dawn tidak tersenyum sedikit pun. "Senang berkenalan denganmu, Dawn," teriaknya pada Jay. Ia lalu berbalik lagi ke depan. 
Bus terlonjak ketika melintasi lubang di jalan dan kami semua ikut terlonjak. 
"Hei, Billy, lihat," kata Mike tiba-tiba sambil menunjuk ke luar jendela. 
Dari tadi Mike diam saja. Aku membungkuk ke arah jendela, mencoba melihat apa yang ditunjuknya. 
"Kurasa aku melihat kucing padang rumput," katanya sambil tetap menatap tajam ke luar.
"Hah? Betul?" Aku melihat sekelompok pohon pendek putih dan banyak batu merah runcing-runcing. Tapi aku tidak bisa melihat seekor kucing padang rumput pun. 
"Kucing itu pergi ke balik batu-batu itu," kata Mike, ia terus menunjuk. Lalu ia berbalik menatapku. "Dari tadi kau melihat ada kota atau tidak?" 
Aku menggeleng. "Cuma padang pasir." 
"Tapi bukankah tempat perkemahannya mestinya di dekat kota?" 
Mike tampak cemas. 
"Kurasa tidak," kataku. "Kata ayahku Camp Nightmoon berada selepas padang pasir, jauh di dalam hutan." 
Mike memikirkannya sebentar sambil mengerutkan dahi. "Bagaimana kalau kita ingin menelepon ke rumah?" tanyanya. 
"Mungkin ada telepon di perkemahan," kataku. 
Aku mengangkat kepala tepat ketika Jay melemparkan sesuatu ke arah anak-anak perempuan di depan. Kelihatannya seperti bola hijau. Bola itu mengenai bagian belakang kepala Dawn dan menempel di rambutnya yang pirang. 
"Hei!" Dawn berteriak marah. Ditariknya bola hijau lengket itu dari rambutnya. "Apa ini?" Ia berbalik dan melotot pada Jay. 
Jay tertawa dengan suara melengking. "Aku tidak tahu. Aku menemukannya melekat di kolong kursi!" teriaknya. 
Dawn cemberut dan melemparkan bola itu kembali. Bola itu tidak mengenai Jay, tapi mengenai jendela dan menempel dengan suara keras. 
Semua orang tertawa. Dawn dan temannya, Dori, mencibir pada Jay. 
Colin bermain-main dengan bandana merahnya. Jay merosot dan menyandarkan lutut ke kursi di depannya. 
Beberapa baris di depan kami, dua anak laki-laki yang selalu tersenyum sedang menyanyikan lagu yang terkenal, tapi kata-kata aslinya diganti dengan kata-kata yang kasar sekali. 
Beberapa anak laki-laki mulai ikut bernyanyi. Tiba-tiba, tanpa peringatan, bus itu berhenti. Ban-bannya berdecit keras di jalan. 
Kami semua berteriak terkejut. Aku terlempar dari kursi dan dadaku mengenai kursi di depanku. 
"Uh!" Sakit. 
Ketika aku bersandar lagi di kursi, dengan jantung yang masih berdebar-debar, sopir bus berdiri dan berbalik menatap kami, ia berjalan terhuyung-huyung di gang. 
"Ohh!" Terdengar suara napas tersentak ketika kami melihat wajah sopir itu.
Kepalanya besar sekali dan berwarna merah muda, rambutnya berwarna biru cerah dan berantakan, berdiri tegak semua. Telinganya panjang dan runcing. Bola matanya yang besar dan berwarna merah terjulur keluar dari rongga mata yang gelap, terlonjak-lonjak di depan hidungnya yang menonjol. Taring putih runcing mencuat dari mulutnya yang terbuka. Cairan hijau meleleh dari bibir hitamnya yang tebal. 
Ketika kami terbelalak ketakutan, sopir itu medongakkan kepalanya yang mengerikan dan meraung seperti binatang. 
  
  
  
  
  
  
  
2  
  
  
SOPIR itu meraung begitu keras sehingga jendela bus bergetar. 
Beberapa anak menjerit ketakutan. 
Mike dan aku merunduk, bersembunyi di belakang kursi di depan kami. 
"Ia jadi monster!" bisik Mike, matanya terbelalak takut. 
Lalu kami mendengar suara tawa dari depan bus. 
Aku bangun tepat ketika sopir bus itu memegang rambutnya yang berwarna biru cerah. Ia menyentakkannya�dan wajahnya copot! 
"Ohhh!" Beberapa anak menjerit ketakutan.
Tapi kami segera sadar wajah yang tergantung di tangan sopir itu cuma topeng. Ia tadi mengenakan topeng karet monster. 
Wajahnya yang sebenarnya normal-normal saja, aku lega melihatnya. 
Kulitnya pucat, rambutnya hitam tipis dan pendek, matanya biru kecil. 
Ia tertawa sambil menggeleng, kelihatannya senang sekali. 
"Orang-orang selalu tertipu topeng ini!" katanya sambil mengangkat topeng jelek itu.
Beberapa anak tertawa bersamanya. Tapi sebagian besar terlalu terkejut dan bingung untuk menganggapnya lucu. 
Tiba-tiba ekspresi wajah sopir itu berubah. "Semua keluar!" perintahnya kasar. 
Ditariknya tuas dan pintu bus terbuka dengan mengeluarkan suara mendesis. 
"Kita ada di mana?" teriak seseorang. 
Tapi sopir bus tidak memedulikannya. Dilemparnya topeng tadi ke kursi sopir. Lalu, dengan menundukkan kepala supaya tidak terantuk atap bus, ia berjalan cepat ke pintu.
Aku membungkuk dan memandang keluar jendela, tapi tidak banyak yang bisa dilihat. Cuma hamparan luas tanah kuning, kadang-kadang ada kumpulan batu merah. Tampaknya seperti padang pasir. 
"Kenapa kita berhenti di sini?" tanya Mike sambil berbalik menatapku. Aku tahu ia cemas sekali. 
"Mungkin ini tempat perkemahannya," kataku bercanda. Menurut Mike itu tidak lucu. 
Sambil berdesak-desakan turun dari bus, kami semua merasa bingung. 
Mike dan aku yang paling akhir turun karena kami duduk di belakang. 
Ketika menginjak tanah yang keras itu, aku menaungi mataku dari matahari yang bersinar cerah, jauh di langit. Kami berada di daerah datar dan terbuka. Busnya diparkir di sebelah pelataran beton, kira-kira seukuran lapangan tenis. 
"Pasti semacam tempat pemberhentian bus," kataku pada Mike. "Kau tahu, kan. Tempat penumpang diturunkan." 
Tangan Mike masuk ke dalam saku celana pendeknya. Ia menendang tanah, tapi tidak bicara apa-apa. 
Di sisi lain pelataran, Jay sedang bermain dorong-dorongan dengan anak laki-laki yang belum kukenal. Colin bersandar di samping bus, sok aksi. Keempat anak perempuan berdiri melingkar di depan pelataran, membicarakan sesuatu diam-diam. 
Aku mengamati sopir berjalan ke samping bus dan membuka bagasi. 
Ia mulai mengeluarkan tas-tas dan peti alat berkemah dan membawanya ke pelataran beton. 
Dua orang anak duduk di pinggir pelataran dan mengawasi sopir itu bekerja. Di sisi lain pelataran, Jay dan beberapa anak lain sedang berlomba melemparkan kerikil merah sejauh mungkin. 
Mike, dengan tangan masih berada di dalam saku, berjalan ke belakang sopir bus yang sedang bercucuran keringat. 
"Hei, kita ada di mana? Mengapa kita berhenti di sini?" tanya Mike gelisah. 
Sopir itu menarik peti hitam berat dari bagian belakang bagasi. Ia sama sekali tidak memedulikan pertanyaan Mike. Mike bertanya lagi. 
Dan sopir itu lagi-lagi berpura-pura tidak mendengar. 
Mike berjalan kembali pelan-pelan ke tempat aku berdiri, diseretnya sepatunya. Ia kelihatan sangat cemas. 
Aku bingung, tapi tidak cemas. Maksudku, sopir bus itu dengan tenang pun melakukan tugasnya, membongkar muatan. Ia tahu apayang sedang dikerjakannya. 
"Kenapa ia tidak mau menjawab pertanyaanku? Kenapa ia tidak mau mengatakan apa-apa pada kita?" tanya Mike mendesak. 
Aku merasa kasihan pada Mike yang begitu cemas. Tapi aku tidak mau mendengar pertanyaan-pertanyaannya lagi. Ia mulai membuatku jadi gelisah juga. 
Aku berjalan menjauh dari Mike, menuju sisi pelataran tempat keempat gadis itu berdiri. Di seberang pelataran, Jay dan teman-temannya masih berlomba melempar batu. 
Dawn tersenyum padaku ketika aku mendekat. Lalu ia cepat-cepat membuang muka. Ia benar-benar manis, pikirku. Rambutnya yang pirang berkilau-kilau terkena sinar matahari. 
"Kau dari Center City?" tanya Dori temannya sambil menyipitkan mata menatapku, wajahnya yang berbintik-bintik berkerut-kerut karena silau. 
"Bukan," kataku. "Aku dari Midlands. Di sebelah utara Center City. Dekat Outreach Bay." 
"Aku tahu Midlands di mana!" bentak Dori.
Ketiga anak perempuan yang lain tertawa. 
Aku bisa merasa wajahku merah padam.
"Siapa namamu?" tanya Dawn sambil menatapku dengan matanya yang hijau.
"Billy," jawabku. 
"Nama burungku Billy!" teriaknya, dan anak-anak perempuan itu tertawa lagi. 
"Kalian mau pergi ke mana?" tanyaku cepat-cepat, aku ingin mengubah bahan percakapan. "Maksudku, tempat perkemahan apa?" 
"Camp Nightmoon. Ada tempat untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya," jawab Dori. "Ini bus Camp Nightmoon untuk kedua tempat itu." 
"Tempat perkemahan kalian dekat dengan tempat kami?" tanyaku. 
Aku tidak tahu kalau di Camp Nightmoon ada tempat untuk anak perempuan. 
Dori mengangkat bahu. "Kami tidak tahu," jawab Dawn. "Ini tahun pertama kami." 
"Kami semua," tambah Dori. 
"Aku juga," kataku. "Aku ingin tahu kenapa kita berhenti di sini." 
Anak-anak perempuan itu mengangkat bahu.
Aku melihat Mike mengikutiku, ia kelihatan semakin ketakutan. Aku berbalik dan berjalan ke arahnya. 
"Lihat. Sopirnya sudah selesai mengeluarkan barang-barang kita," katanya sambil menuding. 
Aku berbalik dan melihat saat sopir itu membanting pintu bagasi sampai tertutup. 
"Apa yang terjadi?" teriak Mike. "Apakah ada yang menjemput kita di sini? Mengapa ia menurunkan semua barang-barang kita?" 
"Akan kutanyakan," kataku tenang. Aku berlari mendatangi sopir itu. 
Ia berdiri di depan pintu bus yang terbuka sambil menyeka dahinya yang berkeringat dengan lengan baju seragam sopirnya yang berwarna cokelat. 
Ia melihatku datang�dan cepat-cepat naik ke dalam bus. Ia duduk di kursi sopir, ditariknya pelindung matahari di depan dahinya ketika aku melangkah naik ke pintu. 
"Adakah yang akan menjemput kami?" aku berteriak padanya. 
Aku terkejut ketika ia menarik tuas dan pintu busnya terbanting menutup tepat di depan hidungku. 
Mesinnya dihidupkan dengan suara menggemuruh dan asap knalpot berwarna kelabu menyembur. 
"Hei�!" aku berteriak dan kugedor-gedor pintu kacanya dengan marah. 
Aku terpaksa melompat ketika busnya bergerak, rodanya ribut berputar di tanah yang keras. "Hei!" teriakku. "Kau tidak harus melindasku!" 
Aku melotot marah ketika bus itu naik ke jalanan dan menderu pergi. 
Lalu aku berbalik menatap Mike. Ia berdiri di samping keempat anak perempuan itu. Mereka semua sekarang kelihatan cemas.
"Ia�ia pergi," kata Mike tergagap ketika aku mendekati mereka. "Ia meninggalkan kita begitu saja di tempat terpencil ini." 
Kami menatap bus itu sampai menghilang di balik cakrawala yang semakin gelap. Kami semua jadi terdiam. 
Beberapa detik kemudian, kami mendengar teriakan binatang yang menakutkan. 
Sangat dekat. Dan semakin mendekat. 
  
  
  
  
   
  
3  

"A-APA itu?" Mike tergagap. 
Kami berbalik ke arah datangnya teriakan melengking itu. 
Rasanya datang dari seberang pelataran. Mula-mula kukira Jay dan Colin bersama teman-temannya yang mempermainkan kami, membuat suara binatang supaya kami ketakutan. 
Tapi aku lalu melihat wajah mereka yang ketakutan dan mata mereka yang terbelalak. Jay, dan teman-temannya berdiri kaku. Bukan mereka yang membunyikan suara itu.
Teriakan itu semakin kuat. Semakin dekat. Teriakan peringatan yang melengking. 
Lalu, ketika kutatap jauh di seberang pelataran,aku melihatnya. 
Makhluk-makhluk kecil, kelam, mengendap-endap, berlari cepat di tanah yang datar, mendongakkan kepala dan meraung gembira ketika mendekati kami. 
"Apa itu?" teriak Mike sambil bergerak mendekatiku.
"Apakah mereka serigala padang rumput?" tanya Dori dengan suara gemetar. 
"Semoga bukan!" teriak salah satu anak perempuan. 
Kami semua naik ke pelataran beton dan bersembunyi di balik peti dan tas kami.
Raungan binatang itu semakin keras terdengar ketika makhluk-makhluk itu mendekat. Aku bisa melihat jumlahnya yang begitu banyak. Mereka berlari cepat ke arah kami di atas tanah datar seperti tertiup angin saja. 
"Tolong! Tolong kami!" aku mendengar teriakan Mike. 
Di sebelahku, Jay masih memegang dua batu merah sisa perlombaan lempar batu tadi. "Ambil batu!" teriaknya panik. "Mungkin kita bisa menakut-nakuti mereka!"
Makhluk-makhluk itu berhenti beberapa meter dari pelataran dan berdiri di atas kaki belakang mereka dengan sikap mengancam.
Dengan posisi terjepit di antara Jay dan Mike, aku sekarang bisa melihat mereka dengan jelas. Makhluk-makhluk itu serigala atau entah kucing liar jenis apa. Dalam posisi berdiri, tinggi mereka nyaris mencapai satu meter. 
Tubuh mereka langsing dan agak kurus kering, bulunya cokelat kemerahan berbintik-bintik. Kuku cakarnya panjang dan berkilat-kilat. 
Kepala mereka hampir selangsing tubuhnya. Mata mereka yang kecil seperti mata musang menatap kami dengan lapar. Mulut mereka yang panjang bergerak-gerak, memperlihatkan dua baris gigi tajam dan berkilat-kilat. 
"Tidak! Tidak! Tolong!" Mike jatuh berlutut. Sekujur tubuhnya gemetar karena ngeri.
Beberapa anak ada yang menangis. Yang lainnya ternganga diam menatap makhluk-makhluk yang semakin mendekat itu. 
Aku terlalu takut sehingga tidak bisa berteriak atau bergerak atau melakukan apa pun. 
Aku menatap makhluk yang berderet-deret itu, jantungku berdebar-debar, mulutku kering. Makhluk-makhluk itu sekarang diam. Sambil berdiri beberapa meter dari pelataran, mereka mengamati kami, mengatup-ngatupkan rahang mereka dengan suara keras, dengan lapar. Air liur mulai menetes dari mulut mereka. 
"Mereka�mereka akan menyerang!" teriak seorang anak laki-laki. 
"Mereka kelihatan lapar!" aku mendengar suara salah satu anak perempuan. 
Air liur makhluk-makhluk itu menetes-netes dari sela-sela gigi mereka. Mereka terus mengatup-ngatupkan rahang. Kedengarannya seperti banyak sekali perangkap baja yang mengatup. 
Tiba-tiba salah satu makhluk itu melompat ke tepi pelataran. 
"Tidak!" teriak beberapa anak serentak. 
Kami semakin rapat berkumpul sambil berusaha tetap berlindung di balik tumpukan peti dan tas. 
Satu makhluk lagi memanjat pelataran. Lalu lagi. 
Aku mundur. 
Kulihat Jay melempar batu merah ke salah satu makhluk yang bertetesan air liur itu. Batu itu berdetak ketika mengenai pelataran dan melambung. 
Makhluk-makhluk itu tidak takut. Mereka melengkungkan punggung, bersiap-siap untuk menyerang. 
Gigi mereka mulai bergemeletuk keras.
Mereka bergerak mendekat. Makin dekat. Jay melempar batu lagi. 
Batu itu mengenai bagian samping salah satu makhluk yang sedang mendekat. Makhluk mendengking terkejut. Tapi ia tetap bergerak maju matanya yang merah terpaku pada Jay, rahangnya bergerak-gerak lapar. 
"Pergi!" teriak Dori dengan suara gemetar. "Pulanglah! Pergi! Pergi!" 
Tapi teriakannya tidak berpengaruh. Makhluk-makhluk itu terus maju. 
"Lari!" kataku. "Lari!" 
"Kita tidak bisa lari dari mereka, pasti terkejar!' teriak seseorang. 
Suara gemeletuk itu makin keras. Menulikan telinga. Sampai rasanya kami dikelilingi dinding suara. 
Makhluk-makhluk jelek itu membungkuk untuk mengambil kuda-kuda sebelum melompat. 
"Lari!" teriakku lagi. "Ayo�lari!" 
Kakiku tidak mau menurut. Rasanya lemah seperti karet. 
Karena berusaha menjauh dari makhluk-makhluk yang akan menyerang itu, aku terjatuh telentang dari pelataran. 
Mataku berkunang-kunang ketika bagian belakang kepalaku mengenai tanah yang keras. 
Mereka akan memangsaku, pikirku. 
Aku tidak bisa menghindar. 
  
  
  
  
  
  
   
4 

AKU mendengar teriakan menyerang seperti suara sirene.
Aku mendengar suara kuku-kuku panjang makhluk-makhluk itu bergesekan di pelataran beton. Aku mendengar jeritan dan teriakan teman-temanku yang ketakutan.
Lalu, ketika sedang berusaha berdiri dengan panik, aku mendengar suara gemuruh yang memekakkan telinga. 
Mula-mula kukira suara ledakan. 
Kukira pelataran itu ambruk. 
Tapi aku lalu berbalik dan melihat senapan itu. Terdengar suara tembakan senapan lagi. Asap putih memenuhi udara. 
Makhluk-makhluk itu segera berbalik, lari ketakutan. Tak ada raungan keluar dari moncong mereka. Bulu makhluk-makhluk itu yang jarang-jarang, bergesekan dengan tanah ketika mereka menyelipkan ekor mereka di sela-sela kaki. 
"Ha-ha! Lihat, mereka lari!" Pria itu menyandang senapan di bahunya sambil mengamati makhluk-makhluk itu pergi. 
Di belakangnya ada bus hijau panjang. 
Aku berdiri dan membersihkan diri. 
Sekarang semua orang tertawa, melompat-lompat senang, merayakan hilangnya bahaya.
Aku masih kaget sehingga tidak bisa bergembira seperti mereka. 
"Mereka berlarian seperti kelinci!" kata pria itu dengan suara menggelegar. Diturunkannya senapannya. 
Beberapa saat kemudian aku baru sadar, ia keluar dari bus perkemahan untuk menyelamatkan kami. Kami tidak mendengar atau melihat kedatangan bus itu karena tertutup oleh raungan binatang-binatang tadi.
"Kau baik-baik saja, Mike?" tanyaku sambil berjalan mendekati teman baruku yang nampak ketakutan. 
"Begitulah," jawabnya tidak yakin. "Kurasa sekarang aku baik-baik saja." 
Dawn menepuk punggungku sambil tersenyum. "Kami baik-baik saja!" teriaknya. "Kami semua baik-baik saja." 
Kami berkumpul di depan pria yang membawa senapan itu. 
Tubuhnya besar, wajahnya merah, kepalanya nyaris botak, cuma ada rambut kuning keriting sedikit di sekeliling kepalanya. Di bawah hidungnya yang besar dan bengkok ada kumis pirang. 
Matanya kecil hitam seperti mata burung, alisnya pirang dan lebat.
"Hai, anak-anak! Aku Paman Al. Aku kepala perkemahan kalian yang ramah. Kuharap kalian menikmati sambutan ke Camp Nightmoon tadi!" katanya menggelegar. 
Aku mendengar anak-anak bergumam.
Pria itu menyandarkan senapannya ke bus dan berjalan mendekati kami. Diamatinya wajah kami. Ia mengenakan celana pendek putih  dan kaus perkemahan berwarna hijau cerah yang melekat ketat di perutnya yang besar. Dua anak muda, yang mengenakan pakaian berwarna hijau dan putih juga, keluar dari bus. Wajah mereka kelihatan serius. 
"Ayo, angkat barang-barang," perintah Paman Al pada mereka dengan suaranya yang dalam.
Ia tidak minta maaf karena terlambat. 
Ia tidak menerangkan tentang binatang-binatang aneh tadi. Dan ia tidak menanyakan apakah kami baik-baik saja setelah kejadian yang menakutkan itu. 
Kedua pengawas itu mulai menarik peti-peti perkemahan dan memasukkannya ke dalam bagasi bus. 
"Kelihatannya rombongan tahun ini baik-baik," teriak Paman Al. 
"Kami akan mengantarkan anak-anak perempuan dulu ke seberang sungai. Lalu kami akan mengurus anak laki-laki." 
"Tadi itu binatang-binatang apa?" teriak Dori pada Paman Al. 
Kelihatannya Paman Al tidak mendengar. 
Kami mulai memasuki bus. Aku mencari Mike dan menemukannya di dekat ujung barisan. Wajahnya pucat dan tampaknya ia masih sangat terguncang. "Aku�aku benar-benar ketakutan," katanya mengaku. 
"Tapi kita baik-baik saja," kataku meyakinkannya. "Sekarang kita bisa bersantai dan bersenang-senang." 
"Aku lapar sekali," kata Mike. "Aku belum makan seharian ini." 
Salah satu pengawas mendengar ucapannya. "Kau takkan lapar kalau sudah merasakan makanan perkemahan nanti," katanya pada Mike. 
Kami naik ke bus. Aku duduk di sebelah Mike. Bisa kudengar perut anak malang itu keroncongan. Tiba-tiba aku sadar aku juga kelaparan. 
Dan aku tidak sabar ingin melihat Camp Nightmoon. Aku berharap semoga jaraknya tidak jauh. 
"Seberapa jauh perkemahan kami?" teriakku pada Paman Al, yang sudah duduk di kursi sopir. Kelihatannya ia tidak mendengar pertanyaanku. "Hei, Mike, bus kita sudah berjalan!" kataku senang ketika bus masuk ke jalanan. 
Mike tersenyum terpaksa. "Aku senang sekali pergi dari sana!" 
Aku terkejut, ternyata perjalanan kami tidak sampai lima menit. 
Kami semua bergumam terkejut karena singkatnya perjalanan ini. 
Mengapa bus pertama tadi tidak sekalian mengantarkan kami sampai ke tujuan?
Tampak papan kayu besar bertuliskan CAMP NIGHTMOON dan Paman Al membelokkan bus ke jalan berbatu-batu yang melewati sekelompok pohon pendek menuju perkemahan. 
Kami melewati jalan sempit yang berkelok-kelok itu, menyeberangi sungai kecil yang airnya berwarna kecokelatan. Tampak beberapa pondok kecil. 
"Perkemahan anak perempuan," kata Paman Al mengumumkan. 
Bus itu berhenti untuk menurunkan keempat anak perempuan. Dawn melambai padaku ketika ia turun. 
Beberapa menit kemudian kami tiba di perkemahan anak laki-laki. 
Dari jendela bus aku bisa melihat pondok-pondok kecil berwarna putih. Di puncak bukit yang landai terdapat bangunan besar bersirap putih, mungkin tempat pertemuan atau aula penginapan. 
Di pinggir lapangan, tampak tiga pengawas, semuanya mengenakan celana pendek putih dan kaus hijau, sedang menyalakan api di lubang panggangan besar dari batu. 
"Hei, kita akan memasak di alam terbuka!" teriakku pada Mike. Aku mulai merasa benar-benar bersemangat. 
Mike juga tersenyum. Ia benar-benar meneteskan air liur karena memikirkan makanan! 
Bus itu berhenti mendadak di ujung deretan pondok kecil. Paman Al cepat-cepat berdiri dari kursi sopir dan berbalik menatap kami.
"Selamat datang di Camp Nightmoon yang indah!" teriaknya. "Turun dan berbarislah untuk menerima pengaturan pondok kalian. Begitu kalian selesai membongkar barang dan makan malam, kita akan bertemu di api unggun." 
Kami ribut berdesakan keluar dari bus. Aku melihat Jay menepuk punggung seseorang dengan bersemangat. Kurasa kami semua merasa lebih baik, setelah melupakan kejadian yang nyaris merenggut nyawa tadi.
Aku melangkah turun dan menarik napas dalam-dalam. Udara yang sejuk terasa sangat nyaman dan segar. Aku melihat deretan pohon cemara pendek di belakang bangunan putih di atas bukit. 
Sambil antre di barisan, aku mencari-cari tepi sungai. Aku bisa mendengar arus sungai di balik deretan pohon cemara yang lebat, tapi aku tidak bisa melihatnya. 
Mike, Jay, Colin, dan aku ditempatkan di pondok yang sama. Di Pondok 4. Kurasa mestinya pondok itu diberi nama yang lebih menarik. Tapi yang ada cuma nomor. Pondok 4. 
Pondok itu benar-benar kecil, dengan langit-langit rendah dan jendela di kedua sisinya. Cuma cukup untuk enam orang. Ada tiga tempat tidur bertingkat yang dirapatkan pada ketiga sisi dinding, dan rak tinggi di dinding keempat, di tengah-tengahnya ada ruang kosong persegi kecil. 
Tidak ada kamar mandi. Kurasa kamar mandinya terdapat di bangunan lain. 
Ketika kami berempat memasuki pondok, kami melihat salah satu tempat tidur sudah ada yang menempati. Tempat tidur itu sudah rapi, selimut hijaunya terlipat, di atasnya terdapat beberapa majalah olahraga dan tape.
"Pasti milik pengawas kita," kata Jay sambil memeriksa tape itu. 
"Semoga kita tidak diharuskan mengenakan kaus hijau jelek itu," kata Colin sambil tersenyum. Ia masih mengenakan kacamata peraknya, meskipun matahari sudah hampir terbenam dan pondok itu nyaris gelap gulita.
Jay mau tempat tidur di atas, Colin mengambil tempat tidur di bawahnya. 
"Bolehkah aku tidur di bawah?" tanya Mike padaku. "Kalau malam aku sering berguling-guling. Aku takut jatuh kalau tidur di atas." 
"Yeah. Tentu. Tidak ada masalah," jawabku. Aku memang menginginkan tempat tidur atas. Pasti lebih asyik. 
"Semoga kalian tidak mendengkur," kata Colin. 
"Kita tidak akan tidur di dalam sini," kata Jay. "Kita akan berpesta semalam suntuk!" Ditepuknya punggung Mike main-main, begitu keras sehingga Mike terjerembap ke dalam lemari. 
"Hei!" Mike berteriak. "Sakit!" 
"Maaf. Kurasa aku tidak tahu kekuatanku sendiri," jawab Jay, sambil tersenyum pada Colin. Pintu pondok terbuka dan seorang pemuda berambut merah, dengan wajah penuh bintik-bintik, berjalan masuk sambil membawa tas plastik besar kelabu. Tubuhnya tinggi dan sangat kurus, ia mengenakan celana pendek putih dan kaus perkemahan hijau. 
"Hei, semuanya," katanya, dan dijatuhkannya tas besar itu ke lantai pondok sambil mengerang. Setelah mengecek kami, lalu ditunjuknya tas itu. "Itu perlengkapan tempat tidur kalian," katanya. "Rapikan tempat tidur kalian. Usahakan serapi tempat tidurku." Ia menunjuk tempat tidur di dekat jendela yang ada tape di atasnya. 
"Kaukah pengawas kami?" tanyaku. 
Ia mengangguk. "Yeah. Aku yang beruntung." Ia berbalik dan berjalan ke luar. 
"Siapa namamu?" teriak Jay. 
"Larry," katanya sambil membuka pintu pondok. "Sebentar lagi peti-peti kalian diantarkan," katanya. "Kalian bisa memperebutkan lemari. Dua lemarinya tidak mau terbuka." 
Ia berjalan ke luar, lalu berbalik menatap kami. "Jauhi barang-barangku." Dibantingnya pintu kuat-kuat. 
Dengan mengintip ke luar jendela, aku melihat ia pergi, langkah kakinya cepat dan panjang-panjang, kepalanya bergerak-gerak ketika ia berjalan. 
"Orang hebat," gumam Colin sebal. 
"Sangat bersahabat," tambah Jay sambil menggeleng. 
Kami lalu mengaduk-aduk isi tas plastik dan mengeluarkan seprai dan selimut wol. Jay dan Colin bergulat memperebutkan selimut yang menurut mereka lebih lembut. 
Kuhamparkan seprai ke atas kasurku dan mulai naik untuk memasangnya. 
Aku baru menaiki setengah tangga ketika kudengar Mike menjerit. 
  
  
  
  
  
  
5    

MIKE berada tepat di bawahku, sedang merapikan tempat tidurnya. Ia menjerit begitu keras sehingga aku jadi berteriak dan nyaris terjatuh dari tangga. 
Aku melompat turun dari tangga, jantungku rasanya berdebar-debar. 
Aku melangkah ke sampingnya. 
Mike melotot lurus ke depan, mulutnya ternganga ketakutan, ia mundur dari tempat tidurnya. 
"Mike�ada apa?" tanyaku. "Ada apa?" 
"U-ular!" Mike tergagap, melangkah mundur sambil menatap tempat tidurnya yang belum rapi. 
"Hah?" Kuikuti pandangannya. Pondok itu sudah terlalu gelap, aku tidak bisa melihat apa-apa. 
Colin tertawa. "Lelucon kuno!" teriaknya. 
"Larry meletakkan ular karet di tempat tidurmu," kata Jay, sambil meringis ketika mendekati kami. 
"Bukan ular karet! Ular betulan!" kata Mike berkeras, suaranya gemetar. 
Jay tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak percaya kau bisa tertipu lelucon kuno begitu." Ia mendekati tempat tidur Mike�lalu berhenti. "Hei�!" 
Aku bergerak mendekat dan tampaklah dua ekor ular. Sambil menampakkan diri dari balik bayang-bayang, mereka melengkungkan kepalanya yang langsing, bergerak mundur seperti akan menyerang. 
"Ular betulan!" teriak Jay sambil berbalik menatap Colin. "Ada dua ekor!" 
"Mungkin tidak berbisa," kata Colin sambil mendekat. 
Ular-ular itu mendesis marah, mereka meninggikan badannya tinggi-tinggi. Ular-ular itu sangat panjang dan kurus. Kepala mereka lebih besar dari badannya. Lidah mereka bergerak-gerak ketika mereka melengkungkan badannya dengan sikap mengancam. 
"Aku takut ular," kata Mike dengan suara pelan. 
"Mungkin mereka yang takut padamu!" kata Jay bercanda sambil menepuk punggung Mike.
Mike menyipitkan matanya. Ia sedang tidak ingin bercanda. 
"Kita harus memanggil Larry atau siapa saja," kata Mike. 
"Tidak!" kata Jay. "Kau bisa mengatasi mereka, Mike. Mereka cuma berdua!" 
Jay mendorong Mike ke tempat tidur. Maksudnya cuma bercanda, ingin menakut-nakuti anak itu. 
Tapi Mike tersandung�dan jatuh ke atas tempat tidur. 
Kedua ular itu berdiri serentak. 
Aku melihat salah satu menggigit tangan Mike.
Mike berdiri. Mula-mula ia tidak bereaksi apa-apa. Sejenak kemudian jeritannya melengking.
Tampak dua tetes darah di punggung telapak tangan kanannya. Ia menatapnya, lalu dipegangnya tangannya itu. 
"Aku digigit ular!" jeritnya. 
"Astaga!" teriakku. 
"Apakah kulitmu terluka?" tanya Colin. "Apakah berdarah?" 
Jay bergegas maju dan dirangkulnya bahu Mike. "Hei�aku benar-benar minta maaf," katanya. "Aku tidak bermaksud�" 
Mike mengerang kesakitan. "Sakit�sakit sekali," bisiknya. Ia terengah-engah, dadanya naik-turun, suara napasnya terdengar aneh. 
Ular-ular itu, yang bergelung di tengah-tengah tempat tidur Mike, mulai mendesis lagi.
"Sebaiknya kau cepat-cepat berobat ke perawat," kata Jay, tangannya masih di bahu Mike. "Aku akan menemanimu." 
"Ti-tidak," Mike tergagap. Wajahnya pucat sekali. Dipegangnya tangannya erat-erat. "Aku akan ke sana sendirian!" Ia cepat-cepat berlari keluar dari pondok. Pintu pondok terbanting.
"Hei�aku tidak bermaksud mendorongnya," Jay menjelaskan pada kami. Aku tahu ia benar-benar cemas. "Aku cuma bercanda, cuma menakut-nakutinya sedikit. Aku tidak bermaksud membuatnya terjatuh atau bagaimana..." Suaranya menghilang. 
"Kita apakan mereka?" tanyaku sambil menunjuk ular-ular yang bergelung itu. 
"Aku akan memanggil Larry," kata Colin. Ia mulai berjalan ke pintu. 
"Tidak, tunggu," aku memanggilnya lagi. "Lihat.Mereka bergelung di seprai Mike, kan?"
Jay dan Colin mengikuti arah pandanganku ke tempat tidur. Kedua ular itu mengangkat dirinya tinggi-tinggi, bersiap-siap menyerang lagi. 
"Jadi?" tanya Jay, digaruknya kepalanya. 
"Jadi kita bisa membungkus mereka dengan seprai dan membawanya keluar," kataku. 
Jay menatapku. "Kalau saja terpikir olehku tadi. Ayo kita lakukan!" 
"Kau akan digigitnya," kata Colin memperingatkan. 
Aku menatap ular-ular itu. Kelihatannya mereka juga sedang mengamati aku. "Mereka tidak bisa menggigit kalau terbungkus seprai," kataku. 
"Mereka bisa saja mencobanya!" teriak Colin sambil melangkah mundur. 
"Kalau kita cepat-cepat melakukannya," kataku sambil berhati-hati mendekati tempat tidur itu, "kita bisa membungkus mereka sebelum mereka mengetahui apa yang terjadi." 
Ular-ular itu mendesis memberi peringatan, dan berdiri makin tinggi. 
"Bagaimana caranya mereka masuk?" tanya Colin. 
"Mungkin perkemahan ini penuh ular," kata Jaysambil meringis. 
"Mungkin di tempat tidurmu pun ada, Colin!" Ia tertawa. 
"Jangan bercanda terus," kataku tegas, mataku terpaku menatap ular-ular yang bergelung itu. "Kita jadi mencobanya atau tidak?" 
"Yeah. Ayo kita lakukan," jawab Jay. "Maksudku, sebagai tebusan atas perbuatanku pada Mike tadi." Colin tetap diam. 
Kurasa aku pasti bisa memegang ekornya dan melemparkannya ke luar jendela," kata Jay. "Kau bisa memegang ekor ular yang satu lagi dan�" 
"Kita coba rencanaku dulu," kataku tenang. 
Kami pelan-pelan mendekati ular-ular itu, mengendap-endap. Konyol juga rasanya, soalnya mereka jelas-jelas sedang menatap kami. 
Aku menunjuk salah satu ujung seprai, yang terselip di tempat tidur. 
"Pegang sebelah sana," perintahku pada Jay. "Lalu tarik ke atas." 
Ia ragu-ragu. "Bagaimana kalau aku meleset? Atau kau yang meleset?" 
"Kalau itu terjadi, kita gawat," jawabku suram. Dengan mata terus menatap ular-ular itu, aku mengulurkan tangan ke ujung seprai yang lain. "Siap? Aku hitung sampai tiga," bisikku.
Mulutku serasa tersumbat. Aku nyaris tercekik. "Satu, dua, tiga." 
Pada hitungan ketiga, kami berdua memegang ujung-ujung seprai. 
"Tarik!" Aku berteriak dengan suara melengking yang rasanya seperti bukan suaraku. 
Kami menarik seprai itu ke atas lalu segera menyatukan ujung-ujungnya, membuatnya jadi bungkusan. 
Di dasar bungkusan, kedua ular itu bergerak-gerak liar. Aku bisa mendengar rahang mereka mengatup-ngatup. Mereka bergerak kuat sekali sehingga bagian bawah bungkusan bergoyang-goyang. 
"Mereka tidak suka," kata Jay ketika kami bergegas ke pintu, sambil membawa bungkusan yang bergoyang-goyang di antara kami. Kami berusaha menjaga jarak dari bungkusan itu sejauh mungkin. 
Kudorong pintu dengan bahuku dan kami berlari ke rerumputan. 
"Sekarang bagaimana?" tanya Jay. 
"Jalan terus," jawabku. Aku bisa melihat salah satu ular menjulurkan kepalanya ke luar. "Cepat!" 
Kami berlari melewati pondok-pondok menuju serumpun kecil semak. 
Di belakang semak-semak itu ada segerumbulan pohon-pohon pendek. 
Begitu sampai di pepohonan itu, kami ayun bungkusan itu ke belakang, lalu kami buang ke pepohonan. 
Bungkusan itu terbuka begitu mengenai tanah. Kedua ular itu langsung merayap ke luar lalu menyelinap ke sela-sela pohon. 
Jay dan aku menarik napas lega. Kami berdiri diam sesaat, lalu membungkuk, tangan di lutut, mencoba menenangkan diri. 
Sambil membungkuk, aku mencari-cari kedua ular itu. Tapi mereka sudah merayap jauh ke dalam pepohonan cemara yang aman. 
Aku berdiri. "Kurasa sebaiknya kita ambil lagi seprai Mike," kataku. 
"Ia mungkin tidak akan mau tidur di atas seprai itu," kata Jay. Tapi ia membungkuk dan menariknya dari atas rumput. Digulungnya dan dilemparkannya padaku. "Mungkin seprai ini terkena bisa ular," katanya, wajahnya kelihatan jijik. 
Ketika kami kembali ke pondok, Colin sudah selesai merapikan tempat tidurnya dan sedang sibuk membongkar isi petinya, lalu menjejalkan semuanya ke laci lemari pakaian paling atas. Ia berbalik ketika kami masuk. "Bagaimana?" tanyanya ringan. 
"Mengerikan," jawab Jay cepat, wajahnya kelihatan suram. "Kami berdua digigit. Dua kali." 
"Kau pembohong payah!" kata Colin padanya ,ambil tertawa. 
"Sebaiknya kau tidak mencoba-coba berbohong." 
Jay tertawa juga. 
Colin berbalik menatapku. "Kau pahlawan," katanya. 
"Terima kasih atas semua bantuanmu," kata Jay padanya kasar. 
Colin akan membalas. Tapi pintu pondok terbuka dan Larry menjulurkan kepalanya. "Bagaimana?" tanyanya. "Kalian belum selesai?" 
"Kami ada sedikit masalah," kata Jay. 
"Mana anak yang nomor empat? Yang gemuk?" Tanya Larry sambil menundukkan kepalanya supaya tidak terantuk kusen pintu ketika melangkah masuk.
"Mike tergigit. Tergigit ular," kataku padanya. "Ada dua ular di tempat tidurnya tadi," kata Jay menambahkan. 
Ekspresi Larry tidak berubah. Ia sama sekali tidak kelihatan terkejut. 
"Jadi ke mana Mike pergi?" tanyanya enteng sambil menepuk nyamuk di tangannya.
"Tangannya berdarah. Ia pergi ke perawat untuk mengobati lukanya," kataku. 
"Hah?" Mulut Larry ternganga. 
"Ia pergi menemui perawat," kataku mengulangi. 
Larry mendongakkan kepalanya dan mulai tertawa. "Perawat?" teriaknya sambil tertawa terbahak-bahak. "Perawat apa?" 






6 

PINTU terbuka dan Mike kembali sambil tetap memegangi tangannya yang terluka. Wajahnya pucat, ekspresinya ketakutan sekali. "Mereka bilang tidak ada perawat," katanya padaku. 
Lalu ia melihat Larry duduk di tempat tidurnya. "Larry�tanganku," kata Mike.
Diangkatnya tangannya supaya pengawas itu bisa melihat. 
Tangan Mike berdarah. 
Larry duduk di lantai. "Kurasa aku punya perban," katanya pada Mike. 
Dikeluarkannya kotak hitam ramping dari kolong tempat tidurnya lalu mulai mencari-cari. 
Mike berdiri di sampingnya sambil memegangi tangannya. Darahnya bertetesan di lantai. "Kata mereka di perkemahan ini tidak ada perawat," ulang Mike. 
Larry menggelengkan kepala. "Kalau kau terluka di perkemahan ini," katanya serius pada Mike, "kau harus berusaha mengobatinya sendiri." 
"Kurasa tanganku agak bengkak," kata Mike.
Larry menyerahkan segulung perban padanya.
"Kamar mandi ada di ujung deretan pondok ini," katanya pada Mike sambil menutup kotak dan mendorongnya lagi ke kolong tempat tidur. "Pergilah cuci dan balut tanganmu. Cepat. Sudah hampir saat makan malam." 
Sambil memegang perban erat-erat di tangannya yang tidak terluka, Mike bergegas pergi ke arah yang ditunjukkan Larry. 
"Ngomong-ngomong, bagaimana cara kalian mengeluarkan ular-ular itu dari sini?" tanya Larry sambil memandang sekeliling pondok.
"Kami membungkusnya dengan seprai Mike dan membawanya ke luar," kata Jay. Ia menunjukku. "Itu ide Billy." 
Larry menatapku tajam. "Hei, aku terkesan, Billy," katanya. "Berani juga tindakanmu."
"Mungkin turunan dari orangtuaku," kataku padanya. "Orangtuaku peneliti ilmiah. Semacam penjelajah. Kadang-kadang mereka pergi berbulan-bulan, menyelidiki tempat-tempat paling liar." 
"Camp Nightmoon cukup liar," kata Larry. "Kalian sebaiknya berhati-hati. Aku peringatkan kalian." Ekspresi wajahnya berubah serius. 
"Tidak ada perawat di Camp Nightmoon. Paman Al tidak mau memanjakan kalian." 

***

Hot dog-nya gosong semua, tapi karena lapar sekali, kami tidak peduli. Aku makan tiga dalam waktu kurang dari lima menit. Kurasa seumur hidup belum pernah aku selapar ini.
Api unggun berada di tempat terbuka yang datar, dikelilingi oleh batu-batu bulat putih. Di belakang kami, tampak gedung besar beratap putih yang terletak di bukit landai. Di depan kami, tampak deretan lebat pohon cemara yang memagari sungai dari pandangan kami.
Dari sela-sela pohon, aku bisa melihat kelap-kelip api unggun di seberang sungai. Aku ingin tahu apakah itu api unggun di perkemahan anak perempuan. 
Aku teringat pada Dawn dan Dori. Aku ingin tahu apakah perkemahan kami nanti bisa disatukan. Apakah aku akan bertemu mereka lagi? 
Makan malam di dekat api unggun tampaknya membuat semua orang merasa senang. Dari semua orang yang duduk mengelilingi api unggun, cuma Jay yang mengomel karena hot dog-nya gosong. Tapi kurasa ia makan juga empat atau lima hot dog! 
Mike agak kesulitan karena tangannya terbalut. Ketika ia menjatuhkan hot dog pertamanya, kukira ia akan menangis. Setelah makan malam selesai, ia merasa jauh lebih baik. Tangannya yang terluka bengkak sedikit. Tapi katanya sudah tidak sesakit tadi. 
Para pengawas mudah dikenali. Mereka semua mengenakan seragam celana pendek putih dan kaus hijau. Jumlah mereka ada delapan atau sepuluh, semuanya masih muda, mungkin berusia enam belas atau tujuh belas tahun. Mereka makan bersama tenang-tenang, terpisah dari kami para peserta perkemahan. 
Aku terus memandangi Larry, tapi ia tidak pernah menatap kami sekali pun.
Aku memikirkan Larry, aku ingin tahu apakah ia memang pemalu ataukah ia tidak terlalu menyukai peserta perkemahan seperti kami.
Tiba-tiba Paman Al berdiri. Ia menggerakkan kedua tangannya mengisyaratkan agar kami tidak berbicara lagi. 
"Aku ingin mengucapkan selamat datang di Camp Nightmoon pada kalian," katanya. "Aku berharap kalian semua sudah membongkar barang kalian dan merasa nyaman di pondok. Aku tahu, sebagian besar kalian baru sekali ini berkemah." 
Ia berbicara cepat sekali, tidak ada jeda di antara kalimatnya, seakan-akan sudah beribu kali ia mengucapkannya dan ingin cepat-cepaT selesai. 
"Aku akan memberitahu beberapa peraturan dasar," lanjutnya. 
"Pertama, lampu mati tepat pada jam sembilan." 
Banyak yang mengerang. 
"Kalian bisa saja mengira dapat mengabaikan peraturan ini," kata Paman Al, ia tidak memedulikan reaksi anak-anak. "Kalian bisa saja mengira bisa menyelinap ke luar pondok untuk bertemu teman-teman kalian atau berjalan-jalan ke sungai. Tapi sekarang kuperingatkan kami tidak akan membiarkannya dan kami punya cara-cara yang sangat baik untuk memastikan peraturan ini dipatuhi." 
Ia berhenti untuk mengambil napas. 
Beberapa anak menertawakan sesuatu. Di seberangku Jay bersendawa keras. Anak-anak jadi semakin tertawa. 
Tampaknya Paman Al tidak mendengar apa-apa. "Di seberang sungai ada perkemahan anak perempuan," katanya keras-keras sambil menunjuk pepohonan. "Kalian mungkin bisa melihat api unggunnya. 
"Aku ingin mengatakan kalian dilarang keras berenang atau berperahu ke perkemahan anak perempuan." 
Beberapa anak mengerang keras. Semua orang jadi tertawa. Beberapa pengawas pun tertawa. Paman Al tetap serius. 
"Hutan di sekeliling Camp Nightmoon penuh beruang grizzli dan beruang pohon," kata Paman Al. "Mereka mandi dan minum di sungai. Dan mereka biasanya kelaparan."
Pemberitahuan ini membuat kami semua, yang duduk di sekeliling api unggun yang mulai padam, ribut bereaksi lagi. Seseorang menggeram keras. Seorang lagi menjerit. Semua orang lalu tertawa. 
"Kalian tidak akan tertawa kalau ada beruang mencakar kepala kalian sampai putus," kata Paman Al tegas. 
Ia berbalik menatap kumpulan pengawas di luar lingkaran tempat kami duduk. "Larry, Kurt, coba kemari," perintahnya. 
Kedua pengawas itu dengan patuh berdiri, berjalan ke tengah lingkaran, ke samping Paman Al. "Aku ingin kalian berdua menunjukkan pada para peserta perkemahan yang baru, cara-cara yang harus dilakukan waktu�eh, maksudku, kalau kalian diserang beruang grizzli."
Kedua pengawas itu segera berbaring menelungkup di tanah, sambil menutupi bagian belakang kepala mereka dengan tangan. 
"Betul. Aku harap kalian semua memperhatikan dengan cermat," kata kepala perkemahan itu dengan suara menggelegar. "Tutupi leher dan kepala kalian. Usahakan sebisa mungkin tidak bergerak." Ia memberi tanda pada kedua pengawas. "Terima kasih. Kalian bisa berdiri sekarang." 
"Pernahkah ada serangan beruang di sini?" teriakku, kubuat tanganku seperti corong di depan mulut supaya Paman Al bisa mendengarnya. 
Ia berbalik ke arahku. "Musim panas yang lalu ada dua," jawabnya. 
Beberapa anak tersentak. 
"Memang tidak menyenangkan," kata Paman Al. "Sulit rasanya berdiam diri ketika seekor beruang besar mengancammu dan menatapmu penuh nafsu. Tapi kalau kalian bergerak..." Suaranya menghilang, kurasa supaya kami bisa membayangkan kejadian selanjutnya. 
Aku merinding. Aku tidak mau mengingat-ingat beruang dan serangan beruang. 
Ke perkemahan macam apa Mom dan Dad mengirimku? Aku bingung. Aku tidak sabar ingin menelepon dan memberitahu semua yang sudah terjadi.
Paman Al menunggu kami semua diam, lalu menunjuk ke samping. 
"Apakah kalian melihat pondok yang di sebelah sana?" tanyanya. 
Dalam cahaya malam yang remang-remang, aku bisa melihat ada pondok di tengah-tengah lereng bukit, di dekat bangunan beratap putih. Kelihatannya lebih besar dari pondok-pondok lain. Tampaknya pondok itu miring, seperti berdiri di ujungnya, seolah-olah condong karena tertiup angin. 
"Aku ingin memastikan kalian melihat pondok itu," kata Paman Al memperingatkan, suaranya yang mengguntur mengalahkan suara api yang berderak-derak. "Pondok itu dikenal sebagai Pondok Terlarang. Kami tidak akan membicarakan pondok itudan kami tidak pernah mendekatinya." 
Aku merinding lagi ketika menatap pondok yang miring dan berbayang-bayang itu dalam keremangan malam. Aku merasa ada sengatan tajam di tengkukku, lalu segera kutepuk. Ternyata seekor nyamuk sudah sempat menggigitku. 
"Aku akan mengulangi kata-kataku tadi," teriak Paman Al, sambil menunjuk pondok gelap di atas bukit itu. "Pondok itu namanya Pondok Terlarang. Pondok itu sudah ditutup selama bertahun-tahun. Tidak seorang pun boleh mendekatinya. Tidak seorang pun."
Semua orang mulai berbicara dan tertawa. Kurasa tertawa karena gelisah. 
"Kenapa Pondok Terlarang itu terlarang?" teriak seseorang. 
"Kami tidak pernah membicarakannya," jawab Paman Al tajam. 
Jay membungkuk dan berbisik di telingaku, "Ayo kita periksa." 
Aku tertawa. Lalu aku ragu-ragu berbalik menatap Jay. "Kau main-main, kan?" 
Ia cuma meringis dan tidak berkata apa-apa lagi. 
Aku berbalik menatap api unggun lagi. Paman Al sedang berkata semoga kami menikmati perkemahan ini dan mengatakan betapa tahun ini ia sangat ingin berkemah. "Dan satu peraturan lagi�" teriaknya. "Kalian harus mengirim surat pada orangtua kalian setiap hari. Setiap hari! Kami ingin mereka mengetahui kalian bersenang-senang di Camp Nightmoon." 
Aku melihat Mike memegang tangannya yang terluka dengan hati-hati. "Tanganku mulai berdenyut-denyut," katanya padaku,kedengaran sangat ketakutan.' 
"Mungkin Larry punya obat," kataku. "Ayo kita tanya dia." 
Paman Al membubarkan kami. Kami semua berdiri, menggeliat dan menguap, dan mulai berjalan berkelompok kembali ke pondok.
Mike dan aku berjalan belakangan, berharap semoga bisa bicara dengan Larry. Kami melihat ia sedang berbicara dengan pengawas lain. Ia lebih tinggi dari mereka semua. 
"Hei, Larry�" panggil Mike. 
Tapi ketika kami berhasil menembus arus anak-anak yang berjalan ke arah yang berlawanan dengan kami, Larry sudah tidak kelihatan. 
"Mungkin ia pergi ke pondok kita untuk memastikan kita mematuhi peraturan tentang pemadaman lampu," kataku. 
"Ayo kita lihat," jawab Mike cemas. 
Kami berjalan cepat melewati api unggun yang mulai padam. Apinya sudah tidak berderak-derak lagi, tapi baranya masih ada. Lalu kami berjalan di tikungan bukit menuju Pondok 4.
"Tanganku sakit sekali," erang Mike sambil memegang tangannya lembut. "Aku bukan cuma sekadar merengek-rengek. Tanganku berdenyut dan mulai membengkak. Badanku mulai terasa dingin." 
"Larry akan tahu apa yang harus dilakukan," jawabku, berusaha kedengaran meyakinkan.
"Semoga," kata Mike gemetar. 
Kami berdua berhenti ketika mendengar suara lolongan. 
Lolongan yang mengerikan. Seperti binatang sedang kesakitan. Tapi rasanya lebih mirip lolongan manusia daripada binatang.
Lolongan-lolongan panjang dan melengking yang terdengar keras dan bergema sampai ke bawah bukit. 
Mike tersentak. Ia berbalik menatapku. Meskipun gelap, aku bisa melihat wajahnya yang ketakutan. 
"Teriakan-teriakan itu," bisiknya. "Datangnya dari... Pondok Terlarang!" 
  



7   

BEBERAPA menit kemudian Mike dan aku terseok-seok masuk ke pondok. Jay dan Colin duduk tegang di tempat tidur mereka. 
"Mana Larry?" tanya Mike, suaranya kedengaran ketakutan. 
"Tidak ada di sini," jawab Colin. 
"Mana dia?" tanya Mike melengking. "Aku harus menemui dia. Tanganku!" 
"Sebentar lagi pasti dia datang," kata Jay. 
Aku masih bisa mendengar lolongan aneh itu dari jendela yang terbuka. 
"Kalian dengar itu?", tanyaku sambil berjalan ke jendela dan mendengarkan dengan cermat.
"Mungkin kucing padang rumput," kata Colin. "Kucing padang rumput tidak melolong," kata Mike padanya. "Kucing padang rumput menciut-ciut, tidak melolong." 
"Kau tahu dari mana?" tanya Colin sambil berjalan ke tempat tidur bertingkat Larry lalu duduk di tempat tidur bawah. 
"Dari pelajaran sekolah," jawab Mike. 
Kami berhenti bicara dan mendengarkan ketika terdengar lagi suara lolongan.
"Kedengarannya seperti lolongan manusia," kata Jay, matanya bersinar-sinar karena bersemangat. "Manusia yang sudah bertahun-tahun dikurung di pondok Terlarang." 
Mike menelan ludah. "Betul begitu?" 
Jay dan Colin tertawa. 
"Sebaiknya kuapakan tanganku?" tanya Mike sambil mengangkat tangannya. Tangannya benar-benar bengkak sekarang. 
"Cuci lagi," kataku. "Dan ganti perbannya." Aku menatap kegelapan di luar jendela. "Mungkin sebentar lagi Larry muncul. Ia mungkin tahu harus mencari obat ke mana." 
"Aku tidak percaya di sini tidak ada perawat," rengek Mike. "Mengapa orangtuaku mau mengirimku ke perkemahan yang tidak ada perawat, klinik, atau tempat berobat lainnya?"
"Paman Al tidak suka memanjakan kita," kata Colin, mengulangi kata-kata Larry. 
Jay berdiri dan meniru tingkah laku Paman Al. "Jauhi Pondok Terlarang!" teriaknya dengan suara mengguntur. Ia kedengaran mirip sekali dengan Paman Al. ''Kami tidak membicarakannya dan tidak pernah mendekatinya!" 
Kami semua tertawa melihat kelakuan Jay. Mike juga. 
"Kita harus pergi ke sana malam ini!" kata Colin bersemangat. "Kita harus segera memeriksanya!" 
Kami mendengar lagi lolongan yang panjang dan sengsara dari arah Pondok Terlarang.
"Me�menurutku tidak usah saja," kata Mike pelan sambil mengamati tangannya. Ia menatap pintu. "Aku akan mencuci tanganku."
Dibantingnya pintu. 
"Ia ketakutan," ejek Jay. 
"Aku juga agak ketakutan," kataku mengaku. "Maksudku, lolongan-lolongan mengerikan itu..." 
Jay dan Colin tertawa. "Semua perkemahan punya tempat aneh seperti Pondok Terlarang. Kepala perkemahan yang mengarang-ngarang ceritanya," kata Colin. 
"Yeah," kata Jay setuju. "Kepala perkemahan suka sekali menakut-nakuti anak-anak. Cuma itu cara mereka bersenang-senang."
Dibusungkannya dadanya dan ditirunya Paman Al lagi. "Jangan keluar setelah lampu dipadamkan, kalau tidak kalian akan hilang!" katanya menggelegar, lalu tertawa keras. 
"Tidak ada apa-apa di Pondok Terlarang itu," kata Colin, sambil menggeleng. "Mungkin saja pondok itu sama sekali kosong. Semua ini cuma lelucon. Kau tahu, kan. Seperti cerita-cerita hantu di perkemahan. Setiap perkemahan punya cerita hantu sendiri-sendiri." 
"Dari mana kau tahu?" tanyaku sambil duduk di tempat tidur Mike. "Kau pernah berkemah?"
"Tidak," jawab Colin. "Tapi aku punya teman yang menceritakan tentang perkemahan mereka." Ia mengangkat tangannya membuka kacamata peraknya untuk pertama kali. Matanya berwarna biru langit cerah, seperti kelereng biru besar. 
Tiba-tiba kami mendengar suara terompet, nadanya pelan dan kedengaran sedih. 
"Itu pasti tanda sudah waktunya mematikan lampu," kataku sambil menguap. Aku mulai membuka sepatu. Aku tidak berganti pakaian atau mencuci muka karena sudah terlalu lelah. Aku akan tidur dengan pakaian yang sudah kukenakan dari tadi. 
"Ayo kita menyelinap ke luar dan menyelidiki Pondok Terlarang," desak Jay. "Ayolah. Kita bisa jadi orang pertama yang melakukannya!" Aku menguap lagi. "Aku benar-benar terlalu capek," kataku pada mereka. 
"Aku juga," kata Colin. Ia berbalik menatap Jay. "Bagaimana kalau besok malam saja?"
Wajah Jay tampak kecewa. 
"Besok," kata Colin berkeras sambil menendang sepatunya ke sudut lalu mulai membuka kaus kaki. 
"Seandainya aku jadi kalian, aku tidak akan melakukannya!" 
Suara itu mengagetkan kami bertiga. Kami berbalik menatap jendela tempat kepala Larry tiba-tiba tampak dari balik kegelapan. Ia meringis pada kami. "Seandainya aku jadi kalian, aku akan mematuhi kata-kata Paman Al," katanya. 
Sudah berapa lama ia mendengarkan kami dari luar sana? Aku ingin tahu, apakah ia sengaja memata-matai kami? 
Pintu pondok terbuka. Larry menundukkan kepalanya ketika melangkah masuk. Senyumnya sudah hilang. "Paman Al tidak main-main," katanya serius. 
"Yeah. Tentu," jawab Colin kasar. Ia naik ke tempat tidurnya dan masuk ke balik selimut wol. 
"Kurasa hantu perkemahan ini akan memakan kami kalau kami ke luar setelah lampu dipadamkan," kata Jay bercanda sambil melempar handuk ke seberang kamar. 
"Bukan. Bukan hantu," kata Larry pelan. "Tapi Sabre yang akan memakan kalian." Ia menarik lacinya, mulai mencari-cari sesuatu di dalamnya. 
"Hah? Siapa Sabre?" tanyaku, kantukku tiba-tiba hilang. 
"Sabre adalah sesuatu," jawab Larry misterius. 
"Sabre adalah monster bermata merah yang setiap malam memakan peserta perkemahan," ejek Colin. Ia menatapku. "Sabre itu tidak ada. Larry cuma mengarang-ngarang cerita." 
Larry berhenti mengaduk-aduk lacinya dan menatap Colin. "Tidak, aku tidak bohong," katanya dengan suara pelan. "Aku berusaha menghindarkan kalian dari masalah. Aku tidak bermaksud menakut-nakuti kalian." 
"Kalau begitu apa itu Sabre?" tanyaku tidak sabar. 
Larry mengeluarkan baju hangat dari laci, lalu ditutupnya lagi lacinya itu. "Kau tidak akan mau mengetahuinya," jawabnya. 
"Ayolah. Katakan pada kami," kataku memohon. 
"Ia tidak akan mau," kata Colin. 
"Aku cuma akan mengatakan satu hal pada kalian. Sabre akan mengoyak jantung kalian," kata Larry datar. 
Jay mengejek. "Yeah. Tentu." 
"Aku serius!" bentak Larry. "Aku tidak main-main!" Dipakainya baju hangatnya. "Kalian tidak percaya? Suatu malam nanti keluarlah. Keluar dan temui Sabre." Ia berusaha memasukkan tangannya ke lengan baju hangat. "Tapi sebelum kalian melakukannya," katanya memperingatkan, "tinggalkan alamat kalian supaya aku tahu ke mana harus mengirim barang-barangmu." 
  
 


  
8    

KEESOKAN harinya kami bersenang-senang. 
Kami semua bangun pagi-pagi sekali. Matahari baru saja terbit dari kaki langit ke arah selatan, dan udara masih terasa sejuk dan lembap. 
Aku bisa mendengar kicau burung. 
Suara itu membuatku teringat rumah. Ketika turun sambil menggeliat, aku teringat orangtuaku. Aku ingin sekali menelepon mereka dan menceritakan tentang perkemahan ini. Tapi ini baru hari kedua. AkU pasti akan malu menelepon mereka di hari kedua. 
Aku rindu sekali pada rumahku. Tapi untung tidak ada waktu untuk merasa sedih. Setelah berganti pakaian, kami segera pergi ke bangunan di atas bukit, yang berfungsi sebagai balai pertemuan, gedung pertunjukan, dan ruang makan. 
Di tengah-tengah aula itu terdapat barisan-barisan lurus meja dan bangku panjang. Lantai dan dinding kayunya terbuat dari kayu merah tua. Palang langit-langit dari kayu merah bersilangan jauh di atas kepala kami. Tidak ada jendela, jadi kami rasanya seperti berada di gua gelap yang besar sekali.
Denting piring, gelas, peralatan lainnya terdengar memekakkan telinga. Teriakan dan tawa kami terpantul di langit-langit yang tinggi, bergema di aula berdinding kayu keras itu. Mike meneriakkan sesuatu padaku dari seberang meja, tapi aku tidak bisa mendengarnya karena keributan ini. 
Beberapa anak mengomel soal makanan, tapi menurutku makanannya cukup enak. Kami makan telur orak-arik, daging goreng, kentang goreng, roti panggang, dan segelas besar sari buah. Aku belum pernah sarapan sebanyak itu di rumah. Tapi aku memang kelaparan. Kutelan saja semuanya. 
Setelah sarapan, kami berbaris di luar aula untuk membentuk kelompok kegiatan yang berbeda-beda. Matahari sudah tinggi di langit. Hari ini akan panas sekali. Suara kami yang bersemangat bergema di bukit yang landai. Kami semua tertawa-tawa dan ribut 
berbicara. Rasanya asyik sekali. 
Larry dan dua pengawas lain berdiri di depan kami sambil memegang papan jadwal. Mereka melindungi mata mereka dari sinar matahari yang cerah ketika membagi kami dalam kelompok-kelompok. 
Kelompok pertama, yang kira-kira terdiri atas sepuluh orang, menuju sungai untuk berenang. 
Betapa beruntungnya mereka, pikirku. Aku ingin sekali ke tepi sungai dan melihat seperti apa sungainya. 
Ketika menunggu namaku dipanggil, aku melihat ada telepon umum di dinding gedung. Aku teringat orangtuaku lagi. Mungkin nanti aku akan menelepon mereka, pikirku. Aku ingin sekali menceritakan perkemahan ini dan teman-teman baruku pada mereka. 
"Oke, anak-anak. Ikuti aku ke lapangan bola," perintah Larry. "Kita akan bermain scratchball."
(scratchball = semacam permainan kasti)
Kira-kira dua belas orang, termasuk teman-teman sepondokku, mengikuti Larry menuruni bukit menuju lapangan berumput. 
Aku berlari untuk menyamai langkah Larry, yang tampaknya selalu melangkah cepat-cepat, digerakkannya kakinya yang panjang seakan-akan sedang terburu-buru. 
"Apakah setelah ini kita akan berenang?" tanyaku. 
Tanpa mengurangi kecepatan langkahnya, ia melirik papan jadwalnya.
"Yeah. Kurasa ya," jawabnya. "Kalian akan perlu berenang nanti. Kita akan berkeringat."
"Kau pernah bermain scratchball?" tanya Jay ketika kami bergegas-gegas mengikuti Larry.
"Yeah. Tentu," jawabku. "Kami sering memainkannya di sekolah." 
Larry berhenti di sudut jauh lapangan yang lebar dan hijau, tempat base dan kotak pemukul. Ia menyuruh kami berbaris dan membagi kami menjadi dua regu. 
Scratchball mudah dipelajari. Pelempar melemparkan bola setinggi dan sejauh mungkin. Lalu ia harus berlari ke base-base sebelum regu lain menangkap bola tadi, melemparnya dengan bola, atau melempar si pelempar tadi ke luar. 
Larry mulai memanggil nama kami, membagi kami menjadi regu-regu. Tapi ketika ia memanggil nama Mike, Mike maju mendekati Larry sambil hati-hati memegang tangannya. "Aku�aku rasa akutidak bisa bermain, Larry," kata Mike tergagap. 
"Ayolah, Mike. Jangan cengeng," bentak Larry.
"Tapi rasanya sakit sekali," kata Mike berkeras. "Berdenyut-denyut terus, Larry. Rasa sakitnya terasa naik-turun di pinggangku. Dan, lihat�" diangkatnya tangannya ke muka Larry�"bengkak semua!" 
Pelan-pelan Larry mendorong tangan Mike dengan papan jadwalnya.
"Duduklah di bawah pohon," katanya pada Mike. 
"Tidakkah aku mendapat obat?" tanya Mike melengking. Aku tahu anak malang itu kesakitan. 
"Duduk saja di samping pohon itu," perintah Larry sambil menunjuk ke segerombolan pohon-pohon pendek dan rindang di pinggir lapangan. "Nanti kita bicarakan." 
Larry segera berbalik membelakangi Mike dan meniup peluitnya untuk memulai permainan. "Aku akan menggantikan Mike di Regu Biru," katanya, berlari ke lapangan. 
Aku langsung melupakan Mike begitu permainan dimulai. Kami sangat gembira. Sebagian besar pemain ternyata mahir bermain scratchball dan kami bermain jauh lebih cepat dibandingkan teman- temanku di rumah. 
Ketika tiba giliran pertamaku untuk menjadi pemukul, kulemparkan bolanya tinggi sekali. Tapi jatuhnya tepat di tangan fielder, aku terpaksa keluar. Pada giliranku yang kedua, aku berhasil mencapai tiga base sebelum akhirnya terkena bola. 
(fielder = prmain yang bertugas menangkap bola)
Larry pintar sekali bermain. Ketika tiba gilirannya memukul, dilemparnya bola lebih jauh dari siapa pun. Bola itu melayang di atas kepala para fielder, dan ketika mereka mengejarnya, Larry berhasil mengelilingi semua base. Kakinya yang panjang bergerak anggun ketika berlari.
Pada giliran keempat, regu kami, Regu Biru, menang dengan angka dua belas melawan enam. Kami semua bermain dengan bersemangat dan keringat bercucuran. Rasanya aku sudah ingin sekali berenang di sungai tadi. 
Colin berada di Regu Merah. Kulihat cuma dia yang tidak menikmati permainan ini. Ia terkena bola dua kali dan tidak bisa menangkap bola. 
Aku tahu tubuh Colin tidak terlalu atletis. Lengannya panjang dan kurus, tidak berotot, dan cara larinya juga aneh. 
Pada giliran ketiga Colin bertengkar dengan salah satu pemain di reguku mengenai sah atau tidaknya suatu lemparan. Beberapa menit kemudian, Colin marah-marah pada Larry soal bola yang menurutnya keluar. 
Ia dan Larry berteriak-teriak selama beberapa menit. Cuma pertengkaran biasa, pertengkaran olah raga. Larry akhirnya menyuruh Colin tutup mulut dan kembali ke outfield . Dengan menggerutu Colin mematuhinya, dan permainan dilanjutkan. 
(outfield = pemain yang bertugas di'luar area permainan)
Aku tidak memikirkannya lagi. Maksudku, pertengkaran semacam itu sering terjadi dalam pertandingan olahraga. Dan ada orang-orang yang menyukai pertengkaran itu seperti mereka menyukai permainannya sendiri. 
Tapi, di giliran berikutnya, terjadi sesuatu yang aneh yang membuatku merasa tidak enak dan bingung memikirkan apa yang sedang terjadi. 
Giliran regu Colin memukul bola. Colin melangkah ke kotak pemukul dan bersiap-siap memukul bola. 
Larry bermain jadi outfield. Aku berdiri di dekatnya, di lapangan juga. 
Colin memukul bola tinggi-tinggi, tapi tidak jauh sekali. 
Larry dan aku bersama-sama berlari mengejar bola itu. 
Larry yang sampai duluan. Ditangkapnya bola yang kecil dan keras itu pada pantulan pertama, ditekuknya tangannya�lalu kulihat ekspresi wajahnya berubah. 
Kulihat wajahnya menegang karena marah. Kulihat matanya menyipit, alisnya yang berwarna tembaga berkerut karena berkonsentrasi. 
Sambil berteriak keras, Larry melemparkan bola sekuat tenaga. 
Bola itu mengenai bagian belakang kepala Colin, suara benturannya keras sekali.
Kacamata perak Colin terpental tinggi. 
Colin langsung berhenti dan berteriak melengking. Tangannya terangkat seperti orang yang tertembak. Lalu lututnya tertekuk.
Ia jatuh terempas, wajahnya tertelungkup di rumput. Ia tidak bergerak. 
Bolanya menggelinding di rumput. 
Aku berteriak terkejut. 
Lalu kulihat ekspresi wajah Larry berubah lagi. Matanya terbelalak tak percaya. Mulutnya ternganga ngeri. 
"Astaga!" teriaknya. "Bolanya meleset! Aku tidak bermaksud melemparkannya ke arah dia!" 
Aku tahu Larry berbohong. Aku tadi melihat kemarahan di wajahnya sebelum ia melempar bola. 
Aku jatuh berlutut ke tanah ketika Larry berlari mendatangi Colin. 
Aku merasa pusing, kesal, dan bingung. Perutku terasa mual. 
"Bolanya meleset!" Larry berteriak-teriak. "Bolanya meleset!" 
Pembohong, pikirku. Pembohong, pembohong, pembohong. 
Aku menguatkan diri untuk berdiri dan bergegas bergabung dengan anak-anak yang mengerumuni Colin. Ketika aku sampai di sana, Larry sedang berlutut di samping Colin, pelan-pelan diangkatnya kepala Colin dari atas tanah dengan kedua tangannya. 
Mata Colin terbelalak. Ia bingung menatap Larry dan mengerang pelan. 
"Jangan mengerumuni dia!" teriak Larry. "Jangan mengerumuni dia." 
Ditatapnya Colin. "Bolanya meleset. Maafkan aku. Bolanya meleset." 
Colin mengerang. Matanya terbalik. Larry melepaskan bandana merah Colin dan menggunakannya untuk menghapus keringat di dahi Colin. 
Colin mengerang lagi. Matanya terpejam.
"Bantu aku membawanya ke aula," perintah Larry pada dua orang anggota Regu Merah. "Yang lainnya berganti pakaian sebelum berenang. Pengawas renang akan menanti kalian." 
Aku mengamati saat Larry dan kedua anak itu mengangkat Colin dan membawanya ke aula. Larry memegang bagian bawah bahu Colin. Kedua anak itu memegang kakinya dengan kaku. 
Perutku masih terasa mual. Aku terus teringat ekspresi tegang dan marah di wajah Larry ketika ia melemparkan bola ke bagian belakang kepala Colin. 
Aku tahu kejadian itu disengaja. 
Aku mulai mengikuti mereka. Aku tidak tahu mengapa. Mungkin karena terlalu gelisah, aku jadi tidak bisa berpikir jernih. 
Mereka sudah hampir sampai di kaki bukit ketika kulihat Mike mengejar mereka. Ia berlari di samping Larry sambil memegangi tangannya yang bengkak. 
"Bolehkah aku. ikut?" tanyanya memohon. "Tanganku harus diperiksa. Sakit sekali rasanya, Larry. Tolong�bolehkah aku ikut juga?" 
"Yeah. Sebaiknya kau ikut," aku mendengar Larry menjawab pendek. 
Bagus, pikirku. Akhirnya ada juga orang yang akan memeriksa tangan Mike yang digigit ular. 
Kuabaikan keringat yang mengalir di dahiku, kuamati mereka mendaki bukit menuju aula.
Seharusnya hal ini tidak terjadi, pikirku. Tiba-tiba aku merasa dingin sekali meskipun matahari bersinar cerah. 
Ada yang tidak beres. Ada yang sangat tidak beres di sini. 
Bagaimana aku tahu kalau ini baru awal rentetan kejadian-kejadian yang menyeramkan? 
  
  
 
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com 
  

9    

SIANG hari setelah kejadian itu, Jay dan aku menulis surat untuk orangtua kami. Perasaanku sangat kacau. Aku teringat terus pada ekspresi marah di wajah Larry ketika melemparkan bola ke belakang kepala Colin.
Aku menceritakannya di dalam suratku. Kuceritakan juga bahwa di sini tidak ada perawat, juga tentang Pondok Terlarang. 
Jay berhenti menulis dan memandangku dari tempat tidurnya. 
Kulitnya terbakar matahari semua. Pipi dan dahinya merah-merah. Digaruk-garuknya kepalanya. "Kita berjatuhan seperti lalat," katanya sambil memberi tanda pada pondok yang nyaris kosong. 
"Yeah," kataku sedih. "Semoga Colin dan Mike baik-baik saja." Lalu aku keterlepasan bicara, "Larry sengaja mengenai Colin." 
"Hah?" Jay berhenti menggaruk-garuk kepalanya dan memegang tempat tidur. "Ia apa?" 
"Ia sengaja melempar bola ke kepala Colin. Aku melihatnya," kataku, suaraku gemetar. Tadinya aku tidak berniat menceritakannya pada siapa pun, tapi sekarang aku lega karena sudah melakukannya. 
Perasaanku terasa lebih baik setelah mengatakannya. 
Tapi aku lalu melihat Jay tidak mempercayaiku. "Tidak mungkin," katanya tenang. "Larry pengawas kita. Lemparannya meleset. Itu saja." 
Aku mulai membantah ketika pintu pondok terbuka dan Colin masuk, didampingi Larry.
"Colin! Bagaimana keadaanmu?" teriakku. Jay dan aku serentak melompat. 
"Lumayan," jawab Colin. Ia tersenyum terpaksa. Aku tidak bisa melihat matanya. Matanya tersembunyi lagi di balik kacamata peraknya. 
"Ia masih agak goyah, tapi keadaannya baik-baik saja," kata Larry gembira sambil memegang lengan Colin. 
"Pandanganku agak mendua," kata Colin mengaku. "Maksudku, pondok ini kelihatan padat sekali di mataku. Kalian berdua masing-masing kelihatan ada dua." 
Jay serta aku tertawa pendek dan tidak enak.
Larry membantu Colin berjalan ke tempat tidur yang diduduki Jay tadi.
"Sehari-dua hari lagi ia akan sembuh," kata Larry. 
"Yeah. Sakit kepalanya sudah agak berkurang," kata Colin, sambil mengusap bagian belakang kepalanya pelan-pelan, lalu berbaring di tempat tidur. 
"Kau tadi diobati dokter?" tanyaku.
"Tidak. Cuma Paman Al," jawab Colin. "Ia yang memeriksa dan katanya aku akan baik-baik saja." 
Aku melirik curiga pada Larry, tapi ia memunggungi kami dan membungkuk untuk mencari sesuatu di dalam tas ransel yang disimpannya di kolong tempat tidur. 
"Mana Mike? Ia baik-baik saja?" tanya Jay pada Larry. 
"He-eh," jawab Larry tanpa menatap kami. "Ia baik-baik saja." 
"Tapi di mana dia?" desakku. 
Larry mengangkat bahu. "Kurasa masih di aula. Aku tidak tahu pasti." 
"Tapi ia akan kembali, kan?" tanyaku berkeras. 
Larry mendorong tasnya ke kolong tempat tidur dan berdiri. "Kalian sudah selesai menulis surat?" Tanyanya. "Cepatlah dan segera ganti pakaian untuk makan malam. Kalian bisa mengeposkan surat kalian di aula."
Ia berjalan ke pintu. "Hei, jangan lupa malam ini Malam Tenda. Malam ini kalian tidur di tenda.� 
Kami semua mengerang. 
"Tapi, Larry, di luar terlalu dingin!" protes Jay.
Larry tidak memedulikannya dan berbalik. 
"Hei, Larry, kau punya obat untuk kulitku yang terbakar matahari ini?" tanya Jay. 
�Tidak," jawab Larry, segera menghilang ke balik pintu 

***

Jay dan aku membantu Colin berjalan ke aula.
Penglihatannya masih mendua dan sakit kepalanya lumayan hebat. 
Kami bertiga duduk di ujung meja panjang yang paling dekat dengan jendela. Angin dingin bertiup ke meja. Rasanya enak sekali di kulit kami yang terbakar matahari. 
Kami makan daging dengan kentang dan saus untuk makan malam. 
Rasanya tidak terlalu enak, tapi karena lapar sekali, aku tidak peduli. 
Colin tidak nafsu makan. Ia cuma memakan ujung-ujung dagingnya. 
Ruangan makan tetap saja berisik. Anak-anak tertawa dan berteriak pada teman-temannya di seberang meja panjang. Di satu meja, anak-anak melempar-lempar roti panjang seperti melempar tombak. 
Seperti biasa, para pengawas, yang mengenakan pakaian hijau dan putih, makan bersama di meja di ujung dan sama sekali tidak memedulikan para peserta perkemahan.
Ada desas-desus setelah makan malam nanti kami akan mempelajari semua lagu perkemahan. Anak-anak mengerang dan berkeluh kesah mendengarnya.
Pada saat makan malam, Jay dan seorang anak yang duduk di seberang meja, namanya Roger, mulai bermain-main. Mereka memperebutkan roti panjang. Jay menarik roti itu kuat-kuat dan berhasil mendapatkannya�dan menumpahkan segelas penuh sari anggur di celana pendek cokelatku. 
"Hei!" Aku melompat marah, kupandangi noda ungu itu menyebar di bagian depan celana pendekku. 
"Billy kecelakaan!" teriak Roger. Semua orang tertawa. 
"Yeah. Celananya jadi ungu!" tambah Jay.
Semua menganggap ini lucu sekali. Lalu Seseorang melemparkan roti panjang ke arahku. Roti itu memantul di dadaku dan jatuh ke piringku. 
Anak-anak tertawa makin keras. 
Perang makanan itu cuma berlangsung beberapa menit. Lalu dua orang pengawas menghentikannya. Kuputuskan sebaiknya segera kembali ke pondok dan mengganti celana pendekku. Ketika aku bergegas-gegas keluar, kudengar Jay dan Roger berteriak mengolok-olok aku. 
Aku berlari menuruni bukit secepat mungkin menuju pondok. Aku ingin kembali lagi ke aula pada saat hidangan penutup disajikan. 
Sambil mendorong pintu pondok dengan bahu, aku menerobos masuk, langsung menuju lemari pakaian di seberang ruangan, lalu kubuka laci pakaianku. 
"Hah?" 
Aku terkejut sekali ketika melihat laciku kosong. Laci itu sudah dibersihkan, tidak ada isinya sama sekali. 
"Apa-apaan ini?" tanyaku keras-keras. "Mana barang-barangku?" 
Dengan perasaan bingung, aku melangkah mundur�lalu aku sadar bahwa tadi aku membuka laci yang salah. Laci itu bukan laciku. 
Itu tadi laci Mike. 
Lama kupandangi laci yang kosong itu. 
Semua pakaian Mike sudah dipindahkan. Aku berbalik mencari-cari kopernya, yang ditumpuk di belakang pondok kami. 
Koper Mike juga sudah tidak ada. 
Mike tidak kembali. 
Aku begitu kalut sehingga aku berlari kembali ke aula tanpa mengganti celana pendek.
Dengan napas terengah-engah, aku mendatangi meja para pengawas, berhenti di belakang Larry. Ia sedang berbicara dengan pengawas di sebelahnya, yang berbadan gemuk, berambut pirang panjang dan jarang-jarang. 
"Larry�Mike sudah pergi!" teriakku terengah-engah. 
Larry tidak berbalik. Ia terus saja berbicara dengan pengawas itu, seolah-olah aku tidak ada. 
Kucengkeram bahu Larry. 
"Larry�dengar!" teriakku. "Mike�ia sudah pergi!" 
Pelan-pelan Larry berbalik, wajahnya kelihatan kesal. "Kembalilah ke mejamu, Billy," bentaknya. "Meja ini cuma untuk para pengawas." 
"Tapi Mike bagaimana?" tanyaku melengking. "Barang-barangnya sudah tidak ada. Apa yang terjadi pada dirinya? Apakah ia baik-baik saja?" 
"Mana aku tahu?" jawab Larry tidak sabar.
"Apakah ia dipulangkan?" tanyaku. Aku tidak mau mundur sebelum memperoleh jawaban.
"Yeah. Mungkin." Larry mengangkat bahu, lalu menurunkan pandangannya. "Kau menumpahkan sesuatu di celana pendekmu."
Jantungku berdebar keras sekali sehingga bisa kurasakan darah berdenyut-denyut di dahiku. "Kau benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada Mike?" tanyaku, aku merasa kalah. 
Larry mengangguk. "Aku yakin ia baik-baik saja," jawabnya, sambil berbalik menatap teman-temannya lagi. 
"Mungkin ia berenang," ejek pengawas berambut jarang yang duduk di sebelahnya. 
Larry dan beberapa pengawas lain tertawa. Menurutku itu tidak lucu. 
Aku merasa mual sekali. Dan agak ketakutan.
Tidakkah pengawas-pengawas di perkemahan ini memedulikan kami? aku bertanya-tanya sendiri dengan perasaan suram. 
Aku berjalan kembali ke mejaku. Hidangan penutup berupa puding cokelat sedang dihidangkan, tapi aku tidak merasa lapar lagi.
Kuceritakan pada Colin, Jay, dan Roger tentang laci Mike yang sudah dikosongkan, dan tentang Larry yang berpura-pura tidak tahu apa-apa. 
Mereka tidak terlalu mencemaskannya.
"Mungkin Paman Al harus memulangkannya karena tangannya yang sakit itu," kata Colin tenang sambil menyendok pudingnya. ''Tangannya lumayan bengkak." 
"Tapi mengapa Larry tidak mengatakan yang sebenarnya saja?" tanyaku, perutku masih terasa seperti seolah-olah aku tadi makan batu. 
"Mengapa ia tadi mengatakan tidak tahu apa-apa mengenai Mike?" 
"Pengawas tidak suka membicarakan hal-hal yang tidak enak," kata Jay sambil memukul bagian atas pudingnya dengan sendok. "Itu bisa membuat anak-anak kecil seperti kita ini bermimpi buruk." 
Disendoknya puding, dimundurkannya, dan dilemparkankannya ke dahi Roger. 
"Jay�kau harus kuhajar!" teriak Roger sambil menyendok pudingnya juga. Dilemparkannya ke bagian depan lengan kaus Jay. 
Terjadilah perang puding sampai ke ujung meja panjang. 
Tidak ada lagi yang membicarakan Mike. 
Setelah makan malam, Paman Al menjelaskan tentang Malam Tenda dan betapa menyenangkannya bermalam di tenda malam ini. "Diam-diam saja supaya tidak diserang beruang!" katanya bercanda. Hebat sekali candanya. 
Lalu ia dan para pengawas mengajarkan lagu-lagu perkemahan pada kami. Paman Al menyuruh kami menyanyikannya terus sampai kami hafal. 
Aku sedang tidak ingin menyanyi. Tapi Jay dan Roger mulai mengarang kata-kata yang kasar sekali untuk lagu-lagu itu. Dan segera saja sekelompok anak bergabung, menyanyikan lagu-lagu versi kami sendiri sekeras-kerasnya. 
Setelah itu, kami semua berjalan menuruni bukit menuju tenda. 
Malam itu sejuk dan cerah. Bintang-bintang pudar bertebaran di langit yang berwarna ungu kehitam-hitaman. 
Aku membantu Colin menuruni bukit. Pandangannya masih mendua dan ia pun masih merasa agak lemah. 
Jay dan Roger berjalan beberapa langkah di depan kami, mendorong-dorong dengan bahu, mula-mula ke kiri, lalu ke kanan. 
Tiba-tiba Jay berbalik menatap Colin dan aku. "Malam ini saatnya," bisiknya, ia tersenyum jahat. 
"Hah? Malam ini saatnya apa?" tanyaku.
"Sssst." Ditempelkannya jari ke mulutnya.
"Kalau semua orang sudah tidur, Roger dan aku akan memeriksa Pondok Terlarang." Ia berbalik menatap Colin. "Kau ikut?" 
Colin menggeleng sedih. "Rasanya aku tidak sanggup, Jay." 
Sambil berjalan mundur di depan kami, Jay menatap mataku tak berkedip. "Kau bagaimana, Billy? Ikut?" 
 





10  

"AKU�aku rasa aku akan menemani Colin," kataku. 
Kudengar Jay bergumam mengatakan aku pengecut. Jay kelihatan kecewa. "Kau akan rugi nanti," katanya. 
"Biarlah. Aku memang merasa agak lelah," kataku. Memang benar. 
Aku merasa lelah sekali setelah melalui hari yang panjang ini, semua ototku terasa sakit. Rambutku pun terasa sakit! 
Sepanjang jalan menuju tenda, Jay dan Roger berbisik-bisik menyusun rencana. 
Setibanya di kaki bukit, aku berhenti dan menatap Pondok Terlarang di atas. Di bawah sinar bulan yang pucat, pondok itu tampak seolah-olah miring ke arahku. Aku menunggu terdengarnya suara lolongan yang tampaknya berasal dari dalam pondok. Tapi malam ini keadaan sunyi senyap. 
Tenda-tenda besar berderet di daerah pondok. Aku merayap masuk ke tenda kami dan berbaring di atas kantong tidurku. Tanahnya keras. 
Aku tahu malam ini pasti terasa sengsara. 
Jay dan Colin kelihatan sibuk dengan kantong tidur mereka di bagian belakang tenda. 
"Aneh rasanya tidak ada Mike di sini," kataku. Tiba-tiba aku merinding. 
"Sekarang kau jadi punya banyak tempat untuk barang-barangmu," kata Jay ringan. Ia meringkuk di tepi tenda, wajahnya tegang, matanya menatap kegelapan di luar pintu tenda yang terbuka sedikit. 
Larry entah di mana. Colin duduk diam. Ia masih merasa kurang sehat. 
Aku mengubah posisi tidurku dan menggeliat, aku berusaha mencari posisi yang enak. Aku ingin tidur. Tapi aku tahu aku tidak akan bisa tidur sebelum Jay dan Roger kembali dari petualangan mereka. 
Waktu bergerak dengan lamban. Di luar dingin, udara di dalam tenda terasa pengap dan lembap. 
Aku menatap dinding tenda. Ada kumbang merayap di keningku. 
Kusingkirkan dengan tangan. 
Aku bisa mendengar Jay dan Colin berbisik-bisik di belakangku, tapi aku tidak bisa menangkap pembicaraan mereka. Jay tertawa gelisah. 
Aku pasti sempat terlelap. Suara bisikan yang mendesak membuatku terbangun. Sesaat kemudian baru aku sadar, ada yang sedang berbisik-bisik di luar tenda. 
Aku mengangkat kepala dan melihat wajah Roger tersembul dari luar. 
Aku duduk tegak, merasa waswas. 
"Doakan kami," bisik Jay. 
"Semoga berhasil," bisikku, suaraku tercekik karena baru bangun. 
Dalam kegelapan kulihat bayangan Jay yang besar merayap cepat ke pintu tenda. Dibukanya, tampak sepotong langit, lalu ia menghilang di kegelapan. 
Aku gemetar. "Ayo menyelinap ke pondok," bisikku pada Colin. "Di luar sini dingin sekali. Dan tanahnya keras seperti batu." 
Colin setuju. Kami berdua keluar dari tenda da berjalan diam-diam ke pondok kami yang hangat dan menyenangkan. Sesampainya di dalam, kami menuju jendela dan mencoba melihat Jay dan Roger. 
"Mereka akan tertangkap," bisikku. "Aku tahu." 
"Mereka tidak akan tertangkap," bantah Colin "Tapi mereka tidak akan melihat apa-apa. Tidak ada apa-apa di atas sana. Cuma pondok konyol." ' 
Dengan menjulurkan kepala ke luar jendela, aku bisa mendengar Jay dan Roger cekikikan pelan entah di mana di kegelapan sana.
Perkemahan sunyi sekali, kesunyian yang mengerikan. Aku bisa mendengar mereka berbisik-bisik, suara kaki mereka berjalan di sela-sela rumput yang tinggi. 
"Moga-moga mereka tidak bersuara," gumam Colin sambil bersandar di kusen jendela. "Mereka terlalu ribut." 
"Mereka pasti sudah di atas bukit sekarang," bisikku. Kujulurkan kepalaku sejauh mungkin, tapi mereka tetap tidak kelihatan. 
Colin akan menjawab, tapi suara jeritan pertama membuatnya terdiam. 
Itu suara jeritan ketakutan yang memenuhi udara yang sunyi. 
"Oh!" teriakku dan kutarik kepalaku masuk. 
"Itu tadi Jay atau Roger?" tanya Colin, suaranya bergetar. 
Jeritan kedua lebih mengerikan dari yang pertama. 
Sebelum suara itu menghilang, kudengar geraman binatang. Keras dan marah. Seperti ledakan guntur. 
Lalu kudengar jeritan putus asa Jay, "Tolong kami! Tolong�tolonglah kami!" 
Jantungku berdebar-debar kencang. Aku cepat-cepat menuju pintu pondok dan membukanya. Jeritan mengerikan tadi masih terdengar di telingaku. Aku melangkah ke luar, tanah yang tertutup embun membasahi kakiku. 
"Jay�di mana kau?" teriakku, tapi aku tidak mengenali suaraku yang terdengar melengking dan ketakutan. 
Lalu kulihat ada sesosok gelap berlari ke arahku, lari terbungkuk-bungkuk, dengan tangan terulur. 
"Jay!" teriakku. "Ada�apa? Apa yang terjadi?"
Ia berlari mendatangiku, badannya tetap membungkuk, wajahnya berkerut ketakutan, matanya terbelalak dan tidak berkedip.
Rambutnya yang lebat kelihatan berdiri kaku.
"Ia�ia menangkap Roger," erangnya, dadanya naik-turun ketika berusaha berdiri tegak. 
"Ia apa?" desakku. 
"Ada apa?" tanya Colin, tepat di belakangku.
"Aku�aku tidak tahu!" Jay tergagap, dipejamkannya matanya. "Ia�ia mengoyak-ngoyak Roger." 
Jay menangis tersedu-sedu. Lalu ia membuka matanya dan berbalik ketakutan. 
"Itu dia datang!" jeritnya. "Sekarang ia mengejar kita!" 
 






11   

DI bawah cahaya bulan yang pucat, aku melihat mata Jay terbeliak. 
Lututnya tertekuk dan ia terkulai ke tanah.
Aku cepat-cepat memegangnya sebelum ia jatuh ke tanah dan menyeretnya ke dalam pondok. Colin membanting pintu hingga tertutup. 
Begitu sampai di dalam, keadaan Jay pelan-pelan membaik. Kami bertiga berdiri diam dan mendengarkan dengan cermat. Aku masih memegangi bahu Jay yang naik-turun.
Wajahnya pucat sekali dan napasnya terengah-engah. 
Kami mendengarkan. 
Sunyi. 
Udara terasa panas dan diam. 
Tidak ada yang bergerak. 
Tidak ada suara langkah kaki. 
Tidak ada binatang yang mendekat. 
Cuma suara erangan ketakutan Jay dan bunyi detak jantungku. 
Lalu, di kejauhan, aku mendengar lolongan itu. Mula-mula pelan dan rendah, lalu semakin keras terbawa angin. Lolongan yang membuat darahku beku dan membuatku berteriak. 
"Itu Sabre!" 
"Jangan biarkan ia menangkapku!" jerit Jay sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ia jatuh berlutut di lantai pondok. "Jangan biarkan ia menangkapku!" 
Aku menatap Colin, yang tersandar ke dinding, jauh dari jendela. 
"Kita harus memanggil Larry," akhirnya aku berhasil bicara. "Kita harus mencari bantuan."
"Tapi bagaimana caranya?" tanya Colin dengan suara gemetar. 
"Jangan biarkan ia menangkapku!" ulang Jay, yang terduduk di lantai. 
"Ia tidak datang kemari," kataku padanya, berusaha terdengar meyakinkan, menghibur. "Kita aman di dalam pondok ini, Jay. Ia tidak datang kemari." 
"Tapi ia menangkap Roger dan�" kata Jay. Seluruh tubuhnya gemetar ketakutan.
Memikirkan Roger membuatku merasa takut.
Benarkah? Benarkah Roger telah diserang suatu makhluk? Benarkah ia telah dikoyak-koyak? 
Aku mendengar jeritan-jeritan dari sisi bukit. Dua jeritan yang menegakkan bulu roma.
Begitu keras, begitu menakutkan. Tidak adakah orang lain di perkemahan ini yang mendengarnya juga? Tidakkah anak-anak lain mendengar jeritan Roger? Tidakkah para pengawas itu mendengar? 
Aku berdiri diam dan mendengarkan. 
Sunyi. Bisikan angin berdesir di dedaunan.
Tidak ada suara. Tidak ada suara peringatan. Tidak ada suara langkah kaki bergegas-gegas.
Aku berbalik menatap teman-temanku. Colin sudah membantu Jay berjalan ke tempat tidur.
"Di mana Larry?" tanya Colin. Matanya yang tidak tertutup kacamata perak tampak betul-betul ketakutan. 
"Orang-orang ke mana?" tanyaku sambil bersedekap dan mulai mondar-mandir di antara tempat tidur. "Tidak terdengar suara apa-apa di luar sana." 
Aku melihat mata Jay terbelalak ketakutan. Ia melotot menatap jendela yang terbuka.
"Makhluk itu�" teriaknya. "Itu dia datang! Ia masuk dari jendela!" 
    
  
  
  
  
12    

KAMI bertiga melotot ketakutan ke jendela yang terbuka. 
Tapi tidak ada makhluk apa pun yang melompat masuk. 
Yang kulihat sambil berdiri kaku di tengah pondok, cuma kegelapan dan beberapa bintang pudar. Di pohon-pohon di luar, jangkrik-jangkrik mulai berderik. Tidak ada suara lain. 
Jay yang malang begitu ketakutan dan gelisah sampai melihat hal-hal yang sebetulnya tidak ada. Colin dan aku akhirnya berhasil juga  menenangkan Jay. Kami menyuruhnya membuka sepatu dan berbaring di tempat tidur bawah. Kami selimuti dia dengan tiga lapis selimut supaya tidak gemetar lagi. 
Colin dan aku ingin berlari mencari bantuan. 
Tapi kami takut keluar. 
Kami bertiga tidak tidur semalaman. Larry tidak muncul-muncul. 
Perkemahan itu sunyi, yang terdengar cuma suara cengkerik dan desau angin di sela-sela pepohonan. 
Kurasa aku pasti tertidur juga akhirnya, tepat sebelum fajar. Aku bermimpi aneh tentang kebakaran dan orang-orang yang berusaha lari menyelamatkan diri. 
Aku dibangunkan Colin yang menggoyangku kuat-kuat. "Sarapan," katanya parau. "Cepat. Kita terlambat." 
Aku terduduk bingung. "Mana Larry?" 
"Ia tidak muncul," jawab Colin menunjuk ke tempat tidur Larry yang masih rapi. 
"Kita harus mencari dia! Kita harus menceritakan apa yang terjadi padanya!" teriak Jay bergegas ke pintu pondok dengan sepatu yang belum diikat talinya. 
Colin dan aku jatuh-bangun mengejarnya, kami berdua masih setengah tidur. Udara pagi terasa sejuk. Matahari berusaha muncul dari sela-sela awan putih. 
Kami bertiga berhenti di tengah jalan yang menuju aula di atas bukit. 
Dengan perasaan takut-takut, kami memandang tanah di sekitar Pondok Terlarang. 
Aku tidak tahu ingin melihat apa. Tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Roger di situ.
Tidak ada bekas-bekas perkelahian. Tidak ada darah kering di tanah. 
Rumput-rumput yang tinggi tidak tertekuk.
''Aneh," aku mendengar Jay bergumam sambil menggeleng. "Aneh." 
Aku menarik tangannya supaya terus berjalan dan kami segera bergegas meneruskan perjalanan ke bangunan di atas. 
Aula tempat makan tetap ribut seperti biasa. Anak-anak saling tertawa dan berteriak-teriak. Kelihatannya normal-normal saja. Kurasa belum ada pengumuman tentang Roger. 
Beberapa anak memanggil Colin dan aku. Tapi kami mengabaikan mereka dan mencari-cari Roger sambil bergerak cepat di antara meja-meja. 
Ia tidak tampak. 
Perutku terasa tidak enak ketika kami bergegas mendatangi meja para pengawas di sudut. 
Larry yang sedang menghadapi sepiring besar telur orak-arik dan daging goreng, memandangi kami bertiga ketika kami datang. 
"Apa yang terjadi pada Roger?" 
"Apakah ia baik-baik saja?" 
"Ke mana kau kemarin malam?" 
"Roger dan aku diserang." 
"Kami takut mencarimu." 
Kami bertiga serentak menanyai Larry bertubi-tubi. 
Wajahnya kelihatan bingung dan diangkatnya kedua tangannya untuk menenangkan kami. ''Wo," katanya. "Tenang, anak-anak. Bicara apa kalian ini?" 
"Roger!" teriak Jay, wajahnya jadi merah padam. "Makhluk itu�makhluk itu menerkamnya. Dan�dan�" 
Larry melirik pengawas-pengawas lain di meja yang kelihatan sama bingungnya. "Makhluk? Makhluk apa?" tanyanya. 
"Makhluk itu menyerang Roger!" jerit Jay. "Makhluk itu mengejar aku dan�" 
Larry menatap Jay. "Ada yang diserang? Kurasa tidak, Jay." Ia berbalik menatap pengawas di sebelahnya, anak muda gemuk bernama Derek. "Kau mendengar sesuatu di daerahmu?" 
Derek menggeleng. 
"Roger bukan di kelompokmu?" tanya Larry pada Derek. 
Derek menggeleng. "Bukan di kelompokku."
"Tapi Roger�!" kata Jay berkeras. 
"Kami tidak memperoleh laporan mengenai adanya penyerangan apa pun," kata Larry memotong ucapan Jay. "Kalau ada peserta perkemahan yang diserang beruang atau apa saja, kami akan mengetahuinya." 
"Dan kami akan mendengar suaranya," kata Derek. "Kau tahu, kan. Jeritan dan yang semacamnya." 
"Aku mendengar ada jeritan," kataku. 
"Kami berdua mendengar ada jeritan," tambah Colin cepat. ''Dan Jay datang berlari-lari, berteriak-minta tolong." 
"Yah, kenapa tidak ada orang lain yang mendengarnya?" tanya Larry sambil menatap Jay. Ekspresi wajahnya berubah. "Di mana terjadinya? Kapan?" tanyanya curiga. 
Wajah Jay menjadi makin merah padam. "Setelah lampu dipadamkan," katanya mengakui. "Roger dan aku pergi ke Pondok Terlarang, dan�" 
"Kau yakin itu bukan beruang?" potong Derek "Kemarin siang tampak beberapa beruang di sungai." 
"Itu suatu makhluk!" jerit Jay marah. 
"Kau seharusnya tidak berada di luar," kata Larry sambil menggeleng. 
"Kenapa kau tidak mau mendengar perkataan ku?" teriak Jay. "Roger diserang. Makhluk besar ini menerkamnya dan�" 
"Kami pasti mendengar sesuatu kalau ada apa-apa," kata Derek tenang sambil melirik Larry. 
"Yeah," kata Larry setuju. "Para pengawas semuanya sedang berada di aula ini kemarin. Kami pasti mendengar jeritan apa pun." 
"Tapi, Larry�kau harus memeriksanya!" teriakku. "Jay tidak mengarang-ngarang. Kemarin benar benar terjadi sesuatu!" 
"Oke, oke," jawab Larry sambil mengangkat tangannya seperti orang menyerah. "Aku akan menanyakannya pada Paman Al, oke?" 
"Cepat," desak Jay. "Tolonglah!" 
"Aku akan bertanya pada Paman Al setelah sarapan," kata Larry sambil berbalik menatap telur dan daging gorengnya. "Sampai ketemu lagi pada saat berenang pagi nanti. Aku akan memberitahukan apa yang dikatakan Paman Al." 
"Tapi, Larry�" rengek Jay. 
"Aku akan menanyakannya pada Paman Al," kata Larry tegas. "Kalau kemarin malam terjadi sesuatu, Ia pasti mengetahuinya." Ia mengangkat sepotong daging goreng ke mulutnya dan mengunyahnya. "Kurasa kalian cuma bermimpi buruk," katanya sambil menatap Jay curiga. "Tapi akan kuberitahukan pada kalian apa yang dikatakan Paman Al."
"Kejadian itu bukan mimpi buruk!" teriak Jay melengking. Larry memunggungi kami, melanjutkan sarapannya. "Tidakkah kau peduli?" jerit Jay padanya. "Tidakkah kau peduli apa yang terjadi pada kami?" 
Kulihat anak-anak banyak yang berhenti sarapan dan menatap kami. 
Kutarik Jay, lalu berusaha menggiringnya ke meja kami. Tapi ia berkeras ingin memeriksa seluruh ruang makan lagi. "Aku tahu Roger tidak ada di sini," katanya berkeras. "Ia�ia tidak mungkin ada di sini!" 
Untuk kedua kalinya, kami bertiga berjalan di antara meja-meja, mengamati semua wajah.
Satu hal pasti: Roger tidak kelihatan di mana-mana. 

***

Matahari bersinar dari balik awan ketika kami mencapai tepi sungai untuk berenang pagi. Udara terasa sejuk. Semak-semak yang lebat di sepanjang sungai basah berkilau-kilau terkena sinar matahari. 
Kujatuhkan handukku ke semak-semak dan berbalik menatap air kehijauan yang mengalir perlahan.
"Pasti pagi ini airnya dingin," kataku pada Colin yang sedang mengikat tali celana renangnya. 
"Aku cuma ingin kembali ke pondok dan tidur lagi," kata Colin sambil menyimpulkan tali. Penglihatannya sudah tidak mendua, tapi ia merasa lelah karena tidak tidur semalaman.
Beberapa anak sudah masuk ke air. Mereka mengeluh airnya dingin sambil bermain siram-siraman dan dorong-dorongan. 
"Mana Larry?" tanya Jay terengah-engah sambil menerobos semak-semak menuju kami. Rambutnya yang merah tampak berantakan, setengahnya berdiri tegak di bagian samping kepalanya. Matanya merah.
"Mana Larry? Ia tadi berjanji akan berada d sini," kata Jay sambil sibuk mencari-cari. 
"Ini aku." 
Kami bertiga berbalik ketika Larry muncul dari semak-semak di belakang kami. Ia mengenakan celana renang hijau longgar Camp Nightmoon. 
"Bagaimana?" desak Jay. "Apa kata Paman Al tentang Roger?" 
Ekspresi wajah Larry kelihatan serius. Matanya terpaku menatap mata Jay. "Paman Al dan aku mengelilingi Pondok Terlarang," katanya pada Jay "Tidak ada serangan apa-apa di sana. Tidak mungkin pernah ada serangan." 
"Tapi�tapi akhluk itu menangkap Roger," teriak Jay melengking. "Makhluk itu mengoyak-ngoyaknya. Aku melihatnya!" 
Larry menggeleng, matanya masih terus menatap mata Jay. "Itu hal lain lagi," katanya pelan. "Paman Al dan aku pergi ke kantor dan memeriksa daftar peserta, Jay. Dan tidak ada peserta perkemahan tahun ini yang bernama Roger. Tidak ada yang bernama depan atau bernama tengah Roger. Tidak ada Roger. Sama sekali tidak ada Roger." 
  
  
  
  
  
   
13

MULUT Jay ternganga dan ia berteriak lirih.
Kami bertiga menatap Larry tidak percaya, kami harus mencernakan berita mengejutkan ini selama beberapa saat. 
"Ada orang yang melakukan kekeliruan," kata Jay akhirnya, suaranya bergetar karena emosi. "Kami mencari-cari dia ke seluruh ruang makan, Larry. Dan ia tidak ada. Roger tidak ada di sini." 
"Ia tidak pernah ada di sini," kata Larry tanpa emosi sama sekali. 
"Aku�aku tidak percaya!" teriak Jay.
"Bagaimana kalau kalian berenang?" tanya Larry sambil menunjuk air. 
"Yah, menurutmu bagaimana?" desakku pada Larry. Aku tidak percaya ia bisa setenang itu menghadapi masalah ini. "Menurutmu apa yang terjadi kemarin malam?" 
Larry mengangkat bahu. "Aku tidak tahu harus berpikir apa," jawabnya, matanya menatap sekelompok perenang yang paling jauh dari tepi sungai. "Mungkin kalian mencoba bercanda denganku." 
"Hah? Kau mengira begitu?" teriak Jay. "Bahwa ini cuma lelucon?" 
Larry mengangkat bahu lagi. "Waktunya berenang, anak-anak. Berolahragalah, oke?"
Jay mulai membantah, tapi Larry cepat-cepat berbalik, melangkah masuk ke air yang hijau. Ia berlari-lari sebentar di air sebelum menceburkan dirinya. Ia melaju cepat, ayunan tangannya panjang dan mantap. 
"Aku takkan berenang," kata Jay marah. "Aku akan kembali ke pondok." Wajahnya merah padam. Dagunya bergetar. Aku tahu sebentar lagi ia akan menangis. Jay berbalik dan berlari menerobos semak-semak sambil menyeret handuknya di tanah. 
"Hei, tunggu!" Colin berlari mengejarnya. 
Aku berdiri bingung, tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak mau mengikuti Jay ke pondok. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk membantunya. 
Mungkin setelah berenang di air dingin perasaanku akan terasa lebih enak, pikirku.
Mungkin tidak ada yang bisa membuatku merasa lebih enak, pikirku suram. 
Aku menatap anak-anak lain yang sedang berenang. Larry dan pengawas-pengawas lain sedang merencanakan perlombaan renang.
Aku bisa mendengar mereka mendiskusikan jenis gaya yang akan dipakai. 
Mereka semua tampaknya bersenang-senang, pikirku ketika mengamati mereka berbaris. 
Jadi mengapa aku tidak bersenang-senang juga? 
Mengapa aku begitu ketakutan dan tidak bahagia sejak kedatanganku di sini? 
Mengapa para peserta perkemahan lain tidak melihat betapa aneh dan menakutkannya tempat ini? 
Aku menggeleng, tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. 
Aku perlu berenang, pikirku. 
Aku berjalan selangkah mendekati air. 
Tapi seseorang mengulurkan tangan dari balik semak-semak dan menarikku dengan kasar dari belakang. 
Aku berteriak protes. 
Tapi penyerangku cepat-cepat menutup mulutku dengan tangannya. 
  
  
    
  
  
  
  
14    

AKU mencoba berontak, tapi tidak bisa. 
Ketika tangan itu menarikku, aku kehilangan keseimbangan dan tertarik masuk ke dalam semak-semak. 
Apakah ini lelucon? Apa yang terjadi? Aku bingung. 
Tiba-tiba, ketika aku berusaha membebaskan diri, tangan itu melepaskanku. 
Aku terjatuh menimpa sekumpulan daun-daun hijau segar. 
Lama baru aku bisa berdiri. Lalu aku berbalik untuk melihat penyerangku. 
"Dawn!" teriakku.
"Sssst!" Ia melompat ke depan dan menutup mulutku dengan tangannya lagi. "Merunduk," bisiknya. "Mereka bisa melihatmu nanti." 
Aku merunduk dengan patuh di balik semak-semak pendek. Ia melepaskan aku lagi dan melangkah mundur. Ia mengenakan pakaian renang warna biru. Pakaian renangnya basah. Rambut pirangnya juga basah, air menetes-netes di bahunya. 
"Dawn�apa yang kaulakukan di sini?" bisikku sambil berlutut. 
Sebelum Dawn menjawab, tampak sosok lain yang juga mengenakan pakaian renang bergerak cepat dari semak-semak sambil merunduk. 
Ternyata teman Dawn, Dori. 
"Kami berenang kemari. Tadi pagi-pagi sekali," bisik Dori sambil mendorong rambut merahnya yang keriting dengan gelisah. "Kami menunggu di sini. Di semak-semak." 
"Tapi ini tidak boleh," kataku, aku tidak bisa menutupi perasaan bingungku. "Kalau kalian tertangkap�" 
"Kami harus berbicara denganmu," potong Dawn; sambil mengangkat kepala untuk mengintip dari atas semak-semak lalu cepat-cepat merunduk lagi. 
"Kami memutuskan untuk menanggung risikonya," tambah Dori. 
"Ada�ada apa?" aku tergagap. Ada kumbang berwarna merah dan hitam merayap di bahuku. Kutepis kumbang itu. 
"Perkemahan anak perempuan. Seperti mimpi buruk saja," bisik Dori. 
"Semua orang menyebutnya Camp Nightmare, Perkemahan Mimpi Buruk, bukan Camp Nightmoon," tambah Dawn. "Banyak hal aneh terjadi." 
"Hah?" Aku ternganga menatapnya. Tidak jauh dari tempat kami, aku bisa mendengar teriakan dan suara ceburan air dari tempat perlombaan renang. "Hal-hal aneh seperti apa?" 
"Hal-hal yang menakutkan," jawab Dori, ekspresi wajahnya suram. 
"Banyak anak perempuan menghilang," kata Dawn. "Hilang begitu saja." 
"Dan tampaknya tidak ada yang peduli," tambah Dori dengan suara berbisik yang gemetar. 
"Aku tidak percaya!" seruku. "Di sini juga terjadi hal yang sama. Di perkemahan anak laki-laki." Aku menelan ludah. "Ingat Mike?" 
Kedua anak perempuan itu mengangguk.
"Mike menghilang," kataku. "Barang-barangnya disingkirkan dan ia menghilang begitu saja." 
"Sulit dipercaya," kata Dori. "Tiga anak perempuan menghilang dari perkemahan kami." 
"Menurut mereka yang satu diserang beruang," bisik Dawn. 
"Yang dua lagi bagaimana?" tanyaku. 
"Hilang begitu saja," jawab Dawn, ia tercekat.
Aku mendengar bunyi peluit. Perlombaan yang tadi sudah selesai. 
Perlombaan lain sedang diatur. 
Matahari menghilang lagi di balik awan-awan putih yang tinggi. 
Bayangan tampak memanjang dan semakin gelap. 
Aku cepat-cepat menceritakan pada mereka tentang Roger dan Jay  dan serangan di Pondok Terlarang. Mereka mendengarkan dengan mulut ternganga dan tidak bisa berkata-kata.
 "Seperti di perkemahan kami saja," kata Dawn. 
"Kita harus melakukan sesuatu," kata Dori sengit. 
"Kita harus bersatu. Anak laki-laki dan anak perempuan," bisik Dawn sambil mengintip dari atas semak-semak lagi. "Kita harus menyusun rencana." 
"Maksudmu rencana melarikan diri?" tanyaku, aku tidak mengerti. 
Kedua anak perempuan itu mengangguk. "Kita tidak bisa tinggal di sini," kata Dawn serius. "Setiap hari ada saja anak perempuan yang menghilang. Dan para pengawas bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa." 
"Kurasa mereka ingin kita terbunuh atau apalah," kata Dori penuh emosi. 
"Kalian sudah menulis surat pada orangtua kalian?" tanyaku. 
"Setiap hari kami menulis surat," jawab Dori.
"Tapi belum ada balasannya." 
Aku tiba-tiba sadar aku juga belum menerima balasan dari orangtuaku. Mereka berdua telah berjanji akan mengirim surat setiap hari. Sudah hampir seminggu aku berada di perkemahan, tapi belum satu surat pun kuterima. 
"Minggu depan adalah Minggu Kunjungan," kataku. "Orangtua kita akan datang. Kita bisa menceritakan segalanya." 
"Mungkin sudah terlambat," kata Dawn murung. "Semua orang begitu ketakutan!" kata Dori. "Sudah dua malam aku tidak bisa tidur. Setiap malam aku mendengar jeritan-jeritan yang mengerikan itu di luar."
Terdengar suara peluit lagi, lebih dekat ke tepi sungai. Aku bisa mendengar para perenang sedang kembali. Acara berenang pagi sudah berakhir. 
"Aku�aku tidak tahu harus bilang apa," kataku. "Kalian harus berhati-hati. Jangan sampai tertangkap." 
"Kami akan berenang ke perkemahan anak perempuan kalau sudah tidak ada orang," kata Dawn. "Tapi kita harus bertemu lagi, Billy. Kita harus menyatukan lebih banyak anak-anak. Kau tahu, kan. Mungkin kalau kita semua kompak..." Suaranya terhenti. 
"Sesuatu yang tidak beres sedang berlangsung di perkemahan ini," kata Dori sambil bergidik, menyipitkan matanya. "Ada sesuatu yang jahat." 
"Aku�aku tahu," kataku menyetujui. Aku mendengar suara anak-anak lain. Di dekatku. Tepat di balik semak-semak. "Aku harus pergi." 
"Kita usahakan lusa bertemu lagi di sini," bisik Dawn. "Hati-hati, Billy." 
"Kalian yang hati-hati," bisikku. "Jangan sampai kalian tertangkap." 
Mereka menyelinap pergi, masuk ke dalam semak-semak. 
Sambil merunduk, aku berjalan menjauhi tepi sungai. Ketika sudah melewati semak-semak, aku berdiri dan berlari. Aku tidak sabar ingin menceritakan pada Colin dan Jay tentang apa yang dikatakan anak-anak perempuan itu tadi.
Aku merasa ketakutan dan juga bersemangat. Kupikir mungkin Jay akan merasa lebih enak kalau mengetahui hal-hal mengerikan yang  sama juga terjadi di perkemahan anak-anak perempuan di seberang sungai. 
Di tengah-tengah perjalanan ke pondok, aku mendapat ide. Aku berhenti dan berbalik menuju aula. 
Aku tiba-tiba teringat pernah melihat telepon umum di dinding samping gedung itu. Ada yang pernah mengatakan padaku bahwa cuma telepon itulah yang bisa digunakan peserta perkemahan. 
Aku akan menelepon Mom dan Dad, pikirku. Mengapa tidak terpikirkan olehku sebelumnya? Aku sadar bahwa aku bisa menelepon orang tuaku dan menceritakan segalanya pada mereka. Dan aku bisa meminta mereka datang untuk menjemputku. Dan mereka juga bisa menjemput Jay, Colin, Dawn, dan Dori. 
Di belakangku, tampak sekelompok anak menuju lapangan scratchball, di bahu mereka tersampir handuk renang. Aku ingin tahu apakah ada yang memperhatikan bahwa aku tidak bersama mereka. 
Jay dan Colin juga tidak ada, kataku pada diri sendiri. Larry dan anak-anak lain mungkin mengira aku bersama mereka. 
Aku mengamati mereka berjalan melintasi rerumputan tinggi dalam barisan dua-dua dan tiga-tiga. Lalu aku berbalik dan berlari menaiki bukit menuju aula. 
Aku senang karena akan menelepon ke rumah. Aku ingin sekali mendengar suara orangtuaku, ingin sekali menceritakan pada mereka tentang hal-hal aneh yang terjadi di sini. 
Apakah mereka akan mempercayaiku? 
Tentu saja. Orangtuaku selalu percaya padaku.
Sambil berlari menaiki bukit, aku melihat telepon umum berwarna hitam di dinding gedung yang putih itu. Aku mulai berlari secepat-cepatnya. Aku ingin terbang ke telepon itu. 
Semoga Mom dan Dad ada di rumah, pikirku. Mereka harus berada di rumah. 
Aku terengah-engah ketika sampai di dinding tempat telepon umum itu. Aku membungkuk sebentar, menunggu napasku normal kembali.
Lalu kuangkat gagang teleponnya. 
Dan tersentak. 
Telepon umum itu cuma telepon plastik. Bukan telepon yang sebenarnya. 
Telepon palsu. 
Telepon itu terbuat dari lempeng plastik tipis yang dipakukan ke dinding, dibuat agar kelihatan persis seperti telepon yang sebenarnya. 
Tapi telepon itu bukan telepon betulan. Telepon itu palsu. 
Mereka tidak ingin kami menelepon ke luar, pikirku, tiba-tiba merinding. 
Jantungku berdebar-debar, kepalaku pusing karena merasa sangat kecewa, aku berbalik dari dinding�dan langsung menabrak Paman Al. 
  
  
  
  
  
   
15    

"BILLY�sedang apa kau di sini?" tanya Paman Al. Ia mengenakan celana pendek hijau longgar perkemahan dan kaus putih tanpa lengan yang menampakkan lengannya yang gemuk dan merah muda. Ia membawa papan jadwal yang penuh kertas. "Kau seharusnya berada di mana?" 
"Saya... uh... ingin menelepon," kataku tergagap sambil mundur selangkah. "Saya ingin menelepon orangtua saya." 
Ia menatapku curiga dan mengelus kumisnya yang berwarna kekuningan. "Betul?" 
"Ya. Cuma untuk memberi kabar," kataku. "Tapi teleponnya�" 
Paman Al mengikuti arah tatapanku ke telepon plastik. Ia tertawa terkekeh-kekeh. "Ada yang bercanda memasang telepon itu," katanya sambil tersenyum. "Apakah kau tadi tertipu?" 
"Yeah," kataku mengaku, wajahku terasa panas. Kutatap matanya. "Di mana telepon yang sebenarnya?" 
Senyumnya menghilang. Wajahnya berubah serius. "Tidak ada telepon," jawabnya ketus. "Peserta perkemahan tidak diizinkan menelepon ke luar. Itu peraturannya, Billy."
"Oh." Aku tidak tahu harus bicara apa. 
"Apakah kau benar-benar rindu pada orangtuamu?" tanya Paman Al pelan. 
Aku mengangguk. 
"Yah, tulis saja surat panjang-lebar pada orang-tuamu," katanya. "Pasti kau akan merasa jauh lebih baik." 
"Oke," kataku. Kurasa aku tidak akan merasa lebih baik. Tapi aku ingin pergi dari hadapan Paman Al. 
Ia mengangkat papan jadwal dan menatapnya. "Seharusnya sekarang kau berada di mana?" tanyanya. 
"Lapangan, saya rasa,'' jawabku. "Saya merasa kurang enak badan. Jadi saya�"
"Kapan perjalanan naik kanomu?" tanyanya, ia tidak mendengar perkataanku. Dibalik-baliknya lembaran kertas di papan jadwal, dilihatnya sekilas. 
"Perjalanan naik kano?" Aku belum mendengar akan ada perjalanan naik kano.
"Besok," katanya, menjawab pertanyaannya sendiri. "Giliran kelompokmu besok. Apa kau merasa senang?" Dipandangnya aku.
"Saya�saya tidak begitu tahu," kataku mengaku. 
"Sangat menyenangkan!" teriaknya bersemangat. 
"Dari sini sungainya tidak kelihatan terlalu bagus. Tapi beberapa kilometer di bawah, sungainya akan cukup mengasyikkan. Kau nanti akan merasakannya sendiri arusnya yang deras." 
Dipegangnya bahuku sebentar. "Kau akan menikmatinya," katanya sambil tersenyum. "Semua orang selalu menikmati perjalanan naik kano." 
"Bagus," kataku. Aku berusaha kedengaran agak bersemangat, tapi suaraku terdengar datar dan ragu-ragu. 
Paman Al melambaikan papan jadwalnya padaku dan berjalan menuju bagian depan aula, langkahnya panjang-panjang. Aku berdiri mengamatinya sampai ia berbelok di sudut. Lalu aku menuruni bukit menuju pondok. 
Aku melihat Jay dan Colin duduk di rumput di samping pondok. Colin membuka kausnya dan berbaring telentang, kepalanya berbantal  tangan. Jay duduk bersila di sebelahnya, dengan gelisah mencabuti rumput, lalu melemparkannya. 
"Ayo masuk," kataku sambil melirik sekelilingku untuk memastikan tidak ada orang lain yang bisa mendengar. 
Mereka mengikutiku masuk ke pondok. Kututup pintu. 
"Ada apa?" tanya Colin sambil menjatuhkan diri ke tempat tidur bawah. Ia mengambil bandana merahnya dan memutar-mutarnya.
Aku menceritakan pada mereka tentang Dawn dan Dori dan laporan mereka mengenai perkemahan anak perempuan. 
Colin dan Jay sama-sama terkejut. 
"Mereka benar-benar berenang kemari dan menunggumu?" tanya Jay. 
Aku mengangguk. "Menurut mereka kita harus berkumpul atau melarikan diri atau apalah," kataku. 
"Mereka bisa mendapat masalah besar kalau sampai tertangkap," kata Jay serius. 
''Kita semua sedang menghadapi masalah besar," kataku. "Kita harus keluar!" 
"Minggu depan ada Hari Kunjungan," gumam Colin. 
"Aku akan menulis surat pada orangtuaku sekarang juga," kataku sambil menarik kotak tempat aku menyimpan kertas dan pena dari kolong tempat tidur. "Aku akan mengatakan pada mereka aku harus pulang pada Hari Kunjungan." 
"Kurasa aku juga akan menulis surat," kata Jay sambil dengan gelisah mengetuk-ngetuk kerangka tempat tidur. 
"Aku juga," kata Colin setuju. "Di sini rasanya terlalu... aneh!" 
Aku mengeluarkan dua lembar kertas dan duduk di tempat tidur untuk menulis surat. "Dawn dan Dori sangat ketakutan," kataku.
"Aku juga," kata Jay mengaku. 
Aku mulai menulis surat. Kutulis Dad dan Mom, TOLONG!, lalu aku berhenti menulis. Kupandang Jay dan Colin seberang kamar. "Kalian tahu besok ada perjalanan naik kano?" tanyaku. 
Mereka menatapku, wajah mereka terkejut.
"Wo!" teriak Colin. "Siang ini berjalan kaki hampir lima kilometer dan besok naik kano?"
Giliran aku yang terkejut. "Jalan kaki? Jalan kaki apa?" 
"Tidakkah kau ikut?" tanya Jay. 
"Kau tahu pengawas yang tinggi sekali itu? Frank? Yang mengenakan topi kuning?" tanya Colin. "Ia memberitahu Jay dan aku bahwa setelah makan siang kami akan berjalan kaki sejauh hampir lima kilometer." 
"Tidak ada yang memberitahu aku," jawabku sambil menggigit-gigit ujung pena. 
"Mungkin kau tidak termasuk kelompok yang berjalan kaki," kata Jay. 
"Sebaiknya kau tanyakan pada Frank saat makan siang nanti," kata Colin mengusulkan. "Mungkin tadi ia tidak bisa menemukanmu. Mungkin seharusnya kau ikut juga." 
Aku mendesah. "Siapa yang mau ikut berjalan kaki sejauh hampir lima kilometer dalam udara sepanas ini?"' 
Colin dan Jay mengangkat bahu. 
"Kata Frank kami akan sangat menyukainya," kata Colin sambil mengikat dan membuka bandana merahnya. 
"Aku cuma mau keluar dari sini," kataku, kembali menulis surat. 
Aku menulis suratku cepat-cepat dengan tegang. Aku ingin menceritakan pada orang tuaku tentang hal-hal aneh dan mengerikan  yang telah terjadi. Aku ingin membuat mereka mengerti mengapa aku tidak mau tinggal di Camp Nightmoon. 
Aku sudah menulis hampir satu setengah halaman, sedang menceritakan ketika Jay dan Roger pergi menyelidiki Pondok Terlarang, ketika Larry bergegas masuk. "Kalian berdua sedang cuti?" tanyanya sambil menatap kami satu per satu. "Kalian sedang berlibur ya?"
"Cuma bersantai-santai," jawab Jay. 
Kulipat suratku dan kuselipkan di bawah bantal. Aku tidak mau Larry melihatnya. Aku tahu aku sama sekali tidak mempercayai Larry. Buat apa mempercayai dia? 
"Apa yang kau kerjakan, Billy?" tanyanya curiga, matanya menatap surat yang sedang kuselipkan di bawah bantal. 
"Cuma menulis surat ke rumah," jawabku pelan. 
"Kau sedang rindu pada orangtuamu, ya?" tanyanya sambil tersenyum lebar. 
"Mungkin," gumamku. 
"Yah, sekarang saat makan siang, anak-anak," katanya. "Bergegaslah, oke?" 
Kami semua bangun dari tempat tidur.
"Kudengar siang ini Jay dan Colin akan berjalan kaki dengan Frank," kata Larry. "Kalian beruntung." Ia berbalik, ke luar.
"Larry!" panggilku. "Hei, Larry�aku bagaimana? Apakah aku seharusnya ikut berjalan kaki juga?" 
"Hari ini tidak," teriaknya. 
"Kenapa tidak?" tanyaku. 
Tapi Larry sudah menghilang di balik pintu. Aku kembali menatap kedua teman sepondokku. 
"Kalian beruntung!" godaku.
Mereka berdua menggeram padaku. Lalu kami naik ke bukit untuk makan siang. 
Makan siangnya pizza, yang biasanya adalah makanan kesukaanku. 
Tapi hari ini, pizza-nya dingin dan rasanya seperti karton, kejunya menempel di langit-langit mulutku. 
Aku tidak terlalu lapar. 
Aku teringat terus pada Dawn dan Dori, betapa ketakutannya mereka, betapa putus asanya. Aku ingin tahu kapan aku bisa bertemu mereka lagi. Aku ingin tahu apakah mereka akan berenang ke seberang dan bersembunyi di perkemahan anak laki-laki sebelum Hari Berkunjung. 
Setelah makan siang Frank datang ke meja kami untuk menjemput Jay dan Colin. Aku tanyakan padanya apakah aku seharusnya ikut juga. 
"Kau tidak termasuk dalam daftar, Billy," katanya sambil menggaruk bekas gigitan nyamuk di lehernya. "Aku cuma bisa membawa dua orang sekali jalan. Rutenya agak berbahaya." 
"Berbahaya?" tanya Jay sambil berdiri. 
Frank tersenyum padanya. "Kau besar dan kuat," katanya pada Jay. "Kau tidak akan apa-apa." 
Aku mengamati Frank membawa Colin dan Jay ke luar ruang makan. 
Meja kami sekarang kosong, tinggal dua anak berambut pirang yang tidak kukenal, yang sedang bermain panco di ujung meja.
Kudorong baki makananku dan berdiri. Aku ingin kembali ke pondok dan menyelesaikan surat untuk orang tuaku. Tapi ketika berjalan ke pintu kurasakan bahuku dipegang orang.
Aku berbalik dan melihat Larry tersenyum padaku. "Pertandingan tenis," katanya. 
"Hah?" Aku terkejut. 
"Billy, kau yang mewakili Pondok 4 untuk pertandingan tenis," kata Larry. "Kau tidak melihat pengumumannya? Ada ditempel di papan pengumuman." 
"Tapi aku tidak pandai bermain tenis," protesku. 
"Kami mengandalkanmu," jawab Larry. "Ambillah raket dan segera ke lapangan tenis!" 
Sepanjang siang itu aku bermain tenis. Aku mengalahkan seorang anak kecil dua set langsung. Aku merasa ia belum pernah memegang raket. Lalu aku kalah dalam pertandingan yang lama dan alot melawan salah satu anak berambut pirang yang tadi bermain panco saat makan siang.
Ketika pertandingan itu selesai, keringatku bercucuran dan semua ototku terasa sakit. Aku pergi ke sungai untuk berenang dan menyegarkan diri. 
Setelah itu aku kembali ke pondok, berganti pakaian dengan jeans dan kaus Camp Nightmoon berwarna hijau dan putih, lalu menyelesaikan surat untuk orangtuaku.
Sebentar lagi makan malam. Jay dan Colin belum pulang dari acara jalan kaki mereka. Aku memutuskan naik ke tempat makan dan mengeposkan suratku. Ketika sedang menaiki bukit, aku melihat serombongan anak-anak bergegas kembali ke pondok untuk berganti  pakaian sebelum makan malam. Tapi kedua teman sepondokku tidak kelihatan. 
Sambil memegang suratku erat-erat, aku memutar ke bagian belakang aula tempat lokasi kantor perkemahan. Pintunya terbuka lebar, jadi aku langsung masuk. Biasanya ada wanita muda duduk di belakang meja untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kami dan mengambil surat-surat yang akan diposkan.
"Permisi!" teriakku sambil bersandar ke meja resepsionis dan mengintip ke ruang kecil di belakang yang kelihatan gelap. 
Tidak ada jawaban. 
"Halo. Permisi?" ulangku sambil memegang amplop erat-erat. 
Tidak ada orang. Kantor itu kosong. 
Dengan perasaan kecewa aku melangkah pergi. Lalu kulihat tas kulit besar tergeletak di lantai, di dalam ruang kecil di belakang. 
Tas surat! 
Kuputuskan untuk memasukkan suratku ke dalam tas surat itu bersama surat-surat lainnya. Aku menyelinap masuk ke ruangan kecil itu, berlutut untuk memasukkan surat ke dalam tas. 
Aku terkejut ketika melihat tas itu penuh sesak dengan surat. Ketika kubuka tas itu dan kumasukkan suratku, setumpuk surat jatuh ke lantai. 
Aku mulai memasukkannya lagi ketika mataku melihat satu surat. 
Salah satu suratku. Dialamatkan kepada orang tuaku. 
Yang kutulis kemarin. 
"Aneh," gumamku kuat-kuat. 
Sambil membungkuk, aku merogoh isi tas itu dan menarik setumpuk surat. Cepat-cepat kuperiksa. Aku menemukan surat yang ditulis Colin. 
Kutarik setumpuk lagi. 
Dan aku melihat dua pucuk surat yang kutulis hampir seminggu yang lalu ketika aku baru sampai di perkemahan ini.
Kupandangi surat-surat itu, punggungku terasa dingin. 
Semua surat-surat kami, semua surat-surat yang telah kami tulis sejak hari pertama berkemah, ada di sini. Di dalam tas surat ini.
Tak satu pun yang diposkan. 
Kami tidak bisa menelepon ke rumah. 
Dan kami tidak bisa mengirim surat ke rumah. Dengan tangan bergetar hebat, kumasukkan lagi surat-surat itu ke dalam tas.
Apa yang sedang terjadi di sini? Aku ingin tahu. Apa yang sedang terjadi? 
  
  
  
  
  
  
16   

KETIKA aku sampai di ruang makan, Paman Al baru saja selesai mengumumkan sesuatu untuk malam ini. Aku menyelinap ke tempat  dudukku sambil berharap semoga aku tidak ketinggalan berita penting. 
Aku berharap akan melihat Jay dan Colin di seberang meja. Tapi kursi mereka kosong. 
Aneh, pikirku, masih terguncang karena mengetahui soal tas surat tadi. Mestinya sekarang mereka sudah kembali. 
Aku ingin menceritakan pada mereka tentang surat-surat kami. Aku ingin bercerita bahwa orang tua kami tidak menerima satu pun surat yang kami tulis. 
Dan kami tidak akan memperoleh surat dari mereka. 
Aku tiba-tiba tersadar, perkemahan ini pasti menahan surat-surat kami. 
Colin dan Jay�di mana kalian? 
Ayam gorengnya lengket, kentangnya lembek dan rasanya seperti pasta. Sambil memaksa diriku memakannya, sebentar-sebentar aku  melirik ke pintu ruang makan, mengharap kedua teman sepondokku muncul. 
Tapi mereka tidak datang-datang. 
Perutku terasa tidak enak karena ketakutan. Dari jendela ruang makan aku bisa melihat di luar sudah gelap. 
Di mana mereka? 
Berjalan kaki sejauh hampir lima kilometer dan kembali ke perkemahan tidak akan memakan waktu selama ini. 
Aku berdiri dan berjalan ke meja para pengawas di sudut. Larry sedang berdebat seru tentang olah raga dengan dua pengawas lain. 
Mereka berteriak dan menggerak-gerakkan tangan. 
Kursi Frank kosong. 
"Larry, Frank sudah pulang?" aku memotong perdebatan mereka. 
Larry berbalik, wajahnya tampak terkejut. "Frank?" Ia menunjuk kursi kosong itu. "Kurasa belum." 
"Ia membawa Jay dan Colin berjalan kaki," kataku. "Bukankah mestinya sekarang mereka sudah kembali?" 
Larry mengangkat bahu. "Kalahkan aku," ia kembali berdebat, dibiarkannya saja aku berdiri menatap kursi Frank yang kosong.
Setelah baki-baki makanan diangkat, kami mendorong meja dan kursi ke dinding dan mengadakan lomba lari beranting di dalam ruangan. 
Semua orang tampaknya bergembira. Suara teriakan dan sorak-sorai bergema di langit-langit yang tinggi. 
Aku sedang cemas memikirkan Jay dan Colin sehingga tidak bisa ikut bergembira. 
Mungkin mereka memutuskan berkemah di luar, kataku sendiri. 
Tapi aku tadi melihat mereka berangkat dan aku tahu mereka tidak membawa tenda atau kantong tidur atau perlengkapan berkemah lainnya. 
Jadi di mana mereka? 
Pertandingan berakhir tak lama sebelum lampu dipadamkan. Ketika aku berjalan ke luar bersama anak-anak lain, Larry muncul di sebelahku. "Besok kita berangkat pagi-pagi," katanya. "Pagi sekali." 
"Hah?" Aku tidak mengerti apa maksudnya.
"Perjalanan naik kano. Aku pengawas kanonya. Aku yang akan membawa." katanya menjelaskan karena dilihatnya aku kebingungan. 
"Oh. Oke," jawabku tak bersemangat. Aku sangat mencemaskan Jay dan Colin sehingga hampir lupa pada perjalanan naik kano. 
"Langsung setelah sarapan," kata Larry. "Kenakan pakaian renang. Bawa pakaian ganti. Temui aku di tepi sungai." Ia bergegas pergi untuk membantu pengawas-pengawas lain mengembalikan meja ke tempat semula.
"Setelah sarapan," gumamku. Aku ingin tahu apakah Jay dan Colin akan ikut perjalanan naik kano juga. Aku tadi lupa menanyakannya pada Larry. 
Aku cepat-cepat berjalan menuruni bukit yang gelap. Embun sudah jatuh, rumput terasa licin dan basah. Di tengah jalan, aku bisa melihat bayangan Pondok Terlarang, condong ke depan seolah-olah siap menyerang. 
Kupaksa diriku mengalihkan pandangan dan berlari ke Pondok 4. 
Aku terkejut ketika melihat dari jendela ada gerakan orang di dalam. 
Colin dan Jay sudah kembali! pikirku. 
Cepat-cepat kudorong pintu dan segera masuk. "Hei�dari mana saja kalian?" teriakku. 
Aku langsung berhenti. Dan tersentak. 
Dua anak yang tidak kukenal menatapku. 
Yang seorang duduk di pinggir tempat tidur Colin di atas, sedang membuka sepatunya.
Yang seorang lagi sedang membuka laci dan mengeluarkan kaus. 
"Hai. Tempatmu di sini?" Anak yang sedang membuka laci berdiri tegak, matanya menatapku cermat. Rambutnya hitam dan sangat pendek, ia mengenakan satu anting-anting. 
Aku susah payah menelan ludah. "Aku ada di pondok yang salah, ya? Ini Pondok 4, kan?"
Mereka berdua menatapku, bingung. 
Kulihat anak yang satu lagi, yang duduk di tempat tidur Colin, rambutnya juga hitam, tapi rambutnya panjang dan jarang, tergerai di keningnya. "Yeah. Ini Pondok 4," katanya.
"Kami orang baru," kata anak yang berambut pendek. "Aku Tommy dan dia Chris. Kami baru datang hari ini." 
"Hai," kataku ragu. "Namaku Billy." Jantungku berdebar-debar kencang. "Mana Colin dan Jay?" 
"Siapa?" tanya Chris. "Kata mereka pondok ini hampir kosong." 
"Yah, Colin dan Jay�" kataku. 
"Kami baru saja datang. Kami tidak kenal siapa-siapa," potong Tommy. Ditutupnya laci.
"Tapi itu laci Jay," kataku bingung sambil menunjuk. "Kau apakan barang-barang Jay?"
Tommy menatapku terkejut. "Lacinya kosong," jawabnya. 
"Hampir semua laci kosong," kata Chris menambahkan sambil melempar sepatunya ke lantai. "Kecuali dua laci yang paling bawah." 
"Itu punyaku," kataku, kepalaku terasa berputar-putar. "Tapi Colin dan Jay�barang-barang mereka tadi ada di sini," kataku berkeras. 
"Pondok ini kosong," kata Tommy. "Mungkin teman-temanmu dipindahkan." 
"Mungkin," kataku lemah. Aku duduk di tempat tidur di bawah tempat tidurku. Kakiku terasa gemetar. Beribu-ribu pikiran berputar di kepalaku, semuanya menakutkan. 
"Aneh," kataku keras-keras. 
"Pondok ini tidak jelek," kata Chris sambil menyelinap masuk ke balik selimutnya. "Nyaman juga." 
"Sudah berapa lama kau berkemah?" tanya Tommy sambil mengenakan kaus putih yang terlalu besar. "Sepanjang musim panas?"
"Tidak!" aku berteriak gemetar. "Aku tidak akan tinggal di sini!" teriakku. "Maksudku�maksudku... aku akan pergi. Pada... uh... aku akan pergi pada Hari Kunjungan minggu depan." 
Chris melirik Tommy. "Hah? Kapan kau pergi?" tanyanya lagi. 
"Pada Hari Kunjungan," kataku mengulangi. "Ketika orangtuaku datang pada Hari Kunjungan." 
"Kau tidak mendengar pengumuman Paman Al sebelum makan malam tadi?" tanya Tommy sambil menatapku tajam. "Hari Kunjungan sudah dibatalkan!" 
  
   
  
  
  
17  

MALAM itu tidurku tidak tenang. Meskipun sudah kutarik selimut sampai dagu, aku tetap merasa kedinginan dan ketakutan. 
Aneh sekali rasanya ada dua orang yang tidak kukenal berada di dalam pondok bersamaku, tidur di tempat Jay dan Colin. Aku cemas memikirkan teman-temanku yang hilang. 
Apa yang telah terjadi pada mereka? Mengapa mereka belum pulang? 
Ketika aku berbaring gelisah di tempat tidurku, kudengar lolongan di kejauhan. Raungan binatang, mungkin berasal dari Pondok Terlarang. 
Lolongan-lolongan yang panjang dan mengerikan, yang dibawa angin memasuki jendela pondok kami yang terbuka. 
Kadang-kadang, kurasa aku mendengar jeritan anak-anak. Aku terduduk tegak, waspada seketika, dan mendengarkan.
Apakah aku cuma bermimpi mendengar jeritan-jeritan itu? Aku begitu takut dan bingung, sulit rasanya membedakan antara kenyataan dan mimpi buruk. 
Berjam-jam kemudian aku baru bisa tertidur.
Aku terbangun ketika pagi masih tampak kelabu, udara terasa pengap dan dingin. Kukenakan celana renang dan kaus, lalu berlari ke aula untuk mencari Larry. Aku harus mencari tahu apa yang telah terjadi pada Jay dan Colin. 
Aku mencarinya ke mana-mana, tapi tidak berhasil. Larry tidak ikut sarapan. Para pengawas mengaku tidak tahu apa-apa. Frank, pengawas yang membawa teman-temanku berjalan kaki, juga tidak ada.
Akhirnya aku menemukan Larry di pinggir sungai, sedang menyiapkan kano metal panjang untuk perjalanan sungai kami.
"Larry�mana mereka?" teriakku terengah-engah. 
Ia menatapku sambil mengangkat setumpuk dayung. Ekspresi wajahnya berubah bingung. "Hah? Chris dan Tommy? Mereka akan segera sampai di sini." 
"Bukan!" teriakku sambil mencengkeram lengannya. "Jay dan Colin! Di mana mereka? Apa yang telah terjadi pada mereka, Larry? Kau harus memberitahu aku!" 
Kucengkeram lengannya kuat-kuat. Aku terengah-engah. Aku bisa merasakan darah berdenyut-denyut di keningku. "Kau harus  memberitahu aku!" teriakku melengking. 
Ia menjauh dariku dan dijatuhkannya dayung-dayung itu di samping perahu. "Aku tidak tahu apa-apa mengenai mereka," jawabnya tenang.
"Tapi, Larry�!" 
"Betul, aku tidak tahu," katanya dengan suara tetap tenang. Ekspresi wajahnya melembut. Dipegangnya bahuku yang bergetar. "Dengar, ya, Billy," katanya sambil menatapku tajam. "Aku akan menanyakannya pada Paman Al setelah pelayaran ini, oke? Aku akan mencari kabar untukmu. Setelah kita pulang nanti."
Aku membalas tatapannya, bingung untuk memutuskan ia jujur atau tidak.
Aku tidak bisa memutuskan. Matanya tenang dan dingin seperti marmer. 
Ia membungkuk dan mendorong kano ke air sungai yang dangkal. 
"Ini. Ambil salah satu pelampungnya," katanya sambil menuding setumpuk rompi karet biru di belakangku. "Kenakan. Lalu naik ke kano."
Aku melakukan apa yang diperintahkannya. Aku tahu aku tidak punya pilihan lain.
Beberapa saat kemudian Chris dan Tommy berlari-lari datang. Mereka mematuhi perintah Larry dan mengenakan pelampung ke tubuh mereka. 
Beberapa menit kemudian kami berempat sudah duduk bersila di kano yang panjang dan ramping itu, pelan-pelan menjauh dari tepi sungai. 
Langit masih kelabu, matahari bersembunyi di balik awan gelap yang berarak-arak. Kano itu terbanting kena arus sungai yang berombak.
Ternyata arusnya lebih kuat dari yang kukira. Kami mulai cepat melaju. Pepohonan dan semak-semak pendek di sepanjang sungai berlalu dengan cepat. 
Larry duduk menghadap kami di bagian depan kano. Ia menunjukkan bagaimana cara mendayung sementara arus sungai membawa kami. 
Diamatinya kami dengan cermat, wajahnya berkerut, sementara kami bertiga berusaha keras mengikuti irama mendayung yang ditunjukkannya. Larry tersenyum ketika kami akhirnya kelihatan bisa mengikuti, ia lalu berbalik sambil mencengkeram tepi kano ketika mengubah posisinya. 
"Matahari berusaha terbit," katanya, suaranya teredam desiran angin yang kuat di atas sungai yang deras. 
Aku mengangkat kepala. Langit kelihatan lebih gelap dibandingkan tadi. 
Ia tetap memunggungi kami, menghadap ke depan, membiarkan kami bertiga mendayung. Aku belum pernah mendayung kano. Ternyata lebih sulit dari yang kubayangkan. Tapi ketika aku mengikuti iramanya bersama Tommy dan Chris, aku mulai menikmatinya. 
Air yang berwarna gelap memukul dinding kano, memercikkan air yang berbuih putih. Arusnya makin deras dan kami meningkatkan kecepatan. Air masih terasa dingin, tapi aku merasa hangat karena terus-menerus mendayung. Beberapa saat kemudian aku malah berkeringat. 
Kami mendayung melewati pohon-pohon berwarna kuning kelabu yang saling membelit. Tiba-tiba sungai terbagi dua dan kami mendayung ke cabang yang kiri. Larry mulai mendayung lagi, berusaha menjauhkan kami dari batu-batu menjulang yang muncul dari sela-sela kedua anak sungai. 
Kano itu bergerak naik-turun. Naik-turun. Air dingin masuk dari samping. 
Langit makin gelap saja. Kurasa sebentar lagi pasti akan ada badai. 
Ketika sungai melebar, arusnya menjadi semakin deras dan kuat. Aku sadar kami tidak perlu lagi mendayung. Arus sungailah yang mendorong kami. 
Sungai itu menurun. Pusaran buih putihnya yang lebar membuat kano bergerak naik-turun. 
"Ini dia arus derasnya!" teriak Larry, dibuatnya tangannya seperti terompet di depan mulutnya supaya kami bisa mendengar ucapannya. 
"Pegang erat-erat! Arusnya akan deras sekali!" 
Aku merasa takut ketika gelombang air sedingin es menerpaku. Kano itu terangkat gelombang air yang putih, lalu terbanting keras ketika mendarat. 
Aku bisa mendengar Tommy dan Chris tertawa senang di belakangku. 
Kano itu diterpa arus air dingin lagi, membuatku terkejut. Aku berteriak dan nyaris melepaskan dayungku. 
Tommy dan Chris tertawa lagi. 
Aku menarik napas dalam-dalam dan memegang dayung erat-erat, berusaha keras mengikuti irama. 
"Hei, lihat!" teriak Larry tiba-tiba. 
Aku terkejut ketika ia berdiri. Ia membungkuk dan menunjuk ke dalam air putih yang berputar-putar. 
"Lihat ikan-ikan itu!" teriaknya. 
Ketika ia membungkuk, kano bergetar terkena arus deras. Kano itu terputar ke kanan. 
Aku melihat wajah Larry yang terkejut ketika ia kehilangan keseimbangannya. Tangannya terulur dan ia jatuh ke dalam air yang bergolak dengan kepala terlebih dulu.
"Larry!" teriakku. 
Aku menoleh pada Tommy dan Chris, yang sudah berhenti mendayung dan menatap air berwarna gelap yang berputar-putar. 
Ekspresi wajah mereka membeku ketakutan dengan mulut ternganga. 
"Larry! Larry!" Tidak sadar aku terus meneriakkan namanya. 
Kano itu terus melaju cepat. 
Larry tidak muncul-muncul. 
"Larry!" 
Di belakangku, Tommy dan Chris juga memanggil-manggil namanya, suara mereka melengking dan ketakutan. 
Di mana Larry? Mengapa ia tidak berenang ke permukaan? 
Kano itu melaju makin jauh. 
"Larrrry!" 
"Kita harus berhenti!" jeritku. "Kita harus mengurangi kecepatan!" 
"Tidak bisa!" teriak Chris. "Kita tidak tahu caranya!" 
Larry masih belum kelihatan. Aku tahu ia pasti berada dalam bahaya. 
Tanpa berpikir lagi, kulemparkan dayungku ke sungai, berdiri, dan terjun ke dalam air yang gelap dan berputar-putar untuk  menyelamatkannya. 
  
  
  
  
  
  
  
18  

AKU melompat tanpa berpikir lagi dan air sungai yang cokelat tertelan olehku ketika menyelam. 
Jantungku berdebar-debar ketika berusaha naik ke permukaan air sambil terbatuk-batuk dan tercekik. 
Kutarik napas dalam-dalam, kutundukkan kepalaku dan berusaha berenang melawan arus. Sepatuku rasanya berpuluh-puluh kilo beratnya. 
Aku sadar mestinya kubuka dulu sepatuku sebelum melompat tadi. 
Air bergejolak hebat. Aku berenang sekuat tenaga dengan ayunan tangan panjang-panjang, berusaha mendekati tempat Larry tadi terjatuh. Ketika menoleh ke belakang, kulihat kanonya semakin menjauh dan kelihatan mengecil. 
"Tunggu!" Aku ingin berteriak pada Tommy dan Chris. "Tunggu, aku menolong Larry dulu!"
Tapi aku tahu mereka tidak tahu cara mengurangi kecepatan kano. 
Mereka tidak berdaya ketika arus membawa mereka menjauh. 
Di mana Larry? 
Aku menelan air lagi�dan ketakutan ketika merasa kaki kananku kram. 
Rasa sakitnya menusuk seluruh bagian kanan tubuhku. 
Aku menyelam dan menunggu rasa sakit itu berkurang. 
Kramnya makin parah sampai aku cuma bisa menggerakkan kakiku saja. Air membenamkan aku. Aku berusaha naik ke permukaan. 
Lebih banyak lagi air yang tertelan olehku. Sekuat tenaga, aku berenang cepat-cepat dan menarik diriku ke atas, tidak kupedulikan rasa sakit di kaki. 
Hei! 
Benda apa yang terapung tepat di depanku itu? Pohon hanyut yang terbawa arus? 
Air cokelat menerpaku, membuatku tidak bisa melihat, mendorongku ke belakang. Sambil terbatuk-batuk, kutarik diriku ke atas lagi. 
Air melaju di wajahku. Aku berusaha melihat. Larry! 
Ia terapung tepat ke arahku. 
"Larry! Larry!" akhirnya aku bisa berteriak. 
Tapi ia tidak menjawab. Aku sekarang bisa melihat ia terapung dengan posisi tertelungkup. 
Kram di kakiku tiba-tiba tidak terasa ketika aku mengulurkan tangan dan mencengkeram bahu Larry. Kutinggikan kepalanya dari air, kubalikkan badannya, dan kulingkarkan satu tanganku di lehernya. 
Itulah cara penyelamatan yang diajarkan orang tuaku. 
Sambil berbalik, aku mencari-cari kano. Tapi arus telah membawanya entah ke mana, sudah tidak kelihatan. 
Aku menelan air dingin lagi. Sambil terbatuk-batuk, kupegang Larry. 
Aku menendang kuat-kuat. Kaki kananku masih terasa kaku dan lemah, tapi paling tidak sudah tidak terasa sakit lagi. Sambil menendang-nendang dan mengayuh dengan tanganku yang tidak memeluknya, kuseret Larry ke tepi sungai. 
Untunglah arus sungai membantu. Rasanya arah arusnya ke tepi sungai juga. 
Beberapa saat kemudian, aku sudah cukup dekat ke tepi sungai sehingga bisa berdiri. Dengan perasaan lelah, terengah-engah seperti binatang liar, aku berdiri dan menyeret Larry ke lumpur di tepi sungai.
Apakah ia sudah meninggal? Apakah ia sempat tenggelam sebelum aku mencapainya? 
Terengah-engah aku membaringkannya telentang. Sambil berusaha bernapas dan berusaha supaya badanku tidak gemetar lagi, aku membungkuk di atas Larry. 
Dan ia membuka matanya. 
Ia menatapku kosong, seakan-akan tidak mengenaliku. 
Akhirnya ia membisikkan namaku. "Billy," katanya pelan, "kita selamat ya?" 
Larry dan aku beristirahat sebentar. Lalu kami berjalan mengikuti sungai kembali ke perkemahan. 
Tubuh kami basah kuyup dan kotor terkena lumpur, tapi aku tidak peduli. Kami masih hidup. Kami selamat. Aku telah menyelamatkan hidup Larry. 
Kami tidak banyak bicara dalam perjalanan pulang. Untuk berjalan saja rasanya sudah setengah mati. 
Aku bertanya pada Larry apakah menurutnya Tom dan Chris akan baik-baik saja. 
"Semoga," gumamnya sambil terengah-engah. "Mereka mungkin menepi dan berjalan pulang seperti kita." 
Aku juga bertanya padanya lagi tentang Jay dan Colin. Kurasa Larry mungkin akan menceritakan yang sebenarnya karena kami sendirian dan karena aku telah menyelamatkan hidupnya. 
Tapi ia tetap mengatakan tidak tahu apa-apa tentang kedua teman sepondokku. Sambil berjalan ia mengangkat satu tangan dan  bersumpah sama sekali tidak tahu apa-apa. 
''Begitu banyak hal mengerikan telah terjadi," gumamku. 
Ia mengangguk, matanya tetap menatap lurus ke depan. "Memang aneh," katanya menyetujui. 
Aku menunggu ia bicara lagi. Tapi ia terus melangkah sambil berdiam diri. 
Butuh waktu tiga jam untuk kembali. Sebenarnya kami tadi belum terlalu jauh menyusuri sungai, tapi lumpur di sepanjang tepi sungai yang berkelok-kelok, membuat perjalanan pulang kami semakin lama. 
Ketika perkemahan sudah kelihatan, lututku melemah dan rasanya kakiku nyaris putus. 
Dengan napas terengah-engah, basah kuyup karena keringat, pakaian masih basah dan tertutup lumpur, kami melangkah terseok-seok ke tepi sungai. 
"Hei�!" terdengar panggilan dari tempat berenang. Paman Al mengenakan pakaian hijau longgar, bergegas menyeberangi lumpur mendatangi kami. "Apa yang terjadi?" tanyanya pada Larry. 
"Kami kecelakaan!" teriakku sebelum Larry sempat bicara. 
"Saya terjatuh," kata Larry mengakui, wajahnya yang berlepotan lumpur menjadi merah padam. "Billy melompat dan menyelamatkan saya. Kami pulang berjalan kaki." 
"Tapi Tommy dan Chris tidak bisa menghentikan kano. Mereka hanyut!" teriakku. 
"Kami berdua nyaris tenggelam," kata Larry pada kepala perkemahan yang mengerutkan dahi itu. "Tapi, Billy�ia menyelamatkan hidup saya." 
"Bisakah Anda mengirim orang untuk mencari Tommy dan Chris?" tanyaku. Sekujur tubuhku tiba-tiba gemetar, mungkin karena terlalu capek. 
"Kedua anak itu hanyut?" tanya Paman Al sambil menatap Larry tajam. Ia menggaruk-garuk kepalanya. 
Larry mengangguk. 
"Kita harus menemukan mereka!" teriakku, makin gemetar. 
Paman Al terus menatap Larry. "Kanoku bagaimana?" tanyanya marah. "Itu kano terbaik kita! Bagaimana aku bisa menggantinya?" 
Larry mengangkat bahu. 
"Besok kita akan pergi mencari kano itu," bentak Paman Al. 
Ia tidak memedulikan kedua anak itu, pikirku. Ia sama sekali tidak peduli. 
"Lekas ganti pakaian!" perintah Paman Al padaku dan Larry. Ia bergegas ke aula sambil menggeleng-geleng. 
Aku berbalik dan berjalan ke pondok. Sekujur tubuhku masih gemetaran, rasanya dingin sekali. Aku merasa sangat marah. 
Aku baru saja menyelamatkan hidup Larry, tapi Paman Al tidak peduli. 
Dan ia tidak peduli dua peserta perkemahan telah hilang di sungai. 
Ia tidak peduli dua peserta perkemahan dan seorang pengawas tidak kembali dari berjalan kaki. 
Ia tidak peduli anak-anak diserang suatu makhluk! 
Ia tidak peduli anak-anak menghilang dan tidak pernah disebut-sebut lagi. 
Ia tidak peduli pada kami. 
Ia cuma peduli pada kanonya. 
Kemarahanku segera berubah menjadi ketakutan. 
Tentu saja, aku sama sekali tidak tahu masih akan ada bagian musim panasku yang paling mengerikan. 
  
  
  




19  

MALAM itu aku sendirian di pondok. 
Kupasang satu selimut lagi di tempat tidurku dan tidur meringkuk. 
Aku ingin tahu apakah malam ini bisa tidur. Ataukah pikiran-pikiranku yang ketakutan dan marah akan membuatku terjaga terus. 
Tapi aku begitu lelah dan letih, sehingga lolongan yang mengerikan dari Pondok Terlarang pun tidak bisa membuatku terbangun. 
Aku tertidur dan tidak bangun-bangun lagi sampai kurasa bahuku digoyang orang. 
Aku langsung waspada dan duduk tegak. "Larry!" seruku, suaraku masih parau karena baru bangun tidur. "Ada apa?" 
Aku menyipitkan mata memandang ke seberang ruangan. Tempat tidur Larry tampak kusut, selimutnya tergulung di ujung tempat tidur. 
Pasti hari sudah sangat larut ketika ia datang tadi malam, dan langsung tidur. 
Tapi tempat tidur Tommy dan Chris tetap saja rapi seperti kemarin. 
"Jalan kaki istimewa," kata Larry sambil berjalan ke tempat tidurnya. 
"Cepat. Ganti pakaian." 
"Hah?" Aku menggeliat dan menguap. Di luar jendela, langit masih kelabu. Matahari belum terbit. "Jalan kaki seperti apa?" 
"Paman Al menyebutnya jalan kaki istimewa," jawab Larry, ia memunggungi aku. Diangkatnya seprai dan dirapikannya tempat tidurnya. 
Sambil mengerang aku bangun dari tempat tidur. Lantai terasa dingin. 
"Tidakkah kita beristirahat? Maksudku, setelah kejadian kemarin?" 
Aku melirik lagi tempat tidur Tommy dan Chris yang masih rapi. 
"Bukan cuma kita yang ikut," jawab Larry sambil merapikan seprai. 
"Seluruh perkemahan akan ikut. Semua orang pergi. Paman Al yang memimpin." 
Aku mengenakan celana jeans, berjalan terjatuh-jatuh di kamar karena baru satu kaki yang masuk ke celana. Tiba-tiba aku merasa sangat takut. "Tidak ada di jadwal," kataku suram. "Ke mana kami dibawa Paman Al?" 
Larry tidak menjawab. 
"Ke mana?" tanyaku melengking. 
Ia pura-pura tidak mendengar. 
"Tommy dan Chris�mereka tidak kembali?" tanyaku sedih, sambil mengenakan sepatu. Untung aku membawa dua pasang sepatu. Sepatu yang kukenakan kemarin tergeletak di sudut, masih basah dan berlepotan lumpur. 
"Mereka akan datang," akhirnya Larry menjawab. Tapi kedengarannya ia tidak bersungguh-sungguh. 
Aku selesai berpakaian, lalu berlari ke atas bukit untuk sarapan. Pagi itu mendung dan terasa hangat. Pasti kemarin malam hujan. Rumput-rumput berkilat basah. 
Sambil menguap dan mengedip-ngedipkan mata karena silau, para peserta perkemahan naik ke atas bukit. Kulihat sebagian besar sama bingungnya seperti aku. 
Mengapa kami melakukan jalan pagi di luar jadwal ini pagi-pagi sekali? Berapa lama? Ke mana kami pergi? 
Aku berharap semoga Paman Al atau salah satu pengawas akan menerangkan segalanya pada kami saat sarapan, tapi tak satu pun muncul di ruang makan. 
Kami makan diam-diam, tanpa bercanda seperti biasanya. 
Aku teringat pada perjalanan naik kano yang mengerikan kemarin. 
Rasanya masih terasa saja air cokelat kotor itu. Aku melihat Larry mengapung ke arahku, tertelungkup, mengapung di air yang deras  seperti segumpal rumput laut. 
Kuingat diriku berusaha mendekatinya, berusaha berenang, berusaha melawan arus, berusaha tetap terapung di pusaran air yang putih. 
Dan kulihat kanonya semakin mengabur ketika arus sungai yang deras membawanya menjauh, Tiba-tiba aku teringat Dawn dan Dori. Aku ingin tahu bagaimana keadaan mereka. Aku ingin tahu apakah mereka akan berusaha bertemu aku lagi di tepi sungai.
Kami sarapan roti bakar dengan sirup. Biasanya aku menyukai makanan itu. Tapi pagi ini, aku cuma menusuk-nusuknya dengan garpu. 
"Berbaris di luar!" teriak seorang pengawas dari pintu. 
Terdengar suara kursi-kursi didorong. Kami semua berdiri dengan patuh dan berjalan ke luar. 
Ke manakah mereka membawa kami?
Mengapa tidak ada yang menerangkan sesuatu? 
Langit sudah berubah warna menjadi merah muda, tapi matahari belum terbit dari kaki langit. 
Kami berbaris satu-satu di sepanjang dinding gedung aula. Aku berdiri nyaris di ujung barisan, ke arah kaki bukit. 
Beberapa anak ada yang bercanda dan bermain dorong-dorongan. 
Tapi sebagian besar cuma berdiri diam atau bersandar di dinding, menunggu apa yang akan terjadi. 
Begitu barisan sudah terbentuk, salah satu pengawas berjalan memeriksa. Ia menunjuk dan komat-kamit berkonsentrasi menghitung kami. Ia dua kali menghitung supaya lebih yakin. 
Lalu Paman Al muncul di depan barisan. Ia mengenakan pakaian loreng-loreng cokelat dan hijau, seperti yang dikenakan tentara di  film. Ia mengenakan kacamata hitam pekat, meskipun matahari belum terbit. 
Ia tidak berbicara. Ia memberi isyarat pada Larry dan seorang pengawas lain yang sedang memikul tas-tas cokelat yang kelihatannya berat. Lalu Paman Al cepat-cepat menuruni bukit, matanya tersembunyi di balik kacamata hitam, wajahnya berkerut-kerut. 
Ia berdiri di dekat peserta terakhir. "Lewat sini!" teriaknya keras-keras sambil menunjuk ke tepi sungai. 
Cuma itu yang diucapkannya. 
"Lewat sini!" 
Kami mulai mengikutinya, langkah kami cukup cepat. Kami terpeleset-peleset di rumput yang basah. Beberapa anak tertawa cekikikan di belakangku. 
Aku terkejut ketika menyadari sekarang aku hampir di depan barisan. 
Aku cukup dekat untuk berteriak pada Paman Al. Jadi aku berteriak. 
"Ke mana kita pergi?" teriakku. 
Ia mempercepat langkahnya dan tidak menjawab. 
"Paman Al�apa ini perjalanan jauh?" teriakku. 
Ia pura-pura tidak mendengar.
Akhirnya aku menyerah. 
Ia membawa kami ke tepi sungai, lalu berbelok ke kanan. Tampak pepohonan tumbuh lebat di tempat sungai menyempit.
Ketika memandang ke belakang barisan kulihat Larry dan para pengawas lain, dengan tas-tas di pundak, bergegas berjalan supaya tidak ketinggalan. 
Apa-apaan ini? pikirku bingung. 
Ketika menatap pepohonan yang tumbuh rapat di depan, aku teringat sesuatu. 
Aku bisa melarikan diri. 
Pikiran itu begitu menakutkan�tapi tiba-tiba terasa sangat nyata�lama baru muncul. 
Aku bisa melarikan diri ke dalam pepohonan ini. 
Aku bisa melarikan diri dari Paman Al dan perkemahannya yang menakutkan. 
Pikiran itu begitu mengasyikkan sehingga aku nyaris terjatuh. Aku menubruk anak di depanku, yang berbadan besar, namanya Tyler. Ia berbalik dan melotot. 
Wo, pikirku, kurasakan jantungku berdebar-debar. Pikirkan dulu. 
Pikirkan masak-masak.... 
Aku menatap pepohonan itu terus. Ketika kami makin mendekatinya, aku bisa melihat pepohonan yang lebat, begitu rapat sehingga dahan-dahannya membelit semua. 
Mereka takkan bisa menemukan aku di dalam sana, pikirku. Pasti mudah sekali bersembunyi di hutan ini. 
Tapi lalu bagaimana? 
Aku tidak bisa tinggal di hutan terus. 
Lalu bagaimana? 
Sambil menatap pohon-pohon itu, kupaksa diriku berkonsentrasi, kupaksa diriku berpikir jernih. 
Aku bisa mengikuti sungai. Ya. Berjalan di pinggir sungai terus. 
Mengikuti sungai. Pasti akhirnya akan sampai ke suatu kota. Harus sampai ke suatu kota.
Aku akan berjalan ke kota pertama yang kutemui. Lalu akan kutelepon orangtuaku. 
Aku bisa melakukannya, pikirku. Aku begitu bersemangat sehingga nyaris keluar barisan.
Aku harus lari. Berlari secepat-cepatnya. Kalau sedang tidak ada yang melihat. Masuk ke hutan. Jauh ke dalam. 
Kami sudah mencapai tepi hutan. Matahari sudah tinggi, langit pagi yang berwarna merah jadi kelihatan cerah. Kami berdiri di bawah bayang-bayang pepohonan. 
Aku bisa melakukannya, pikirku. 
Sebentar lagi. 
Jantungku berdebar kencang. Aku berkeringat meskipun udara masih dingin. 
Tenang, Billy, kataku memperingatkan. Tenang saja. Tunggu kesempatan. 
Tunggu sampai waktunya tepat. 
Lalu tinggalkan Camp Nightmare. Selamanya.
Sambil berdiri di bayang-bayang, aku mengamati pepohonan itu. 
Kulihat ada jalan kecil menuju ke dalam hutan.
Aku mencoba menghitung berapa lama aku bisa mencapai jalan kecil itu. Mungkin paling lama sepuluh detik. Lalu, lima detik berikutnya, aku bisa berlindung di antara pepohonan. Aku bisa melakukannya, pikirku.
Aku bisa menghilang dalam waktu kurang dari sepuluh detik. 
Kutarik napas dalam-dalam. Kumantapkan diriku. Kusiapkan otot-ototku untuk berlari.
Lalu aku memandang ke depan barisan. 
Aku terkejut sekali ketika melihat Paman Al menatapku. Dan ada senapan di tangannya. 
  
  
  




20

AKU berteriak ketika melihat senapan di tangannya. Apakah ia bisa membaca pikiranku? Apakah ia tahu aku akan melarikan diri? 
Aku merinding ketika menatap senapan itu. Ketika kupandang wajah Paman Al, aku baru sadar ia tidak menatapku. 
Ia memperhatikan kedua pengawas. Mereka telah meletakkan tas-tas di atas tanah dan sedang membungkuk, berusaha membukanya.
"Mengapa kita berhenti?" tanya Tyler, anak yang berada di depanku. 
"Kita sudah sampai?" tanya anak lain bercanda. Beberapa anak tertawa. 
"Kurasa sekarang kita bisa kembali," kata anak yang lainnya. 
Aku berdiri dan menatap tidak percaya ketika Larry dan pengawas yang satu lagi mengeluarkan senapan-senapan dari dalam tas. 
"Berbarislah dan ambil satu," perintah Paman Al pada kami, sambil mengetuk gagang senapannya ke tanah. "Satu anak satu senapan. Ayo�cepat!" 
Tidak ada yang bergerak. Kurasa semua anak mengira Paman Al main-main. 
"Kenapa kalian ini? Kubilang cepat!" bentaknya marah. Diambilnya setumpuk senapan, lalu berjalan sepanjang barisan, disodorkannya senapan itu pada anak-anak. 
Disodorkannya senapan ke dadaku kuat-kuat sehingga aku jadi terhuyung beberapa langkah ke belakang. Cepat-cepat kupegang popor senapan itu agar jangan sampai jatuh. 
"Ada apa?" tanya Tyler padaku. 
Aku mengangkat bahu, kuamati senapan dengan perasaan ngeri. Aku tidak pernah memegang senjata yang sebenarnya. Orangtuaku tidak suka segala jenis senjata api. 
Beberapa menit kemudian kami semua berbaris di bawah bayang-bayang pepohonan, masing-masing memegang senapan. Paman Al berdiri di dekat tengah-tengah barisan dan menyuruh kami membuat lingkaran di sekitarnya supaya bisa mendengar perkataannya. 
"Ada apa? Apa ini latihan menembak?" tanya seorang anak. 
Larry dan pengawas yang satu lagi tersenyum mengejek mendengarnya. Wajah Paman Al tetap serius. 
"Dengar," teriaknya. "Tidak ada lagi yang bercanda. Ini masalah serius." 
Para peserta perkemahan semakin merapat. Kami jadi diam. Ada burung ribut bercicit di pohon dekat situ. Aku jadi teringat dengan rencanaku untuk melarikan diri. 
Apakah aku akan menyesal karena tadi tidak melarikan diri? 
"Kemarin malam ada dua anak perempuan lari dari perkemahan mereka," kata Paman Al dengan suara datar dan resmi. "Anak perempuan berambut pirang dan merah."
Dawn dan Dori! pikirku. Pasti mereka! 
"Aku yakin," kata Paman Al melanjutkan, "mereka adalah anak-anak yang menyelinap ke perkemahan anak laki-laki dan bersembunyi di pinggir sungai beberapa hari yang lalu." 
Bagus! Aku merasa senang. Memang Dawn dan Dori! Mereka melarikan diri! 
Aku tiba-tiba sadar aku tersenyum lebar. Cepat-cepat aku berhenti tersenyum sebelum Paman Al melihat aku senang mendengar berita itu. 
"Kedua anak perempuan itu berada di dalam hutan ini. Di dekat-dekat sini," kata Paman Al lagi. Diangkatnya senapannya. "Senjata kalian ada pelurunya. Bidik dengan cermat kalau kalian melihat mereka. Mereka takkan bisa lari dari kita!" 
  
  
  
  
  
 




21 

"HAH?" Aku tersentak tidak percaya. "Maksud Anda kami harus menembak mereka?"
Kupandang anak-anak lain. Mereka semua kelihatan sama kaget dan bingungnya seperti aku. 
"Yeah. Kalian harus menembak mereka," jawab Paman dingin. "Sudah kubilang tadi�mereka mencoba melarikan diri." 
"Tapi kami tidak bisa!" teriakku. 
"Mudah," kata Paman Al. Diangkatnya senapannya ke bahu dan berpura-pura menembak. "Lihat? Tidak susah." 
"Tapi kami tidak bisa membunuh orang!" kataku berkeras. 
"Membunuh?" Ekspresi wajahnya berubah di balik kacamata hitamnya. "Aku tidak bilang harus dibunuh, kan? Senjata-senjata ini berisi peluru obat bius. Kita cuma ingin menghentikan anak-anak perempuan itu�bukan melukainya." 
Paman Al mendekatiku, ia masih memegang senapan. Ia menatapku tajam, didekatkannya wajahnya ke wajahku. 
"Ada masalah, Billy?" desaknya. 
Ia menantang aku. 
Kulihat anak-anak lain mundur. 
Hutan itu jadi sepi. Bahkan burung pun berhenti bercicit. 
"Ada masalah?" ulang Paman Al, wajahnya dekat sekali dengan wajahku. Aku bisa mencium napasnya yang bau. 
Dengan perasaan takut aku melangkah mundur. Mengapa ia melakukan hal ini padaku? Mengapa ia menantangku seperti ini?
Aku menarik napas dalam-dalam dan menahannya. Lalu aku berteriak sekuat tenaga, "Aku�aku tidak mau melakukannya!"
Tanpa betul-betul menyadari apa yang kulakukan, kuangkat senapan ke bahuku dan kuarahkan larasnya ke dada Paman Al. 
"Kau akan menyesal," geram Paman Al pelan. Dibukanya kacamatanya dan dilemparkannya ke hutan. Lalu disipitkannya matanya dan menatapku marah. "Turunkan senapannya, Billy. Aku akan membuatmu menyesal nanti."
"Tidak," kataku bertahan. "Tidak. Perkemahan sudah selesai. Kau tidak akan melakukan apa-apa." 
Kakiku bergetar hebat sampai rasanya aku tidak kuat lagi berdiri. 
Aku tidak akan mau memburu Dawn dan Dori. Aku tidak akan mau lagi melakukan perintah Paman Al. Tidak akan. 
"Berikan senapannya, Billy," katanya dengan suara pelan dan jahat. 
Diulurkannya tangannya ke arah senapanku.
"Serahkan, Nak." 
"Tidak!" teriakku. 
"Serahkan sekarang," perintahnya, matanya menyipit, memelototi aku. 
"Sekarang!" 
"Tidak!" teriakku. 
Ia berkedip sekali. Dua kali. 
Lalu menerkamku. 
Aku mundur selangkah dengan senapan terarah pada Paman Al�dan kutarik picunya. 
  
  
  
  


22 


SENAPAN itU meletup pelan. 
Paman Al mendongak dan tertawa. Dijatuhkannya senapannya ke tanah. 
"Hei�!" teriakku, bingung. Dadanya tetap kubidik. 
"Selamat, Billy," kata Paman Al sambil tersenyum hangat padaku. 
"Kau lulus." Ia melangkah maju dan mengulurkan tangan untuk bersalaman denganku. Anak-anak lain juga menjatuhkan senapan mereka. Kulihat mereka semua tersenyum. Larry, yang juga tersenyum, mengacungkan jempol. 
"Ada apa?" tanyaku curiga. Pelan-pelan kuturunkan senapanku. 
Paman Al memegang tanganku dan meremasnya kuat-kuat. "Selamat, Billy. Aku tahu kau akan lulus." 
"Hah? Aku tidak mengerti!" teriakku, benar-benar bingung. 
Tapi bukannya menerangkan, Paman Al malah berbalik menatap pepohonan dan berteriak. "Oke, semuanya! Sudah selesai! Keluarlah dan ucapkan selamat padanya!" 
Dan ketika aku menatap tidak percaya, mulutku ternganga lebar, orang-orang keluar dari balik pohon. 
Mula-mula tampak Dawn dan Dori. 
"Kalian bersembunyi di hutan!" teriakku. 
Mereka tertawa. "Selamat!" teriak Dawn. 
Lalu yang lain keluar juga, tersenyum dan memberi selamat padaku. 
Aku menjerit ketika melihat Mike. Ia baik-baik saja!
Di sebelahnya ada Jay dan Roger! 
Colin melangkah keluar dari hutan, diikuti Tommy dan Chris. Semua tersenyum, senang, dan baik-baik saja. 
"Apa-apaan ini?" aku tergagap. Aku benar-benar bingung. Aku merasa pusing. 
Aku tidak mengerti. Aku betul-betul tidak mengerti. 
Lalu orang tuaku keluar dari balik pohon. Mom cepat-cepat mendatangi aku dan memelukku. Dad menepuk kepalaku. "Aku tahu kau akan lulus, Billy," katanya. Kulihat ia menangis bahagia. 
Akhirnya aku tidak tahan lagi. Kudorong Mom pelan. 
"Lulus apa?" tanyaku. "Apa-apaan ini? Ada apa?" 
Paman Al merangkul bahuku dan membawaku menjauh dari peserta perkemahan. Mom dan Dad mengikutiku. 
"Ini bukan perkemahan musim panas yang sebenarnya," kata Paman Al menjelaskan, ia masih tersenyum padaku, wajahnya merah. "Ini laboratorium pengujian milik pemerintah." 
"Hah?" Aku menelan ludah. 
"Kau tahu orang tuamu ilmuwan, Billy," lanjut Paman Al. "Yah, mereka akan pergi melakukan perjalanan yang sangat penting. Dan sekali ini mereka ingin membawamu."
"Mengapa Mom dan Dad tidak memberitahuku?" tanyaku pada orangtuaku.
"Kami tidak boleh melakukannya!" kata Mom.
"Sesuai dengan peraturan pemerintah, Billy," lanjut Paman Al, "anak-anak tidak diizinkan mengikuti perjalanan resmi kecuali kalau mereka lulus ujian tertentu. Itulah yang kaulakukan di sini. Kau sedang diuji." 
"Ujian untuk apa?" desakku, masih terkejut.
"Yah, kami ingin melihat apakah kau bisa mematuhi perintah," kata Paman Al menjelaskan. "Kau lulus ketika menolak pergi ke Pondok Terlarang." Diangkatnya dua jari. "Yang kedua, kami harus menguji keberanianmu. Kau menunjukkannya dengan menyelamatkan Larry." 
Diangkatnya tiga jari. "Ketiga, kami harus melihat apakah kau tahu kapan harus tidak mematuhi perintah. Kau lulus ujian itu dengan menolak memburu Dawn dan Dori." 
"Dan semua orang ikut berperan?" tanyaku. "Semua peserta perkemahan? Semua pengawas? Semua orang? Mereka semua aktor?" 
Paman Al mengangguk. "Mereka semua bekerja di laboratorium pengujian ini." Wajahnya berubah serius. "Kau tahu, Billy, orangtuamu ingin membawamu ke tempat yang sangat berbahaya, mungkin tempat yang paling berbahaya di seluruh jagat raya. Jadi kami harus yakin kau bisa melakukannya."
Tempat paling berbahaya di seluruh jagat raya? 
"Di mana?" tanyaku pada orangtua.ku. "Mom dan Dad membawaku ke mana?" 
"Ke planet yang sangat aneh, Bumi namanya," jawab Dad, sambil melirik Mom. "Letaknya sangat jauh dari sini. Tapi bisa jadi mengasyikkan. Penghuninya aneh dan tidak dapat diduga, dan belum ada yang pernah mempelajari mereka." 
Sambil tertawa aku melangkah ke tengah orang-tuaku dan memeluk mereka. "Bumi?! Kedengarannya aneh juga. Tapi Bumi tidak akan pernah sama berbahaya dan mengasyikkannya seperti Camp Nightmoon!" teriakku. 
"Lihat saja nanti," jawab Mom pelan. "Lihat saja nanti." 

END 
  

 
   

No comments:

Post a Comment